Wednesday, June 9, 2010

Elegi Setandan Pisang Susu

Akhir-akhir ini drama penegakan hukum yang tumpah tindih, hingga menyentuh dinding-dinding hati nurani, terus menyeruak ke permukaan negeri ini. Tidak hanya di pusat, di daerah pun drama ironi penegakan hukum acap terlihat dengan kasat mata. Masih segar dalam ingatan kasus yang menimpa pasangan suami istri asal Desa Sukorejo, Kecamatan Kota Bojonegoro, Supriyono, 19, dan Sulastri, 19, yang diancam hukuman tujuh tahun penjara oleh jaksa penuntut umum.
Dukungan moral dari berbagai kalangan, mulai mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat hingga organisasi profesi penasihat hukum, bermunculan. Mereka rela berada di belakang
Supriyono-Sulastri (selanjutnya disebut Susu, penggalan dari suku kata pertama nama dari kedua terdakwa) untuk melawan hilangnya nurani di depan ranah hukum formal.
Mereka tergerak karena kasus yang melilit Susu teramat sepele: Susu ketahuan mencuri setandan pisang susu yang hanya senilai Rp 5 ribu di kebun pisang di Jalan Monginsidi, Bojonegoro. Tragisnya, pisang itu bukan untuk dijual melainkan untuk dimakan. Keduanya memang berasal dari keluarga miskin. Susu didakwa JPU melanggar pasal 363 KUHP (1) ke-4 tentang pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
***
Saya memang bukan ahli hukum, ataupun orang yang berkutat di dunia hukum, meskipun pernah mengenyam sedikit pendidikan tentang ilmu hukum. Namun, melihat fakta di atas, siapapun akan sepakat perkara yang menimpa Susu sangat mencederai rasa keadilan publik dan menyuguhkan pemandangan ironis. Bayangkan, di tengah begitu bebasnya para tersangka dan terdakwa kasus korupsi menikmati dunia luar, Susu mendekam di tahanan Lapas (lembaga pemasyarakatan) selama 2,5 bulan dari kasus yang akarnya kemiskinan.
Benarlah kata sebagian orang bahwa orang miskin tidak akan pernah menerima ”keadilan”, baik secara struktural maupun kultural. Secara kultural, cap Susu sebagai narapidana kasus pencurian akan selalu melekat setiap saat, dan hal itu membuat masyarakat sedikit abai atas apa yang dilakukannya kelak. Secara struktural, termasuk di depan para institusi penegakan hukum, Susu sulit mendapatkan perlakuan keadilan hukum karena ke-papa-annya. Yang Susu miliki hanya nurani, yang mendamba keadilan hukum secara legal substansial, bukan semata-mata legal formal.
Penggunaan kaca mata kuda (legal formal) dalam penegakan hukum inilah yang jauh-jauh hari dikritik habis oleh almarhum Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH, guru besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, yang perlu dipertimbangkan aparat penegak hukum di dalam menangani perkara. Beliau berpandangan, dalam dunia hukum, cara berhukum dapat dilakukan menurut bunyi teks undang-undang dan prosedur (black-letter law). Cara ini memang masih amat dominan dalam hukum di Indonesia kini. Ini adalah cara menjalankan hukum yang paling mudah dan amat sederhana.
Namun, amat sedikit jumlah mereka yang mau menerima tantangan dengan jadi vigilante (pejuang) dalam penegakan hukum. Padahal, hukum bukanlah sesuatu yang statis, steril, tetapi institusi yang secara dinamis bekerja untuk memberi keadilan kepada bangsanya. Idealnya perlu ada sebuah interaksi dinamis antara hukum dan keadaan sosial di sekitar hukum itu sendiri.
Atau, ada baiknya pula pendapat Achmad Ali, guru besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, perlu direnungkan aparat penegak hukum (syukur-syukur ikhlas dijalankan). Bahwa, seyogianya undang-undang yang selama ini dijadikan ”kitab suci” penegakan hukum di negeri ini seperti KUHP dan lainnya, direvisi. Dimungkinkan juga mediasi untuk perkara-perkara pidana ringan, seperti mencuri setandan pisang senilai Rp 15 ribu, didamaikan dan dituntaskan di kepolisian saja, tak perlu diteruskan ke pengadilan yang akhir muaranya adalah Lapas (lembaga pemasyarakatan) yang penuh sesak, yang akhirnya rawan praktik mafia jual beli ruang tahanan sebagaimana yang terjadi pada kasus Artalyta Suryani alias Ayin. Ayin, adalah terpidana penyuapan jaksa Tri Urip Gunawan, yang menjadi narapidana Rutan Pondok Bambu, Jakarta. Dengan demikian, hukum bisa menjadi jawaban rasa keadilan publik, termasuk bila menghadapi Susu-Susu yang lain di masa mendatang. (*)
Bawah Titian, 20 Januari 2010

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro Edisi 21 Januari 2010, halaman 34.

In Memoriam Gus Dur Wafat Pun Mengundang Tafsir

EMPAT puluh lima menit setelah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat di RSCM Jakarta, Rabu (30/12/2009) pukul 18.45, saya menerima banyak pesan pendek (SMS) dari berbagai kawan yang berisi ungkapan duka cita atas wafatnya guru bangsa itu. Namun, pesan pendek dari seorang kawan nahdliyin yang saya terima beberapa jam setelah Gus Dur dimakamkan di tempat pemakaman keluarga di kompleks Ponpes Tebu Ireng Jombang ini, benar-benar mengusik perhatian.
Bunyi pesan pendek yang masuk dalam telepon genggam saya itu adalah sebagai berikut:
Asmaul Husna ada 99, 9 adalah sebuah rahasia Allah, sebuah angka yang luar biasa rahasianya, penuh makna. Masya Allah, Gus Dur wafat pada jam 18, menit 45, tanggal 30, bulan 12, tahun 2009. Kalau diamati, semua angka tersebut jika dikalikan dengan angka itu sendiri jumlahnya adalah 9. 18x18=324=3+2+4=9. 45x45=2025=2+0+2+5 =9. 30x30=900=9+0+0=9. 12x12=144=1+4+4=9. 09x09=81=8+1=9. Kalau semua dikalikan, jumlahnya juga 9. 18x45x30x12x09=2624400=2+6+2+4+4+0+0=18=1+8= 9. Ada apa dengan jam 18.45? Masya Allah, lihat di Alquran pada surat ke 18 (QS Al Kahfi) ayat 45, diibaratkan air hujan yang turun dari langit dan memberi kesejukan (perdamaian) di bumi kemudian kembali lagi ke sisi Allah dengan kuasa-Nya.
***
Terlepas benar atau sekadar kebetulan, --meminjam istilah orang Jawa, othak athik gathuk, hampir semua orang menganggap bahwa Gus Dur adalah kontroversial dan misteri (rahasia). Bahkan Cak Nur (Nurcholish Madjid, pelopor modernisme Islam), yang juga telah berpulang ke rahmatullah pernah menilai, Gus Dus itu bukan lagi sekadar tokoh ”kontroversi”, namun ”kontroversi” itu sendiri. Ramalan Cak Nur, yang juga lahir di Jombang, benar. Gus Dur bukan lagi seorang koki, tapi hidangan itu sendiri. Siapapun bisa menghampiri dan menikmatinya.
Itu pula yang mendorong Greg Barton, seorang dosen senior pada Fakultas Seni Deakin University, Geelong, Victoria, Australia untuk meneliti, sekaligus menuangkannya dalam bentuk buku biografi yang berjudul The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Biografi Gus Dur). Buku ini kali pertama dicetak oleh LKiS Jogjakarta pada Juni 2003.
Saya sendiri sangat menggemari dan melahap tulisan-tulisan tentang percikan pemikiran dan perenungan Gus Dur yang termaktub dalam berbagai buku-bukunya. Baik saat masih aktif di Forum Demokrasi dan LP3ES (1990), ketua umum PBNU (1984-1999), setelah dilengserkan dari kursi kepresidenan (Juli 2001), hingga sebelum wafat. Saya memang salah satu Gus Dur-ian. Saya menyukai tulisan dan buku-buku tentang Gus Dur, karena kesepakatan saya terhadap gerakan dan pemikirannya.
Sayangnya, dari buku-buku yang sudah diterbitkan, kebanyakan berupa kumpulan tulisan dan artikel Gus Dur yang bertebaran di media massa cetak nasional, termasuk di majalah Prisma. Hingga kini, saya belum menemukan buku ”utuh” tentang pemikiran Gus Dur, yang mengupasnya secara detail, berikut metodologisnya (saya berharap kelak Wahid Institute, lembaga nirlaba yang dibentuk oleh Gus Dur dan keluarganya, akan menyusun dan menerbitkan buku ”utuh” tersebut).
Mungkin ketika itu, Gus Dur sangat sibuk, karena begitu padatnya jadwal dan kegiatan yang harus dijalaninya. Ini sangat bisa dimaklumi mengingat Gus Dur bukan hanya tokoh komunal (ketua umum PBNU), tetapi juga universal (presiden dan tokoh dunia). Tetapi setidaknya, buku Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur terbitan Incres dan PT Remaja Rosdakarya Bandung (2000), cukuplah memberikan gambaran otak atik otak Gus Dur tersebut. Secara garis besar, ”pohon pemikiran” Gus Dur terdiri dari tujuh cabang pokok. Yakni, (1) pandangan-dunia pesantren, (2) pribumisasi Islam, (3) keharusan berdemokrasi, (4) finalitas negara-bangsa Pancasila, (5) pluralisme agama, (6) humanitarianisme universal, dan (7) antropologi kiai.
Pandangan Gus Dur yang moderat dan plural tersebut diakui oleh Franz Magnis-Suseno, teolog sekaligus sahabat tokoh kelahiran Jombang, Jawa Timur, tersebut. Menurut Franz,
Gus Dur itu menghayati agama Islam secara sangat terbuka. Dia adalah sosok pribadi yang bebas dari segala kepicikan, primordialistik, dan sektarian. Dia jelas 100 persen seorang yang beragama Islam. Tetapi, keislamannya begitu mantap sehingga dia tidak terancam oleh pluralitas.
Tujuh tema pokok tersebut selalu didengung-dengungkan Gus Dur, setiap kali menulis dan mendapati case yang tidak sesuai dengan ”pohon pemikiran”-nya. Inilah warisan dari Gus Dur yang tak hanya menjadi tanggung jawab nahdliyin untuk meneruskannya, tetapi juga kewajiban negara dan dunia. Pohon pemikiran Gus Dur itu sulit dibumikan dan akan selalu dianggap kontroversial, selama bangsa Indonesia belum menghargai perbedaan dan kemajemukan, baik dari sisi suku, agama, ras, dan antar golongan.
Selama perbedaan dan kemajemukan itu belum terealisasi, masyarakat akan menganggap Gus Dur tetap kontroversial dan misteri (penuh rahasia), sebagaimana ungkapan masyhur yang menggambarkan sikap Gus Dur saat masih sugeng. Yakni, ada empat misteri Tuhan di dunia ini, yaitu jodoh, rezeki, umur, dan... Gus Dur. Bahkan, hingga wafat pun, Gus Dur tetap diselubungi oleh rahasia-Nya, mengundang orang untuk menafsir, sebagaimana isi pesan pendek dari seorang kawan di awal esai ini. Sugeng kundur Gus, semoga kami bisa meneladani dan meneruskan semua perjuanganmu....
Bawah Titian, 1 Januari 2010

*) Tayang di Radar Bojonegoro, edisi 3 Januari 2010.

Catatan Ujung 2009 Orang Miskin Dilarang Sakit*

SELASA (29/12) malam saya menyaksikan sebuah berita dramatis di sebuah stasiun televisi. Seorang ibu usai melahirkan tertahan di RSUD Ciamis, Jawa Barat, tidak boleh pulang. Gara-gara, sang ibu malang itu tidak mampu membayar biaya melahirkan, karena tak mempunyai cukup uang. Dia berasal dari keluarga miskin.
Pihak rumah sakit sudah menyarankan agar keluarganya mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) di desa ibu malang ini berasal. Upaya sudah dilakukan. Namun, SKTM tidak kunjung didapat, karena terbentur permasalahan administratif. Pihak RSUD tidak bergeming, tak berani memulangkan ibu dan bayinya karena faktanya keluarganya belum membayar. Ibu dan bayinya tetap tersandera, setidaknya sampai ada dermawan yang mau datang membantu membebaskannya.
Beberapa hari yang lalu, RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro mengumumkan kenaikan tarif perawatan di rumah sakit milik pemkab tersebut. Meski masih menunggu peraturan bupati (perbup), RSUD berani memastikan kenaikan tarif resmi diberlakukan per 1 Januari 2010. Usulan kenaikan tarif boleh dibilang fantastis.
Biaya rawat jalan yang semula Rp 5.000, diusulkan menjadi Rp 7.500 (naik 50 persen). Rawat jalan IRD, dari Rp 6.000 menjadi Rp 10.000 (66 persen); rawat inap kelas III dari Rp 6.500 menjadi Rp 16.500 (153 persen); rawat inap kelas II dari Rp 15.300 menjadi Rp 55.000 (259 persen); rawat inap kelas I dari Rp 51.600 menjadi Rp 98.500 (90 persen); rawat inap kelas utama dari Rp 102.000 menjadi Rp 165.000 (61 persen lebih); dan rawat inap kelas VIP dari 150.000 menjadi Rp 235.000 (57 persen). (Radar Bojonegoro, 21/12).
Saya merasa, dua fakta di atas secara terang benderang menunjukkan betapa negara amat tidak berpihak kepada orang miskin (!). Sang ibu malang yang tertahan di RSUD Ciamis, jelas-jelas orang miskin, sehingga kenapa keluarganya sampai diminta mengurus SKTM, untuk membuktikan bahwa dia benar-benar orang tidak berpunya!. Di fakta kedua, coba perhatikan dengan seksama perbandingan besaran antara kelas satu dengan kelas lainnya.
Bahwa, usulan kenaikan tarif terbesar justru terjadi di kelas II dan kelas III. Kelas III jelas identik dengan kelompok ekonomi termarjinalkan, karena kebanyakan pasien pada kelas ini adalah penerima jamkesmas dan jamkesda. Namun, besar kenaikan tarif di kelas ini fantastis, 153 persen!. Kenaikan tarif lebih mencengangkan terjadi di Kelas II, 259 persen!. Padahal, pasien di Kelas II rata-rata secara ekonomi juga tidak beda jauh dengan pasien kelas III. Pasien Kelas II rata-rata juga dari keluarga miskin, atau setidaknya dari kalangan rentan miskin. Bandingkan dengan kenaikan tarif di kelas utama, apalagi kelas VIP yang mayoritas dihuni kaum berada, yang kenaikannya ”hanya” 57 persen! Ironis!
Memang, Pemkab Bojonegoro, berjanji akan memberikan subsidi untuk pasien Kelas III. Namun, yang namanya subsidi tetap saja terbatas. Sedangkan di sisi lain, pasien miskin beserta keluarganya tetap butuh biaya ekstra di luar pengobatan dan perawatan, semisal transportasi, akomodasi, dan makan. Bagaimana dengan pasien dari Kelas II yang besar kenaikan tarifnya jauh lebih tinggi, malah tidak tersentuh sama sekali.
Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khususnya pasal 6 dan 7, jelas-jelas mengatur bahwa salah satu urusan wajib pemkab adalah memperhatikan/menjaga kesehatan masyarakatnya. Yang namanya urusan wajib, tanpa ditekanpun sudah menjadi keharusan yang mengikat bagi aparatur pemerintah untuk merealisasikannya.
Saya berpandangan, filosofi hukum wajib adalah adanya keterikatan subjek hukum untuk menjalankan perintah tanpa disertai imbalan atas objek hukumnya. Contoh sederhananya begini, Anda sebagai orang tua wajib mengobatkan anak saat sakit. Apakah Anda lantas akan memungut biaya berobat kepada anak-anak Anda? Tidak bukan? Karena, itu sudah menjadi kewajiban dari orang tua. Hal yang sama idealnya dilakukan ketika pemerintah mempunyai urusan wajib. Dan, retribusi atau kenaikan tarif tidak saja merupakan bagian dari sebuah imbalan, tetapi lebih dari itu: sebagai sebuah upaya pemaksaan dengan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan. Wabakdu, benarlah kiranya kata sebagian orang: jangan sampai Anda, apalagi orang miskin, berurusan dengan dua hal, yaitu urusan hukum (polisi, jaksa, dan pengadilan) dan/atau sakit (rumah sakit). (*)

Bawah Titian, 10.21: 30 Desember 2009

*) Satire ini sering menjadi bunga-bunga bahasa dalam diskusi-diskusi di kalangan pegiat OMS.
**) Tayang di Radar Bojonegoro, edisi 31 Desember 2009

Memuliakan Bahasa Jawa

BAGI kita orang Jawa, khususnya Jawa Timur, tentu akan miris dengan fakta mengenai semakin menyusutnya urgensitas bahasa Ibu (bahasa daerah). Unesco (badan PBB untuk pendidikan, sains, dan kebudayaan) merilis laju kepunahan bahasa Jawa dilaporkan sudah mencapai 4,1 persen. Angka kematian tersebut nyaris dua kali lipat bahasa Bali yang tercatat 2,1 persen. Bahkan, pada akhir abad XXI, bahasa-bahasa daerah di seluruh dunia diprediksi hanya bakal tersisa 10 persen. (Kompas, 21 Februari 2009).
Sinyalemen Unesco tersebut harus menjadi pelajaran sekaligus warning berharga bagi kita semua. Sebab, bahasa daerah adalah jembatan komunikasi peradaban dan budaya masa lalu dengan sekarang. Bahasa daerah akan menjadi referensi yang akan menuntun kita untuk menemukan entitas-entitas peradaban masa lalu, untuk dikembangkan menjadi strategi sosial di masa kini.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana bakal ikut punahnya peradaban menyusul semakin tersingkirnya bahasa Ibu, karena lembaga sekolah saat ini merasa lebih bergengsi dengan menempatkan bahasa asing, sebagai bahasa yang wajib untuk dipelajari. Narasi ini bukan berarti penulis tidak menginginkan masa depan bangsa ini terus tertinggal dengan bangsa lain, sehingga mengapa mempelajari sains dan bahasa asing tetap penting juga dilakukan sebagai pengantar dan jembatan untuk meraih kepentingan global.
Akan tetapi, bangsa yang bijak adalah bangsa yang menggapai masa depan dengan tetap menapakkan kakinya di bumi. Maksudnya, boleh saja berpendidikan modern dan tinggi, tetapi warisan leluhur yang sedemikian hebatnya tidak boleh dicampakkan begitu saja. Jangan kita membiarkan masa depan generasi menjadi bangsa yang tercerabut dari akar budaya dan identitasnya.
Bukankah sudah tampak tanda-tanda bahwa bangsa kita mulai kehilangan jati diri bahasa ibu dengan tiadanya kesopansantunan anak didik? Kiranya sangat diperlukan instropeksi atas penanda. Dulu, saat kita masih kecil, tentu diajari bahasa Jawa yang penuh dengan nilai-nilai adiluhung. Ada stratifikasi bahasa (krama inggil dan madya) yang digunakan antara kepada orang yang lebih tua, sebaya, dan lebih muda.
Diakui memang, dalam hal-hal tertentu, stratifikasi bahasa menimbulkan jarak. Namun, disadari atau tidak, pembiasaan untuk menggunakan stratifikasi bahasa itu membuat kita terlatih untuk memperlakukan orang-orang di sekitar kita dengan sebagaimana baiknya. Sehingga pada akhirnya pembiasaan ini membuat kita memiliki perilaku yang santun dengan siapapun, tidak peduli kepada yang lebih muda, sebaya, maupun lebih tua.
Akan tetapi, ruh itu kini telah hilang. Tidak adanya semangat bersama dari para pejabat pemegang pemerintahan di negeri ini mengakibatkan bahasa daerah yang sarat makna itu nyaris punah. Dan kita masih punya waktu untuk menyelamatkan aset leluhur sekaligus benteng untuk generasi muda tersebut.
Jepang adalah contoh yang baik untuk diteladani bagaimana mengadopsi keseimbangan antara teknologi dengan penghargaan atas khazanah budaya lokal. Sejarah membuktikan, ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh sekutu (Amerika Serikat) pada 1945, Jepang hancur berkeping-keping. Saat itu pemerintah Jepang tidak mencari jumlah tentara yang masih hidup, tapi yang dicari adalah ada berapa guru yang masih hidup.
Artinya, untuk membangun Jepang kembali (ketika itu) belum terlalu diperlukan melalui tentara yang tangguh, namun lewat pendidikan bermutu yang tetap mengadopsi mental-mental tangguh dan merdeka, bukan mental pengecut dengan tetap menghargai khazanah budaya lokal. Mereka tak mengganti kekaisaran yang merupakan simbol Dewa Matahari (Ameterasu Omikomi) yang sangat dihormati dalam tradisi klasik Jepang, dengan negara demokrasi modern, sebagai bentuk ketertundukan kepada sekutu.
Simbol Dewa Matahari dan simbol lain seperti huruf Kanji, tetap dipertahankan. Justru simbol-simbol tersebut digunakan sebagai medium pemersatu, untuk membangun lagi kekuatan Jepang. Simbol-simbol budaya dan kearifan lokal itu tetap dibutuhkan Jepang sebagai fondasi dan benteng moral peradaban dalam membangun. Upaya tersebut pada akhirnya berhasil membawa kembali negara Jepang bangkit dari keterjerembaban sejarah dan melesat bagai meteor. Bahkan, mereka mampu menjadi negara yang disegani dalam segala bidang, terutama iptek dan industri, di dunia modern.

Memelihara Aset
Seyogyanya, aset adiluhung itu bisa mulai pelihara kembali dengan mendorong pejabat kekuasaan, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota di Jawa Timur untuk mem-proteck kelestarian bahasa ibu itu melalui regulasi-regulasi dalam bentuk peraturan bupati/wali kota, atau bila perlu via peraturan daerah (perda). Adanya UU Otonomi Daerah seharusnya menjadi spirit untuk melahirkan kebijakan perlindungan terhadap aset leluhur tersebut.
Selain itu, pejabat pemerintahan daerah, baik pemprov, pemkab, maupun pemkot, harus mulai membumikan kembali pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah, sejak dini (playgroup) hingga memasuki usia remaja. Fakta yang terjadi kini, bahasa daerah untuk SD di tingkat awal sudah dikurangi intensitasnya. Euforia globalisasi boleh saja. Namun, mengesampingkan bahasa daerah secara dini hanya gara-gara terlalu memberi porsi yang lebih besar kepada bahasa asing, adalah sebuah perjudian besar peradaban masa lalu dan benteng masa mendatang.
Sekilas, terkesan klise. Namun, apabila menggunakan mata hati, kita akan mengetahui bahwa kecerdasan berfikir tanpa dibarengi dengan kesehatan mental dan emosional serta penghormatan (pelestarian) terhadap khazanah budaya lokal (local wisdom) dari para leluhur yang telah memberikan sumbangsih peradaban, hanya akan melahirkan pejabat yang bermental korup dan generasi-generasi despotik yang justru bakal menyengsarakan rakyat di kemudian hari. Di luar dua hal tersebut di atas, upaya-upaya workshop, festival, dan lomba-lomba sastra Jawa tetaplah diperlukan supaya ritme khazanah budaya tetap terjaga dan membumi.
Sudah saatnya kita memperbaiki pendidikan bangsa kita, tidak hanya pada otaknya, melainkankan juga mental dan tindakannya. Tidakkah ini yang seharusnya kita lakukan agar bangsa ini maju, tetapi tetap bermartabat? (*)

Bawah Titian, 18 Desember 2009

*) Tayang di Tabloid Suara Banyuurip Edisi 30/II/Januari 2010

Mengatur Dana Peduli Bencana

Tingginya semangat filantropi dan solidaritas bangsa ini terhadap korban-korban bencana alam, misalnya gempa di Sumatera Barat, sangat membanggakan. Pada satu sisi, aksi solidaritas sosial ini menjadi modal penting bagi korban untuk bangkit dari keterpurukan mental, sosial, dan ekonomi yang hancur akibat bencana. Dengan semangat merasa tidak sendirian menghadapi bencana, mereka seperti mempunyai kekuatan berlebih untuk bangun dari keterpurukan.
Namun di sisi lain, jika tidak dilakukan pengawasan secara ketat, aksi-aksi penggalangan dana berikut penyalurannya untuk korban bencana justru berpotensi menyemai masalah baru, rawan diselewengkan, dan dikorupsi. Sikap pemerintah yang terkesan membiarkan dan membebaskan seluruh elemen masyarakat bergerak sendiri-sendiri untuk menggalang dana/dompet peduli, sekaligus menyalurkan bantuan kepada korban disadari atau tidak berpotensi menimbulkan tindakan penggelapan.
Kita mungkin belum bisa melupakan kejadian 2005 silam saat polisi menangkap seorang pegiat sebuah organisasi non pemerintah (ornop) yang diduga menyelewengkan dana bantuan untuk korban tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Jika dicermati lebih jernih, penyelewengan terjadi salah satunya karena lemahnya pengawasan dan koordinasi antar pihak-pihak terkait dalam mendistribusikan dan menggalang dana bantuan. Siapa yang dapat menjamin bantuan yang dihasilkan benar-benar disalurkan kepada yang membutuhkan? Sebab, ada kalanya penggalangan dana dilakukan sampai ke pelosok desa yang nyaris tanpa kontrol dan pertanggungjawaban publik yang jelas.
Hanya mengandalkan integritas moral bahwa penggalang dana pasti akan menyalurkan bantuan kepada yang membutuhkan, tidak cukup dan terlalu beresiko. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya-upaya tertentu yang dapat menjaga semangat para korban agar tetap merasa tidak sendirian dan tidak dimanfaatkan kesengsaraannya demi meraih keuntungan oleh kelompok-kelompok tertentu.
Apalagi, Indonesia, termasuk Jawa Timur, ”ditakdirkan” mengalami bencana alam yang beragam. Bukan bermaksud mendoakan, selain gempa, tsunami, dan tanah longsor, bencana alam lain yang kerap mengancam adalah banjir, angin puyuh dan lainnya. Bukan tidak mungkin, saat bencana datang, aksi-aksi penggalangan bantuan bermunculan. Bagi media massa, bentuk pertanggungjawaban dari penggalangan dana bantuan tidak menjadi masalah serius, karena akuntabilitasnya bisa diumumkan terbuka melalui medianya yang bisa bebes diakses masyarakat. Baik menyangkut besar bantuan yang diterima maupun yang akan dan sudah disalurkan.
Akan tetapi, penggalangan dana dan penyalurkan bantuan yang melibatkan masyarakat umum, tampaknya perlu pengaturan yang lebih komprehensif dan mengikat. Agar dana bantuan bisa terselamatkan dan sampai (amanah) kepada yang membutuhkan, pemerintah bersama Palang Merah Indonesia (PMI) selaku pemegang otoritas dan regulasi, perlu ikut campur tangan.
Bila perlu ada regulasi khusus yang mengatur hal-hal teknis penanganan terhadap korban bencana, termasuk perihal penggalangan dana secara swadaya oleh elemen masyarakat. Regulasi ini berlaku hingga tingkat desa. Teknisnya, pemerintah daerah berfungsi sebagai pemberi persetujuan (legalisasi) terhadap upaya-upaya penggalangan dana oleh elemen masyarakat.
Organisasi kemasyarakatan, LSM, sekolah-sekolah dan elemen masyarakat lainnya dapat menggalang dana bantuan sepanjang memperoleh registrasi dari pemerintahan daerah.
Campur tangan pemerintah ini bukan dimaksudkan untuk mempersulit keinginan dari masyarakat yang berniat membantu meringankan beban penderitaan korban bencana alam. Namun, lebih untuk mengatur agar bantuan tepat sasaran dan disalurkan kepada yang membutuhkan.
Dalam regulasi juga perlu ditegaskan bentuk-bentuk pertanggungjawaban publiknya. Semisal, jika yang menggelar penggalangan bantuan adalah pihak sekolah atau kelompok masyarakat di wilayah kecamatan, harus diumumkan terbuka di ruang publik seperti balai kecamatan. Jika penggalang bantuan di desa atau kelurahan, perolehannya diumumkan terbuka di balai kelurahan atau balai desa. Tujuannya, masyarakat penyumbang dapat mengakses secara transparan.
Sementara penggalang dana di wilayah kota, kabupaten, dan provinsi, pengumumannya bisa di kantor pemerintahan kota, kabupaten, dan provinsi. Atau juga, diumumkan secara terbuka melalui mass media. Sekilas, model ini terkesan menyumbat keinginan warga yang akan menyumbang. Namun, apabila dipikir secara jernih, langkah ini relatif lebih bisa menjaga amanah dari penyumbang sekaligus menutup peluang untuk mengurangi hak dari korban bencana. Agar tidak lagi kita jumpai anak-anak yang keleleran meminta sumbangan di jalan-jalan. (*)
Bojonegoro, 25 November 2009

*) Tayang di Harian Surya, edisi 4 Desember 2009.

Kunker dan Cermin Kinerja Anggota DPRD

Di tengah gencarnya sorotan minor masyarakat terhadap perilaku Komisi III DPR RI yang ”membela” Polri dalam kasus ”Cicak versus Buaya”, kalangan DPRD juga membuat sensasi yang tidak beda jauh. Dengan dalih mempelajari produk hukum yang kelak akan diterapkan di daerah asalnya, mereka ramai-ramai melakukan kunjungan kerja (kunker) atau studi banding (stuba) ke luar daerah.
Bisa jadi, kunker yang dijalankan di DPRD Bojonegoro cukup mencengangkan. Dalam rentang waktu tiga bulan, masing-masing komisi (empat komisi) di DPRD Bojonegoro melakukan kunker hingga empat kali. Tujuan kunker mereka tidak hanya di dalam Provinsi Jawa Timur, melainkan juga lintas provinsi. Seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, hingga Kalimantan Timur.
Kunker ke berbagai kota di luar provinsi, yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah seolah menjadi tren di masa-masal awal anggota DPRD periode 2009-2014 di berbagai kabupaten dan kota di Jawa Timur. Di DPRD Jawa Timur ”virus” kunker juga menjangkiti. Sebagaimana dilansir oleh Kompas Jawa Timur (edisi 30/10/2009), kunker yang dilakukan anggota DPRD Jatim telah menimbulkan kontroversi di masyarakat, karena dianggap tidak perlu dan terkesan membuang anggaran. Meski disanggah oleh anggota wakil rakyat, publik tetap belum melihat urgensi dan relevansi kunker terhadap peningkatan kinerja anggota DPRD.

Kebingungan
Maraknya kunker yang dilakukan anggota DPRD, menurut penulis, mencerminkan setidaknya dua hal. Pertama, ada kesan mereka mengalami kebingungan dalam memulai kerja sebagai wakil rakyat. Meski standar kerja mereka sudah diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Tata Tertib (Tatib) dan Kode Etik DPRD, tidak urung cakupan di peraturan perundang-undangan tersebut yang bersifat umum belum dapat memperjelas area kerja mereka, sehingga menimbulkan kebingungan. Sementara, pada saat yang sama, beban tugas dan kerja sudah menumpuk.
Sebagaimana dimaklumi, anggota DPRD kabupaten/kota dan DPRD provinsi diresmikan akhir Agustus 2009. Namun, beberapa hari setelah dilantik, mereka langsung dihadapkan pada beban pekerjaan untuk menuntaskan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2010. Itupun dengan kondisi yang abnormal. Sebab, apabila mengacu pada kalender atau siklus penganggaran dan pembangunan, bulan Agustus seharusnya membahas penyusunan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) dan penyampaian RKA SKPD kepada DPRD. Bulan September membahas RKA-SKPD, dan bulan Oktober waktunya penyerahan rancangan peraturan daerah (Raperda) APBD dari kepala daerah kepada DPRD.
Akan tetapi, saat ini mereka baru menerima rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), yang seharusnya diterimakan Juni (masih masa anggota DPRD periode 2004-2009). Sehingga, mereka ketinggalan beberapa tahapan penting yang seharusnya menjadi pijakan dalam pelaksanaan fungsinya sebagai anggota DPRD. Ironisnya, ketertinggalan tahapan penting dalam siklus penganggaran dan pembangunan ini disikapi dengan kunker yang tidak substantif dan menunjang dalam memperpendek jarak ketertinggalan tersebut.
Kedua, kelatahan melakukan kunker menunjukkan kinerja mereka yang tidak mampu, tangkas, dan sigap menghadapi kerja-kerja darurat dan situasi abnormal. Merujuk data KPUD Kabupaten Bojonegoro dan KPUD Jawa Timur, dari 50 anggota DPRD Bojonegoro, 34 orang di antaranya atau 68 persen adalah orang baru, sisanya orang lama. Sedangkan di DPRD Jawa Timur, lebih tinggi. Dari 100 anggota, sebanyak 78 orang (78 persen) adalah orang baru.
Dalam hal-hal tertentu, dominasi orang baru menyisakan masalah, apalagi kalau sebelumnya masing-masing new comers itu tidak membekali diri dengan kemampuan yang dapat menunjang kinerjanya sebagai wakil rakyat. Akan tetapi, alasan itu dapat mentah selama pimpinan dewan mampu mengkonsolidasikan kapasitas dan kemampuan anggotanya untuk mendesain kerangka kerja yang optimal.

Langkah Mendesak
Salah satu kebiasaan buruk yang sering diulang-ulang oleh DPRD adalah tidak disiapkannya rencana kerja (Renja) jangka pendek 1 tahun dan rencana strategis (Renstra) 5 tahun. Belum lama ini penulis sempat berbicara dengan salah satu pimpinan DPRD Bojonegoro. Secara terbuka dia mengakui selama beberapa periode dewan tidak pernah membuat Renja, apalagi Renstra. Kegiatan-kegiatan anggota DPRD lebih banyak bersifat insidental, sporadis, dan reaktif, yang disusun setiap sebulan sekali oleh Badan Musyawarah (Bamus, dulu Panitia Musyawarah/Panmus).
Hakikinya, Renja dan Renstra penting disusun dan dibuat oleh DPRD sebagai acuan dalam menjalankan kinerjanya. Sebab, dalam Renja dan Renstralah DPRD dapat memaklumatkan capaian kerja, luaran, masukan, dan indikator keberhasilan (sekaligus kegagalan) dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Acuan yang ada dalam Renja dan Renstra juga berfungsi sebagai media dan sarana evaluasi serta perbaikan terhadap kerja-kerja yang belum maksimal. Disinilah fungsi monitoring dan evaluasi akan berjalan efektif. Dari kasus ini kita bisa bertanya, bagaimana mungkin kinerja mereka akan dapat terarah dan terukur, baik dalam menjalankan fungsinya sebagai budgeting, legislating, dan controlling, sebagaimana diamanatkan dalam UU 27/2009, kalau Renja dan Renstra tidak pernah mereka miliki? Oleh karena itu, Renja dan Renstra adalah program jangka menengah dan panjang yang harus disiapkan oleh DPRD.
Sementara jangka pendeknya, DPRD harus memaksimalkan waktu yang tersisa (satu bulan setengah) untuk menyusun APBD dengan semaksimal mungkin. Kalaupun sekarang DPRD sudah tertinggal dari siklus penganggaran dan pembangunan, bukan dengan kunker jalan keluarnya. Sebaiknya, untuk mengejar ketertinggalan pemahaman dan pendalaman APBD, DPRD lebih memfokuskan diri melakukan analisa kebijakan dan capaian pelaksanaan urusan wajib pemerintah daerah sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khususnya pasal 6 dan 7.
Sehingga, hal itu dapat dijadikan bahan untuk optimalisasi peran dan fungsinya sebagai wujud pertanggungjwaban kepada konstituen. Misalnya, komisi-komisi DPRD dapat melakukan pertemuan dengan konstituen secara periodik di daerah pemilihan (dapil)-nya masing-masing. Rasanya, cara ini lebih akuntabel, partisipatif, serta lebih efisien dan efektif, karena tak menyedot anggaran yang besar, tetapi secara substantif tepat sasaran.
Selain itu, di sela-sela pembahasan APBD, DPRD juga perlu menyiapkan diri dengan melakukan capacity building (penguatan kapasitas) dengan meminta masukan dari pakar-pakar serta tenaga ahli untuk melakukan analisa anggaran. Langkah ini penting dilakukan untuk ”menambal” celah kekurangmampuan anggota dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai wakil rakyat. Hal-hal di atas penting dilakukan agar jangan sampai APBD terlambat, sehingga berdampak terhadap dikuranginya dana alokasi umum (DAU) kabupaten/kota dan provinsi. Jika DAU sampai dipotong oleh Menteri Keuangan, yang rugi juga rakyat dan DPRD pasti terkena getahnya. Tentu, kita tidak menginginkannya bukan? (*)

Ujung Sersan Mulyono, 18 November 2009

*) Tayang di Tabloid Suara Banyuurip Edisi 28/II/November 2009.

Quo Vadis Pemberdayaan Perempuan

BEGITU banyak label dan simbol sebagai bentuk penghargaan, pengagungan, sekaligus penghormatan disematkan kepada kaum ibu dan perempuan. Semua tidak membantah, tanah tumpah darah republik disebut ibu pertiwi. Seluruhnya mendukung sebutan untuk pusat wilayah dan pemerintahan adalah ibu kota. Bahkan, segenap manusia juga sepakat sebutan untuk bahasa asal dan daerah yang mencerminkan khazanah budaya/kearifan lokal (local wisdom) adalah bahasa ibu.
Simak pula betapa hebat peran perempuan dan ibu dalam merancang bangun peradaban sebuah bangsa, sampai-sampai ada adagium, wanita adalah tiang negara. Atau, anda tentu sering mendengar frasa, surga berada di bawah telapak kaki ibu, yang secara telanjang dapat dimaknai, ibu adalah komponen sentral yang berpengaruh terhadap kebahagiaan sekaligus kesengsaraan anak. Rasanya begitu banyak kiasan pengagungan perempuan dan ibu yang tidak mungkin diurai satu demi satu.
Pendek kata, penggunaan kata-kata ibu dan perempuan sebagai simbol penghargaan dan pengagungan atas episentrum kehidupan jauh melintasi batas-batas ideologi, komunal, dan tak terbatas ruang dan waktu. Simbolitas ibu dan perempuan pun acapkali dipakai untuk menggambarkan konsistensi pemberdayaan terhadap anak-anaknya.
Ironisnya, fakta yang terpampang, jauh panggang dari api. Alih-alih perempuan dan ibu mampu mencapai derajat hakiki sebagaimana adagium indah di atas. Yang terjadi justru berkebalikan. Kaum ibu dan perempuan terjebak dalam keterpurukan, hingga menjadikan mereka sebagai korban di setiap lorong zaman.
Penelitian World Bank (Bank Dunia) tahun 2008 menyebutkan, angka kematian ibu saat melahirkan di Indonesia meningkat drastis dibanding tahun sebelumnya. Dari 302/100 ribu menjadi 420/100 ribu ibu melahirkan. Hal ini tentu sangat memprihatinkan karena Millenium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium atau MDGs) mematok 125/100 ribu ibu melahirkan dan ditargetkan tercapai di tahun 2015. Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia ini termasuk tertinggi di kawasan Asia. Data ini diungkap bukan dimaksudkan untuk menista bangsa sendiri, melainkan lebih sebagai sarana instropeksi.
Yang tidak kalah seramnya adalah kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam (!). Kekerasan terhadap perempuan dalam tahun 2008 meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Dalam Catatan Tahunan 2008, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat peningkatan jumlah kekerasan hingga 213 persen atau mencapai 54.425 kasus.
Angka ini sangat memprihatinkan, karena dari tahun ke tahun tren kekerasan terhadap perempuan selalu meningkat. Data Komnas Perempuan juga menyebut, pada tahun 2004, perempuan korban kekerasan tercatat 14.020 kasus. Namun, pada tahun 2005 meningkat menjadi 20.391 kasus, tahun 2006 teradat 22.517 kasus, dan tahun 2007 menjadi 25.522 kasus. Klimaksnya, rentetan catatan kelam nasib perempuan di atas menjadikan peringkat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia, turun dari 108 (tahun 2006-2008) ke peringkat 111 (tahun 2009).

Tidak Pro Perempuan
Ada beragam faktor yang menghambat sekaligus menjadikan kaum ibu dan perempuan mengalami keterpurukan sebagaimana tersebut di atas. Pertama, distorsi pemahaman teks keagamaan. Dipahami bersama bahwa dalam dogma kitab suci agama (khususnya Islam), terdapat ayat yang menjelaskan peran kepemimpinan di tangan laki-laki. Akan tetapi oleh sebagian pengampu agama, ayat itu ditafsirkan secara monopolistik dengan interpretasi tunggal bahwa hanya kaum laki-lakilah yang berhak memimpin.
Padahal, pemahaman teks ini justru bertentangan dengan risalah yang dibawa Rasul yang menebarkan pesan demokrasi, kesetaraan gender, keadilan, toleransi, kebersamaan, dan kasih sayang. Akan tetapi, karena sudah sedemikian akutnya distorsi interpretasi teks itu, dampak lanjutannya dogma ini menjelma sebagai teror psikologis bagi perempuan, sehingga tak mampu lagi bergerak karena dibatasi sekat agama dan etika sosial. Sebagian besar perempuan hanya bisa pasrah berada di bawah bayang-bayang kaum lelaki dan terjerembab dalam kubangan keterpurukan, tanpa mau berbuat lebih.
Kedua, minimnya regulasi yang berpihak kepada perempuan. Pemerintah memang sudah membuat berbagai undang-undang dan peraturan yang berhubungan dengan perempuan. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Federasi LBH APIK Indonesia, regulasi skala nasional dan daerah yang ada, hanya menempatkan perempuan sebagai objek seksual/sumber maksiat. Misalnya, UU Perkawinan, UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, serta Perda Tangerang. Sejauh ini, regulasi yang menjadikan perempuan sebagai subjek pembangunan, masih minim (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali). Sedikitnya regulasi ini akhirnya semakin menumbuhsuburkan tindak kekerasan yang dalam hal ini sebagian besar korbannya adalah perempuan.
Ketiga, pola pemberdayaan karitatif. Jamak diketahui pemberdayaan perempuan yang dicanangkan pemerintah melalui berbagai program, masih sepotong-sepotong. Ambil contoh Program Keluarga Harapan (PKH) yang sasaran utamanya adalah kaum ibu dan perempuan. Tujuan program ini sebenarnya bagus, karena membantu meringankan beban kaum ibu dan perempuan, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan. Namun, program ini dianggap kurang memenuhi sasaran, karena sebagian besar dananya justru digunakan orang tuanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kita mungkin pernah mendengar bantuan uang untuk biaya pendidikan anak kelompok sasaran, yang justru digunakan oleh orang tuanya membeli beras. Kasus serupa sering terjadi terhadap program pemberdayaan lainnya. Kurang tepatnya sasaran program pemberdayaan ini salah satunya karena dijalankan dengan sepotong-potong, dan tidak merambah terhadap aspek kebutuhan kelompok sasaran lainnya.
Di luar tiga hal di atas, ada banyak penyebab lain yang membuat perempuan semakin tak berdaya. Antara lain, belum tertanganinya problem di bidang ketenagakerjaan mulai dari minimnya upah buruh dan pembantu rumah tangga, hingga nihilnya proteksi hukum bagi tenaga kerja korban kekerasan, yang sebagian besar adalah perempuan. Juga, masih rendahnya komitmen para pengambil kebijakan untuk mendorong peningkatan kesadaran politik kaum perempuan. Semua itu mengakumulasi dan menyadarkan kepada kita bahwa selama ini problem yang melingkupi program-program pemberdayaan perempuan begitu kompleks.

Merubah Orientasi
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia, berikrar bahwa pada tahun 2015 akan melakukan delapan langkah Millenium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium atau MDGs). Delapan langkah itu adalah, memberantas kemiskinan dan kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar bagi semua, serta mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan. Kemudian, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, dan memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain. Serta, menjamin kelestarian lingkungan, serta mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Adalah sebuah keharusan, pemerintah merancang dan merealisasikan program-program pemberdayaan, khususnya dengan kelompok sasaran perempuan dan ibu, yang berbasis delapan tujuan pembangunan milenium. Mekanismenya, dilakukan dengan membangun sinergisitas dan komitmen antardepartemen serta otoritas keagamaan yang terkait untuk mendesain rigit kegiatan yang memiliki ruh delapan MDGs.
Komitmen ini perlu dijalankan secara sungguh-sungguh dengan menanggalkan seluruh ego sectoral masing-masing institusi, agar program pemberdayaan yang dijalankan tidak karitatif dan semu. Sehingga, tidak terkesan hanya sekadar menjalankan (menggugurkan) program, namun nisbi dalam mewujudkan substansi pemberdayaan. Yang banyak terjadi selama ini adalah kesan saling iri di antara instansi pemerintahan dalam menjalankan program pemberdayaan, masih kuat. Padahal, tanpa disadari efek jangka panjangnya justru dapat memudarkan substansi pemberdayaan.
Selain berbasis MDGs, program pemberdayaan yang dirancang juga harus berbasis 10 hak dasar manusia. Itupun (sekali lagi) harus dilaksanakan secara komprehensif dan tidak sepotong-sepotong. Sepuluh hak dasar itu adalah hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan dan kesempatan berusaha, hak atas perumahan dan tempat tinggal yang layak, serta hak atas air bersih dan sanitasi. Kemudian, hak atas tanah, hak atas sumberdaya alam dan lingkungan hidup, hak atas rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, serta yang terakhir adalah hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik.
Satu hal lagi yang penting, program itu harus ditunjang dengan regulasi, bisa berwujud undang-undang, peraturan pemerintah atau lainnya, yang sekaligus menyertakan sanksi bagi yang melanggar. Selama itu tak dicantumkan, jangan harap program pemberdayaan dapat berjalan dengan komprehensif dan simultan. Sekiranya langkah-langkah di atas dilakukan, penulis yakin program pemberdayaan perempuan dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna. Sehingga adagium di kalimat pembuka di atas tidak sebatas jargon indah yang melenakan, melainkan dapat mengejawantah secara nyata dan hakiki. Semoga. (*)

Bawah Titian, 28 Oktober 2009

*) Tayang di Radar Bojonegoro edisi 1 November 2009, halaman 38.

Nuzulul Quran dan Teologi Pena

PERTANYAAN besar yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia, yang sebagian besar penduduknya memeluk Islam adalah dimana posisi dan peran agama dalam menjawab problem kebodohan? Kegelisahan ini mengemuka, karena pada titik-titik tertentu, agama dianggap tidak berdaya dan tak mempunyai jalan keluar saat dihadapkan dengan problem realitas. Salah satu problem sosial yang hingga kini belum tergarap tuntas adalah masih minimnya budaya literasi (baca) dan berkarya (menulis) dari masyarakat Indonesia.
Tengok betapa IPM (indeks pembangunan manusia/human development index), yang salah satu dari tiga indikasinya adalah pendidikan, menempatkan Indonesia di peringkat 107 (tahun 2007-2008) dari 177 negara di dunia. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Diogenes Laertius, Filosof Yunani, dasar kuat dan majunya dari setiap negara didapat dari pendidikan yang dimiliki generasi mudanya.
Atau, simak rilis dari Daniel Rosyid’s World yang menemukan fakta bahwa tradisi literer dan pena (menulis) Indonesia masih sangat rendah dibanding negara-negara serumpun. Faktanya, jumlah buku baru yang terbit di negeri ini hanya 8.000 judul per tahun. Masih kalah dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul per tahun. Atau, Vietnam, negeri yang kemerdekaannya jauh setelah Indonesia, sudah mampu menerbitkan 45.000 judul buku per tahun. Apalagi dibandingkan dengan Inggris yang mampu menerbitkan 100.000 judul per tahun! Tentu negeri kita kalah jauh.
Begitu pula dalam data Badan Pusat Statistik 2006 yang memaparkan fakta bahwa budaya membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen, idealnya 80 persen. Jauh lebih rendah dibanding menonton televisi yang mencapai 70 persen lebih. Pada ranah inilah, agama, yang merupakan landasan ideologis manusia, ”dinilai” belum berbuat banyak.

Ideologis dan Historis
Secara ideologis, agama, khususnya Islam, tidak menutup mata terhadap problem dasar perabadan: kebodohan. Turunnya wahyu pertama (QS Al Alaq 1-5) yang diterima Nabi Muhammad SAW pada 17 Ramadhan (6 Agustus 610 M) memiliki bermakna ideologis betapa Allah SWT sangat apresiatif terhadap budaya pena (baca dan tulis).
Sebab, wahyu pertama berisi lima ayat ini memerintahkan manusia mengawal peradaban dengan membaca. Spirit yang tertuang dalam wahyu pertama ini adalah betapa Tuhan ”lebih mementingkan” antrophosentris (kemanusiaan) ketimbang transedental (ritual ibadah) seperti salat atau yang lainnya. Dapat dikatakan wahyu pertama ini selain sebagai penahbisan Muhammad sebagai Rasul, juga sebagai theologi pena bagi manusia.
Setidaknya, ada dua intisari dari wahyu pertama tersebut. Pertama, perintah Tuhan pada Muhammad, termasuk kepada umat manusia, mengandung arti bahwa dari membacalah peradaban manusia dimulai. Pada titik ini, Tuhan menghendaki Islam menjadi agama beradab dan cerdas. Tuhan memberitahukan kepada kita hanya membaca dan menulislah yang membedakan manusia beradab dengan biadab, yang pada masa itu diwakili dengan bersimaharajalelanya kaum Quraisy dengan tradisi jahiliyahnya (kebodohan).
Kedua, dari membacalah manusia akan mengetahui banyak hal dalam kehidupannya. Tak hanya yang terhampar di hadapannya. Melainkan juga terhadap apa-apa yang sebelumnya tidak diketahui oleh manusia. Dengan demikian, Islam sebenarnya memberi penghargaan yang sangat tinggi terhadap membaca dan menulis.
Dalam Alquran pun banyak dijumpai ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan tinggi Tuhan terhadap huruf, pena, dan tulisan. Sampai-sampai ada surat khusus bernama Al Qolam (QS 68) yang berarti pena. Hal ini menunjukkan betapa membaca dan menulis memiliki derajat sangat tinggi di sisi Tuhan.
Tingginya penghargaan Islam terhadap tradisi intelektual pada masa lampau direspons kaum muslim hingga mampu menggapai zaman keemasan (the golden ages). Ikhtiar penerjemahan buku-buku asing dimulai pada Dinasti Umayah dan digiatkan pada masa Dinasti Abbasiyah. Dorongan untuk bergiat mambaca dan menulis tidak hanya dilakukan oleh kaum cerdik pandai. Para pemimpin pemerintah juga mempunyai political will yang tinggi untuk mendorong umat Islam untuk membaca, mengkaji, dan berkarya. Kemauan politik inilah yang tidak dijumpai pada pemimpin kita dewasa ini.
Sejarah mencatat bagaimana Khalifah Abu Ja`far Al Mansur dari Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Iraq, sampai mendatangkan ahli-ahli penerjemah untuk menerjemahkan kitab-kitab kedokteran, astronomi, dan ilmu pemerintahan (politik) dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, dan India. Di masa Khalifah Al Makmun, juga dari Dinasti Abbasiyah, semangat mengkaji tradisi intelektual lebih hebat lagi.
Di masa pemerintahannya, Al Makmun mendirikan Baitul Hikmah, perpustakaan yang sangat lengkap yang mengkaji berbagai disiplin ilmu. Ketika itu Al Makmun mengirim satu rombongan ahli penerjemah ke Roma dan membawa kitab-kitab serta buku-buku keilmuan ke Baghdad untuk diteliti.
Di masa ini pula lahirlah ahli-ahli filsafat, astronomi, biologi, kimia, yang setara dengan filosof Yunani. Sebut saja Al Kindy dan Al Hasan bin Musa. Atau, Muhammad bin Musa Al Khuwarazmi, penemu Al Jabar, salah satu cabang dari ilmu matematika. Begitu juga Al Farabi (wafat 339 H), pencipta alat musik Alqanun yang oleh barat (Eropa) direplikasi dengan menciptakan alat musik yang dikenal dengan nama piano.
Nama-nama kondang lain yang muncul ketika itu adalah Ar Razy (wafat 311 H), ahli kedokteran dan kimia; Ibnu Sina/Avecena (wafat 328 H), ahli astronomi dan biologi; serta Al Biruni (wafat 430 H), ahli astronomi dan biologi. Masa keemasan berkembang sampai di masa Dinasti Fathimiyah di Spanyol yang melahirkan tokoh sekaliber Ibnu Rusydi (Averoes) dan Az Zahrawi yang dikenal sebagai pakar astronomi dan biologi. Di masa itu Eropa mengakui Islam ibarat jembatan yang menghubungkan antara kemajuan Eropa di masa lampau (aufklarung) dengan Eropa di masa sekarang. Sehingga, saat itu orang Eropa banyak yang berguru dengan orang-orang Islam.

Membudayakan Literasi
Di masa lampau Islam mampu menjadi obor yang tidak hanya menyinari pemeluknya, melainkan sudah melintasi batas-batas agama, komunal, dan zamannya. Islam pada masa itu menggapai puncak intelektualisme, menjadi guru kehidupan dan bagian dari sejarah. Para pemikir Islam kala itu mencapai kulminasi dari proses intelektualisme membaca dan mengkaji (diskusi) melalui menulis.
Akan tetapi, apalah artinya kebanggaan sejarah kalau realitas kekiniannya justru terpuruk, terjebak stigma radikalisme agama yang kontraproduktif dengan kegemilangan sejarah masa lampau. Seharusnyalah, kita memaknai warisan gemilang sejarah dengan menjadi obor, yang menerangi zaman ke zaman, sebagaimana disinyalir Cicero bahwa sejarah adalah saksi sang waktu. Sebagai saksi waktu, sejarah merupakan obor kebenaran, nyawa dari ingatan, guru kehidupan, dan pembawa waktu masa ke masa. Oleh karena itu, patut diprihatinkan kalau Indonesia, yang 95 persen penduduknya Islam, kehilangan jejak sejarah (ahistoris) tradisi pena.
Momentum Nuzulul Quran 1430 H (Senin, 7/9), kiranya harus dijadikan sebagai spirit mengembalikan tradisi pena pada tempatnya. Dibutuhkan kesadaran semua pihak, baik NGO, ormas, lembaga pendidikan, pemerintah, hingga elemen masyarakat untuk berkolaborasi aktif mengembangkan rumah-rumah baca, pusat studi, dan perpustakaan hingga lapisan terbawah (grass roots) agar membaca dan menulis menjadi bagian dari gerakan budaya.
Pondok pesantren, yang oleh Gus Dur dianggap sebagai subkultur, perlu terus didorong untuk memiliki fasilitas dan sarana baca yang tak hanya menyediakan kitab-kitab bahan ajar, tetapi juga pelbagai literatur kelimuan yang menunjang kematangan berfikir santri. Di sinilah peran kiai dan tokoh masyarakat dibutuhkan agar agama memainkan peran sebagai pencerah umat, tidak melulu mengurus ritual ibadah, sehingga pada akhirnya
dapat menghapus stigmatisasi paras keagamaan yang radikal.
Yang juga tak kalah pentingnya adalah political will dari pemegang kebijakan untuk ikut serius mengawal gerakan intelektualisme. Bahkan, bila diperlukan, negara perlu turun tangan dengan menggelontorkan anggaran yang besar untuk upaya-upaya yang mengarah pada kegiatan peningkatan membaca, meneliti, dan menulis. Tentu, langkah ini harus diimbangi dengan kontrol ketat agar tidak menjadi penyakit baru di kemudian hari, yakni korupsi. Wallahu A`lam bishshowab. (*)

Bojonegoro, 3 September 2009

*) Tayang di Radar Bojonegoro, edisi 13 September 2009.

Catatan Menjelang Pelantikan Anggota DPRD Mengimunisasi Wakil Rakyat

Dalam waktu yang tidak lama lagi, DPRD hasil pemilu legislatif 2009 segera dilantik. KPU menjadwalkan pelantikan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota berlangsung pada Agustus dan September 2009, sementara anggota DPR diresmikan pada 1 Oktober.
Caleg terpilih untuk DPRD Bojonegoro rencananya dilantik tanggal 21 Agustus 2009.
Mengacu hasil penghitungan yang dilakukan oleh masing-masing KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, komposisi anggota DPRD yang baru menjanjikan perubahan, setidaknya orang baru banyak yang masuk. Dari 100 orang anggota DPRD Jatim periode 2009-2014, 82 persen di antaranya wajah-wajah baru. Hanya 18 anggota DPRD 2009-2014 atau 18 persen yang berupakan wajah lama (periode 2004-2009). (Kompas Jatim, 19/5/2009).
Fakta yang sama juga terjadi di banyak daerah di Jawa Timur. Di antaranya di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban. Di Bojonegoro, dari 50 orang jatah anggota DPRD baru, 34 di antaranya orang baru, sisanya orang lama. Sementara di Tuban, 42 dari 50 orang jatah anggota DPRD periode 2009-2014 adalah wajah baru, sisanya muka lama. Sedangkan di Lamongan, separo dari 50 anggota DPRD yang baru adalah wajah anyar.
Dominasi dari wajah-wajah baru dalam lembaga legislatif lima tahun ke depan memberi harapan perbaikan kinerja anggota wakil rakyat, sekaligus memunculkan kekhawatiran jangan-jangan kinerja mereka tidak akan beda jauh atau bahkan lebih buruk dibandingkan dengan pendahulunya (anggota DPRD periode 2009-2014) yang banyak tersandung kasus korupsi.

Perilaku Koruptif
Harapan terjadinya perbaikan kinerja anggota dewan dalam menyuarakan kepentingan rakyat mengemuka karena wajah-wajah baru tersebut masih steril dari postulat-postulat penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan serta perilaku koruptif. Jika disikapi dengan positif dan diambil hikmahnya, buruknya kinerja senior mereka periode lalu bisa menjadi momentum pembuktian bahwa kinerja mereka tidak sama. Spirit inilah yang diharapkan muncul, sehingga kerja-kerja legislating (pembuatan peraturan daerah), budgeting (penyusunan anggaran), controlling (pengawasan kebijakan eksekutif), dan representasi (keterwakilan) selaras dengan UU Nomor 22 Tahun 2003 (yang kemudian diamandemen tahun ini) tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 78, menjadi kenyataan.
Sebaliknya, kita semua tidak ingin kinerja mereka sama seperti pendahulunya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses politik Pileg 2009 menampilkan tontonan politik transaksional antara si empu suara (rakyat) dengan pembeli suara (caleg). Demi meraih jabatan wakil rakyat, caleg rela keluar uang untuk membeli suara rakyat. Di saat yang sama rakyat menerima tawaran politik uang dengan tangan terbuka.
Karena merasa sudah impas memberi ”hak rakyat”, caleg terpilih berusaha semaksimal mungkin mengembalikan ongkos politik yang sudah dikeluarkan. Kecenderungan untuk korupsi dengan menyalahgunakan wewenang dan jabatan akhirnya menjadi sebuah pilihan yang niscaya pada saat mereka mengemban jabatan sebagai anggota DPRD. Dan agaknya kecenderungan berperilaku koruptif inilah yang menjadi pilihan anggota dewan periode lalu, sehingga mereka terjebak dalam ranah hukum.
Disematkannya label tersangka kepada mantan Ketua DPRD Jawa Timur Fathorrasjid dalam kasus dugaan korupsi dana Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Tahun Anggaran 2008 oleh Kejati Jawa Timur baru-baru ini, hanyalah salah satu contoh betapa perilaku koruptif masih begitu kuat mengungkung lembaga wakil rakyat. Fathorrasjid ditengarai merekomendasikan 174 lembaga penerima hibah bernilai Rp 29 miliar. Sebanyak 102 lembaga dari 174 lembaga penerima hibah tersebut terkena pemotongan saat dana P2SEM dicairkan (Kompas Jatim, 25/7/2009).
Fakta ini kian membuat bopeng muka dan citra anggota dewan periode lalu. Menjadi tak mengherankan kalau kemudian survei terbaru Barometer Korupsi Global (BKG) 2009 yang dirilis Transparency Internasional (TI) Juni 2009 seolah menemukan pembenarannya. Dalam rilisnya, TI menempatkan DPR sebagai lembaga yang paling jeblok. Lembaga legislatif mendapat nilai 4,4 dari skala 1 angka 5. Angka 1 berarti sama sekali tidak korup, sedangkan 5 berarti sangat korup. Institusi lain yang terpuruk adalah peradilan (4,1) dan partai politik (4).
Menurut Teten Masduki, Sekretaris Jenderal TI, selama 5 tahun terakhir parlemen tidak menunjukkan perubahan berarti terkait persepsi korupsi. Terbukti, berdasar survey BKG yang dilakukan dari tahun ke tahun sejak 2004 terus menempatkan lembaga wakil rakyat di skor 4 hingga 5.

Memperkuat Legislatif
Tentu tidak arif kalau kita pesimis dengan masa depan parlemen. Biar bagaimanapun, mereka adalah wakil kita, yang dipilih dan memperoleh mandat dari rakyat untuk menjalankan tugas-tugas perwakilan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, pemberian ”vaksin” dan ”imunisasi” mutlak dibutuhkan untuk memperkuat daya tahan mereka dari serangan berbagai virus korupsi dan tindakan-tindakan menyimpang lainnya yang membuat mereka abai terhadap rakyat yang memilihnya. Beberapa antibody yang perlu untuk disuntikkan adalah, pertama, pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) anggota DPRD. Upaya ini mutlak dibutuhkan karena dalam banyak kasus, tersandungnya anggota dewan periode lalu dalam kasus korupsi karena tak dipahaminya peraturan perundang-undangan dan mekanisme operasionalnya. Memang, selama ini peningkatan kapasitas SDM anggota sudah dilakukan. Namun, sejauh ini masih bersifat sentralistis, hanya dilakukan di Jakarta. Dibutuhkan pelatihan-pelatihan, termasuk manajemen anggaran, dengan tujuan peningkatkan kapasitas di aras lokal yang lebih berbasis kebutuhan daerah.
Kedua, penyusunan kerangka kerja yang kokoh. Kerangka kerja yang mewajibkan DPRD untuk melaksanakan fungsi utamanya dalam pembuatan peraturan daerah, termasuk perda APBD, representasi dan pengawasan, mutlak dibutuhkan. Tata pemerintahan yang baik (good governance) hanya dapat dicapai apabila ada kerangka kerja yang berprinsip pada participation (partisipasi), rule of law (penegakan hukum), transparency (terbuka), responsiveness (responsif), consensus orientation (orietasi kesepakatan), equity (setara), effectivites and efficiency (efektif dan efisien), accountability (pertanggung jawaban), dan strategic vision (visi yang strategis). Ini sebagaimana disyaratkan oleh United Nations Development Program (UNDP, 1997).
Selama ini sering ditemukan adanya kecenderungan menyalahkan DPRD atas banyaknya kelemahan dalam tata pemerintahan daerah, seperti tertundanya pengesahan APBD dan kurangnya kebijakan yang berpihak pada kaum miskin (pro poor budgeting). Walaupun dalam beberapa kasus hal ini ada benarnya, bukan berarti gambaran umumnya demikian.
Ketiga, pembentukan tim/staf ahli. Di banyak daerah di Jatim, termasuk Bojonegoro, belum memiliki tim/staf ahli. Oleh karena itu, DPRD memerlukan sebuah tim/staf ahli yang dapat membantu mengidentifikasi berbagai masalah masyarakat, mencarikan alternatif jalan keluar dan menuangkannya dalam rencana kerja (Renja) DPRD. Sehingga dengan begitu kinerja DPRD akan bisa optimal sekaligus dapat melakukan pemilahan masalah sesuai dengan spesialisasi kerja yang diembannya.
Tim/staf ahli juga mutlak dibutuhkan karena bidang kerja komisi-komisi di DPRD overload. Sebagai perbandingan, satu komisi yang beranggotakan 9-11 orang, rata-rata membidangi sepuluh SKPD milik Eksekutif. Bandingkan dengan Eksekutif yang setiap SKPD-nya masih ditunjang dengan kepala dinas/kantor/bagian/badan, subdinas/kantor/ bagian/badan, hingga Kasi-Kasi. Sedangkan komisi-komisi DPRD, cukup anggota ditambah staf teknis dari sekretariat DPRD. Jelas sebuah perbandingan yang tidak ideal.
Keempat, optimalisasi peran Badan Kehormatan (BK). Selama ini keberadaan BK hanya formalitas, karena tidak mampu menjerat dan menindak anggota DPRD yang bolos sidang atau melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan sumpah jabatan anggota DPRD, sehingga berpotensi memperburuk kinerja dan citra DPRD. Selama ini kesan yang muncul adalah ada dan tiadanya BK nyaris tidak ada bedanya. Ke depan, fungsi BK harus dioptimalkan.
Kelima, pengawasan dari multi stakeholder. Keempat langkah di atas menjadi percuma jika tidak ada kontrol rakyat. Pengawasan dibutuhkan agar jalannya lembaga wakil rakyat sesuai dengan rel peraturan perundang-undangan, tidak overlap. Sekiranya beberapa hal di atas dilakukan, penulis yakin kinerja wakil rakyat di masa mendatang akan menjadi lebih baik. Akhirnya, selamat bekerja, wahai wakil rakyat! Jangan lagi khianati mandat dan amanah rakyat!. (*)

*) Tayang di Radar Bojonegoro edisi 19 Agustus 2009.

Republik Simbol

Simbol pada hakikatnya merupakan perlambang yang disepakati oleh pemakainya untuk menandai atau mempresentasikan entitas tertentu. Pengertian simbol berkaitan dengan sesuatu yang imanen, hal-hal di dalam dunia nyata yang disatukan ke dalam diri manusia. Misalnya nilai-nilai, norma, aturan, etika, kebiasaan dan lainnya.
Simbol juga merupakan kategori untuk memilih pengalaman manusia (Spradley,1972). Kategori itu diwujudkan dalam bentuk hasil kebudayaan seperti pakaian, rumah, peralatan kerja, citra dan atribut yang kemudian menjadi peta pengertian yang digunakan untuk menafsir tindakan dan peristiwa yang mereka lihat dan hadapi. Manifestasi simbol tak terbatas pada bentuk fisik, tetapi juga nonfisik, seperti bahasa, ilmu pengetahuan yang menyatukan pengertian sesama manusia. Dengan demikian, terdapat hubungan antara simbol dan kebudayaan. Keduanya membawahi manusia dalam kehidupan yang membuat manusia bertanggung jawab atas tindakannya.
****
Akhir-akhir ini kehidupan kita semakin dipenuhi dengan simbol-simbol dan perlambang. Belum hilang dalam memori parade simbol wakil rakyat yang mencitrakan diri sebagai pembela dan penyalur aspirasi, unjuk simbol kembali dijejalkan, memenuhi ruang-ruang privat dan publik. Simbol sebagai pejuang ekonomi kerakyatan, bukan penganut madzhab neoliberalisme, terus didedahkan oleh tiga pasangan capres-cawapres, memenuhi ruang dan waktu kita. Seolah satu dari mereka ingin menegaskan hanya pasangannyalah yang lebih pantas menyandang simbol pejuang ekonomi kerakyatan dan kemandirian bangsa.
Atas nama simbol (Adipura), Siti Khoiyaroh, 4, anak pasangan pedagang kaki lima (PKL), Sumariah dan Mat Naki, mengalami luka bakar berat karena tersiram air kuah bakso panas saat penertiban PKL oleh aparat Satpol PP Surabaya di Jalan Boulevard, depan WTC pada Senin (11/5). Tubuh balita malang ini terbakar mulai perut, punggung, muka, tangan dan kaki. Khoiyaroh akhirnya meninggal dunia di kamar perawatan unit laka bakar (burn unit) RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, pukul 15.15, Senin (18/5).
Beberapa pekan lalu, perwakilan PKL Bojonegoro dipertemukan dengan Dinas Kominfo setempat. Mereka diajak rundingan, mencari solusi terbaik atas penggusuran (penertiban: bahasa birokrasi) PKL yang selama beberapa bulan terakhir ini tidak pernah menemukan titik temunya. Setahun lalu aparat Satpol PP Bojonegoro melakukan penggusuran besar-besaran. Semua pedagang yang berjualan di sepanjang jalan protokol kota Bojonegoro dibersihkan. Lapak dagangannya diratakan dengan tanah. Jerit dan tangis para bunga trotoar yang terenggut sumber penghidupannya, tidak didengar aparat. Telinga dan mata mereka tertutup oleh ambisi simbol dan citra: kota yang bersih, demi meraih Adipura!
Mereka dipindah ke tempat relokasi, bekas bangunan terminal lama Bojonegoro dan di sepanjang Jalan MH Thamrin, Bojonegoro. Harapannya elok, titik relokasi tersebut akan dijadikan sebagai simbol baru: pusat jajanan rakyat Bojonegoro. Mereka dipaksa untuk membentuk pasar sendiri.
Kepindahan para PKL di lokasi yang baru, justru menjadi awal matinya sumur kehidupan mereka. Beberapa pekan setelah berjualan, mereka kolaps. Dengan berbondong-bondong, mereka kembali ke kampung halaman dengan ketidakpastian mau melakukan apa. Angka pengangguran kembali bertambah. Dan negara menjadi penyebab utamanya.
Pengatasnamaan simbol, citra, dan lambang acapkali mendera nurani, mereduksi nilai-nilai kemandirian, kemanusiaan, dan kebudayaan yang sebenarnya tidak mampu dijawab oleh negara. Sumariah dan Mat Naki serta PKL Bojonegoro tidak pernah meminta belas kasihan negara untuk menghidupi anaknya. Mereka hanya meminta negara menyediakan sejengkal tanah, untuk menghidupi dan membesarkan anak-anaknya kelak. Namun, demi angkuhnya simbol dan citra pemerintah yang ”bersih” dan ”baik” mereka dipaksa untuk rela dibersihkan.
Suatu kali, mantan Mendagri dan Otoda M. Ryaas Rasyid pernah berujar, dasar filosofi pemerintah yang baik adalah pemerintah yang tidak suka menggusur. Acontrario-nya, jika filosofi ini dijadikan dasar dari kerangka kerja pemerintah, maka pemerintah yang suka menggusur rakyatnya sendiri adalah pemerintah yang tidak baik. (*)

Bojonegoro, 25 Mei 2009
*) Tayang di Radar Bojonegoro edisi 28 Mei 2009.

Kepercayaan Yang (Mulai) Terkikis

Rakyat Indonesia sempat mempunyai harapan besar negeri ini akan bersih (setidaknya berkurang) angka korupsinya saat republik ini membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Asa itu kemudian dibuktikan dengan kinerja KPK yang dengan tangkas menangkap sejumlah pejabat yang melakukan korupsi.
Sejumlah nama tenar, --terlebih di bawah kepemimpinan Antasari Azhar (AA), berhasil dibekuk oleh KPK baik dari jajaran eksekutif, legislatif, hingga yudikatif: sesuatu yang musykil dilakukan di masa-masa sebelumnya. Sebut saja, Al Amin Nasution (legislatif), Tri Urip Gunawan (yudikatif), hingga Aulia Pohan, mantan petinggi Bank Indonesia yang juga besan SBY sendiri!
Pendek kata, sepak terjang KPK luar biasa. Mengagumkan, sekaligus memunculkan citra bahwa KPK adalah lembaga cleaner. Dari sepak terjang itu pula kepercayaan masyarakat akan keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi, --yang sebelumnya tergerus karena institusi penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian tidak bisa diandalkan,--
mulai tumbuh kembali.
Akan tetapi, yang terjadi belakangan ini sungguh di luar dugaan. Mendadak, Ketua KPK dikaitkan dengan terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), 14 Maret lalu. Terlepas kebenarannya yang masih perlu pembuktian lebih dalam, dugaan keterlibatan AA dalam kasus ini mencoreng lembaga antibody tersebut.
Trust (kepercayaan) yang sebelumnya terpupuk di hati masyarakat sedikit demi sedikit mulai terkikis. Apalagi, kasus yang membelit mantan jaksa itu adalah persoalan moral. AA disebut-sebut ”ada main” dengan perempuan cantik Rani Juliani, caddy (pemungut bola golf) yang pernah bekerja di Padang Golf Modernland, Cikokol, Kota Tangerang. Rani disebut-sebut sebagai istri ketiga korban. Kasus ini seolah langsung menghancurkan kepercayaan rakyat. Masyarakat kini seperti berkata, ”Ternyata sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya di negeri ini. Semua sama saja.”
Bagi masyarakat, persoalan moral adalah masalah yang sangat tabu. Sampai-sampai di masyarakat berkembang adagium bahwa korupsi lebih ”gagah” daripada mengganggu istri orang lain. Karena menurut masyarakat, pernikahan adalah sesuatu yang sakral.
Pantang dan pamali untuk dicederai dengan perilaku menyimpang.
Kita dapat melihat bagaimana kejamnya sanksi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pelaku ”korupsi” rumah tangga. Pelaku tak segan-segan diarak keliling kampung: sanksi yang teramat menyakitkan sekaligus memalukan. Seolah masyarakat menganggap bahwa tindakan mengganggu istri orang adalah wagu dan pantang untuk dilakukan.
Ironisnya sekarang, KPK diuji dengan kasus moral. Lembaga yang setiap harinya bekerja menegakkan integritas moral (baca: jujur), diuji dengan kasus AA yang paradoks dengan nilai kejujuran yang dijunjung tinggi lembaganya. Disinilah diperlukannya kejelian aparat kepolisian dalam menangani kasus AA. Apabila dalam perkembangannya didapat fakta AA tidak terlibat, harus ada pemulihan nama baik AA secara fair dan sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Sebaliknya, jika ditemukan fakta bahwa AA terlibat dalam kasus Nasrudin, penyidik juga harus membeberkannya dengan fair dan objektif, bukan didasari sikap-sikap tendensius, apalagi dendam karena selama ini peran-peran penyelidikan dan penyidikan oleh polisi dan kejaksaan sempat ”dirampas” oleh KPK. Sikap ini penting ditekankan supaya trust masyarakat terhadap upaya penegakan hukum, lebih khusus pemberantasan korupsi, tumbuh kembali. Semoga.
Bojonegoro, 2 Mei 2009

*) Tayang di WARTEG, Harian Surya edisi 15 Mei 2009

Merawat (Kembali) Kepercayaan

Rakyat Indonesia sempat mempunyai harapan besar negeri ini akan bersih (setidaknya berkurang) angka korupsinya saat republik ini membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Asa itu kemudian dibuktikan dengan kinerja KPK yang dengan tangkas menangkap sejumlah pejabat yang melakukan korupsi.
Sejumlah nama tenar, --terlebih di bawah kepemimpinan Antasari Azhar (AA), berhasil dibekuk oleh KPK baik dari jajaran eksekutif, legislatif, hingga yudikatif: sesuatu yang musykil dilakukan di masa-masa sebelumnya. Sebut saja, Al Amin Nasution (legislatif), Tri Urip Gunawan (yudikatif), hingga Aulia Pohan, mantan petinggi Bank Indonesia yang juga besan SBY sendiri!
Pendek kata, sepak terjang KPK luar biasa. Mengagumkan, sekaligus memunculkan citra bahwa KPK adalah Mr. Clean. Dari sepak terjang itu pula kepercayaan masyarakat akan keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi, --yang sebelumnya tergerus karena institusi penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian tidak bisa diandalkan,--
mulai tumbuh kembali.
Akan tetapi, yang terjadi belakangan ini sungguh di luar dugaan. Mendadak, Ketua KPK dikaitkan dengan terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), 14 Maret lalu. Terlepas kebenarannya yang masih perlu pembuktian lebih dalam, dugaan keterlibatan AA dalam kasus ini mencoreng lembaga superbody tersebut.
Trust (kepercayaan) yang sebelumnya terpupuk di hati masyarakat, disadari atau tidak sedikit demi sedikit mulai terkikis. Kasus ini seolah menghancurkan kepercayaan rakyat. Masyarakat kini seperti berkata, ”Ternyata sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya di negeri ini. Semua sama saja.”
Menyangsikan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi di masa mendatang, sah sah saja. Akan tetapi, kesadaran bersama untuk memisahkan antara persoalan AA secara pribadi, dan ”melindungi”, serta ”membela” kelembagaan KPK dalam pemberantasan korupsi dengan tetap merawat kepercayaan untuknya, adalah sebuah keniscayaan yang harus kita miliki.
Janganlah satu-satunya asa yang kita punyai ini ikut-ikutan kita sirnakan. Dan itu jauh lebih penting dan bermartabat. Karena kepercayaan kita akan menjadi menjadi energi pendorong bagi KPK untuk membalasnya dengan kinerja memberantas korupsi dengan serius. Biarlah persoalan AA menjadi pelajaran dan hikmah yang tak ternilai, agar kinerja KPK menjadi lebih hati-hati dan penuh integritas moral, karena mantan ketuanya pernah terperosok.
Disinilah diperlukannya kejelian aparat kepolisian dalam menangani kasus AA. Apabila dalam perkembangannya didapat fakta bahwa AA tidak terlibat, harus ada pemulihan nama baik AA secara fair dan sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Sebaliknya, jika ditemukan fakta bahwa AA terlibat dalam kasus Nasrudin, penyidik juga harus membeberkannya dengan fair dan objektif, bukan didasari sikap-sikap tendensius, apalagi dendam karena selama ini peran-peran penyelidikan dan penyidikan oleh polisi dan kejaksaan sempat ”dirampas” oleh KPK. Sikap ini penting ditekankan supaya trust masyarakat terhadap upaya penegakan hukum, lebih khusus pemberantasan korupsi, tumbuh kembali. Semoga.

Bojonegoro, 11 Mei 2009

*) Tulisan dimuat di Radar Bojonegoro edisi 12 Mei 2009, halaman 37.

Mengembalikan Khittah Demokrasi

ADA dua hal penting yang menyedot perhatian khalayak dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 tanggal 9 April yang baru saja berlalu. Dua hal itu adalah angka golongan putih (golput) yang kian tinggi dan money politics (politik uang) yang semakin menggiriskan dan memprihatinkan. Term golput menjadi pembahasan utama dalam ruang-ruang diskusi politik, karena angka golput dalam pileg lalu, --mengacu rilis quick count (hitung cepat) sejumlah lembaga survei, mencapai rekor tertinggi dalam sejarah pelaksanaan pemilu di tanah air: sekitar 30 persen.
Angka golput, dihitung dari pemilih yang tidak datang dan suara tidak sah, dalam Pemilu 1955 mencapai 12,34 persen. Sementara dalam Pemilu 1971 (6,67 persen), Pemilu 1977 (8,40 persen), Pemilu 1982 (9,61 persen), Pemilu 1987 (8,39 persen), Pemilu 1992 (9,05 persen), Pemilu 1997 (10,07 persen), Pemilu 1999 (10,40 persen), Pileg 2004 (23,34 persen), Pilpres tahap I (23,47 persen), Pilpres II (24,95 persen). (Kompas, 14/4/2009)
Meskipun relatif lebih sedikit dibandingkan prediksi berbagai kalangan sebelumnya yang menyebut angka 40 persen, golput pada pileg kali ini tetaplah hal yang memprihatinkan. Apalagi, di waktu bersamaan praktik politik uang di masyarakat sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan.
Dalam pileg kemarin, intensitas lalu lintas politik uang nyaris tanpa kontrol. Masyarakat pemilih dengan bebas dan tak terbatas menghimpun pemberian uang yang dilakukan oleh para caleg dan parpol peserta pemilu. Catatan penulis, jumlah rupiah yang diberikan bervariasi. Antara Rp 5.000 hingga Rp 25.000 per orang, bahkan terkadang lebih. Rakyat menikmati betul pesta lima tahunan ini.
Mereka tidak hanya bisa menerima pemberian uang dari caleg partai A. Melainkan juga tidak segan-segan menerima pemberian dari caleg partai B, atau bahkan caleg partai C. Perilaku sebagian rakyat semakin transaksional. Sebagian rakyat berprinsip, siapa yang memberikan uang banyak, dialah yang akan kami pilih.
Menjadi tidak mengherankan kalau kemudian caleg melakukan segala cara untuk mendapatkan suara dari rakyat. Segala yang dimilikinya dikeluarkan, demi ikut membeli suara yang ”dilelang” rakyat secara terbuka. Untuk memperebutkan satu kursi di DPRD Bojonegoro, seorang caleg rata-rata rela mengeluarkan dana puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bahkan, ada seorang caleg yang sudah menghabiskan dana Rp 1,4 miliar demi berburu satu kursi di DPRD kabupaten!
Meningkatnya angka golput dari pemilu ke pemilu dan kian memprihatinkannya praktik politik uang tidak cukup membuat kita hanya instropeksi. Harus ada tindakan nyata kalau menginginkan demokrasi berjalan sesuai dengan relnya.

Tanggung Jawab Semua Pihak
Tak dapat disangkal bahwa masyarakat semakin pragmatis dalam menyikapi momentum suksesi, baik pilkades, pemilu kepala daerah, pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Akan tetapi, menjadi tidak arif dan bijaksana kalau rakyat semata yang disalahkan akibat
maraknya perilaku transaksional itu, tanpa dicari tahu akar persoalannya. Masyarakat berperilaku demikian sebagai ganti rugi dan hukuman akibat sering dilupakannya aspirasi yang mereka titipkan kepada para caleg maupun kandidat kepala daerah dan presiden.
Sementara di sisi lain, para kandidat caleg juga sambat dengan semakin liarnya perilaku politik uang. Mereka mengalami dilema. Kalau tidak melakukan politik uang, dukungan yang diharapkan dapat dipastikan hilang. Sementara, jika mengikuti arus umum, meski sebenarnya mereka sudah merasa sebagai sapi perahan, uang mereka akan terkuras habis.
Itupun masih belum pasti mereka menjadi anggota legislatif. Ini seperti sebuah lingkaran setan yang sulit untuk menemukan sekaligus memutus titik simpulnya.
Dibutuhkan tanggung jawab semua pihak untuk bersama-sama menghentikan, setidaknya mengurangi, perilaku yang tidak mendidik tersebut. Sebab, dalam Pemilu 2014 diprediksi jumlah parpol peserta pesta demokrasi tersebut diprediksi menyempit, sebagai imbas dari diterapkannya parliamentary treshold (PT) 2,5 persen suara sah secara nasional seperti diamanatkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Jika tidak diantisipasi sejak dini, maka dampak ”negatif” menyempitnya jumlah parpol peserta Pemilu 2014 hanya akan menjadikan posisi tawar dan harga suara rakyat semakin mahal. Sebab, tidak menutup kemungkinan rakyat akan berlomba-lomba meningkatkan tarif suaranya di mata caleg dan parpol. Pada titik yang sama, caleg dan parpol langsung menyambut transaksi tersebut dengan harga kompetitif. Pada titik inilah makna substansi demokrasi tercerabut dari akarnya. Isyarat SOS patut dikibarkan, akibat terancamnya keberlanjutan demokrasi yang sesungguhnya.

Revolusi Pola Pikir Politik
Tak ada jalan lain, revolusi mindset (pola pikir) politik rakyat harus dikembalikan kepada khittahnya, dengan pertama, parpol harus bahu membahu melakukan pendidikan politik substansial. Selama ini, fungsi parpol sebagai tutor akan pentingnya proses politik dalam membentuk negara sudah hilang. Artikulasi politik dan penghargaan terhadap konstituen hanya dilakukan pada saat momentum pemilu dekat. Tentu, titik tekan pendidikan politik dari parpol ini harus disertai dengan politik teladan, ada kesamaan antara yang diucapkan dengan yang dikatakan, bukan hanya lip service semata.
Politik teladan juga bisa dimaknai dengan jujur menyampaikan apa adanya kepada publik terkait fungsi wakil rakyat. Selama kampanye pileg lalu, masyarakat dibodohi oleh janji para caleg yang akan memprogramkan bla bla bla. Padahal, jika mengacu UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pasal 41, fungsi utama DPR/DPRD adalah hanya tiga. Yakni, pembuatan peraturan (legislating) perundang-undangan, termasuk peraturan daerah; ikut merancang (budgeting) terhadap APBN/APBD yang diusulkan eksekutif; dan pengawasan (controlling) pada pelaksanaan pembangunan, pemerintahan, dan pelaksanaan peraturan/perda. Tidak ada penyebutan dewan mempunyai kewenangan memprogramkan pembangunan. Eksekusi program tetap di tangan eksekutif. Hal inilah yang perlu disampaikan secara jujur kepada rakyat, agar tidak ada pengkhianatan aspirasi di kemudian hari.
Kedua, organisasi masyarakat sipil (OMS), dalam hal ini mahasiswa, pers, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan, dan tokoh agama, juga perlu melakukan hal yang sama. Pendidikan politik tidak bisa dibebankan hanya kepada parpol, karena sudah kian akutnya pola pikir politik masyarakat. Yang terpenting ditekankan oleh OMS adalah lebih kepada substansi politik sebagai pilar terbentuknya welfare society (negara berkesejahteraan)-nya, bukan praksisnya. Term praksis politik biarlah dilakukan oleh parpol dan kadernya.
Pers juga perlu demikian. Gencarnya pers memberitakan caleg yang gagal, lantas menjadi stres pada titik-titik tertentu sebenarnya kurang mendidik. Efek negatif dari pemberitaan ini akan menyelipkan kesan bahwa politik adalah mengerikan dan menakutkan. Memang, dari sisi news value (nilai berita), kejadian tersebut tergolong penting dan menarik (Asep Syamsul M. Ramli, 2003). Akan tetapi, dampak panjangnya yang dapat membuat rakyat paranoid dan antipati terhadap politik, perlu dipertimbangkan lebih jauh. Tentu ini tidak diinginkan karena itu langkah mundur yang luar biasa dan membahayakan demokrasi.
Ketiga, panitia pengawas pemilu (panwaslu) harus tegas, konsisten, adil, dan kontinyu dalam memerangi perilaku politik uang. Selama Pileg 2009 lalu, panwaslu cukup tegas memerangi politik uang, tetapi masih menyisakan kesan tebang pilih. Hanyalah parpol tertentu yang ditindak. Pengawasan terhadap money politics sebaiknya juga tidak hanya difokuskan pada parpol dan caleg, masyarakat pemilih juga perlu diawasi.
Agar tercipta pemilihan yang bersih, pengawasan perlu ditingkatkan di level yang lebih bawah. Pilkades adalah momen yang tepat untuk membersihkan politik uang dari lapisan dasar. Pengawas pemilu lapangan (PPL), yang selama pileg lalu melakukan pengawasan pemilu di tingkat desa, adalah lembaga yang tepat untuk melakukannya. Agar mereka tak hanya bertugas saat pemilu, tetapi juga diberi kelonggaran wewenang untuk melakukan pengawasan pilkades. Terobosan ini penting untuk dimulai. Untuk menciptakan sistem keteraturan dan ketertiban sosial, diperlukan ketegasan dalam menegakkan aturan.
Keempat, untuk membersihkan anasir-anasir korupsi yang menyebabkan rakyat tidak percaya terhadap politik, harus dilakukan ketegasan sanksi dan hukuman terhadap setiap penyelenggara negara dan pemerintah daerah. Domain ini ada di tangan KPK, kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan, dan Badan Kehormatan (BK) DPR/DPRD. Hilangnya trust (kepercayaan) rakyat terhadap politik, karena hukum sudah tidak mampu menjangkau elit parpol dan pejabat yang melakukan korupsi. Hukum masih berlangsung tebang pilih. Ini harus segera diakhiri.
Begitu juga dengan BK. Selama ini keberadaan BK hanya formalitas, tidak mampu menjerat dan menindak anggota dewan yang bolos sidang atau pelanggaran etik lainnya. Ada dan tiadanya BK nyaris tak ada bedanya. Kalau kendalanya adalah aturan, bukankah aturan itu mereka juga yang membuatnya? Disinilah diperlukannya kesadaran moral untuk merubah pola pikir politik tersebut dimulai dari diri (lembaga) sendiri. Selama itu tidak dilakukan, nantikan saja republik ini perlahan demi perlahan akan berubah menjadi negeri kanibal (saling makan sesama teman). Kini, kita hanya mempunyai dua pilihan: membiarkan negeri ini menjadi kanibal atau mengembalikan khittah demokrasi? (*)

Bawah Titian, 19 April 2009

*) Tayang di Radar Bojonegoro halaman 34, edisi 26 April 2009.

Menghindari Kedzaliman Sosial

Wacana memindah ibu kota kabupaten saat ini mulai hangat dibicarakan di Bojonegoro.
Alasan utama yang mengemuka adalah karena kepentingan industri minyak. Berdasarkan
survei seismic tahun 2000 an yang dilakukan oleh (ketika itu) JOB Pertamina-Devon, di bawah pendapa Pemkab Bojonegoro, alun-alun, dan Masjid Agung Darussalam, terdapat cekungan sumber minyak yang diyakini kandungannya melimpah. Kawasan sumber minyak itu masuk dalam Blok Tuban, yang terdiri dari sumur Mudi (Tuban), dan sumur Sukowati (Bojonegoro). Operator Blok Tuban kini beralih ke tangan JOB Pertamina-Petrochina East Java (JOB P-PEJ).
Sejauh ini, rencana itu memicu kontroversi. Alasannya, mengizinkan eksplorasi minyak di tengah kawasan kota, sama halnya dengan mengundang resiko. Masih hangat dalam ingatan betapa dampak dari eksplorasi minyak di kawasan padat penduduk menjadi hantu yang setiap saat dapat datang. Pada tanggal 3 Desember 2008 silam, 22 dari 139 siswa serta 10 guru SDN 02 Campurrejo, Kecamatan/Kabupaten Bojonegoro, mengeluh mual dan pusing usai menghirup gas H2S (hydrogen sulfida). Empat di antara mereka dilarikan ke rumah sakit. Bahkan, satu siswa pingsan di sekolahnya yang hanya berjarak 500 meter arah barat dari sumur sembilan Pad A Sukowati.
Lebih dahsyat lagi, Juli 2006, sumur enam Sukowati meledak. Dampak peristiwa itu luar biasa. Ribuan warga dari Desa Ngampel, dan Sambiroto, Kecamatan Kapas, serta Desa Campurrejo, Kecamatan Bojonegoro dievakuasi. Pihak operator memang bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Warga diberikan kompensasi, meskipun peristiwa itu masih menyisakan trauma kejiwaan yang mendalam hingga kini.
Terlepas dari kontroversi yang masih mengemuka dari rencana mengeksplorasi migas di tengah kota, sejauh ini Pemkab Bojonegoro menyikapi serius rencana memindah ibu kota kabupaten karena faktor takluk dengan industri migas. Masalahnya, apakah tidak terlalu beresiko andai alasan memindahkan ibu kota kabupaten didasari pertimbangan memberi kelonggaran kepada perusahaan minyak untuk mengeksplorasi migas di kawasan kota? Benarkah pemindahan ibu kota kabupaten sudah perlu dilakukan?

Historis dan Teknis
Alasan memindahkan ibu kota kabupaten karena pertimbangan kepentingan eksplorasi minyak dan gas di tengah kota, tampaknya patut ditinjau ulang. Pemindahan ibu kota kabupaten perlu kiranya lebih didasari pertimbangan bahwa Kota Bojonegoro saat ini memang sudah tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan, sentral administrasi kabupaten.
Mengapa? Secara historis, pemosisian Bojonegoro sebagai ibu kota kabupaten bisa jadi lebih sebagai bentuk penghargaan pada warisan masa silam. Di masa lalu, kebanyakan ibu kota kabupaten selalu berada di dekat bengawan/sungai ataupun lautan. Sebut saja, Bojonegoro yang dekat dengan Bengawan Solo (hanya berjarak kurang dari 100 meter), Mojokerto dekat dengan Sungai Brantas, atau Tuban yang dekat dengan laut. Pemilihan ibu kota kabupaten dekat dengan sungai didasari pertimbangan ekonomi. Pada masa lalu, sungai dan laut merupakan jalur transportasi strategis untuk percepatan pertumbuhan ekonomi. Pilihan tersebut (kala itu) sangat pas.
Namun masalahnya, kondisi perairan saat ini, khususnya sungai, sudah tidak lagi ramah. Dulu penempatan ibu kota kabupaten dipilih dekat dengan sungai karena pada masa lalu bengawan masih ”bersahabat”. Ekosistem masih terjaga. Hutan masih lebat dan lestari. Dan masyarakat masih menghargai alam sebagai salah satu sumber kehidupan terpenting. Kala itu banjir tidak menjadi ancaman, bahkan sahabat.
Akan tetapi kondisinya kini berbalik 180 derajat. Sungai menjadi ancaman serius yang bisa dipastikan memicu banjir di musim penghujan. Pada musim rendeng bengawan jadi hantu teror yang siap menenggelamkan ribuan hektar sawah siap panen, merusak sarana dan prasarana infrastruktur yang menyisakan kerugian ratusan miliar rupiah.
Tidak bisa dibayangkan andaikata Bojonegoro tetap dipertahankan sebagai ibu kota kabupaten dalam kurun waktu yang cukup lama, sementara pada saat bersamaan ancaman banjir terus menghantui. Pemanasan global yang bisa membuat volume hujan meningkat, sehingga mengakibatkan banjir laten, harus menjadi alasan utama memindahkan ibu kota kabupaten.
Dari sisi teknis, sistem tata ruang kota Bojonegoro sekarang ini juga dipandang sudah tak memungkinkan lagi untuk dipertahankan sebagai ibu kota kabupaten. Tingkat hunian penduduk di kawasan kota terus meningkat dari tahun ke tahun. Data di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bojonegoro 2005/2006 menunjukkan, tingkat kepadatan penduduk di kota Bojonegoro mencapai 2.983 orang/km2. Angka ini naik dibandingkan angka kepadatan penduduk pada 10 tahun sebelumnya (1996) yang mencapai 2.853 orang/km2. Meningkatnya angka kepadatan penduduk memang belum terlalu signifikan, tetapi yang harus dicermati adalah ada kecenderungan naik dari tahun ke tahun.
Mereka di antaranya menghuni di beberapa titik wilayah yang sebetulnya merupakan kawasan terlarang karena termasuk daerah sepadan Bengawan Solo. Lahan yang semestinya dijadikan sebagai penahan dari kikisan air Bengawan Solo malah di atasnya didirikan bangunan-bangunan untuk permukiman. Dampaknya, erosi tebing Bengawan Solo sudah tidak bisa dihindari lagi. Akibat lanjutannya, wilayah ibu kota kabupaten kian sempit karena terkikis Bengawan Solo yang terus melebar ke tengah kota.
Selain itu, sistem drainase (pembuangan) kawasan kota juga sudah tidak memungkinkan lagi untuk dipertahankan. Jangankan saat banjir, saat hujan deras dengan tingkat volume sedang saja kawasan kota, terutama jalan-jalan protokol menuju pusat pemerintahan selalu direndam air dengan ketinggian antara 30-50 cm. Akibat buruknya sistem drainase, setiap genangan air, baik akibat banjir maupun hujan deras, sulit surut dalam sekejap. Butuh waktu paling tidak enam jam untuk mengurasnya.

Memindah Ibu Kota Kabupaten
Berdasar argumentasi historis dan teknis di atas, memindahkan ibu kota kabupaten dari kota yang sekarang ini dihuni rasanya bukan hal yang mustahil. Namun, perlu ada kajian dan persiapan yang mendalam untuk merealisasikannya. Pertama, dalam menentukan ibu kota pengganti, hendaknya dipilih wilayah medium yang menunjang pengarusutamaan prinsip-prinsip kemudahan pelayanan publik (public service) yang efektif dan efisien.
Jangan sampai pemilihan wilayah pengganti ibu kota kabupaten malah menyusahkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan pemerintahan. Di wilayah inilah diperlukan ruang publik (public sphere), dengan difasilitasi Bappeda dan pihak-pihak terkait, untuk menentukan ibu kota penggantinya. Sebab, penentuan ibu kota pengganti tidak hanya terkait persoalan administratif pemerintahan, melainkan juga berhubungan erat dengan geografis, sosiopolitik, historis, dan ekonomis.
Kedua, hendaknya Pemkab Bojonegoro perlu meninjau ulang persetujuan eksplorasi migas di kawasan kota. Trauma mendalam yang dirasakan warga di sekitar pengeboran migas sebaiknya harus menjadi pelajaran berharga untuk memberikan proteksi terhadap masyarakat. Mengizinkan eksplorasi migas di tengah kawasan kota sama halnya dengan menciptakan kedzaliman sosial.
Ketiga, pemerintah, baik Pemkab Bojonegoro maupun Pemprov Jawa Timur perlu duduk bersama dengan operator migas untuk mencari solusi pengeboran migas. Yakinlah masih ada cara teknis yang dapat ditempuh (meski mahal?) demi menghindarkan ongkos sosial yang jauh lebih besar. Apalah artinya sebuah kebanggaan mampu menyumbang minyak untuk kebutuhan nasional, akan tetapi dikutuk oleh anak turunan karena dengan sengaja membiarkan pendzaliman sosial berlangsung. (*)

Bawah Titian, 15 April 2009

*) Tayang di Tabloid Suara Banyuurip Edisi 22/II/Mei 2009

Pelajaran dari Banjir

BANJIR akibat luapan Bengawan Solo kembali membuat warga yang berdomisili di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS), yang meliputi antara lain Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik, menderita. Mereka harus bersusah payah mengemasi barang-barangnya sekaligus menyelamatkan jiwanya untuk mengungsi di tempat-tempat yang lebih aman.
Kompas edisi Jawa Timur (27/2) mencatat, di Jatim banjir menggenangi 10.636 rumah yang dihuni 43.017 jiwa. Warga yang mengungsi tercatat setidaknya 4.282 jiwa. Khusus di Bojonegoro, banjir kali ini melanda di 105 desa di 12 dari 27 kecamatan se Kabupaten Bojonegoro. Banjir ini juga mengakibatkan tanaman padi mulai umur 20 hari hingga siap panen seluas 6.705 hektar dan palawija 408 hektar ikut terendam.
Penderitaan warga korban banjir kian bertambah, karena bisa dibilang mereka terpaksa menanggung sendiri bencana alam ”langganan” tersebut. Hal itu dikarenakan sejauh ini
bantuan makanan, obat-obatan dan lainnya yang mereka terima dari berbagai pihak nyaris tidak ada. Kalaupun ada hal itu hanya dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing, dan sangat sedikit dari pihak swasta dan institusi lainnya.
Pemandangan tersebut jauh berbeda dengan bencana banjir besar yang terjadi pada akhir 2007 hingga awal 2008 lalu. Ketika itu, banyak pihak terlibat, membantu meringankan beban warga korban banjir dengan menghimpun bantuan sekaligus turun tangan langsung melakukan evakuasi. Di antara sekian stakeholder yang turun tangan ketika itu adalah dari kalangan caleg dan partai politik.
Saat itu, mereka seolah beramai-ramai dan berlomba untuk berada di garis terdepan untuk membantu korban banjir. Mereka tidak hanya menghimpun dana untuk kemudian disalurkan, tetapi juga menurunkan tim khusus tanggap darurat yang bertugas menangani korban banjir.
Tim khusus ini tidak hanya mengantar bantuan makanan seperti makanan cepat saji dan lainnya, tetapi juga mengirim nasi bungkus ke kantong-kantong pengungsi yang sulit dijangkau. Para relawan dari parpol itu juga menerjunkan tim yang dilengkapi perahu boat untuk mengevakuasi warga dan diungsikan ke tempat yang lebih aman. Pendek kata, terlepas mereka mempunyai muatan politis di balik aksi-aksi sosialnya tersebut, totalitas tim relawan parpol kala itu benar-benar patut diacungi jempol.
Bagaimana dengan aksi mereka terhadap korban banjir saat ini? Nyaris tak ada gaungnya.
Kalaupun ada, intensitasnya jauh menurun. Mereka tidak lagi getol menghimpun dana untuk kemudian menyalurkannya kepada korban banjir. Pengakuan warga Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro, wilayah terparah yang terdampak banjir Bengawan Solo, menjadi bukti betapa agresifitas parpol dalam membantu korban banjir nyaris tak tampak.
Mereka mengaku hingga kini bantuan makanan yang masuk kepada warga amat minim, jauh dari kata cukup. Padahal, kondisi warga sungguh mengkhawatirkan, karena tanggul
penahan air Bengawan Solo mulai jebol. Mengapa para calon anggota legislatif (caleg) dan parpol tidak terlihat? Mengapa mereka seolah tenggelam seperti karamnya poster dan alat peraga mereka karena tertelan banjir? Dimana para caleg itu?

Trauma
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab mereka menghilang dari pusaran massa yang justru sebenarnya membutuhkan pertolongan para caleg. Pertama, para caleg dan parpol saat ini sedang konsentrasi untuk menata dukungan, karena Pemilu 2009, khususnya pemilihan legislatif, tinggal 40 an hari. Para caleg dan parpol akan berpikir seribu kali kalau mengeluarkan dana untuk membantu korban banjir. Dana yang sebenarnya sudah disiapkan lebih diprioritaskan sebagai modal untuk memenangkan pertarungan perebutan kursi legislatif dalam pemilu 9 April mendatang.
Kedua, bisa jadi mereka trauma dengan kasus-kasus pidana pemilu yang mulai menimpa banyak caleg. Maksudnya, ada kemungkinan bahwa naluri kemanusiaan para caleg untuk membantu korban banjir ada. Namun, mereka kesulitan menemukan metodenya agar tak sampai dijerat Panwas Pemilu, karena dianggap sebagai kampanye dini yang menjurus pada pidana pemilu.
Seperti dilansir di beberapa media cetak, baru-baru ini seorang caleg dari PKNU divonis enam bulan penjara dan denda sebesar Rp 6 juta secara tanggung renteng subsider 15 hari penjara oleh Pengadilan Negeri Bojonegoro. Terdakwa dianggap melanggar pasal 274 junto pasal 87 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu junto pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP, karena mengadakan jalan sehat berhadiah. Kegiatan itu dinilai sebagai kampanye dini karena hadiahnya terdapat stiker caleg yang bertuliskan ajakan untuk memilih caleg dimaksud.
Hal serupa terjadi di Lamongan. Seorang caleg dari PKB juga divonis enam bulan penjara dan denda Rp 6 juta. Terdakwa dinilai melanggar pasal 270 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu karena dengan sengaja berkampanye di lingkungan pendidikan. Dua kasus itu tampaknya membuat para caleg trauma untuk bertindak yang terlalu jauh.

Kontekstual
Kendati bukan merupakan satu-satunya asa bagi para korban banjir, alangkah indah dan beretikanya seandainya para caleg menanggalkan sejenak baju kepartaiannya untuk lebih menonjolkan kepekaan sosial. Memang tak mudah untuk dilakukan, tetapi sebagai calon wakil rakyat idealnya sense of belonging (kepekaan untuk memiliki) dan sense of crisis (kepekaan terhadap krisis) terhadap rakyat yang akan diwakilinya menjadi landasan utama. Justru disinilah momentum latihan yang paling tepat dan sesungguhnya untuk membedakan antara kepentingan politik praktis dan kepentingan sosial yang berdimensi lebih luas.
Lagi pula, masyarakat sebenarnya semakin cerdas untuk menentukan pilihan siapa yang terbaik, karena sering ”dilatih” dengan berbagai momentum suksesi politik. Pilkades, pilkada, pilgub, hingga pemilu-pemilu di masa lalu merupakan pembelajaran yang sangat efektif dan mencerdaskan.
Kalaupun caleg dan parpol memberikan sesuatu yang dapat meringankan beban korban banjir, ada baiknya tanpa diembel-embeli ajakan untuk memilih karena hal itu rawan untuk terjadinya tindak pidana pemilu. Tanpa isyarat itupun, masyarakat sudah cerdas dan dapat menangkap sasmito yang ada.
Sebagai orang berbudaya timur yang sangat mengagungkan balas budi sebagai sebuah relasi kemanusiaan, rakyat sudah tahu pasti apa yang akan dilakukannya di bilik suara pada 9 April 2009. Tidak perlu caleg dan parpol menegaskannya dengan ajakan-ajakan memilih sebagai sebuah ikatan bantuan yang memaksa. Musibah banjir ternyata menjadi momentum pembelajaran demokrasi kontekstual bagi kita. Bukankah ini sebenar-benarnya esensi demokrasi? (*)

*) Tayang di Tabloid Suara Banyuurip Edisi 20/II/Maret 2009.

Mengikat Kontrak Politik

Perang perebutan pengaruh publik menjelang Pemilu 2009 semakin sengit. Beragam cara untuk menyampaikan pesan dilakukan oleh parpol untuk mendulang simpati masyarakat. Mulai iklan di media massa, cetak maupun elektronik, hingga kemasan-kemasan dalam bentuk yang lain.
Salah satu bentuk kemasan itu adalah klausul kontrak politik. PDI Perjuangan adalah satu di antara sedikit parpol peserta Pemilu 2009 yang membuat kontrak politik. Akad politik partai oposisi tersebut mengusung tiga isu sentral: perjuangkan sembako, ciptakan jutaan lapangan kerja, dan tingkatkan kesejahteraan rakyat.
PDI Perjuangan berupaya serius merealisasikan kontrak politik itu karena ada penegasan bahwa jika gagal mengawal tiga agenda di atas di 2009-2014, anggota DPR RI dari PDI Perjuangan diminta tak lagi mencalonkan diri pada pemilu berikutnya di tahun 2014.
Dengan dibubuhi tanda tangan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, kontrak politik itu dilengkapi dengan ketentuan, syarat ini berlaku jika PDI Perjuangan mengontrol pemerintahan: Presiden 2009 dan 30 % kursi DPR RI dikuasai PDI Perjuangan.
Terlepas dari adanya kesan bahwa kontrak politik merupakan bagian kampanye untuk menarik dukungan publik, terobosan PDI Perjuangan tersebut patut diapresiasi karena
hal ini tergolong baru dan berbeda dibandingkan dengan kontrak politik yang pernah dibuat oleh parpol-parpol sebelumnya.
Dikatakan berbeda karena PDI Perjuangan menggunakan media massa, terutama media cetak, yang dianggap paling mengena sasaran, karena diumumkan secara terbuka melalui iklan komersial. Ditinjau dari ilmu komunikasi, kontrak politik yang dimunculkan oleh PDI Perjuangan sudah memenuhi pra syarat dari tujuan komunikasi itu sendiri. Yakni, upaya-upaya untuk mengubah sikap (to change the attitude), mengubah opini/pendapat/ pandangan (to change the opinion), mengubah perilaku (to change the behavior), dan mengubah masyarakat (to change the society). (Onong Uchjana, 2003:55).
Klausul kontrak politik PDI Perjuangan juga dianggap keluar dari mainstream yang selama ini menjadi domain ranah politik. Yang terjadi kebanyakan kontrak politik sebatas dipublish pada internal parpol atau komunitas tertentu yang melakukan akad politik.
Yang menjadi permasalahan sekarang adalah apakah kontrak politik tersebut efektif untuk menarik dukungan publik? Pertanyaan ini layak dimunculkan karena selama ini ukuran dan standar pengawasan kontrak politik masih sumir.

Sebatas Kontrol Etika
Apabila dicermati, sebenarnya kecenderungan parpol melakukan akad politik sudah berlangsung sejak lama. Menurut catatan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), kontrak politik sebenarnya sudah muncul pada saat Pemilu 2004. Hanya mungkin letak perbedaannya adalah pada Pemilu 2004 kontrak politik masih dianggap sebagai wacana. Kalaupun akhirnya diadopsi, ketika itu kontrak politik lebih banyak diambil oleh parpol gurem yang secara modal politik masih dalam taraf ”berjuang”.
Namun, letak kesamaan dalam memahami kontrak politik antara Pemilu 2004 dengan Pemilu 2009 adalah sebatas kontrol etika atau moral. Dalam contoh kontrak politik yang digagas PDI Perjuangan, publik memang diberi ruang untuk mengontrol perilaku dan tindakan-tindakan politisi PDI Perjuangan dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Baik dari sisi legislating, budgeting, maupun controlling.
Masalahnya adalah sejauh ini tidak ada jaminan yang jelas, apalagi sampai mengarah pada pemberian punishment (sanksi/hukuman), andaikata legislator dan elite partai yang bersangkutan melakukan pelanggaran dan kegagalan terhadap upaya-upaya untuk memperjuangkan isu-isu yang dijadikan sebagai akad politik dengan publik. Pada titik ini kesimpulan akhirnya tetap sama bahwa relasi publik dengan parpol pembuat kontrak politik tetap tersubordinasi. Rakyat tetap dikorbankan, tetap menjadi objek, dan hanya dibutuhkan pendulum suaranya saat menjelang pemilu.
Pemilihan gubernur-wakil gubernur (Pilgub) Jawa Timur yang baru usai beberapa waktu lalu menjadi contoh betapa kontrak politik yang tak mempunyai kontrol yang jelas hanya akan melahirkan pelanggaran-pelanggaran etika politik dan mengajarkan politik semu. Saat awal pencalonan, parpol ramai-ramai mengajukan akad politik pada cagub-cawagub kalau ingin mendapatkan dukungan parpol dimaksud. Calon memang setuju dengan kontrak politik yang diajukan. Namun, ternyata isi kontrak politik tersebut nihil sanksi andaikata isu-isu yang dianggap merupakan representasi publik dilanggar ataupun gagal diwujudkan oleh calon yang menang.

Legal Formal
Minimnya kontrol yang jelas dan tegas terhadap segala pelanggaran serta kegagalan pengejawantahan kontrak politik bisa jadi disebabkan ketiadaan legal formal yang mengaturnya. Perlu kiranya digagas sekaligus dikembangkan suatu kontrak politik yang mempunyai implikasi hukum yang cukup mengikat antara calon, baik capres, cawapres, maupun caleg dengan basis massa yang diwakilinya.
Ikatan hukum dibutuhkan agar seseorang yang melakukan kontrak politik benar-benar serius memperjuangkan isu-isu yang menjadi daya tarik bagi publik untuk memberikan dukungan kepada calon dimaksud. Tekanan secara hukum juga diperlukan sebagai shock therapy (terapi kejut) agar calon serius memperjuangkan isu atau program yang populis, berbasis kebutuhan masyarakat, bukan berdasarkan keinginan calon maupun parpol yang memiliki kepentingan tersembunyi (invisible hand) di balik isu-isu maupun program yang hendak dipaksakan menjadi program yang dijejalkan kepada publik.
UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bab XIX yang mengatur partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu menjelaskan dengan gamblang bahwa publik dapat ikut andil dalam pesta demokrasi.
Dalam pasal 244 ayat (1) dijelaskan, pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Lebih tegas lagi, ayat (2) menerangkan, partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang pemilu, dan penghitungan cepat hasil pemilu, dengan ketentuan, --sebagaimana tertuang dalam poin c, bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas.
Jika kita interpretasikan, pasal di atas secara substansial membolehkan adanya kontrak politik secara legal formal, karena undang-undang tidak melarang sepanjang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas. Bukankah terobosan hukum diperbolehkan, sebagaimana dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap putusan penting soal ”putaran III” pilgub Jawa Timur, sepanjang secara substansial bertujuan untuk terciptanya keadilan sosial (pembukaan UUD 1945)?
Kini, bola ada di tangan parpol, hamba hukum (kepolisian, kejaksaan, dan peradilan), dan praktisi hukum untuk membuat terobosan pe-legalformal-an kontrak politik demi meningkatkan angka partisipasi publik dalam pemilu. (*)
Bojonegoro, 28 Februari 2009

*) Tayang di Radar Bojonegoro edisi 15 Maret 2009.