Tuesday, September 28, 2010

Wong Ndesa dan Politik

Hampir bisa dipastikan, di setiap even suksesi politik, apakah pemilihan umum (pemilu) presiden-wakil presiden, pemilu anggota legislatif, apalagi pemilu kepala daerah atau pemilukada, suara orang desa, menjadi daya tarik yang selalu menggiurkan. Agak dapat dimaklumi kalau suara wong ndesa menjadi rebutan dan daya tarik, karena hak pilih dari masyarakat yang tinggal di pedesaan menjadi kekuatan mayoritas.
Sebagai perbandingan, saat Pemilukada Bojonegoro, jumlah hak pilihnya mencapai 1 juta jiwa lebih. Dari jumlah itu, 75 persen lebih hak suara, tinggal di desa. Oleh karena itu, calon yang ingin menang, bisa dipastikan akan berebut suara, berebut simpati, mengail dukungan masyarakat desa. Keinginan itu pula yang saat ini mulai dilakukan oleh bakal calon kepala daerah Tuban. Meskipun hak pilihnya masih didata KPUK, bisa dipastikan suara mayoritas dari masyarakat desa. Tidak mengherankan, penggunaan tagline ataupun jargon-jargon bernapaskan ”pembelaan” terhadap kepentingan wong ndesa, diluncurkan, demi meraih simpati dan dukungan orang desa.
Menjadi wajar apabila kemudian pesan komunikasi politik yang dibangun, menggunakan gaya-gaya khas orang desa. Misalnya, muleh ndeso, mbangun deso; mbangun deso, noto kutho. Atau, bila mungkin dan bila perlu, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Kang Yoto, saat mencalonkan diri sebagai bupati Bojonegoro 2007 silam, calon kepala daerah bisa menggunakan figur orang desa yang lugu, jujur, bersahaja, dan apa adanya, sebagai simbol pencitraan calon. Kang Yoto, selain menyiapkan dua lembar kontrak politik, juga menggunakan figur Kang Bai, warga Desa Tambakrejo, Kecamatan Kanor, yang lugu untuk mengail simpati publik. Atas peran Kang Bai, dan ”Kang Bai-Kang Bai” lainnya, Kang Yoto melenggang mulus menjadi bupati Bojonegoro. Pesan wong ndesa dan figur apa adanya, sejauh ini, masih terbukti ampuh.
***
Apa yang dilakukan para (bakal) calon kepala daerah, termasuk di Tuban yang pada 2011 akan melangsungkan pemilukada, rupa-rupanya mirip dengan konsep atau gagasan Mao Tse-Tung atau Mao Tse Dong (1893-1976), pemimpin sosialis dari Tiongkok yang amat terkenal dengan tagline atau jargon Desa Mengepung Kota. Jargon lain Mao yang juga amat populer dilakukan pada periode pemerintahannya di Tiongkok adalah Lompatan Jauh ke Depan. Dua konsep ini sama-sama menjadikan orang desa, wong ndesa, sebagai barikade politik dan strategi untuk mengail dukungan.
Dalam buku Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, karangan Michael H. Hart (1978), yang diterjemahkan oleh H. Mahbub Djunaidi, mulanya Mao berpegang pada pendapat bahwa, kaum buruh industri di kota-kota adalah basis terkuat penyokong gerakannya. Ini sejalan dengan teori Karl Marx, pendiri ideologi dan filsafat materialisme yang merupakan akar gerakan sosialialis-komunis.
Tetapi, sekitar tahun 1952, Mao berkesimpulan, paling tidak di daratan Tiongkok, bahwa
sokoguru partai berasal dari kaum tani yang berbasiskan di pedesaan, bukan buruh yang berbasiskan di wilayah perkotaan. Anggapan ini ada dasarnya karena selama pertempuran panjang dan sengit dengan rejim nasionalis, Mao selalu berada di daerah pedesaan. Ide ini dia terapkan tatkala menjadi kepala negara. Bila Stalin berkuasa di Rusia, umumnya pembangunan dititikberatkan pada sektor produksi industri, Mao justru menarik perhatian lebih besar pada pembangunan sektor pertanian dan pedesaan. Meski demikian, di bawah kendali Mao, pembangunan industri Tiongkok maju pesat. Besarnya pengaruh Mao itulah yang akhirnya membuat Michael H. Hart menempatkan Mao Tse-Tung sebagai sosok nomor 20 dari 100 orang yang paling berpengaruh dalam sejarah dunia.
***
Tidak terlalu penting mencari tahu akar strategi politik yang dibangun para calon kepala daerah, sehingga kita tidak perlu menelusuri apakah mereka menerapkan ideologi marxis, leninisme, sosialisme, ataupun komunisme, yang selama ini menjadi ”ideologi” haram di negeri kita. Sebab, dalam banyak hal (menurut penulis), penerapan ideologi sosialisme bisa jadi lebih ”cocok” digunakan untuk membangun kesadaran gerakan masyarakat di kalangan bawah, bukan sebagai landasan untuk mengelola negara. Oleh karena faktanya, Tiongkok pun, yang selama ini dianggap sebagai mbahnya negara sosialis yang tersisa di luar negara-negara kawasan Amerika Latin, tak ”murni-murni” amat ideologi sosialisnya. Tiongkok juga sudah mengadopsi sebagian doktrin-doktrin kapitalisme, yang selama ini menjadi musuh besar sosialisme.
Yang perlu dilihat adalah, antara Mao dan calon kepala daerah, sama-sama menggunakan jasa orang desa untuk memperlicin jalan menuju pendapa. Yang perlu juga digarisbawahi adalah jangan sampai wong ndesa hanyalah dijadikan sebagai komoditas politik, karena sedemikian besarnya biting yang tersedia, untuk meraih kursi empuk kekuasaan. Orang desa sekarang dengan dulu sudah jauh beda. Wong ndesa, berani dan siap saja menggugat andai mereka hanya dijadikan sebagai komoditas politik, pengail simpati, sebagaimana yang disinggung Agus Susanto Rismanto, ketua Komisi A DPRD Bojonegoro, melalui figur penggugat, Kang Bai, dalam artikelnya di Radar Bojonegoro edisi 29 Agustus 2010 lalu. Dan kalau itu terjadi, rasa-rasanya, unen-unen orang Jawa, bahwa ojo dhi-ojo dhi, wong tuwo malati (jangan dik, orang tua bisa membawa petaka), bisa berubah menjadi ojo dhi-ojo dhi, wong ndesa malati (jangan dik, orang desa bisa membawa celaka). (*)

Bawah Titian, 12 September 2010

*) Tayang di Radar Bojonegoro Halaman 24 Edisi 15 September 2010

Iqra` dan Teologi Baca

Rasanya, setiap Ramadan tiba, kita senantiasa mengisinya dengan pelbagai ibadah ritual dan sosial (mungkin?) yang senantiasa berulang ulang dari tahun ke tahun. Dan rasanya, setiap Ramadan hadir, kita senantiasa tidak pernah lupa bahwa di dalamnya, persisnya setiap tanggal 17 Ramadan, umat Islam pada umumnya memperingati nuzulul quran, momentum turunnya wahyu/ayat pertama Alquran yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Wahyu pertama itu adalah QS Al Alaq 1-5, yang diterima Nabi Muhammad SAW pada 17 Ramadan (6 Agustus 610 M). Wahyu ini memiliki makna pembatas strata sosial yang tegas antara strata kebodohan dan keagungan ilmu, karena berintikan perintah untuk membaca (iqra`).
Akan tetapi, apakah substansi teologi iqra` (baca dan tulis) tersebut sudah membekas di hati kaum muslimin? Rasa-rasanya belum maksimal (untuk tak mengatakan tidak sama sekali). Kita mungkin bisa mengukurnya. Tengoklah betapa IPM (indeks pembangunan manusia/human development index), yang salah satu dari tiga indikasinya tersebut adalah pendidikan, termasuk dalam hal ini pendidikan yang bersifat baca dan tulis, justru masih menempatkan Indonesia di peringkat 107 (tahun 2007-2008) dari 177 negara di dunia. Peringkat Indonesia masih di bawah negara-negara miskin Asia lainnya.
Hari ini kita juga bisa merefleksi, betapa meski wahyu itu sudah diturunkan sejak 1.400 tahun yang silam, budaya membaca masih lemah di negeri kita, Indonesia. Hal itu dapat kita lihat dalam rilis data yang dibeber Badan Pusat Statistik 2006, yang memaparkan fakta bahwa budaya membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen (!). Padahal, idealnya 80 persen. Budaya membaca, jauh lebih rendah dibanding menonton televisi yang mencapai 70 persen lebih, yang pada titik-titik tertentu memiliki dampak negatif yang sangat cukup signifikan dalam memperburuk moralitas anak muda, melalui tayangan-tayangan yang kurang mendidik. Padahal, kata para pujangga bijak, dengan membacalah kunci menguasasi dunia. Dengan membacalah, jendela dunia terbuka. Dan dengan membacalah, awal dari segala kesuksesan hidup, dunia dan akhirat.
Salah satu hal yang mungkin (setidaknya menurut penulis) belum tuntas kita laksanakan adalah bahwa teks-teks keagamaan, dalam hal ini ayat-ayat yang terkandung dalam kitab suci Alquran, baru sebatas dipahami dan diimani sebagai landasan ritual, bukan sebagai teks yang membutuhkan kontekstualisasi ayat yang dihubungkan dengan realitas sosial. Perintah membaca sebatas dipahami sebagai perintah untuk membaca teks-teks/ayat-ayat Alquran secara ansich. Akan tetapi, belum dipahami sebagai perintah untuk membaca dan mengkaji dalam banyak hal.
Padahal sebenarnya (sekali lagi menurut penulis), kalau kita pahami, dengan Tuhan menjadikan iqra` sebagai ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi SAW, mengandung maksud bahwa Tuhan sejatinya tidak ingin hamba-hamba-Nya tidak menguasai ilmu, dan acap dikungkung dengan kemiskinan pengetahuan. Tuhan tegas-tegas memprioritaskan tentang kedalaman intelektualitas dengan memperbanyak membaca segala hal yang telah diciptakan-Nya, dibandingkan dengan intensitas ibadah ritual semata. Hal ini dapat kita lihat mengapa bukan perintah salat, zakat, puasa, dan haji yang didahulukan oleh Allah SWT untuk diwahyukan kepada Rasulullah SAW, melainkan justru lebih pada perintah membaca (iqra`).
Reinterpretasi teks-teks keagamaan inilah yang sekiranya perlu dipertajam lagi, sehingga terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadi rahmatan lilalamin. Apabila mengacu pada perspektif Hassan Hanafi, pemikir Islam kontemporer, sejatinya teks iqra` itu mengandung makna-makna demokratisasi, egalitarianisme, persamaan hak seluruh manusia, membebaskan dari ketertindasan, ketidakberdayaan, serta kemiskinan pada diri manusia. Tentunya melalui membaca (ilmu).
Rasanya kita perlu terus meng-kontekstualisasi teks-teks keagamaan dengan semangat atau ruh pembebasan terhadap ketertinggalan, sebagaimana yang dilakukan Ali Ashghar Engineering dengan konsepsi teologi pembebasan kaum mustadh`afinnya yang populer di periode emas Islam.
Atau, rasanya kita membutuhkan lagi pemikir-pemikir kontemporer semacam KH Sahal Mahfudz, dari Ponpes Kajen, Pati, Jawa Tengah yang sedemikian rela dan berkenan guna memeras fikirannya, serta ”berani” merumuskan dan menafsirkan teks-teks keagamaan dengan konsepsi fiqih sosial, yang sedemikian membela hak-hak kaum tertindas. Sebab, pada dasarnya, mereka (Hassan Hanafi, Ali Ashghar Engineering, maupun KH Sahal Mahfudz) meyakini, bahwa Islam adalah agama ”kiri” yang senantiasa akan melawan segala bentuk penindasan, kebodohan, kemiskinan, serta menjunjung tinggi penegakan terhadap kesetaraan dan keadilan dalam segala hal, termasuk dalam ilmu dan pendidikan, dalam membaca dan menulis.
Penulis yakin, selama teks-teks agama tersebut masih kita tafsirkan dan fahami sebatas teks ritual semata, bukan mendasarkan pada kontekstualisasi dengan realitas sosial, maka daftar peringkat IPM maupun persentase minim budaya baca masyarakat kita, akan selalu menjadi data yang kita refleksi setiap tahun, setiap 17 Ramadan. Dan, jangan harap IPM dan budaya baca masyarakat akan meningkat (!). Wallahu a`lam bisshowab. (*)

Bawah Titian, 17 Ramadan 1431 H (27 Agustus 2010)

*) Tayang di Radar Bojonegoro Halaman 30 Edisi 29 Agustus 2010

Nasionalisme Dua Dimensi

ADA dua momentum sakral (baca: nasionalisme) sekaligus, pada bulan ini. Ramadan 1431 Hijriyah dan HUT Ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia. Sakral, karena dua momentum itu memberikan kesempatan kepada diri kita untuk sejenak merefleksi dan berkontemplasi, apa yang telah kita sumbangkan dalam hidup ini untuk tanah air, dan agama, serta masyarakat.
Dalam khazanah klasik Islam, Ramadan memberi makna bulan pengsucian, bulan dua dimensi. Bulan dimana manusia (umat Islam) dituntut untuk tidak hanya melakukan ritual transedental kepada Allah SWT lewat puasa yang an sich (mutlak) untuk Robb.
Melainkan juga ibadah sosial yang di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofi untuk memikirkan orang lain sebagai bentuk sebuah refleksi, dan toleransi untuk merasakan penderitaan orang yang kelaparan dari sisi ragawi.
Ramadan bagi bangsa Indonesia, memiliki titik persinggungan yang dapat dicarikan benang merahnya dengan Agustus, bulan lahirnya bangsa Indonesia. Apabila merujuk sejarah, 65 tahun silam, saat bangsa Indonesia berjuang melawan tirani penjajahan,
juga dilakukan pada bulan suci Ramadan. Spirit Ramadan pada 65 tahun silam itu diejawantahkan dengan nasionalisme dua dimensi.
Dimensi dunia, semua pejuang kala itu meyakini, dengan mengangkat senjata, mereka akan mampu memberikan penghidupan yang lebih baik kepada anak cucunya kelak: merdeka. Para pejuang kala itu meyakini, perjuangan hari ini tak lain merupakan cita-cita hidup bahagia demi anak cucu kelak. Tidak peduli nyawa menjadi taruhannya.
Dimensi ukhrawi, diejawantahkan oleh para pejuang dengan melambari keyakinan itu dengan sikap tawakal, pasrah, dan ridlo, bahwa puasa Ramadan kala itu merupakan momen yang sangat sakral dan tepat untuk menyatukan jiwa dan raga mereka Dzat-Nya. Sebab, hakiki puasa adalah ibadah yang semata-mata untuk Rabb. Ibadah yang harus nir-harapan, nir-imbalan. Ibadah yang hanya Rabb yang tahu balasan yang akan diberikan. Keyakinan bisa satunya ruh pejuang dengan Dzat Allah itu menjadi sebuah keyakinan dan energi yang luar biasa dahsyatnya. Hingga akhirnya, negara-negara di dunia mengakui bahwa Indonesia merdeka oleh keyakinan dan doktrin menyatunya ruh pejuang dengan Dzat Illahy.
Sejatinya sublimasi nilai-nilai Ramadan dan Agustus pada tahun ini haruslah menyatu
dalam jiwa para pelajar. Memang, bentuk dari memperingati semangat nasionalisme bangsa (Agustusan) dan nasionalisme ukhrowi (Ramadan) bagi pelajar, khususnya pelajar NU (IPNU) dan pelajar putri NU (IPPNU), tidak dapat disamakan dengan pelajar lainnya. Karena, IPNU dan IPPNU adalah calon pemimpin bangsa, berbeda dengan pelajar sekolah pada umumnya yang hanya melokalisir bentuk nasionalisme dengan cara-cara sempit, dengan mengikuti berbagai kegiatan seperti gerak jalan, karnaval, atau lomba-lomba sejenis lainnya.
Manifestasi nasionalisme negara dan Ramadan bagi aktivis IPNU dan IPPNU harus menjadi momentum yang mampu memberikan manfaat untuk sesama, setidaknya bagi komunitas kecil masyarakatnya. Misalnya, dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang mampu menunjang keberdayaan masyarakat. Antara lain, menyelenggarakan berbagai pelatihan-pelatihan yang bertujuan meningkatkan capacity building masyarakat, baik dalam dimensi sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun lainnya.
Bentuk cinta tanah air dan ghirah Ramadan dengan cara seperti ini lebih bermartabat dan bermakna, ketimbang melakukan kegiatan-kegiatan seremonial yang sepi dari makna yang substansial. Hal karena IPNU dan IPPNU adalah masa depan NU, lebih jauh lagi, adalah masa depan pemimpin bangsa. Sebagai calon-calon pemimpin bangsa, sudah seyogyanya konstribusi yang diberikan bukan hanya bermakna sempit, melainkan karya nyata, karya hakiki, manfaat untuk sesama. Wallahu A`lam. (*)

Bawah Titian, 12 Agustus 2010

Tuesday, August 24, 2010

Spiral Kebisuan Media TV

Di luar pemberitaan tentang dugaan adanya transaksi mencurigakan di rekening milik sejumlah perwira (jenderal) atau petinggi Polri, media massa, khususnya lagi televisi (infotainment), masih juga disibukkan dengan heboh tayangan video porno dengan tersangka artis papan atas tanah air.
Semula, penulis berkeyakinan dengan telah ditetapkannya tersangka, diakuinya aksi itu oleh sang artis, pemberitaan kasus tersebut lama kelamaan mereda. Sebab, sejak kasus ”bocornya” tayangan video porno tersebut mencuat ke permukaan, intensitas pemberitaan berlangsung dengan terus menerus, satu bulan lebih. Namun ternyata, dugaan itu meleset.
Yang terjadi justru sebaliknya. Begitu ditetapkan nama tersangkanya, --dan sudah ada permintaan maaf secara terbuka dari Luna Maya dan Cut Tari, dua artis yang diduga menjadi pelaku dalam tayangan tersebut--, justru seperti gong pembuka tabir baru. Sembari tetap mengikuti perkembangan kasus tersebut dalam ranah hukum, media televisi ganti memberitakan beredarnya tayangan sejenis, dengan pelaku di luar tiga nama yang saat ini sudah beredar.
Gencarnya pemberitaan tersebut seolah memunculkan kembali perdebatan klasik yang pernah memanas beberapa waktu lalu, sehingga mengapa NU sempat mengharamkan infotainment karena dianggap mengarah pada ghibah (negative thinking). Terlepas dari perspektif agama, gencarnya pemberitaan tayangan ”panas” itu, bila ditinjau dari perspektif ilmu komunikasi, rupa-rupanya sudah mulai mengarah terhadap sebuah gejala terjadinya spiral of silence (spiral kesunyian/kebisuan/keheningan) media.

Spiral Kebisuan
Teori Spiral kesunyian/kebisuan/keheningan dikembangkan Elisabeth Noelle-Neumann. Noelle-Neumann. Spiral of silence terjadi karena ketakutan akan adanya sebuah pengasingan. Spiral of silence bukan hanya berkenaan dengan keinginan berada di pihak yang menang namun juga merupakan usaha agar tak diasingkan dari suatu kelompok sosial. Ancaman akan dikritik oleh pihak mayoritas merupakan kekuatan yang sangat berpengaruh dalam men-”diam”-kan seseorang.
Menurut Noelle-Neumann, media massa memainkan peranan penting spiral of silence dalam tiga cara. Pertama, media membentuk kesan tentang opini mana yang dominan. Kedua, media membentuk kesan tentang opini mana saja yang mengalami peningkatan. Dan ketiga, media membentuk kesan tentang opini yang mana yang bisa diutarakan di muka umum tanpa risiko diasingkan dari kelompok dominan.
Tiga hal penting di atas, terjadi dalam pemberitaan kasus tayangan video porno yang diduga diperankan oleh artis-artis papan atas. Hal ini karena media massa memiliki tiga karakteristik komunikasi massa. Yaitu, kumulasi (cumulation), ubikuitas (ubiquity), dan harmoni (consonance). Bila tiga karakteristik tersebut bergabung, akan menghasilkan dampak sangat kuat pada opini publik, sehingga berpotensi menimbulkan spiral kebisuan. (Severin, dan Tankard: 2005;325)
Titik kumulasi, mengacu pada pembesaran tema-tema atau pesan-pesan tertentu secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Ubikuitas mengacu pada kehadiran media massa yang tersebar luas. Sedangkan harmoni mengacu gambaran tunggal dari sebuah kejadian atau itu yang dapat berkembang dan seringkali digunakan bersama oleh surat kabar, majalah, jaringan televisi, dan media lain yang berbeda-beda.
Pada karakteristik cumulation, kasus pemberitaan video porno, bisa terlihat beramai-ramainya infotainment memberitakannya. Ulasan atau tayangan yang diangkat media infotainment, terkesan amat dibesar-besarkan dan terus dilakukan berulang-ulang dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat betapa tayangan infotainment dilakukan setiap waktu, mulai pagi, siang, hingga malam hari. Tema yang ditayangkan juga dari berbagai sudut pandang. Mulai tanggapan dari rekan sejawat, hingga masyarakat secara umum atas tindakan artis dalam tayangan video tersebut. Sehingga, terkesan nyaris tidak ada ruang private sama sekali dalam diri si artis. Mereka seolah mengalami ”pengadilan” sosial yang sistematis, kontinyu, dan komprehensif.
Pada karakteristik ubiquity, dapat dilihat dari menyebarnya berita tersebut secara luas di masyarakat, dan menimbulkan tanggapan beragam. Karekteristik tersebut bisa dilihat dari pendekatan psikologi komunikasi, yang mencakup efek kognitif, afektif, dan behavioral atau konatif. Akibat terstimuli oleh pesan (berita), masyarakat yang semula tidak tahu, menjadi tahu (efek kognitif). Masyarakat juga mengalami kepenasaranan, kecewa, dan marah (efek afektif), hingga kemudian terdorong melakukan tindakan-tindakan yang riil, seperti men-download di internet dan turun ke jalan untuk mengecam video itu (efek konatif/behavioral). Berbagai tindakan dari efek pemberitaan ini, serta masifitas liputan semakin mendorong berita tersebut menyebar luas ke masyarakat.
Sedangkan dari karakteristik consonance, bisa dilihat tidak hanya media infotainment yang mem-blow up secara besar-besaran berita tersebut. Cara pandang bahwa berita itu mempunyai attitude dan news value yang besar karena melibatkan artis papan atas tanah air, membuat berita itu juga dirilis secara komprehensif oleh media cetak, baik surat kabar harian, majalah, tabloid, atau media lain yang berbeda-beda semacam media online. Media massa juga mengkajinya dari berbagai aspek, dan latar belakang, namun tetap dengan gambaran tunggal kasus itu sebagai tema sentralnya. Oleh karena itu, dalam kasus video porno dengan tersangka artis papan atas tanah air tersebut, media massa telah memainkan peran penting dalam spiral of silence. Karena, berita yang diturunkan tentang tayangan video tersebut, diyakini sudah ”ditunggu-tunggu” oleh khalayak, sehingga media massa yakin tidak akan diasingkan dari kelompok dominan.

Bertindak Filosofis
Disadari atau tidak, gencarnya pemberitaan tersebut membuat stigma artis-artis tertentu, khususnya yang disebut-sebut dalam tayangan video tersebut, tercoreng, dan menghadapi pengadilan sosial. Merujuk Muzafer Sherif, dalam perspektif social judgement, pemberitaan itu telah melahirkan assimilation effect, dimana individu (personal masyarakat) sudah men-judge pesan (berita) tersebut lebih dekat pada sudut pandang aktualnya, yaitu yang sedang tren dan menjadi tema pembicaraan utama di khalayak.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah ketegasan sikap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan institusi yang berkompeten lainnya untuk selalu menekankan landasan dan tindakan filosofis (logika, etika, dan estetika) dalam memberitakan berbagai hal, khususnya yang ditayangkan dalam program bertajuk infotainment. Nilai-nilai benar dan salah untuk tujuan kebenaran (logika), baik dan buruk demi keselarasan (etika), serta indah dan buruk untuk tujuan keindahan (estetika) dalam pemberitaan, perlu ditekankan dengan regulasi yang ketat. Agar, social judgement dapat dihindari, karena mereka juga mempunyai hak yang sama di depan hukum (equality before the law). (*)

Bawah Titian, 29 Juli 2010

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Halaman 30, Edisi 1 Agustus 2010

Otak Tengah, Telepatikah?

Judul Buku : Dahsyatnya Otak Tengah: Jadikan Anak Anda Cerdas Saat Ini Juga
Penulis : Hartono Sangkanparan
Penerbit : Visimedia, Jakarta
Cetakan : Ketiga, Maret 2010
Tebal : XVI+148 Halaman


Ini kisah tiga orang kakak beradik dari Cirebon. Sang kakak bernama M. Irfan, 15, siswa kelas 1 SMA. Sang adik, Aulia, 12, siswi kelas 1 SMP. Dan adiknya lagi, Rizky, 6, siswa kelas 1 SD. Irfan, yang sekolah di salah satu SMAN favorit Kota Bandung, sebelumnya memiliki nilai ulangan harian yang lumayan jeblok, 5-6. Tiba-tiba setelah semesteran nilai raport-nya tidak ada yang 7, apalagi 5 dan 6. Semuanya menjadi 8 dan 9. Dahsyat!
Suatu ketika, tiba-tiba sebuah kunci yang dipegang Aulia patah. Dengan sedih Aulia mengabarkan kepada ibunya kalau dia mendapatkan firasat salah satu temannya jatuh dan lengannya mengalami patah tulang! Astaga! Ternyata firasat Aulia benar! Salah sahabat karibnya kecelakaan dan tulang lengannya patah!
Cerita di atas hanya satu atau dua kelebihan yang dimiliki seorang anak setelah otak tengahnya diaktivasi. Di Indonesia sendiri, wacana tentang pengembangan/pemaksimalan otak tengah tergolong sebagai sesuatu yang baru. Sebab, selama ini kita, lebih banyak dikenalkan untuk memaksimalkan otak kiri dan kanan. Indonesia cukup jauh tertinggal dibandingkan Malaysia yang sudah mengembangkan metode aktivasi otak tengah pada anak-anak bangsanya pada dua tahun lalu. Bahkan, Jepang sudah menerapkan aktivasi otak tengah pada lima tahun lalu. Mr David Ting adalah tokoh di Indonesia yang pertama kali memperkenalkan teori otak tengah dan aktivasi otak tengah kepada masyarakat luas. Mr Ting adalah guru dari para pengajar inti aktivasi otak tengah di Indonesia.
Lantas, apa itu otak tengah? Otak tengah (mesencephalon) adalah bagian otak manusia yang dominan pada saat pembentukan janin. Anda mungkin pernah mendengar pernyataan bahwa semua bayi adalah genius. Itu benar, karena mereka didominasi oleh otak tengah. Dengan perkembangan umur, otak tengah ini menjadi kurang aktif. Otak manusia modern umumnya hanya didominasi oleh salah satu bagian otak, yaitu otak kanan atau otak kiri. (halm. 9)
Berdasarkan perspektif anatomi tubuh (biologi), setiap manusia punya tiga komponen otak, yaitu otak kanan, otak kiri, dan otak tengah. Otak kiri (IQ), dominan di wilayah logika, kalkulasi/perhitungan, berbicara, membaca, menulis, dan analisis. Sedangkan otak kanan (EQ) dominan pada kepribadian, kreativitas, intuisi, implementasi, kinerja, dan seni (art). Sementara otak tengah, dominan pada sentuhan lembut kasih sayang, intelegensia, memori yang kuat, konsentrasi yang tinggi, serta genius.
Sehingga, seseorang dengan kemampuan bermain musik dan kegiatan kreatif lainnya seperti menggambar, mematung, drama, sastra, atau menari lebih cenderung didefinisikan sebagai dominan otak kanan. Mereka lebih banyak berinteraksi dengan manusia secara sosial. Mereka lebih peka terhadap perasaan dan seni. Sementara itu, orang-orang yang pintar di sekolah biasanya dikategorikan sebagai dominan otak kiri. Otak kiri memang lebih banyak dipakai untuk hal-hal yang bersifat logika dan analisis.
Padahal, di luar dua otak itu, manusia mempunyai otak tengah yang kekuatannya amat dahsyat: otak tengah. Di antara otak kanan dan otak kiri, ada corpus collosum. Corpus collosum ini adalah jembatan komunikasi neuron (sel-sel otak) di otak. Bagian otak ini merupakan penghubung antara otak kanan dan otak kiri. Bagian otak ini merupakan suatu jembatan kapasitas tinggi yang menghubungkan pusat intelektual kanan dan kiri.
Otak kanan dan otak kiri adalah pusat pemprosesan yang mempunyai tingkat kerumitan yang tinggi. Otak tengah lebih banyak berkonsentrasi pada penyediaan sarana komunikasi dengan lebar pita (bandwidth) yang tinggi, yakni 200-250 juta serat. Jika dianggap satu serat satu bit, lebar pita ini adalah 250 mega bit. Sementara, lebar pita data untuk prosesor computer saat ini hanya 64 bit. Jadi, lebar pita ini jika dibandingkan dengan lebar pita komputer adalah tiga juta kalinya!
Posisi otak tengah adalah sebagai awal dari batang otak. Batang otak adalah bagian otak yang menghubungkan otak dengan bagian lain dari tubuh, termasuk pancaindera dan otot-otot. Otak tengah dapat dikatakan berfungsi sebagai relai dari semua sinyal yang berasal dari pancaindera atau isinya yang mengontrol otot motorik. Karena fungsi otak tengah yang seperti stasiun relai itulah, maka akan terjadi konsentrasi yang tinggi dari pancaran gelombang otak kanan dan otak kiri, bila otak tengahnya sudah diaktivasi.
Sayangnya, tidak semua orang bisa mengaktivasi otak tengahnya. Padahal, menurut penulis buku ini, jika otak tengah aktif, daya ingat seseorang akan meningkat berlipat, kemampuan mengasihi orang lain meningkat tajam, kemampuan inovasi dan kreativitas tinggi, serta mampu berkonsentrasi penuh. Selain itu, bila otak tengah sudah diaktivasi akan meningkatkan kemampuan fisik dan berolahraga, meningkatkan keseimbangan otak kanan dan kiri, menyeimbangkan hormon, serta meningkatkan daya intuisi. (halm. 33)
Meskipun hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan dunia ilmiah, lantaran otak tengah dianggap lebih ke telepati (meningkatkan daya intuisi) sebagaimana dicontohkan dalam bagian awal tulisan ini, namun sebagai pengembangan keilmuan, tak ada salahnya juga bila buku ini dan teori tentang otak tengah perlu mendapatkan apresiasi.
Hanya sayangnya, penulis buku ini tidak menjelaskan mengenai tata cara mengaktivasi otak tengah. Meski, penulis menyarankan pengaktifan otak tengah dapat dilakukan untuk anak-anak berumur 5-15 tahun. Penulis hanya menunjukkan website dan informasi yang bisa diakses tentang otak tengah, termasuk cara mengaktivasinya. Yakni, di situs-situs: www.dahsyatnyaotaktengah.com; www.otaktengah.com. www.twitter.com/OtakTengah; Email: bukudot@gmail.com; Facebook: http://www.facebook.com/pages/Aktivasi-Otak-Tengah/188067732139. Kemudian, akses juga jadwal training aktivasi di Indonesia di: http://otaktengah.com/jadwal-training-aktivasi-otak-tengah, serta pendaftaran training aktivasi otak tengah di : www.trainingaktivasiotaktengah.publishing-inti.com. (*)

Bawah Titian, 24 Juni 2010

Pentingnya Guru Motivator

SUATU hari di sebuah kelas di sebuah SMP. Andi terlihat murung. Dia gelisah. Dari raut mukanya terpancar kekurang gairahan. Matanya memang memandang Ibu Ratnani, guru Bahasa Inggris, yang sedang menerangkan materi pelajaran tentang gramatika present ense. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ibu Ratnani menangkap bahasa tubuh sang murid. Kemudian, dia mendekatinya. ”Kenapa kamu kurang konsentrasi,” tanya Ibu Ratnani. Andi menjawab, ”Saya kurang bersemangat, bu. Entah kenapa?.” Ibu Ratnani tersinggung. Kemudian, dia menghukum Andi. Dia meminta Andi keluar.
***
Benarkah tindakan yang dilakukan Ibu Ratnani? Ilustrasi di atas menunjukkan betapa sosok guru hanya memperlakukan muridnya sebagai objek pengetahuan, sementara guru adalah figur sentral dan subjek yang berhak menentukan segalanya atas diri sang murid. Ditinjau dari sisi pembelajaran, idealnya sang guru tak hanya memperlakukan sang murid sebagai sosok yang pasif, tetapi harus aktif ikut menentukan keaktifannya. Pada saat tahu kondisi psikologis sang murid, guru sebaiknya bukannya mengambil tindakan reaktif, tapi justru menyikapinya dengan bijak. Bahkan, tidak menutup kemungkinan guru harus mampu memberikan motivasi kepada sang siswa agar bersemangat mengikuti pelajaran.
Ilustrasi di atas juga menunjukkan kecenderungan bahwa peran guru tidak hanya sebatas sebagai pengajar dan pendidik di sekolahan. Namun, peran guru sebagai motivator mutlak dibutuhkan. Pemberian motivasi sangat mendesak dilakukan oleh seorang guru agar kemampuan siswa dapat tereksplore secara maksimal.
Secara teori, motivasi istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi bagi seseorang (siswa) dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif. (Gage dan Berliner, 1984). Dari pengertian istilah motivasi di atas, kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa. Ada banyak teori tentang motivasi. Namun, secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandangnya, yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dan social cognition.
Dalam pandangan Teori Motivasi dari Abraham Maslow (1943-1970), secara garis besar manusia, termasuk dalam hal ini adalah peserta didik, mempunyai lima kebutuhan dalam hidupnya. Yaitu, kebutuhan fisiologis (physiological needs) berupa rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya; kebutuhan rasa aman (safety needs), yakni merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya; kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (love needs), berafiliasi dengan orang lain, diterima, dan memiliki; kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), pengertiannya butuh berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan, pengakuan; serta, kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs).
Khusus untuk kebutuhan yang kelima, Maslow membaginya lagi menjadi tiga hal. Yaitu,
kebutuhan aspek kognitif, dalam artian kebutuhan untuk mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan aspek estetik, mencakup keserasian, keteraturan, dan keindahan; serta kebutuhan aspek aktualisasi diri, upaya mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya.
Merujuk Teori Maslow, dari contoh kasus di atas maka siswa perlu diberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi dirinya sendiri. Artinya, pemberian kesempatan tersebut akan menyebabkan motivasi siswa meningkat, sehingga peserta didik dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tersebut.
Pengertiannya, dengan mengacu Teori Maslow, seorang siswa bila tahapan kebutuhannya sudah tercukupi, baik dari sisi fisiologis, rasa aman, dan cinta, maka kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri secara tidak langsung akan menjadi capaian berikutnya. Dari gambaran di atas dapat dipahami, guru jika mau memerankan diri sebagai sosok motivator, seharusnya dapat menyelidik dengan mencari tahu penyebabnya, apakah kebutuhan-kebutuhan fisiologis, rasa aman, hingga cinta, sudah terpenuhi atau belum. Sehingga, guru akan menemukan jawaban kenapa muridnya tidak mempunyai minat atau motivasi untuk esteem needs dan self-actualization needs. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah lima tahapan yang sudah digariskan Maslow, untuk sekadar hanya menggunakan satu teori tentang motivasi, sudah dilaksanakan oleh para guru agar mampu memerankan diri sebagai guru motivator? Rasanya, tidak perlu hanya dijawab secara vokal, akan tetapi dilaksanakan dengan tindakan nyata. (*)

Bawah Titian, 23 Juni 2010

Awali dari Membaca, Akhiri dengan Menulis

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman merupakan cermin diri dan realitas makro yang dapat digunakan sebagai referensi dalam menentukan tindakan dan perilaku di masa yang akan datang. Pengalaman pribadi (self experience) yang merentang panjang di masa lalu, juga merupakan identitas yang menentukan serta membentuk karakter seseorang di masa kemudian.
Dalam konteks berbagi pengalaman (share) pribadi itulah substansi tulisan dalam bulletin yang ada di tangan Anda saat ini. Semoga hal tersebut tidaklah termasuk dari apa yang dikategorikan Anita L. Vangelisti, Mark L. Knapp, dan John A. Daly, sebagai bagian dari teori conversational narcissism alias pengagungan diri. Tentu, sharing ini sarat muatan subjektivitas, --meski subjektif merupakan satu kesatuan menuju objektivitas, yang tidak sama dengan yang lainnya.
Bahwa, kecintaan terhadap baca membaca, di luar buku-buku teks pelajaran, mulai saya rasakan saat duduk di kelas 5 dan 6 SD. Secara jujur saya akui, buku-buku yang banyak penulis baca saat itu bukanlah buku sekelas Bobo, Kuncup, atau lainnya, meski saya juga membacanya, tetapi tidak begitu mainded. Ketika itu saya mulai mempunyai ketertarikan terhadap buku-buku cerita, dan dongeng bergambar yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah, di SDN I Kalitidu, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro.
Dalam perkembangannya, khususnya saat menginjak bangku SMP, orientasi membaca sedikit bergeser. Dari yang semula buku-buku dongeng, beralih ke buku-buku komik dengan tokoh hero, tetapi tidak seperti tokoh Superman atau Batman, melainkan komik-komik yang bertema silat karya seniman-seniman lokal Indonesia. Sebutlah saja komik karya Jan Mintaraga. Pertimbangan waktu itu, membaca komik beserta visualisasinya, lebih mempunyai daya tarik. Belakangan (saat dewasa), baru menyadari bahwa membaca dengan meng-visualkan tulisan/cerita dalam otak dan pikiran, akan banyak membantu perkembangan otak kanan.
Perubahan orientasi membaca ini begitu dominan. Saya tidak hanya membaca buku-buku komik, melainkan juga buku-buku yang pada masa itu dianggap agak ”aneh” untuk anak seusia saya (sekali lagi semoga ini bukan narsistik). Saya masih ingat betul, ketika masih duduk di bangku kelas 2 dan 3 SMP, saya begitu menggilai buku-buku cerita silat karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo, penulis cerita silat/kungfu asal Solo, yang karyanya justru lebih banyak bercerita atau ber-setting sosiokultural daratan China.
Hingga sekarang pun, terkadang kerinduan untuk membaca kembali buku-buku karya Kho Ping Hoo, yang sekarang ini sudah berada di alam keabadian, masih begitu kuat mendesak. Terkadang, masih terbayang dalam benak bagaimana sepak terjang Suma Han, tokoh dalam Pendekar Pulau Es, atau Yo Han, tokoh dalam Pendekar Tangan Sakti. Atau buku-buku Kho Ping Hoo lainnya yang juga melegenda semacam Pendekar Bodoh, Pendekar Budiman, dan lainnya.
Bagi saya ketika itu, membaca Kho Ping Hoo, hanya mengasyikkan. Meski, dalam buku tersebut Kho Ping Hoo tak hanya menceritakan dunia persilatan, melainkan juga sering menyisipkan nilai-nilai filsafat dari setiap tema apapun yang sedang dibahasnya. Mulai bhakti antara guru (suhu), dengan murid tertua (suheng), maupun murid terakhir (sutee). Atau, ruang lingkup apapun yang menjadi tema sentral filsafat, yaitu Tuhan, manusia, dan alam, Kho Ping Hoo selalu menyertakan ”catatan kecil” dan serius yang menyelipi gambaran umum cerita silatnya.
Yang paling penulis ingat hingga sekarang, dalam setiap bukunya, Kho Ping Hoo selalu menggambarkan sosok pendekar itu tak hanya sebagai manusia yang tangguh membela diri, melainkan juga sosok yang terpelajar (mencintai baca dan tulis). Sebagai gambaran, Kho Ping Hoo hampir selalu mencitrakan tokoh utamanya tersebut sebagai manusia yang membawa pena (maopit), sastrawan, yang selain dapat dipakai untuk menulis, juga dapat digunakan sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan-lawannya.
Suatu ketika setelah dewasa, saya baru menyadari bacaan Kho Ping Hoo ternyata adalah tergolong bacaan ”berat” dan serius. Meski ditulis dengan bahasa yang sederhana, ringan, Kho Ping Hoo selalu menyelipkan pesan-pesan filosofis yang penuh dengan etika, logika, dan estetika yang merupakan komponen utama dalam keilmuan filsafat. Kho Ping Hoo juga memposisikan manusia terpelajar (cinta baca dan tulis) yang dimetaforakan dengan ciri selalu membawa maopit, sebagai sosok yang tangguh menghadapi setiap dinamika masyarakat. Kesan terhadap Kho Ping Hoo itu terbawa hingga dewasa. Meski buku-buku Kho Ping Hoo untuk sementara mulai ”ditinggalkan”, akan tetapi kesan itu sedemikian kuat terbawa dan terpatri dalam memori.

Hasil Dialektika
Menulis merupakan hasil dari dialektika antara membaca dan mengkaji/diskusi. Menulis adalah sintesis yang dihasilkan dari tesis (membaca) dan antitesis (ruang mengkaji) yang bergumul dalam diri dan benak. Orang yang mencintai membaca, pada umumnya akan merasakan dua hal. Yaitu, kepuasan batiniah, tercerahkan, karena mendapatkan stimuli wacana yang tidak diketahui sebelumnya. Dan yang kedua, sebaliknya, justru penasaran yang pada akhirnya melahirkan beragam pertanyaan, untuk menggali lebih jauh tentang makna dan nilai yang terkandung dalam buku/bacaan yang dilahap sebelumnya.
Pertanyaan itu tidak mungkin dijawab oleh buku yang didarasnya. Buku hanya memberi dia bahan untuk bertanya, bukan bahan untuk menjawab. Di titik inilah ruang mengkaji pertanyaan-pertanyaan yang semburat dalam otak harus menemukan ruang berbagi yang membebaskan pikiran dari keterbelengguan kepenasaranan dan beragam tanda tanya di benak yang bebas ide dan nilai. Ruang atau medium itu adalah diskusi/kajian.
Di sisi lain, hanya mengkaji tidaklah cukup untuk memuaskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berjejaring di otak. Hasil dari mengkaji, dalam konteks tertentu hanya memuaskan stimuli kepenasaranan dari rasa belum tahu yang sebelumnya menjejal di dalam otak. Sementara, dorongan untuk ”menggugat” atas ketidakpuasan atas apa yang didapat di medium buku dan forum kajian belum tersalurkan. Hanya menulislah, dengan tema apapun, yang dapat menjembatani dan mengobati naluri menggugat dan berontak atas belenggu kebertanyaan itu.
Proses itu pulalah yang dirasakan secara pribadi oleh penulis selama bergulat dalam dunia tata kalimat/kata, istilah lain menulis, selama ini. Bahwa, membaca hanyalah satu awalan, dari sebuah proses panjang yang mesti harus dilalui untuk mencapai ”orgasme” intelektualitas. Jadi, awalilah dari membaca, berproseslah dalam forum kajian-kajian, dan akhiri naluri ”menggugat” dan ”pemberontakan” Anda melalui (saluran) menulis! (*)

Bawah Titian, 20 Mei 2010

*) Tayang di Sindikat Baca, Edisi Satu Tahun (Juli 2010)

Quo Vadis Gerakan Mahasiswa Pasca 1998

Kenapa mahasiswa sekarang tak mampu mengulang spirit gerakan mahasiswa era 1998? Pertanyaan reflektif tersebut senantiasa mengemuka dalam setiap diskusi-diskusi gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Faktanya, gerakan mahasiswa sekarang cenderung sporadis dan tidak tuntas.
Contoh paling dekat terkait aksi untuk menyikapi skandal Bank Century. Saat mahasiswa tingkat pusat (baca: Jakarta) ramai-ramai menggelorakan isu yang diyakini akan berbuah drama pemakzulan Wakil Presiden Boediono, apakah hal serupa dilakukan mahasiswa daerah? Memang, isu tersebut juga direspons mahasiswa daerah, tetapi tak menyeluruh, tidak massif. Ada kesan aksi di Jakarta berjalan sendiri. Dimana letak kekurangan (untuk tidak mengatakan kesalahan) terhadap aksi mahasiswa era pasca 1998?
Pertama, kurang dipahaminya faktor common enemy (musuh bersama) secara tuntas. Mahasiswa eksponen 1998 berhasil menggulingkan rezim orde baru karena pemetaaan lawan abadi, musuh bersama, yakni Soeharto, sangat tuntas. Hampir seluruh mahasiswa ketika itu sepakat menjadikan jendral bintang ”lima” tersebut sebagai musuh bersama. Kesadaran ini pada akhirnya menimbulkan ”dendam” yang sama di kalangan mahasiswa untuk segera mengakhiri rezim militeristik dan despotik Soeharto.
Kedua, konsistensi terhadap isu. Salah satu penyebab kenapa aksi mahasiswa era 1998 sukses besar adalah karena adanya konsistensi dalam mengawal isu primer dan sekunder.
Isu primer (nasional)-nya adalah turunkan dan adili Soeharto, selain isu reformasi hukum, ekonomi, dan politik. Yang perlu digarisbawahi, ada kesepakatan antar elemen gerakan, termasuk dengan mahasiswa di daerah dalam mengawal isu nasional saat menjalankan aksinya. Mahasiswa di daerah bisa (dan boleh) memunculkan isu lain, tetapi ruhnya harus tetap reformasi.
Ketiga, proses konsolidasi yang matang. Konsolidasi adalah bagian terpenting dalam menata gerakan. Konsolidasi berfungsi memperkuat jaringan, mengevaluasi tindakan-tindakan yang telah dilakukan, serta mengantisipasi munculnya anasir-anasir baru yang berpotensi merusak masifitas gerakan. Yang penulis ketahui dan pelajari, mahasiswa eksponen 1998 memahami pentingnya konsolidasi ini.
Karena itu dulu, mahasiswa familier dengan istilah informal meeting. Kegiatan ini diadakan tidak di tempat yang sama, tetapi berpindah-pindah. Forum ini menjadi ajang aktivis mahasiswa melakukan konsolidasi gerakan. Di forum ini pula perkembangan gerakan sekecil apapun, mulai isu hingga variannya, disampaikan dengan tuntas. Ini penting agar gerakan mahasiswa di pusat dan daerah, nyambung. Menjadi gerakan yang serentak dan menyeluruh.
Selain tiga hal di atas kurang diantisipasi secara cermat, ada kecenderungan negatif lain yang acap kali dilakukan oleh mahasiswa dalam aksi-aksinya dewasa ini. Mahasiswa terjebak dengan dikotomi antara gerakan moral dan politis. Maksudnya, kawan-kawan mahasiswa jarang melakukan kritisisme terhadap bentuk penyelewengan negara karena khawatir (atau paranoid?) gerakannya dimanfaatkan secara politis oleh politisi/partai politik.
Sikap ini sebenarnya kontraproduktif karena pada akhirnya malah menjadikan mahasiswa tidak melakukan apa-apa, selain hanya mencela. Sikap ini perlu dihindari. Yang harus dipahami adalah setiap gerakan yang dilakukan mahasiswa akan selalu berimplikasi politik karena target golnya adalah negara (termasuk pemerintahan daerah), tetapi ruh perjuangannya harus tetap moral. Karena inilah yang membedakan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan partai politik, meski target golnya adalah sama: negara.
Andai beberapa hal di atas dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh mahasiswa era kini, penulis yakin romantisme 1998 terulang. Taring mahasiswa kembali diperhitungkan. Bukan karena berpotensi memicu people power, tetapi mahasiswa akan menjadi kekuatan penyeimbang sekaligus kontrol yang efektif terhadap segala bentuk penyelewengan yang dilakukan negara. (*)

Bawah Titian, 3 April 2010

Sunday, July 4, 2010

Momentum Perumusan Kembali Khittah NU

Pemilihan gubernur-wakil gubernur (pilgub) Jawa Timur telah usai. Bagi kalangan nahdliyyin selesainya perhelatan pemilihan Jawa Timur 1 ini cukup melegakan. Sebab, disadari atau tidak, suka atau tidak suka, pertarungan pilgub putaran kedua 4 November lalu sedikit banyak menguras energi kalangan NU. Hal ini bisa dimaklumi lantaran pasangan calon yang maju ke babak ”final” adalah kader-kader NU. Mereka harus saling ”bertarung” untuk menjadi pemenang.
Khofifah Indar Parawansa, yang berpasangan dengan Mudjiono (Kaji) adalah ketua umum PP Muslimat NU, organisasi ibu-ibunya nahdliyyin. Pasangan yang diusung PPP dan gabungan parpol, serta didukung PDIP ini dipaksa harus bertarung dengan saudara mudanya, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), yang merupakan cawagub Soekarwo (Karsa). Gus Ipul adalah ketua umum PP GP Ansor, organisasi kepemudaan NU. Pasangan Karsa diusung oleh PAN, dan Partai Demokrat, serta didukung Partai Golkar, PKB, dan PKS.
Terlepas siapa yang akan menjadi pemenangnya kelak, karena menunggu penghitungan suara secara manual dari KPUD Jawa Timur pada 11 November mendatang, hal yang cukup menarik dicermati adalah terkristalisasinya pertarungan antar pendukung dari trah dan pembesar NU di belakang masing-masing pasangan calon.
Menarik karena para petinggi dan tokoh berpengaruh di kalangan NU itu mempunyai interpretasi yang berbeda-beda tentang khittah (garis perjuangan) dan tujuan politik NU dalam upayanya untuk memenangkan kandidat yang didukungnya.
Sudah jamak diketahui bahwa sejumlah petinggi PB NU dan PW NU ada di balik pasangan Kaji. Bahkan, tidak segan-segan beberapa elite NU ikut turun gunung dan menggalang massa untuk memenangkan pasangan nomor urut 1 ini. Dalam beberapa kesempatan bertemu dengan nahdliyyin, sejumlah elite PB NU sering menyatakan bahwa yang dilakukannya adalah atas nama pribadi, bukan institusi. Sebab, NU secara institusi (kelembagaan) tetap netral, tidak berpolitik dan hanya fokus terhadap gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Disisi lain sejumlah elite PW NU dan tokoh-tokoh pondok pesantren (ponpes) lain yang juga sangat berpengaruh kuat di kultur NU juga melakukan manuver yang tidak kalah gencarnya untuk memenangkan pasangan Karsa. Bahkan, tanpa tedeng aling-aling dan secara terbuka kelompok ini mengeluarkan fatwa politik (taushiyah) untuk mendukung pasangan nomor urut 5 tersebut. Kelompok ini pun beranggapan bahwa apa yang dilakukannya tidak menyalahi tujuan politik NU.

Bias Tujuan Politik NU
Jika dicermati lebih jauh, terjadinya pemahaman berbeda tentang garis perjuangan NU dalam kasus di atas adalah karena adanya perbedaan interpretasi tentang tujuan politik NU. Dalam banyak literatur tentang NU disebutkan bahwa organisasi yang didirikan pada 1926 ini memang menjamin upaya-upaya peningkatan kondisi sosio ekonomi pendukung tradisionalisnya. Tujuan itu kadang-kadang tersirat dalam literatur NU, tetapi jarang dibahas secara terang-terangan. Meski demikian, pentingnya motivasi politik ini terlihat lebih jelas daripada forum-forum dalam partai maupun korespondensi internal partai.
Secara lebih jelas Greg Fealy (2003) menyatakan, tujuan politik NU terdiri dari tiga bagian utama. Pertama, menyalurkan dana pemerintah kepada masyarakat NU, terutama untuk peningkatan fasilitas pendidikan dan keagamaan seperti pesantren, madrasah, dan juga membangun atau merawat pranata sosial seperti klinik kesehatan, panti asuhan, dan balai pertemuan.
Kedua, berusaha mendapatkan peluang bisnis dari pemerintah bagi NU dan para pendukungnya. Peluang ini akan memberikan keuntungan langsung kepada mereka yang mampu mendapat kedudukan dan dianggap dapat membantu Islam dan umat pada umumnya. Dan, tujuan politik NU ketiga adalah mendapatkan kedudukan bagi anggota NU dalam birokrasi. Setelah kemerdekaan, birokrasi dipandang sebagai jalan menuju mobilitas dan status sosial. Masuknya muslim tradisional dalam birokrasi dipandang akan meningkatkan kedudukan NU di masyarakat Indonesia, sekaligus memperkuat suara umat di kalangan pemerintah.
Masalahnya adalah bahwa apa yang dilakukan masing-masing elite NU di atas dalam hal dukungannya kepada pasangan Kaji maupun Karsa, sudah sesuai dengan tujuan politik NU, khususnya yang ketiga. Masing-masing kubu menganggap pihaknya tidak salah, memiliki otoritas dan lebih pantas untuk mewakili tujuan politik NU: meningkatkan kedudukan nahdliyyin di masyarakat Indonesia.
Tetapi faktanya, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Kalangan grassroots nahdliyyin menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh dua kubu elite NU tersebut tidak lebih merupakan untuk kepentingan politik pribadi masing-masing, bukan tujuan politik NU yang sebenarnya.
Jika kondisi ini tidak segera disadari dan dijadikan bahan evaluasi, dalam waktu yang tak terlalu lama NU akan ketinggalan semakin kereta. Hanya dibutuhkan suaranya saja saat ada momentum suksesi. Hanya dibutuhkan untuk mendorong mobil mogok. Setelah mobil jalan, pendorong ditinggalkan.

Evalusi dan Refleksi
Dari beberapa permasalahan di atas, ada banyak hal yang harus dilakukan oleh NU secara institusi untuk melakukan pembenahan. Pertama, NU harus berani merumuskan kembali garis perjuangan dan tujuan politik NU. Terjadinya bias pemahaman terhadap tujuan politik NU, seperti dalam kasus pilgub di atas, adalah buah dari kurang konkretnya instrumen-instrumen yang harus disiapkan untuk mencapai tujuan politik tersebut. Dan, forum serta momen yang tepat untuk merumuskan khittah dan tujuan politik NU kembali adalah Muktamar NU 2009. Hal ini dengan asumsi apabila Muktamar NU 2009 tidak molor, karena Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi saat ini, terpilih dalam Muktamar 2004 di Donohudan, Solo, Jawa Tengah.
Kedua, NU harus tegas memberikan sanksi, di semua jajaran struktural, terhadap segala bentuk pelanggaran garis perjuangan NU. Misalnya, harus segera mundur dari jabatan strukturalnya apabila terlibat jauh dalam politik praktis. Selama ini, sanksi yang diberikan terhadap pelanggar khittah, yang membawa NU masuk terlalu dalam pada wilayah politik praktis, tidak jelas serta masih terkesan malu-malu dan segan.
Sikap ini idealnya harus dibuang jauh-jauh, mengingat ke depan ada banyak momentum yang rawan menimbulkan godaan-godaan politik yang menggiurkan. Antara lain momen Pemilu 2009, baik pemilihan anggota legislatif (pilleg) maupun pemilihan presiden (pilpres).
Ketiga, melakukan penguatan kembali basis ekonomi dan sosial. Disadari atau tidak, ikut larutnya NU dalam hiruk pikuk politik yang sesekali dibumbui konflik (ingat kasus PKB), membuat basis massa NU yang kebanyakan dari kalangan tradisional terabaikan.
Pilihan ini harus fokus digarap NU dan badan otonomnya. Apalagi ke depan NU mau tidak mau akan dihadapkan pada tantangan krisis global yang imbasnya mulai terasa.
Sekiranya tiga hal di atas mampu dilakukan secara sungguh-sungguh, penulis yakin wibawa kelembagaan NU akan terjaga. Ketegasan sikap terhadap pelanggar khittah dan pengetatan rambu-rambu yang masuk ranah politik akan membuat NU kokoh dan lebih disegani sebagai organisasi masyarakat sipil, sebagai penjaga gerakan kultural di negeri ini. Sudah saatnya pula NU kembali kepada ruh awal pendirian organisasi ini pada 82 tahun silam: menciptakan spirit pembebasan dari belenggu. Jika 1926 spiritnya adalah bebas dari segala bentuk penjajahan fisik, sekarang ruhnya adalah bebas dari penjajahan mental, serta kemiskinan struktural dan kultural. Wallahu A`lam.

Bawah Titian, 8 November 2008

Vis a Vis Negara dan Buku

Dalam sepekan terakhir ini para pegiat dan pecita buku disibukkan dengan perang opini antara negara dengan George Junus Aditjondro, penulis buku Gurita Cikeas. Buku tulisan ilmuwan yang menetap di Australia itu menuai kontroversial, karena mengupas benang kusut aliran dana Bank Century yang diduga mengalir kepada Cikeas (Presiden SBY).
Ketegangan antara negara (kekuasaan) dengan buku di atas hanya satu di antara puluhan tamsil dari reaksi kekuasaan terhadap energi dahsyat buku.
Beberapa hari sebelumnya Kejaksaan Agung mengumumkan "fatwa haram" peredaran lima judul buku, karena dinilai mengganggu ketertiban umum. Kelima buku itu, Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karangan John Roosa; Suara Gereja bagi Umat Tertindas, karya Socrates Sofyan Yoman; Lekra Tak Membakar Buku, karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; Enam Jalan Menuju Tuhan, gubahan Darmawan M.M.; dan Mengungkap Misteri Keberagamaan Agama, karangan Syahrudin Ahmad. Keputusan Kejagung ini menuai kritikan dari berbagai kalangan. Kejagung menutup tahun 2009 dengan prestasi kurang membanggakan.
Fakta pemberangusan karya intelektual di atas semakin mempertebal kesimpulan bahwa negeri ini sedemikian represif dalam menyikapi gagasan-gagasan pemikiran. Sebelum ini, begitu banyak karya intelektual yang muncul tidak dilawan dengan iklim yang terhormat: tesis, antitesis, dan sintesa. Gagasan yang mencuat ke permukaan, tidak dilawan dengan menciptakan buku putih (tandingan/antitesis), melainkan dengan asal berangus, cekal, dan dilarang beredar.
Masih ingat dalam ingatan, pada 24 November 2008, Ketua DPR RI (ketika itu) Agung Laksono meminta Kejagung mencegah beredarnya buku yang berisi tudingan Adam Malik, mantan wakil presiden RI, sebagai agen CIA. Buku itu berjudul Legacy of Ashes, The History of CIA. Buku ini dibuat Tim Weiner, wartawan koran The New York Times. Weiner menceritakan sejarah CIA dan perannya dalam peristiwa politik internasional, termasuk di Indonesia pada 1965. Dalam buku itu juga dituliskan hubungan Soekarno dan PKI. Disebutkan, CIA memberikan US$ 10 ribu untuk mendukung peran serta Adam Malik memberantas Gerakan 30 September. Sejarawan LIPI Asvi Marwan Adam membenarkan adanya bantuan AS dan senjata. Alasannya, buku lain menyebut dana itu diserahkan lewat Adam Malik. Namun, itu tak berarti Adam Malik agen CIA.
Setahun sebelumnya, persisnya 10 Mei 2007, Kejari Ponorogo, Jawa Timur, merazia buku sejarah untuk SMP dan SMA yang dinilai mengaburkan fakta peristiwa Gerakan 30 September 1965. Buku sejarah yang diamankan adalah buku yang berisi tentang Gerakan 30 September tanpa disertai PKI. Kejari menilai ini mengaburkan fakta bahwa pelaku Gerakan 30 September adalah PKI. Salah satu buku yang ditarik adalah sejarah nasional karangan Wayan Badrika.
Vis a vis kejaksaan (Negara) dengan buku juga berlanjut pada 30 Juli 2007. Ketika itu,
Kejari Kota Bogor memusnahkan dan membakar 1.340 buku pelajaran sejarah untuk SMP kurikulum 2004 di depan gedung kejaksaan. Isi buku itu dinilai mengaburkan dan memutarbalikan sejarah sebenarnya. Pemusnahan buku itu didasarkan atas Keputusan Jaksa Agung RI No : KEP-019/A/JA/03/2007 tanggal 5 Maret 2007 tentang larangan beredar barang cetakan buku-buku Teks Pelajaran Sejarah SMP/Madrasah Tsanawiyah serta SMA, SMK dan Madrasah Aliyah yang mengacu kepada kurikulum 2004. Hal itu diperkuat oleh Instruksi Jaksa Agung RI Nomor INS-003/A/JA/03/2007 tanggal 5 Maret 2007 tentang tindakan pengamanan terhadap larangan beredar barang cetakan buku teks pelajaran sejarah.
Masih di tahun yang sama, tanggal 30 April 2007, Kejati Nusa Tenggara Timur menyita ratusan buku pelajaran SD sampai SMA di sejumlah toko buku di Kota Kupang. Buku-buku tersebut dinilai menyimpang dari fakta sejarah dan mengandung nilai-nilai ajaran Komunis, Marxisme, dan Leninisme.
Di tahun 2006, tak terdeteksi upaya pemberangusan buku. Namun, setahun sebelumnya, tepatnya 22 November 2005, Kejati Jawa Timur menyelidiki atlas bergambar bendera Bintang Kejora yang sering digunakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bahkan, Kejati juga menyita 3.284 buku peta setebal 96 halaman itu dari berbagai toko buku di Surabaya dan perusahaan yang menerbitkan. Diduga, ada sekitar 2 ribuan atlas sejenis yang terlanjur beredar di sekolah-sekolah dan toko-toko buku. Untuk menarik kembali atlas-atlas tersebut, Kejati menerbitkan surat kerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional serta kepolisian agar segera merazia di tiap-tiap sekolah dan toko buku.
Apapun dalihnya, cara-cara preman yang diterapkan dalam menyikapi gagasan dan pemikiran melalui buku patut dikutuk. Sudah seharusnya Negara belajar menghormati kebebasan berpendapat dan berpikir yang dianugerahkan Tuhan. Kalaupun tidak sesuai dengan meanstream yang berkembang, bukan dengan cara represif seperti itu yang seharusnya dilakukan, melainkan dengan cara paralel seperti membuat buku putih atau menciptakan dialog kritis.
Sadar atau tidak sadar, cara-cara yang ditempuh Negara telah melanggar UU No 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Khususnya Bab III pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Bukankah memberangus pemikiran melalui cara-cara fasis itu sama halnya dengan menerapkan ideologi lain yang kita berangus? Berarti apa bedanya negara dengan mereka? (*)
Bawah Titian, 28 Desember 2009

Sistem Pendidikan Kita Tidak Mendidik?

DALAM perbincangan hangat di sebuah warung kopi, seorang kawan menyatakan keprihatinannya dengan terlibatnya sejumlah mahasiswa dalam demonstrasi anarkis pada 3 Februari 2009 yang memicu tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut) Aziz Angkat. Yang amat memprihatinkan adalah bagaimana mungkin mahasiswa yang berlabel intelektual, yang secara kapasitas lebih rasional dan terdidik, dapat tergiur hanya dengan imbalan Rp 25 ribu kalau ikut demo! Tidakkah ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan, Tuan?
Contoh di atas hanyalah satu dari sekian puluh (bahkan mungkin ratusan) kasus yang terkait dengan output pendidikan kita yang faktanya masih jauh dari substansi tujuan dari pendidikan itu sendiri. Tuan mungkin sudah sering mengetahui betapa seringnya berita-berita tentang unjuk rasa antarmahasiswa yang sering berujung anarkis mencuat ke permukaan, menyodok dinding-dinding kemanusiaan kita.
Beberapa waktu lalu sekelompok mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, terlibat bentrok. Mereka saling lempar batu dengan lontaran penuh dendam. Mereka juga membawa senjata tajam (sajam). Sebuah perilaku tak elok. Bahkan, tak jarang mereka menawur masyarakat umum yang ironisnya tak tahu menahu masalah yang mereka persoalkan. Mereka tidak ubahnya barbarian, yang senantiasa menyelesaikan masalah dengan kekerasan, bukan dialog dari hati ke hati.
Karena itu, tak salah Tuan, banyak kalangan menilai bangsa Indonesia seperti berada dalam keadaan sakit. Ini karena banyaknya kejadian yang bersifat negatif, seperti kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, narkoba, dan lain lain. Rasa sosial yang telah kita kenal sangat baik selama ini, sepertinya berubah menjadi rasa asosial (kejahatan).
Jika sudah timbul tata nilai moralitas yang mengganggap bahwa melanggar peraturan merupakan suatu hal yang patut dibanggakan, maka kualitas maupun kuantitas suatu kejahatan segera meningkat. Yang memprihatinkan, anggapan keliru tersebut mulai menghinggapi tunas-tunas muda kita.
Tuan mungkin sering melihat bagaimana anak-anak didik kita terlibat aksi kekerasan seksual, narkoba, dan tindakan-tindakan kriminal lainnya yang mengatasnamakan egoisme jiwa muda. Mengapa generasi muda kita menjadi begini? Apa yang salah dalam sistem pendidikan kita, Tuan?

Redesain Pendidikan Pekerti
Tuan, terkadang kami berpikir, mungkinkah ini merupakan dampak dari output sistem pendidikan kita yang hanya mengandalkan kompetensi di bidang kognitif. Selama ini kita melihat bahwa pemerintah, instansi pendidikan, maupun guru-guru di sekolah hanya menekankan kemampuan intelektual siswa/mahasiswa dalam penguasaan mata pelajaran. Karena itu, diberlakukanlah standar ujian nasional (UN) yang passing grade-nya setiap tahun selalu naik.
Disadari atau tidak, sistem pendidikan kita menjadikan anak didik stres, terbebani, dan miskin kreativitas. Anak-anak didik kita merasa terdikte. Dipaksa. Betapa tidak. Beberapa bulan lamanya mereka dipaksa mengikuti program pelajaran tambahan, bimbingan belajar atau les. Namun, hasil yang didapat kurang menggembirakan.
Mereka menemukan fakta bahwa tingkat keberhasilan dari beberapa try out yang diikutinya relatif kecil persentasenya. Siswa yang berhasil memenuhi passing grade 5,25, standar UN untuk tahun 2009 ini, ada yang kurang dari sepuluh persen. Sebuah hasil yang sangat jauh dari harapan, Tuan.
Kami tidak menyalahkan penerapan standar UN dalam sistem pembelajaran di tingkat SLTP dan SLTA selama ini. Kami hanya berpikir bahwa seandainya standar UN itu tidak menjadi satu-satunya indikator kelulusan siswa, mungkin anak didik kita tidak akan menjadi se-mekanik ini. Kalau kita sadari, mereka sekarang tak ubahnya seperti robot yang hanya melakukan tindakan sesuai dengan yang diprogramkan, dalam konteks ini adalah standar UN. Anak-anak didik kita tidak diisi dengan ”program” yang lebih memunculkan perasaan-perasaan manusiawi, menghargai perbedaan pendapat, dan menghormati hak-hak orang lain.
Tuan, kami menyadari bahwa saat ini, Indonesia belum mampu bersaing dengan negara-negara lain, sekalipun indeks pembangunan manusia (Human Development Index) Indonesia naik satu peringkat. Yakni, peringkat 107 (tahun 2007-2008) dibandingkan tahun 2006 -2007 yang berada di peringkat 108 dari 177 negara di dunia. Namun, Indonesia masih tetap berada pada level bawah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Indeks pembangunan manusia memang ditentukan dari tiga sektor utama. Yaitu, pendidikan, pendapatan, dan kesehatan.
Namun tuan, kenapa kita tidak pernah mencoba untuk juga menekankan kompetensi perilaku atau performance dalam sistem pendidikan kita? Ada baiknya pemerintah perlu untuk mendorong agar para guru, dosen, dan pendidik di lembaga-lembaga pendidikan yang ada untuk selalu membimbing, berkomunikasi, dan menumbuhkan semangat belajar siswa dengan tidak hanya berpangku pada bidang kognitif saja. Agar sumber daya manusia (SDM) bangsa kita tak hanya cakap di bidang keilmuan, namun juga tangguh di bidang mental. Dan, pendekatan ini tidak hanya ditentukan melalui bidang koginitif.
Tuan, ada baiknya kita mencermati hasil penelitian dari Daniel Goleman, seorang psikolog dari Harvard University. Hasil temuannya mengungkapkan, bahwa tingkat intelegensi tinggi tidak menjamin gengsi, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesuksesan hidup. Ada kecerdasan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional (EQ), (Maksum, 2004).
Daniel Goleman memaparkan hasil penelitiannya dari dua mahasiswanya. Seorang mahasiswa yang berintelegensi tinggi dalam meniti karir kehidupannya harus menerima kegagalan hidup karena rendahnya kecerdasan emosional yang dimilikinya. Seorang mahasiswa lainnya tergolong berintelegensi rata-rata, namun dalam meniti karir kehidupan, dia mampu menggapai puncak karir dan berhasil dalam meniti masa depan yang baik. Hal itu disebabkan karena dia berkecerdasan emosional yang tinggi.
Kami sangat menyadari Tuan, bahwa kualitas suatu bangsa sangat dipengaruhi mutu pendidikan bangsa itu sendiri. Semakin rendah mutu pendidikan, baik di bidang cerdas fikir dan cerdas emosional, semakin rendah pula kualitas SDM (sumber daya manusia) bangsa. Jadi pendidikan tidak bisa lepas dari peningkatan SDM bangsa.
Terbukti semua negara menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Sejarah membuktikan, ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh sekutu (Amerika Serikat) pada 1945, Jepang hancur berkeping-keping. Ketika itu pemerintah Jepang tidak mencari jumlah tentara yang masih hidup, tapi yang dicari adalah ada berapa guru yang masih hidup.
Artinya apa? Untuk membangun Jepang kembali tidak lewat tentara yang kuat namun lewat pendidikan bermutu yang tetap mengadopsi mental-mental tangguh dan merdeka, bukan mental pengecut dengan tetap menghargai khazanah budaya lokal. Upaya pemerintah Jepang berhasil membawa kembali negara Jepang bangkit dan melesat bagai meteor serta mampu menjadi negara yang disegani dalam segala bidang, terutama iptek dan industri.
Padahal, pada 1945 kondisi Jepang dan Indonesia sama, yakni sama-sama hancur, sama-sama mulai dari nol. Namun kenyataannnya, bisa diibaratkan Jepang sudah bisa rekreasi ke bulan, bangsa Indonesia baru bisa rekreasi ke kebun binatang, Tuan.
Contoh lainnya, Tuan. Pada 1950 pendapatan perkapita Indonesia dengan Korea Selatan sama. Namun, dalam kurun waktu 10 tahun Korsel mampu meninggalkan Indonesia sangat jauh. Kenapa? Karena Korea Selatan serius menangani pendidikan. Dari dua contoh di atas pendidikan masih perlu diperhatikan secara serius. Perlu terus dikembangkan pendidikan sebagai organisasi yang terus belajar (learning organization) agar sedikit demi sedikit bangsa Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain.
Tuan, kami lantas teringat sistem penerapan pendidikan orang tua-orang tua kita dulu. Mereka begitu santun, beradab, dan menghormati orang-orang yang berjasa terhadap perkembangan keilmuannya. Ternyata, hal itu terjadi karena orang tua-orang tua kita diajari cara bagaimana belajar berbudi pekerti. Ternyata, dampak dari pelajaran ini adalah para siswa mampu menumbuhkan nilai-nilai penghormatan, santun, dan berbudi pekerti, namun tetap berintelegensia tinggi. Pembelajaran ini yang sekarang tidak ada di generasi kita. Karena itu, Indonesia perlu me-redesain konsep pendidikan yang tidak hanya berbasis kesehatan fisik, fikiran, tetapi juga kesehatan mental.
Rumusan WHO (World Health Organization/Badan Kesehatan Dunia) tentang kesehatan mental adalah orang yang mempunyai sifat antara lain: berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong, merasa lebih puas memberi dari pada menerima, memperoleh kepuasan dari perjuangannya, menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran di hari depan, mengarahkan sikap permusuhan menjadi perbuatan yang kreatif dan membangun, orang yang jiwanya sehat, mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Tuan, pembudayaan budi pekerti bisa dilakukan dengan melibatkan warga sekolah, terlebih khusus kepala sekolah, kalangan guru dan insan sekolah lainnya. Unsur ini harus mampu menciptakan suasana yang mendukung kehidupan berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Guru mengarahkan murid berbudi pekerti luhur, bersopan santun, melalui keteladanan. Pegawai tata usaha sekolah dapat membantu secara administratif, pembinaan murid untuk berdisiplin, jujur dan taat peraturan sekolah.
Selain itu Tuan, orang tua siswa melalui Komite Sekolah turut membantu pembinaan murid berbudi luhur. Begitu juga organisasi kesiswaan, dapat membina warganya sesuai dengan tujuan pendidikan budi pekerti. Keteladanan, merupakan kunci dalam pembudayaan budi pekerti. Secara berjenjang kepala sekolah memberi teladan kepada guru, guru kepada murid, kakak kelas kepada adik kelas.
Namun, pembudayaan budi pekerti di sekolah ini harus ditunjang dengan pembumian di lingkungan, minimal keluarga. Selain menekankan unsur ketakwaan, keluarga harus didorong untuk menanamkan kejujuran kepada anak-anaknya. Penanaman perilaku tidak berbohong, tidak curang, rela berkorban demi kebenaran, berani mengakui kesalahan, harus ditumbuh kembangkan sehingga menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, Tuan.
Penanaman suasana demokratis, seperti menghargai hak-hak orang lain dalam menyampaikan pendapat, saran, berkreasi, dan lain lain, harus senantiasa didorong juga oleh keluarga. Jika dibiasakan dan menjadi budaya yang mengikat, dengan sendirinya siswa akan membiasakannya tidak hanya di lingkup sekolah, melainkan juga di masyarakat. Pada akhirnya, pembiasaan berbudi pekerti ini kelak akan jadi benteng tangguh terhadap inflitrasi dekadensi moral yang berpengaruh terhadap mentalitasnya di masa depan, Tuan.

Pembumian Bahasa Daerah
Selain membudayakan pendidikan budi pekerti, hal yang tak kalah pentingnya lagi adalah membumikan kembali bahasa daerah (bahasa Ibu). Tuan, kita patut prihatin dengan rilis dari Unesco (badan PBB dunia untuk pendidikan, sains, dan kebudayaan) bahwa laju kepunahan bahasa Jawa dilaporkan 4,1 persen. Angka kematian tersebut nyaris dua kali lipat bahasa Bali 2,1 persen. Bahkan, pada akhir abad XXI, bahasa-bahasa daerah di dunia diprediksi hanya bakal tersisa 10 persen. (Kompas, 21 Februari 2009).
Sinyalemen Unesco tersebut harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, Tuan. Sebab, bahasa daerah adalah jembatan komunikasi peradaban dan budaya masa lalu dengan sekarang. Bahasa daerah akan menjadi referensi yang akan menuntun kita untuk menemukan entitas entitas peradaban masa lalu, untuk dikembangkan menjadi strategi sosial di masa kini. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana bakal ikut punahnya peradaban kita menyusul kian tersingkirnya bahasa Ibu, karena lembaga sekolah merasa lebih bergengsi dengan menempatkan bahasa asing, sebagai bahasa yang wajib dipelajari.
Tuan, kami memang tidak ingin masa depan bangsa ini terus tertinggal dengan bangsa lain sehingga mengapa mempelajari sains dan bahasa asing penting juga dilakukan sebagai pengantar dan jembatan untuk meraih kepentingan global.
Akan tetapi Tuan, bangsa yang bijak adalah bangsa yang menggapai masa depan dengan tetap menapakkan kakinya di bumi. Artinya, kita boleh saja berpendidikan modern dan tinggi, tetapi warisan leluhur kita yang sedemikian hebatnya tidak boleh dicampakkan begitu saja. Jangan kita membiarkan masa depan generasi kita menjadi bangsa yang tercerabut dari akarnya.
Bukankah sudah tampak tanda-tanda bahwa bangsa kita mulai kehilangan jati diri bahasa ibu dengan tiadanya kesopansantunan anak didik? Kita harus instropeksi penanda ini, Tuan. Dulu, saat kami masih kecil, kami diajari bahasa Jawa yang penuh dengan nilai-nilai adiluhung. Ada stratifikasi bahasa yang digunakan antara kepada orang yang lebih tua, sebaya, dan lebih muda.
Harus diakui, dalam hal-hal tertentu, terkadang stratifikasi bahasa itu menimbulkan jarak. Namun, disadari atau tidak, pembiasaan untuk menggunakan stratifikasi bahasa itu membuat kita terlatih untuk memperlakukan orang-orang di sekitar kita. Sehingga pada akhirnya pembiasaan ini membuat kita memiliki perilaku yang santun dengan siapapun, tidak peduli kepada yang lebih muda, sebaya, maupun lebih tua.
Tuan, ruh itulah yang kini telah hilang. Tidak adanya semangat bersama pada pejabat pemegang pemerintahan di negeri ini mengakibatkan bahasa daerah yang sangat kaya makna itu nyaris punah. Kita masih punya waktu untuk menyelamatkan asset leluhur sekaligus benteng untuk generasi muda kita, Tuan.
Marilah, asset itu kita mulai pelihara dengan mendorong pejabat kekuasaan, baik di level provinsi, kabupaten/kota untuk mem-proteck kelestarian bahasa ibu itu melalui regulasi-regulasi dalam bentuk peraturan daerah (perda). Adanya UU Otonomi Daerah seharusnya menjadi spirit untuk melahirkan kebijakan perlindungan terhadap asset leluhur tersebut.
Selain itu, Tuan, pejabat pemerintahan daerah, baik pemprov, pemkab, maupun pemkot, harus mulai membumikan kembali pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah, sejak dini (playgroup) hingga memasuki usia remaja. Selama ini, fakta yang terjadi bahasa daerah untuk SD di tingkat awal sudah dihilangkan. Euforia globalisasi boleh saja. Namun, mengesampingkan bahasa daerah secara dini hanya gara-gara terlalu memberi porsi yang lebih besar kepada bahasa asing, adalah sebuah perjudian besar peradaban masa lalu dan benteng masa mendatang, Tuan.
Sekilas, memang terkesan klise, Tuan. Namun, jika kita gunakan mata hati, kita akan mengetahui bahwa kecerdasan berfikir tanpa dibarengi dengan kesehatan mental dan emosional serta penghormatan (pelestarian) terhadap khazanah budaya lokal (local wisdom) dari para leluhur yang telah memberikan sumbangsih peradaban ini, hanya akan melahirkan pejabat korup dan generasi-generasi despotik yang justru bakal menyengsarakan rakyat di kemudian hari.
Sudah saatnya tuan, kita memperbaiki pendidikan bangsa kita, tidak hanya pada otaknya, melainkankan juga mental dan tindakannya. Tidakkah ini yang seharusnya kita lakukan agar bangsa ini maju dan bermartabat, Tuan? (*)

Bawah Titian, 21 Februari 2009

Mencari Uswah Politik di NU

Puncak tahun politik segera memasuki babak akhir. Tiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) mulai mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Masing-masing, pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win), Megawati-Prabowo (Mega-Pro), dan Soesilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY Berboedi). Ketiganya bakal bertarung dalam Pilpres 8 Juli mendatang.
Membicarakan pesta demokrasi dan perhelatan politik, rasanya kurang sedap kalau tidak membincangkan turut andilnya Nahdlatul Ulama (NU). Ini bisa dimaklumi karena suara nahdliyin sangat signifikan (diperkirakan berjumlah 50 juta) dalam turut menyukseskan langkah calon untuk menduduki kursi kemenangan. Peluang itu tampaknya mulai dibaca capres dan celakanya kans itu mulai ”dimainkan” oleh elite-elite NU.
Simak saja, beberapa waktu lalu Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi mulai kedatangan JK. Meski berkali-kali menyatakan bahwa kedatangannya untuk silaturahmi, orang awam sudah bisa menangkap maksud kedatangan JK ke pucuk pimpinan NU: mengail simpati dan dukungan suaranya dalam pilpres. JK sah-sah saja merapat ke NU, apalagi saudagar Makassar yang juga Wapres itu merasa mempunyai hubungan kultural dan emosional dengan NU. Konon keluarganya adalah salah satu pendiri NU di Sulawesi Selatan.
Kecenderungan untuk ”main-main” juga dilakukan badan otonom (banom) NU yang lain. Sebut saja Muslimat NU. Belum lama ini terdengar kabar organisasi ibu-ibunya NU itu hendak melangsungkan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) di Makassar. Rapimnas disebut-sebut sebagai bagian dari upaya Muslimat merapat ke JK. Yang jadi persoalan adalah apakah manuver-manuver politik para elite NU tersebut memberikan teladan atau uswah yang baik bagi nahdliyin?

Belajar dari Pengalaman
Sebenarnya kalau mau jujur, manuver politik yang dilakukan para elite NU itu semakin menambah uswah (teladan) politik yang kurang baik bagi konstituen nahdliyin. Sudah terlalu sering teladan kurang baik dipertontonkan secara terbuka oleh elite-elite NU, baik yang berkaitan langsung dengan politik (baca: kekuasaan) maupun organisasi.
Mari kita buka file-nya. Saifullah Yusuf (Gus Ipul) melakukan uswah kurang baik kepada nahdliyin saat menjabat Sekjen DPP PKB pada 2005 silam. Padahal di saat bersamaan Gus Ipul menjabat sebagai Ketua Umum PP GP Ansor. Perangkapan jabatan ini jelas tak mengindahkan Anggaran Rumah Tangga (ART) NU Bab XV tentang Rangkap Jabatan, khususnya pasal 45 ayat 2 yang menyebut, ”jabatan pengurus harian NU, lembaga lajnah dan banom pada semua tingkat kepengurusan tidak dapat dirangkap dengan jabatan pengurus harian partai politik dan atau organisasi yang berafiliasi kepadanya.”
Semua orang tahu bahwa PKB adalah media transformasi hak politik yang dianggap resmi oleh nahdliyin. Namun, apapun dalihnya, organisasi kemasyarakatan tetap beda gerakan dan orientasinya dengan organisasi sosial politik, meski secara kultural ada kesamaan.
Uswah yang kurang baik juga dilakukan oleh Hasyim Muzadi saat mencalonkan diri sebagai capres pada Pilpres 2004. Ketika itu Hasyim hanya non aktif sementara dari posisinya sebagai ketua umum. Hal serupa dilakukan oleh Ketua Umum PP Muslimat Khofifah Indar Parawansa dan Gus Ipul saat maju sebagai calon gubernur Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Secara organisatoris, sikap tersebut tidak disalahkan, karena dalam ART NU Bab XV pasal 45 ayat 3 memang hanya mengsyaratkan non aktif bagi pengurus harian yang mencalonkan diri atau dicalonkan untuk mendapatkan jabatan politik. Akan tetapi, secara etika sebenarnya hal itu kurang pantas dan tidak memberikan teladan yang baik terhadap umat NU. Sebab, untuk memisahkan antara kepentingan pribadi seorang Hasyim Muzadi, Khofifah maupun Gus Ipul dengan kepentingan organisasi sangat sulit.
Di mata nahdliyin, posisi ketua umum organisasi melekat dengan pribadi. Ini yang harus dan idealnya lebih dikedepankan. Apalagi, posisinya adalah sebagai pimpinan organisasi yang berbasis sosial, dimana moralitas dan etika menjadi kesepakatan tidak tertulis yang harus ditegakkan. Karena itu, sangat bisa dimaklumi kalau Pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang yang juga adik kandung Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sholahudin Wahid (Gus Sholah) meminta Hasyim sangat berhati-hati menyikapi imbas politik dari Pilpres 2009 terhadap nahdliyin. (Jawa Pos, 17 Mei 2009).

Haruskah Menjauhi Politik?
Dari berbagai persoalan di atas, penulis berkeyakinan sebenarnya NU sedang mengalami krisis uswah (keteladanan). Untuk mengembalikan uswah yang sebelumnya menjadi ikon di NU, tidak perlu menjauh dari politik. Sebab, mengacu studi Greg Fealy (2003), satu dari tiga tujuan politik NU adalah mengupayakan kedudukan bagi anggota-anggota NU dalam birokrasi. Birokrasi dipandang sebagai salah satu jalan menuju mobilitas dan status sosial. Masuknya muslim tradisional dalam birokrasi dipandang dapat meningkatkan kedudukan NU di masyarakat Indonesia, sekaligus memperkuat suara umat di kalangan pemerintah.
Akan tetapi, dalam mengupayakannya tidak harus dilakukan dengan cara-cara vulgar dan menabrak dinding-dinding moralitas dan etika. Ada banyak strategi yang masih dapat dilakukan, karena penulis yakin para kandidat tetap akan merapat ke NU, karena mereka membutuhkan dukungan suara untuk kepentingan pilpres. Elite NU sudah harus mulai mengubah dan menghilangkan teladan yang kurang elok. Karena itu, pertama, sudah saatnya petinggi-petinggi NU menyadari dinamisasi yang berkembang pesat di internal nahdliyin. Disini eloknya ”permainan” elite NU dibutuhkan, dengan mengedepankan etika dan uswah politik yang baik. Itu yang pertama.
Yang kedua, ada baiknya NU merumuskan secara tersurat regulasi yang mengatur etika dan hubungan dengan partai politik. Sejauh ini, belum ada aturan yang menjelaskan tentang hal tersebut. Ini untuk menghindari bias pemahaman yang sering terjadi di tubuh NU, sehingga berujung pada konflik yang pada akhirnya merugikan NU, baik secara jamaah (basis massa NU) maupun jami`yyah (organisasi). Dan, forum serta momen yang tepat untuk merumuskannya adalah Muktamar NU 2009. Hal ini dengan asumsi apabila Muktamar NU 2009 tidak molor, karena Hasyim Muzadi, ketua umum PB NU saat ini, terpilih dalam Muktamar 2004 di Donohudan, Solo, Jawa Tengah.
Ketiga, melakukan penguatan kembali basis ekonomi dan sosial. Pilihan ini harus fokus digarap NU dan badan otonomnya. Krisis global yang melanda dunia termasuk Indonesia harus turut dicarikan jalan keluarnya. NU, sebagai organisasi masyarakat sipil harus ikut andil memecahkan persoalan tersebut. Hal ini sekaligus pembuktian bahwa agama tidak hanya masuk di ruang-ruang transendental dengan ketuhanan, melainkan juga menjawab problem realitas dalam dimensi antrophosocial. Sekaligus juga untuk pembuktian bahwa ormas tidak hanya cakap bermain-main teks agama, tetapi juga lihai mengejawantahkan kontekstualisasi teks agama sebagai fiqh sosial yang membebaskan kaum teraniaya. (*)

Bawah Titian, 18 Mei 2009

Mengawal Peradaban dengan NU

ADA tiga problem besar, selain sejumlah masalah lain, yang mengiringi hari lahir (Harlah) Ke-83 Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun ini, 2009. Ketiga persoalan itu tampaknya akan begitu dominan dan menjadi perbincangan serius di kalangan NU dalam beberapa tahun ke depan. Ketiga problem tersebut adalah ekonomi, ideologi, dan politik.
Persoalan ekonomi akan terus menjadi problem serius dari masa ke masa yang dihadapi oleh NU, karena mengutip pendapat cendikiawan muslim Indonesia (alm) Nurcholis Madjid, kalangan nahdliyin belum mentas secara ekonomi. Modal basis massa dari kalangan tradisional yang secara kultur dalam hal-hal tertentu masih menutup diri dengan teknologi, akan menjadi kendala tersendiri bagi perbaikan kehidupan secara ekonomi.
Dalam perkembangan kekinian, problem ekonomi yang dihadapi NU kian kompleks. Dampak krisis global yang menyebar ke Indonesia sejak Oktober 2008 mulai berdampak ke sektor riil. Akibatnya, perusahaan melakukan rasionalisasi produksi dengan PHK (pemutusan hubungan kerja). Secara nasional, PHK diperkirakan terjadi pada 500 ribu tenaga kerja.
Khusus Jawa Timur, hingga kini diestimasikan bahwa angka PHK sudah mencapai 10.000-30.000 tenaga kerja. PHK, yang akhir-akhir ini dilakukan banyak perusahaan, jika diteliti lebih jauh kebanyakan yang menjadi korbannya adalah kaum nahdliyyin, meski mereka adalah NU ”kultural”. Kita tidak bisa memejamkan mata atas semua fakta yang terpampang di depan mata tersebut. Sebab, NU tidak hanya bertanggung jawab menjaga ideologi, tetapi harus mampu menjadi katalisator di bidang ekonomi terhadap problem yang dihadapi umatnya.
Dari ideologi, tantangan menonjol yang harus dijawab oleh NU adalah kian maraknya gerakan transnasional, baik dalam skala nasional maupun internasional. Bentuk kekuatan ini adalah ideologisasi agama dari Timur Tengah yang ditengarai diusung organisasi plat agama yang bercita-cita mendirikan Negara Islam. Bentuk konkretnya antara lain Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan Majelis Mujahidin.
Perkembangan gerakan ideologi ini dari ke hari kian membesar dan patut diwaspadai. Dalam banyak kasus pengaruh gerakan transnasional di Indonesia sudah mulai masuk pada ranah-ranah yang dulu merupakan basis kultural dari NU. Dalam sebuah acara diskusi kecil beberapa waktu lalu penulis sempat terkaget dengan pengakuan seorang teman yang mengaku resah dengan kian mengguritanya gerakan ini. Seorang aktivis muda NU mendadak berubah haluan menjadi pengikut transnasional karena tidak menemukan peran NU sebagai perubahan sosial. Sebuah problem yang wajib dipikir dan diperhatikan oleh NU.
Di sisi politik, jamak dimafhumi bahwa Tahun 2009 adalah Tahun Politik. Pada tahun inilah NU benar-benar akan menghadapi tantangan yang tidak enteng. Konsistensi NU dalam mengawal demokrasi dengan berdiri di tengah-tengah organisasi sosial politik dipertaruhkan. Mampukah NU menjawab tantangan-tantangan tersebut?

Sikap Kita
Seharusnya NU mampu dan dapat menangkal sekaligus mengatasi tantangan yang ada di depan mata tersebut. NU punya modal yang besar untuk mengatasinya, terlepas banyaknya sisi kelemahan pada NU seperti lemahnya rekrutmen pengkaderan dan belum jelasnya rumusan visi sosialnya.
Social capital yang utama NU adalah memiliki jamaah yang tersebar di seluruh tanah air, bahkan di luar negeri, sebagian besar di pedesaan dan perkotaan. Sumber daya ini kalau mampu di-manage dengan baik, tentu akan membuahkan modal ekonomi yang sangat tangguh dan fundamental.
NU juga memiliki prinsip-prinsip fundamental yang terbukti mampu sustainable menjawab tantangan zaman, baik dari sisi ideologi maupun politik. Sepanjang prinsip ini dikembangan dengan sungguh-sungguh menjadi landasan dalam mengambil semua keputusan, bukan tidak mungkin tantangan dari sisi ideologis dan politik akan mampu terjawab. Greg Fealy, peneliti NU dan pengajar di Universitas Monash, Australia, dalam bukunya berjudul Ijtihad Politik Ulama (2003), dengan bagus mendiskripsikan prinsip dasar NU itu menjadi tiga kategori utama yang antara satu dengan lainnya berkaitan. Yakni, kebijaksanaan, keluwesan, dan moderatisme.
Prinsip kebijaksanaan dalam hal ini digunakan dalam pengertian yang netral. Yakni, pengambilan tindakan yang kondusif bagi upaya-upaya memperoleh manfaat atau menghindari kerugian. Ada tiga kaidah yang digunakan NU untuk menghindari risiko akibat buruk. Yakni, dar’al mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih (menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan), akhaffud-dararain (bila dihadapkan pada pada dua bahaya atau lebih, pilih salah satu yang risikonya paling kecil), dan bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (lain).
Sedangkan prinsip luwes mengandung arti keluwesan dalam pengambilan keputusan sebagai bagian dari penerapan kaidah fiqih menimalkan risiko yang akan dihadapi oleh umat. Sikap luwes, khususnya dalam ranah politik, juga mengandung maksud darurat memperbolehkan hal yang semula dilarang dan apa yang tidak tercapai 100 persen jangan ditinggalkan (dibuang) hasil yang cuma sebagian (kurang dari 100 persen).
Sementara moderatisme (tawasuth) dapat diartikan sebagai suatu keinginan untuk menghindarkan tindakan yang ekstrem dan bersikap hati-hati dalam bertindak dan menyatakan pendapat. Moderatisme adalah, karena menurut KH Achmad Siddiq, mantan Rais Am PBNU, merupakan sintesa antara dua sikap yang ekstrim.
Karena itu, dengan bermodalkan prinsip-prinsip azasi tersebut, ke depan NU harus melakukan beberapa hal untuk menjawab tantangan sosial kontemporer. Pertama, penataan organisasi (institusional building). Jika tidak ada perbaikan organisasi yang membuat struktur NU lebih berfungsi secara efektif dan efisien, program sebaik apapun akan sulit terlaksana. Hal ini penting agar NU dengan segala perangkatnya dapat berfungsi dan bersinergi mewujudkan visi jam`iyyah.
Kedua, peningkatan ekonomi umat merupakan langkah strategis bagi penciptaan tatanan masyarakat yang berkeadilan dalam bidang ekonomi, khususnya menyangkut pendistribusian yang sampai saat ini masih timpang. Sudah waktunya bagi NU untuk mengembangkan organisasi berbasis entrepeneurship, holding company dalam hal manajemennya, bukan berbasis tradisional.
Ketiga, penguasaan teknologi informasi. Perkembangan ini tidak hanya penting diansitipasi sejak dini, tetapi juga harus dilakukan massalisasi penguasaan pengetahuan dan keahlian dalam bidang teknologi informasi, karena kalau tidak, NU akan semakin tertinggal jauh.
Keempat, membangun jaringan kerja nasional dan internasioal. Ini harus dilakukan, jika tepat sasarannya akan memperkuat dukungan dan mempercepat pencapaian visi dan misi NU. Jadi, perlu dirancang berbagai program dan kegiatan-kegiatan yang nyata dan dapat dirasakan oleh masyarakat di lingkungan NU.
Kelima, fokus pada peningkatan pelayanan sosial, kesehatan, dan penguasaan skill tenaga kerja dengan menggandeng lembaga-lembaga kekaryaan. Juga, peningkatan kualitas pendidikan masyarakat di lingkungan NU agar menghasilkan peserta didik yang bermutu dan untuk selanjutnya menyumbang pada kualitas umat (NU).
Keenam, NU perlu mendiskusikan ulang tema-tema ideologi yang selama ini telah ada untuk dikontekstualisasikan untuk menjawab perkembangan dan tantangan yang dihadapi umatnya.
Jika peran-peran di atas mampu dimainkan dengan baik oleh NU, bukan tak mungkin NU akan menjadi organisasi yang tidak hanya mampu menjawab problem realitas, tetapi juga mampu menjadi pengawal peradaban. Wallahu A`lam. (*)

Menunggu Gubernur Negarawan

Setelah melalui babak ”perpanjangan waktu” di Kabupaten Bangkalan dan Sampang, pemilihan gubernur-wakil gubernur Jawa Timur menemukan juaranya. Pasangan Karsa (Soekarwo-Saifullah Yusuf) akhirnya keluar sebagai pemenang, mengalahkan pasangan Kaji (Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono). KPU Jawa Timur melalui suratnya bernomor 2 Tahun 2009 tertanggal 30 Januari 2009 menetapkan pasangan Karsa sebagai gubernur-wakil gubernur Jawa Timur terpilih periode 2009-2014.
Di Bangkalan, Kaji mendapatkan 144.238 suara, sedangkan Karsa 253.981 suara. Di Sampang, Kaji memperoleh 146.360 suara, sedangkan Karsa 210.052 suara. Jadi, secara
keseluruhan Kaji mendapat 7.626.757 suara (49,89 persen), sedangkan Karsa 7.660.861 suara (50,11 persen). (Kompas, 31 Januari 2009). Selisih kemenangan pasangan Karsa atas Kaji sangat tipis, hanya 0,22 persen atau 34.104 suara.
Pelantikan pasangan yang dicalonkan oleh PAN-Partai Demokrat dan didukung Partai Golkar, PKB, dan PKS ini sudah di depan mata. Departemen Dalam Negeri merestui pasangan ini akan dilantik pada 12 Februari mendatang.
Tentu kita berharap pelantikan tersebut mengakhiri drama penentuan L1 dan L2 yang panjang dan melelahkan tersebut. Sehingga ke depan, pasangan terpilih ini segera dapat menata pembangunan di Provinsi Jawa Timur, setelah hampir setahun tidak memiliki gubernur-wakil gubernur definitif.

Fase Krusial
Segera setelah pelantikan, Karsa akan membentuk ”kabinet”-nya untuk melanjutkan pembangunan di Jawa Timur. Meski beberapa waktu lalu Pj Gubernur Jawa Timur sudah melakukan mutasi jabatan di jajaran pemprov, tidak menutup kemungkinan penataan ”kabinet” masih memungkinkan dilakukan oleh pasangan ini.
Sebagai mantan Sekdaprov Jawa Timur, Soekarwo tentu sudah banyak mengenal pejabat-pejabat yang kompeten di bidangnya untuk diberi kepercayaan membantu menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Inilah ujian pertama dan krusial yang harus dilalui Karsa dengan mulus pasca pelantikan. Bersama Baperjakatprov, keduanya dituntut cermat, teliti, proporsional, dan profesional, dalam menentukan orang-orang yang masuk dalam jajaran pemerintahannya.
Sebelum menentukan pejabat yang dipandang cakap untuk diplot sebagai pembantunya kelak, ada baiknya pasangan Karsa memperhatikan sinyalemen Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo, yang dilansir sejumlah media beberapa waktu lalu.
PGRI mengsinyalir, salah satu penyebab tak kunjung majunya perkembangan pendidikan di Indonesia adalah banyaknya kepala dinas pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang tidak kapabel di bidangnya. Temuan PGRI menyebutkan, terdapat 50 persen dispendik kabupaten/kota di Indonesia dipimpin oleh pejabat yang tidak memiliki latar belakang pendidikan. Penempatan pejabat-pejabat tersebut di lingkungan dispendik acapkali didasari pertimbangan ”balas budi” politik karena dianggap turut berjasa dalam menghantarkan calon menuju kursi bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil walikota yang sekarang ini didudukinya.
Temuan PGRI tersebut menarik untuk dikaji dan dijadikan kontrol, karena bukan hanya pendidikan saja yang perlu diperhatikan, tetapi juga instansi lain. Pada wilayah inilah kenegarawanan Soekarwo dan Saifullah Yusuf diuji. Meski keberangkatan awalnya atas tiket partai pelangi, saat masuk gerbang birokrasi, keduanya dituntut untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat dengan segala kemampuan terbaiknya, penuh dedikasi, dan mono loyalitas.
Loyalitas kepada partai politik yang memberangkatkan dan mendukungnya idealnya harus berakhir pada saat pengabdian kepada masyarakat itu dimulai. Saat ditahbiskan sebagai gubernur dan wakil gubernur, detik itu pula loyalitas yang dimiliki keduanya adalah tunggal. Yakni, loyal kepada masyarakat, dengan rela melepaskan segala atribut asal usulnya.

Politik dan Kinerja Aparatur
Sikap kenegarawanan penting diambil setidaknya karena dua aspek. Pertama, dari sisi politik (baca: legitimasi). Seperti kita ketahui bersama, kemenangan pasangan Karsa terhadap Kaji sangat tipis, hanya 0,22 persen atau 34.104 suara. Boleh dibilang bahwa kemenangan Karsa tidak mutlak, legitimasinya sangat tipis. Angka 34.104 suara tersebut hanya setara dengan penduduk di satu kecamatan untuk tingkatan sedang. Logika sederhananya adalah dukungan politik yang diberikan warga Jawa Timur tak ada separo, jika dihitung juga dengan jumlah warga yang memilih golput. Untuk menutup legitimasi tersebut, perlu diimbangi dengan sikap-sikap yang bisa diterima warga Jawa Timur, meski dalam pilgub sebelumnya, baik putaran pertama maupun kedua, tidak memilih pasangan Karsa.
Kedua, aspek kinerja aparatur pemerintahan. Jamak diketahui pula bahwa dalam pilgub putaran pertama yang lalu struktur birokrasi Jawa Timur terbelah, kendati tidak kelihatan secara kasat mata. Majunya dua birokrat, Soekarwo dan mantan Wagub Soenarjo (yang berpasangan dengan Ali Maschan Moesa/Salam), sedikit banyak akan menimbulkan friksi. Karsa bisa menekan (bahkan mungkin menghapus) friksi yang muncul tersebut dengan menampilkan sosok negarawan yang sejati, bukan semu.
Bila ini yang dilakukan, tentu yang diuntungkan adalah masyarakat Jawa Timur secara keseluruhan, bukan hanya yang memilih Karsa. Pembangunan kembali Jawa Timur akan dimulai dengan semangat baru: semangat kenegarawanan. Sekarang, bola tersebut ada di tangan Pakde Karwo dan Gus Ipul. (*)
Bawah Titian, 10 Februari 2009

Efek Domino Putusan MK

”Derita” KPU Jawa Timur belum berakhir. Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2009 ditentukan melalui system suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut. Dengan putusan itu, caleg yang menempati nomor urut sepatu berpeluang sama dengan mereka yang berada di urutan paling atas. Putusan itu diketok setelah MK mengabulkan permintaan uji materiil pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Permohonan uji materiil diajukan oleh caleg PDIP Muhammad Sholeh dkk serta caleg Partai Demokrat Sutjipto.
Implikasi dari putusan lembaga penafsir tunggal undang-undang tersebut sangat serius. Sejumlah agenda yang telah disiapkan KPU Jawa Timur terkait persiapan Pemilu 2009 terancam amburadul. Sebab, sebelumnya MK juga mengabulkan sebagian dari gugatan pasangan Kaji (Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono) atas hasil pilgub yang ditetapkan KPU Jawa Timur.
MK memutuskan, coblosan di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang harus diulang. Sementara untuk Kabupaten Pamekasan hanya penghitungan suaranya saja yang harus diulang. KPU Jawa Timur sendiri telah memutuskan coblosan ulang di Sampang dan Bangkalan akan dilaksanakan 21 Januari 2009. Sedangkan penghitungan ulang di Pamekasan 28 Desember 2008.
Dua putusan MK tersebut menimbulkan efek domino terhadap pelaksanaan Pemilu 2009 di Jawa Timur. Pada Januari 2009 mendatang, seharusnya KPU Jawa Timur dan KPU kabupaten/kota se Jawa Timur harus sudah mulai mempersiapkan tahapan-tahapan Pemilu 2009. Sebab, Pemilu 2009 bakal digelar April 2009. Tetapi kini, tahapan-tahapan pemilu itu terancam tertunda, karena KPU Jawa Timur, serta KPU Kabupaten Bangkalan dan Sampang harus bekerja keras dalam 30 hari ke depan. Mereka harus lebih fokus pada coblosan ulang jika tak ingin kasus penyelewengan suara pada pilgub putaran kedua kembali terjadi.
Keruwetan ini semakin menambah benang kusut persiapan KPU Jawa Timur dalam menyiapkan pemilu, karena sebelumnya ada beberapa agenda yang belum tuntas.
Pertama, saat ini mayoritas keanggotaan KPU kabupaten/kota se Jawa Timur telah habis. Sejauh ini tahapan seleksi atau rekrutmen anggota KPU kabupaten/kota baru pada tahap seleksi wawancara dan psikotes.
Sedianya, pelaksanaan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) calon anggota KPU kabupaten/kota dilaksanakan Desember ini. Karena putusan MK mengisyaratkan drama pilgub belum final, tugas KPU Jawa Timur kembali terbengkalai. Memang, uji kelayakan dan kepatutan bisa saja dilakukan oleh KPU Jawa Timur dalam waktu dekat.
Namun, hal itu terlalu riskan karena waktunya tergesa-gesa. Ini tentu problem yang tidak bisa dianggap remeh karena bisa menjadi batu sandungan di masa mendatang.
Kedua, kalaupun terpilih anggota KPU kabupaten/kota yang baru, problem anyar masih muncul. Kesiapan anggota KPU kabupaten/kota yang baru dalam melaksanakan tahapan pemilu sangat mepet. Dengan limitasi waktu yang kurang dari tiga bulan (akhir Januari-Maret), mereka harus menyiapkan tahapan-tahapan pemilu yang begitu banyak. Mulai sosialisasi, pembentukan PPK (panitia pemilihan kecamatan), PPS (panitia pemungutan suara), regulasi kampanye, dan lainnya.
Padahal, hampir bisa dipastikan dari lima anggota KPU kabupaten/kota nanti, paling banyak hanya terdapat dua muka lama yang dipercaya lagi sebagai anggota lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Jika demikian halnya, jelas tiga anggota baru ini butuh adaptasi, sementara waktu yang tersedia tidak banyak.

Mewaspadai Golput
Jika beberapa hal di atas tidak segera diatasi dengan baik oleh KPU Jawa Timur, maka hantu golput bukan tidak mungkin muncul kembali. Bahkan, tidak menutup kemungkinan angkanya bisa lebih tinggi.
Kita sangat miris dengan angka golput pada Pilgub Jawa Timur tahap kedua 4 November 2008 yang menembus angka 45,68 persen. Dari 29.280.470 juta jumlah pemilih di Jawa Timur, yang menggunakan hak pilihnya 15.399.665 juta jiwa, alias angka partisipasi hanya 54,32 persen. Angka golput pada putaran kedua ini meningkat cukup signifikan. Pada pilgub putaran pertama 23 Juli 2008, dari jumlah pemilih 29.061.718 orang, yang menggunakan hak suaranya 61,63 persen. Sementara 38,37 persen lainnya memilih golput. (Kompas, 12/11/2008).
Potensi golput masih tinggi karena pada Pemilu 2009 ada perubahan sistem sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pemilu. Yakni, dari mencoblos, menjadi mencontreng. Banyaknya jumlah parpol peserta pemilu (38 partai) dan jumbonya ukuran surat suara (54x84 cm) juga semakin menambah daftar panjang kepelikan pemilu.
Bisa jadi, karena sistemnya yang ”ruwet” dan seringnya pemilihan, baik pilkada maupun pilkades, masyarakat menjadi enggan, bosan, kurang paham, dan kurang peduli dengan pemilu. Simulasi yang digelar KPU di Jakarta adalah salah satu contohnya. Sejumlah pemilih mengaku belum mengetahui bahwa tanggal pemungutan suara pemilu adalah 9 April 2009. Ironinya, pengakuan itu terlontar dari bibir seorang mahasiswi yang secara kapasitas dan wawasan seharusnya lebih tahu.
Pengetahuan ibu-ibu jauh lebih ”parah”. Sebagian dari mereka mengaku tidak tahu sama sekali tentang penyelenggaraan pemilu. Lucunya, mereka justru menganggap simulasi itu sudah pemilu sesungguhnya. Padahal simulasi itu dilakukan di kawasan perkotaan yang lebih dekat dengan informasi. Kita bisa membayangkan, bagaimana jika di pedesaan?

Yang Harus Dilakukan
Ancaman tingginya angka golput dalam Pemilu 2009 jangan lantas membuat masyarakat dan penyelenggara pemilu patah arang. Apalagi, pemerintah, berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN 2008, telah menyiapkan dana untuk penyelenggaraan Pemilu 2009 sebesar Rp 6,67 triliun, dan untuk keperluan operasional KPU senilai Rp 793,9 miliar: sebuah angka yang sangat fantastis!
Untuk menekan angka golput, menurut penulis, ada beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan. Pertama, tahapan sosialisasi, pendidikan pemilih (civic education), dan simulasi pemilu harus gencar dilakukan yang diukur dengan indikator-indikator capaian. Domain sosialisasi pemilu memang di tangan KPU. Namun, dengan pendeknya limit waktu, plus bejibunnya keruwetan yang masih melanda pilgub mau tidak mau KPU harus membuka diri. KPU harus membuang jauh-jauh ego sentrisme dan mau bekerja sama dengan parpol, ormas, hingga organisasi masyarakat sipil untuk gencar melakukan simulasi dan sosialisasi. Sebab, bisa jadi keengganan masyarakat untuk datang memilih disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap hak-hak dan sistem pemilu.
Kedua, metode sosialiasi yang selama ini hanya monologis dan sesekali dialogis, harus didesain ulang dengan cara yang lebih efektif serta disukai masyarakat. Bila dipandang perlu, sosialisasi disesuikan dengan kearifan budaya lokal (local wisdom) yang ada. Misalnya, melalui seni tayub, wayang, dan lainnya. Dalam banyak hal, cara-cara kultural lebih efektif daripada pendekatan struktural yang kaku dan formalistis. Pendekatan yang menyentuh kepekaan masyarakat tentang arti penting pemilu bagi kehidupan dan masa depan demokrasi, harus menjadi ruh dari sosialisasi ini.
Ketiga, sudah waktunya bagi para pembuat dan pengambil kebijakan di Indonesia, mulai memikirkan konsep pemilihan yang serentak (digabungkan), mulai dari pilpres, pilgub, hingga pilbup/pilwali. Selain biayanya relatif lebih sedikit, model pemilihan serentak akan lebih mampu mengurangi kejenuhan masyarakat untuk memilih. Sehingga, tingkat
partisipasi masyarakat menjadi lebih tinggi.
Keempat, parpol dan caleg harus benar-benar mengedepankan politik sebagai tanggung jawab mengejawantahkan mandat sosial, bukan sekadar untuk memburu kekuasaan. Jika frame ini tidak diubah, masyarakat semakin enggan datang ke TPS, parpol kian tak laku: deklarasi sekaligus sebagai pembubaran parpol, dan masa depan demokrasi kian gelap. Kita tentu tidak ingin yang demikian kan? (*)
Bawah Titian, 25 Desember 2008