Sunday, July 4, 2010

Momentum Perumusan Kembali Khittah NU

Pemilihan gubernur-wakil gubernur (pilgub) Jawa Timur telah usai. Bagi kalangan nahdliyyin selesainya perhelatan pemilihan Jawa Timur 1 ini cukup melegakan. Sebab, disadari atau tidak, suka atau tidak suka, pertarungan pilgub putaran kedua 4 November lalu sedikit banyak menguras energi kalangan NU. Hal ini bisa dimaklumi lantaran pasangan calon yang maju ke babak ”final” adalah kader-kader NU. Mereka harus saling ”bertarung” untuk menjadi pemenang.
Khofifah Indar Parawansa, yang berpasangan dengan Mudjiono (Kaji) adalah ketua umum PP Muslimat NU, organisasi ibu-ibunya nahdliyyin. Pasangan yang diusung PPP dan gabungan parpol, serta didukung PDIP ini dipaksa harus bertarung dengan saudara mudanya, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), yang merupakan cawagub Soekarwo (Karsa). Gus Ipul adalah ketua umum PP GP Ansor, organisasi kepemudaan NU. Pasangan Karsa diusung oleh PAN, dan Partai Demokrat, serta didukung Partai Golkar, PKB, dan PKS.
Terlepas siapa yang akan menjadi pemenangnya kelak, karena menunggu penghitungan suara secara manual dari KPUD Jawa Timur pada 11 November mendatang, hal yang cukup menarik dicermati adalah terkristalisasinya pertarungan antar pendukung dari trah dan pembesar NU di belakang masing-masing pasangan calon.
Menarik karena para petinggi dan tokoh berpengaruh di kalangan NU itu mempunyai interpretasi yang berbeda-beda tentang khittah (garis perjuangan) dan tujuan politik NU dalam upayanya untuk memenangkan kandidat yang didukungnya.
Sudah jamak diketahui bahwa sejumlah petinggi PB NU dan PW NU ada di balik pasangan Kaji. Bahkan, tidak segan-segan beberapa elite NU ikut turun gunung dan menggalang massa untuk memenangkan pasangan nomor urut 1 ini. Dalam beberapa kesempatan bertemu dengan nahdliyyin, sejumlah elite PB NU sering menyatakan bahwa yang dilakukannya adalah atas nama pribadi, bukan institusi. Sebab, NU secara institusi (kelembagaan) tetap netral, tidak berpolitik dan hanya fokus terhadap gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Disisi lain sejumlah elite PW NU dan tokoh-tokoh pondok pesantren (ponpes) lain yang juga sangat berpengaruh kuat di kultur NU juga melakukan manuver yang tidak kalah gencarnya untuk memenangkan pasangan Karsa. Bahkan, tanpa tedeng aling-aling dan secara terbuka kelompok ini mengeluarkan fatwa politik (taushiyah) untuk mendukung pasangan nomor urut 5 tersebut. Kelompok ini pun beranggapan bahwa apa yang dilakukannya tidak menyalahi tujuan politik NU.

Bias Tujuan Politik NU
Jika dicermati lebih jauh, terjadinya pemahaman berbeda tentang garis perjuangan NU dalam kasus di atas adalah karena adanya perbedaan interpretasi tentang tujuan politik NU. Dalam banyak literatur tentang NU disebutkan bahwa organisasi yang didirikan pada 1926 ini memang menjamin upaya-upaya peningkatan kondisi sosio ekonomi pendukung tradisionalisnya. Tujuan itu kadang-kadang tersirat dalam literatur NU, tetapi jarang dibahas secara terang-terangan. Meski demikian, pentingnya motivasi politik ini terlihat lebih jelas daripada forum-forum dalam partai maupun korespondensi internal partai.
Secara lebih jelas Greg Fealy (2003) menyatakan, tujuan politik NU terdiri dari tiga bagian utama. Pertama, menyalurkan dana pemerintah kepada masyarakat NU, terutama untuk peningkatan fasilitas pendidikan dan keagamaan seperti pesantren, madrasah, dan juga membangun atau merawat pranata sosial seperti klinik kesehatan, panti asuhan, dan balai pertemuan.
Kedua, berusaha mendapatkan peluang bisnis dari pemerintah bagi NU dan para pendukungnya. Peluang ini akan memberikan keuntungan langsung kepada mereka yang mampu mendapat kedudukan dan dianggap dapat membantu Islam dan umat pada umumnya. Dan, tujuan politik NU ketiga adalah mendapatkan kedudukan bagi anggota NU dalam birokrasi. Setelah kemerdekaan, birokrasi dipandang sebagai jalan menuju mobilitas dan status sosial. Masuknya muslim tradisional dalam birokrasi dipandang akan meningkatkan kedudukan NU di masyarakat Indonesia, sekaligus memperkuat suara umat di kalangan pemerintah.
Masalahnya adalah bahwa apa yang dilakukan masing-masing elite NU di atas dalam hal dukungannya kepada pasangan Kaji maupun Karsa, sudah sesuai dengan tujuan politik NU, khususnya yang ketiga. Masing-masing kubu menganggap pihaknya tidak salah, memiliki otoritas dan lebih pantas untuk mewakili tujuan politik NU: meningkatkan kedudukan nahdliyyin di masyarakat Indonesia.
Tetapi faktanya, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Kalangan grassroots nahdliyyin menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh dua kubu elite NU tersebut tidak lebih merupakan untuk kepentingan politik pribadi masing-masing, bukan tujuan politik NU yang sebenarnya.
Jika kondisi ini tidak segera disadari dan dijadikan bahan evaluasi, dalam waktu yang tak terlalu lama NU akan ketinggalan semakin kereta. Hanya dibutuhkan suaranya saja saat ada momentum suksesi. Hanya dibutuhkan untuk mendorong mobil mogok. Setelah mobil jalan, pendorong ditinggalkan.

Evalusi dan Refleksi
Dari beberapa permasalahan di atas, ada banyak hal yang harus dilakukan oleh NU secara institusi untuk melakukan pembenahan. Pertama, NU harus berani merumuskan kembali garis perjuangan dan tujuan politik NU. Terjadinya bias pemahaman terhadap tujuan politik NU, seperti dalam kasus pilgub di atas, adalah buah dari kurang konkretnya instrumen-instrumen yang harus disiapkan untuk mencapai tujuan politik tersebut. Dan, forum serta momen yang tepat untuk merumuskan khittah dan tujuan politik NU kembali adalah Muktamar NU 2009. Hal ini dengan asumsi apabila Muktamar NU 2009 tidak molor, karena Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi saat ini, terpilih dalam Muktamar 2004 di Donohudan, Solo, Jawa Tengah.
Kedua, NU harus tegas memberikan sanksi, di semua jajaran struktural, terhadap segala bentuk pelanggaran garis perjuangan NU. Misalnya, harus segera mundur dari jabatan strukturalnya apabila terlibat jauh dalam politik praktis. Selama ini, sanksi yang diberikan terhadap pelanggar khittah, yang membawa NU masuk terlalu dalam pada wilayah politik praktis, tidak jelas serta masih terkesan malu-malu dan segan.
Sikap ini idealnya harus dibuang jauh-jauh, mengingat ke depan ada banyak momentum yang rawan menimbulkan godaan-godaan politik yang menggiurkan. Antara lain momen Pemilu 2009, baik pemilihan anggota legislatif (pilleg) maupun pemilihan presiden (pilpres).
Ketiga, melakukan penguatan kembali basis ekonomi dan sosial. Disadari atau tidak, ikut larutnya NU dalam hiruk pikuk politik yang sesekali dibumbui konflik (ingat kasus PKB), membuat basis massa NU yang kebanyakan dari kalangan tradisional terabaikan.
Pilihan ini harus fokus digarap NU dan badan otonomnya. Apalagi ke depan NU mau tidak mau akan dihadapkan pada tantangan krisis global yang imbasnya mulai terasa.
Sekiranya tiga hal di atas mampu dilakukan secara sungguh-sungguh, penulis yakin wibawa kelembagaan NU akan terjaga. Ketegasan sikap terhadap pelanggar khittah dan pengetatan rambu-rambu yang masuk ranah politik akan membuat NU kokoh dan lebih disegani sebagai organisasi masyarakat sipil, sebagai penjaga gerakan kultural di negeri ini. Sudah saatnya pula NU kembali kepada ruh awal pendirian organisasi ini pada 82 tahun silam: menciptakan spirit pembebasan dari belenggu. Jika 1926 spiritnya adalah bebas dari segala bentuk penjajahan fisik, sekarang ruhnya adalah bebas dari penjajahan mental, serta kemiskinan struktural dan kultural. Wallahu A`lam.

Bawah Titian, 8 November 2008

Vis a Vis Negara dan Buku

Dalam sepekan terakhir ini para pegiat dan pecita buku disibukkan dengan perang opini antara negara dengan George Junus Aditjondro, penulis buku Gurita Cikeas. Buku tulisan ilmuwan yang menetap di Australia itu menuai kontroversial, karena mengupas benang kusut aliran dana Bank Century yang diduga mengalir kepada Cikeas (Presiden SBY).
Ketegangan antara negara (kekuasaan) dengan buku di atas hanya satu di antara puluhan tamsil dari reaksi kekuasaan terhadap energi dahsyat buku.
Beberapa hari sebelumnya Kejaksaan Agung mengumumkan "fatwa haram" peredaran lima judul buku, karena dinilai mengganggu ketertiban umum. Kelima buku itu, Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karangan John Roosa; Suara Gereja bagi Umat Tertindas, karya Socrates Sofyan Yoman; Lekra Tak Membakar Buku, karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; Enam Jalan Menuju Tuhan, gubahan Darmawan M.M.; dan Mengungkap Misteri Keberagamaan Agama, karangan Syahrudin Ahmad. Keputusan Kejagung ini menuai kritikan dari berbagai kalangan. Kejagung menutup tahun 2009 dengan prestasi kurang membanggakan.
Fakta pemberangusan karya intelektual di atas semakin mempertebal kesimpulan bahwa negeri ini sedemikian represif dalam menyikapi gagasan-gagasan pemikiran. Sebelum ini, begitu banyak karya intelektual yang muncul tidak dilawan dengan iklim yang terhormat: tesis, antitesis, dan sintesa. Gagasan yang mencuat ke permukaan, tidak dilawan dengan menciptakan buku putih (tandingan/antitesis), melainkan dengan asal berangus, cekal, dan dilarang beredar.
Masih ingat dalam ingatan, pada 24 November 2008, Ketua DPR RI (ketika itu) Agung Laksono meminta Kejagung mencegah beredarnya buku yang berisi tudingan Adam Malik, mantan wakil presiden RI, sebagai agen CIA. Buku itu berjudul Legacy of Ashes, The History of CIA. Buku ini dibuat Tim Weiner, wartawan koran The New York Times. Weiner menceritakan sejarah CIA dan perannya dalam peristiwa politik internasional, termasuk di Indonesia pada 1965. Dalam buku itu juga dituliskan hubungan Soekarno dan PKI. Disebutkan, CIA memberikan US$ 10 ribu untuk mendukung peran serta Adam Malik memberantas Gerakan 30 September. Sejarawan LIPI Asvi Marwan Adam membenarkan adanya bantuan AS dan senjata. Alasannya, buku lain menyebut dana itu diserahkan lewat Adam Malik. Namun, itu tak berarti Adam Malik agen CIA.
Setahun sebelumnya, persisnya 10 Mei 2007, Kejari Ponorogo, Jawa Timur, merazia buku sejarah untuk SMP dan SMA yang dinilai mengaburkan fakta peristiwa Gerakan 30 September 1965. Buku sejarah yang diamankan adalah buku yang berisi tentang Gerakan 30 September tanpa disertai PKI. Kejari menilai ini mengaburkan fakta bahwa pelaku Gerakan 30 September adalah PKI. Salah satu buku yang ditarik adalah sejarah nasional karangan Wayan Badrika.
Vis a vis kejaksaan (Negara) dengan buku juga berlanjut pada 30 Juli 2007. Ketika itu,
Kejari Kota Bogor memusnahkan dan membakar 1.340 buku pelajaran sejarah untuk SMP kurikulum 2004 di depan gedung kejaksaan. Isi buku itu dinilai mengaburkan dan memutarbalikan sejarah sebenarnya. Pemusnahan buku itu didasarkan atas Keputusan Jaksa Agung RI No : KEP-019/A/JA/03/2007 tanggal 5 Maret 2007 tentang larangan beredar barang cetakan buku-buku Teks Pelajaran Sejarah SMP/Madrasah Tsanawiyah serta SMA, SMK dan Madrasah Aliyah yang mengacu kepada kurikulum 2004. Hal itu diperkuat oleh Instruksi Jaksa Agung RI Nomor INS-003/A/JA/03/2007 tanggal 5 Maret 2007 tentang tindakan pengamanan terhadap larangan beredar barang cetakan buku teks pelajaran sejarah.
Masih di tahun yang sama, tanggal 30 April 2007, Kejati Nusa Tenggara Timur menyita ratusan buku pelajaran SD sampai SMA di sejumlah toko buku di Kota Kupang. Buku-buku tersebut dinilai menyimpang dari fakta sejarah dan mengandung nilai-nilai ajaran Komunis, Marxisme, dan Leninisme.
Di tahun 2006, tak terdeteksi upaya pemberangusan buku. Namun, setahun sebelumnya, tepatnya 22 November 2005, Kejati Jawa Timur menyelidiki atlas bergambar bendera Bintang Kejora yang sering digunakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bahkan, Kejati juga menyita 3.284 buku peta setebal 96 halaman itu dari berbagai toko buku di Surabaya dan perusahaan yang menerbitkan. Diduga, ada sekitar 2 ribuan atlas sejenis yang terlanjur beredar di sekolah-sekolah dan toko-toko buku. Untuk menarik kembali atlas-atlas tersebut, Kejati menerbitkan surat kerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional serta kepolisian agar segera merazia di tiap-tiap sekolah dan toko buku.
Apapun dalihnya, cara-cara preman yang diterapkan dalam menyikapi gagasan dan pemikiran melalui buku patut dikutuk. Sudah seharusnya Negara belajar menghormati kebebasan berpendapat dan berpikir yang dianugerahkan Tuhan. Kalaupun tidak sesuai dengan meanstream yang berkembang, bukan dengan cara represif seperti itu yang seharusnya dilakukan, melainkan dengan cara paralel seperti membuat buku putih atau menciptakan dialog kritis.
Sadar atau tidak sadar, cara-cara yang ditempuh Negara telah melanggar UU No 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Khususnya Bab III pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Bukankah memberangus pemikiran melalui cara-cara fasis itu sama halnya dengan menerapkan ideologi lain yang kita berangus? Berarti apa bedanya negara dengan mereka? (*)
Bawah Titian, 28 Desember 2009

Sistem Pendidikan Kita Tidak Mendidik?

DALAM perbincangan hangat di sebuah warung kopi, seorang kawan menyatakan keprihatinannya dengan terlibatnya sejumlah mahasiswa dalam demonstrasi anarkis pada 3 Februari 2009 yang memicu tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut) Aziz Angkat. Yang amat memprihatinkan adalah bagaimana mungkin mahasiswa yang berlabel intelektual, yang secara kapasitas lebih rasional dan terdidik, dapat tergiur hanya dengan imbalan Rp 25 ribu kalau ikut demo! Tidakkah ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan, Tuan?
Contoh di atas hanyalah satu dari sekian puluh (bahkan mungkin ratusan) kasus yang terkait dengan output pendidikan kita yang faktanya masih jauh dari substansi tujuan dari pendidikan itu sendiri. Tuan mungkin sudah sering mengetahui betapa seringnya berita-berita tentang unjuk rasa antarmahasiswa yang sering berujung anarkis mencuat ke permukaan, menyodok dinding-dinding kemanusiaan kita.
Beberapa waktu lalu sekelompok mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, terlibat bentrok. Mereka saling lempar batu dengan lontaran penuh dendam. Mereka juga membawa senjata tajam (sajam). Sebuah perilaku tak elok. Bahkan, tak jarang mereka menawur masyarakat umum yang ironisnya tak tahu menahu masalah yang mereka persoalkan. Mereka tidak ubahnya barbarian, yang senantiasa menyelesaikan masalah dengan kekerasan, bukan dialog dari hati ke hati.
Karena itu, tak salah Tuan, banyak kalangan menilai bangsa Indonesia seperti berada dalam keadaan sakit. Ini karena banyaknya kejadian yang bersifat negatif, seperti kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, narkoba, dan lain lain. Rasa sosial yang telah kita kenal sangat baik selama ini, sepertinya berubah menjadi rasa asosial (kejahatan).
Jika sudah timbul tata nilai moralitas yang mengganggap bahwa melanggar peraturan merupakan suatu hal yang patut dibanggakan, maka kualitas maupun kuantitas suatu kejahatan segera meningkat. Yang memprihatinkan, anggapan keliru tersebut mulai menghinggapi tunas-tunas muda kita.
Tuan mungkin sering melihat bagaimana anak-anak didik kita terlibat aksi kekerasan seksual, narkoba, dan tindakan-tindakan kriminal lainnya yang mengatasnamakan egoisme jiwa muda. Mengapa generasi muda kita menjadi begini? Apa yang salah dalam sistem pendidikan kita, Tuan?

Redesain Pendidikan Pekerti
Tuan, terkadang kami berpikir, mungkinkah ini merupakan dampak dari output sistem pendidikan kita yang hanya mengandalkan kompetensi di bidang kognitif. Selama ini kita melihat bahwa pemerintah, instansi pendidikan, maupun guru-guru di sekolah hanya menekankan kemampuan intelektual siswa/mahasiswa dalam penguasaan mata pelajaran. Karena itu, diberlakukanlah standar ujian nasional (UN) yang passing grade-nya setiap tahun selalu naik.
Disadari atau tidak, sistem pendidikan kita menjadikan anak didik stres, terbebani, dan miskin kreativitas. Anak-anak didik kita merasa terdikte. Dipaksa. Betapa tidak. Beberapa bulan lamanya mereka dipaksa mengikuti program pelajaran tambahan, bimbingan belajar atau les. Namun, hasil yang didapat kurang menggembirakan.
Mereka menemukan fakta bahwa tingkat keberhasilan dari beberapa try out yang diikutinya relatif kecil persentasenya. Siswa yang berhasil memenuhi passing grade 5,25, standar UN untuk tahun 2009 ini, ada yang kurang dari sepuluh persen. Sebuah hasil yang sangat jauh dari harapan, Tuan.
Kami tidak menyalahkan penerapan standar UN dalam sistem pembelajaran di tingkat SLTP dan SLTA selama ini. Kami hanya berpikir bahwa seandainya standar UN itu tidak menjadi satu-satunya indikator kelulusan siswa, mungkin anak didik kita tidak akan menjadi se-mekanik ini. Kalau kita sadari, mereka sekarang tak ubahnya seperti robot yang hanya melakukan tindakan sesuai dengan yang diprogramkan, dalam konteks ini adalah standar UN. Anak-anak didik kita tidak diisi dengan ”program” yang lebih memunculkan perasaan-perasaan manusiawi, menghargai perbedaan pendapat, dan menghormati hak-hak orang lain.
Tuan, kami menyadari bahwa saat ini, Indonesia belum mampu bersaing dengan negara-negara lain, sekalipun indeks pembangunan manusia (Human Development Index) Indonesia naik satu peringkat. Yakni, peringkat 107 (tahun 2007-2008) dibandingkan tahun 2006 -2007 yang berada di peringkat 108 dari 177 negara di dunia. Namun, Indonesia masih tetap berada pada level bawah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Indeks pembangunan manusia memang ditentukan dari tiga sektor utama. Yaitu, pendidikan, pendapatan, dan kesehatan.
Namun tuan, kenapa kita tidak pernah mencoba untuk juga menekankan kompetensi perilaku atau performance dalam sistem pendidikan kita? Ada baiknya pemerintah perlu untuk mendorong agar para guru, dosen, dan pendidik di lembaga-lembaga pendidikan yang ada untuk selalu membimbing, berkomunikasi, dan menumbuhkan semangat belajar siswa dengan tidak hanya berpangku pada bidang kognitif saja. Agar sumber daya manusia (SDM) bangsa kita tak hanya cakap di bidang keilmuan, namun juga tangguh di bidang mental. Dan, pendekatan ini tidak hanya ditentukan melalui bidang koginitif.
Tuan, ada baiknya kita mencermati hasil penelitian dari Daniel Goleman, seorang psikolog dari Harvard University. Hasil temuannya mengungkapkan, bahwa tingkat intelegensi tinggi tidak menjamin gengsi, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesuksesan hidup. Ada kecerdasan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional (EQ), (Maksum, 2004).
Daniel Goleman memaparkan hasil penelitiannya dari dua mahasiswanya. Seorang mahasiswa yang berintelegensi tinggi dalam meniti karir kehidupannya harus menerima kegagalan hidup karena rendahnya kecerdasan emosional yang dimilikinya. Seorang mahasiswa lainnya tergolong berintelegensi rata-rata, namun dalam meniti karir kehidupan, dia mampu menggapai puncak karir dan berhasil dalam meniti masa depan yang baik. Hal itu disebabkan karena dia berkecerdasan emosional yang tinggi.
Kami sangat menyadari Tuan, bahwa kualitas suatu bangsa sangat dipengaruhi mutu pendidikan bangsa itu sendiri. Semakin rendah mutu pendidikan, baik di bidang cerdas fikir dan cerdas emosional, semakin rendah pula kualitas SDM (sumber daya manusia) bangsa. Jadi pendidikan tidak bisa lepas dari peningkatan SDM bangsa.
Terbukti semua negara menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Sejarah membuktikan, ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh sekutu (Amerika Serikat) pada 1945, Jepang hancur berkeping-keping. Ketika itu pemerintah Jepang tidak mencari jumlah tentara yang masih hidup, tapi yang dicari adalah ada berapa guru yang masih hidup.
Artinya apa? Untuk membangun Jepang kembali tidak lewat tentara yang kuat namun lewat pendidikan bermutu yang tetap mengadopsi mental-mental tangguh dan merdeka, bukan mental pengecut dengan tetap menghargai khazanah budaya lokal. Upaya pemerintah Jepang berhasil membawa kembali negara Jepang bangkit dan melesat bagai meteor serta mampu menjadi negara yang disegani dalam segala bidang, terutama iptek dan industri.
Padahal, pada 1945 kondisi Jepang dan Indonesia sama, yakni sama-sama hancur, sama-sama mulai dari nol. Namun kenyataannnya, bisa diibaratkan Jepang sudah bisa rekreasi ke bulan, bangsa Indonesia baru bisa rekreasi ke kebun binatang, Tuan.
Contoh lainnya, Tuan. Pada 1950 pendapatan perkapita Indonesia dengan Korea Selatan sama. Namun, dalam kurun waktu 10 tahun Korsel mampu meninggalkan Indonesia sangat jauh. Kenapa? Karena Korea Selatan serius menangani pendidikan. Dari dua contoh di atas pendidikan masih perlu diperhatikan secara serius. Perlu terus dikembangkan pendidikan sebagai organisasi yang terus belajar (learning organization) agar sedikit demi sedikit bangsa Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain.
Tuan, kami lantas teringat sistem penerapan pendidikan orang tua-orang tua kita dulu. Mereka begitu santun, beradab, dan menghormati orang-orang yang berjasa terhadap perkembangan keilmuannya. Ternyata, hal itu terjadi karena orang tua-orang tua kita diajari cara bagaimana belajar berbudi pekerti. Ternyata, dampak dari pelajaran ini adalah para siswa mampu menumbuhkan nilai-nilai penghormatan, santun, dan berbudi pekerti, namun tetap berintelegensia tinggi. Pembelajaran ini yang sekarang tidak ada di generasi kita. Karena itu, Indonesia perlu me-redesain konsep pendidikan yang tidak hanya berbasis kesehatan fisik, fikiran, tetapi juga kesehatan mental.
Rumusan WHO (World Health Organization/Badan Kesehatan Dunia) tentang kesehatan mental adalah orang yang mempunyai sifat antara lain: berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong, merasa lebih puas memberi dari pada menerima, memperoleh kepuasan dari perjuangannya, menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran di hari depan, mengarahkan sikap permusuhan menjadi perbuatan yang kreatif dan membangun, orang yang jiwanya sehat, mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Tuan, pembudayaan budi pekerti bisa dilakukan dengan melibatkan warga sekolah, terlebih khusus kepala sekolah, kalangan guru dan insan sekolah lainnya. Unsur ini harus mampu menciptakan suasana yang mendukung kehidupan berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Guru mengarahkan murid berbudi pekerti luhur, bersopan santun, melalui keteladanan. Pegawai tata usaha sekolah dapat membantu secara administratif, pembinaan murid untuk berdisiplin, jujur dan taat peraturan sekolah.
Selain itu Tuan, orang tua siswa melalui Komite Sekolah turut membantu pembinaan murid berbudi luhur. Begitu juga organisasi kesiswaan, dapat membina warganya sesuai dengan tujuan pendidikan budi pekerti. Keteladanan, merupakan kunci dalam pembudayaan budi pekerti. Secara berjenjang kepala sekolah memberi teladan kepada guru, guru kepada murid, kakak kelas kepada adik kelas.
Namun, pembudayaan budi pekerti di sekolah ini harus ditunjang dengan pembumian di lingkungan, minimal keluarga. Selain menekankan unsur ketakwaan, keluarga harus didorong untuk menanamkan kejujuran kepada anak-anaknya. Penanaman perilaku tidak berbohong, tidak curang, rela berkorban demi kebenaran, berani mengakui kesalahan, harus ditumbuh kembangkan sehingga menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, Tuan.
Penanaman suasana demokratis, seperti menghargai hak-hak orang lain dalam menyampaikan pendapat, saran, berkreasi, dan lain lain, harus senantiasa didorong juga oleh keluarga. Jika dibiasakan dan menjadi budaya yang mengikat, dengan sendirinya siswa akan membiasakannya tidak hanya di lingkup sekolah, melainkan juga di masyarakat. Pada akhirnya, pembiasaan berbudi pekerti ini kelak akan jadi benteng tangguh terhadap inflitrasi dekadensi moral yang berpengaruh terhadap mentalitasnya di masa depan, Tuan.

Pembumian Bahasa Daerah
Selain membudayakan pendidikan budi pekerti, hal yang tak kalah pentingnya lagi adalah membumikan kembali bahasa daerah (bahasa Ibu). Tuan, kita patut prihatin dengan rilis dari Unesco (badan PBB dunia untuk pendidikan, sains, dan kebudayaan) bahwa laju kepunahan bahasa Jawa dilaporkan 4,1 persen. Angka kematian tersebut nyaris dua kali lipat bahasa Bali 2,1 persen. Bahkan, pada akhir abad XXI, bahasa-bahasa daerah di dunia diprediksi hanya bakal tersisa 10 persen. (Kompas, 21 Februari 2009).
Sinyalemen Unesco tersebut harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, Tuan. Sebab, bahasa daerah adalah jembatan komunikasi peradaban dan budaya masa lalu dengan sekarang. Bahasa daerah akan menjadi referensi yang akan menuntun kita untuk menemukan entitas entitas peradaban masa lalu, untuk dikembangkan menjadi strategi sosial di masa kini. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana bakal ikut punahnya peradaban kita menyusul kian tersingkirnya bahasa Ibu, karena lembaga sekolah merasa lebih bergengsi dengan menempatkan bahasa asing, sebagai bahasa yang wajib dipelajari.
Tuan, kami memang tidak ingin masa depan bangsa ini terus tertinggal dengan bangsa lain sehingga mengapa mempelajari sains dan bahasa asing penting juga dilakukan sebagai pengantar dan jembatan untuk meraih kepentingan global.
Akan tetapi Tuan, bangsa yang bijak adalah bangsa yang menggapai masa depan dengan tetap menapakkan kakinya di bumi. Artinya, kita boleh saja berpendidikan modern dan tinggi, tetapi warisan leluhur kita yang sedemikian hebatnya tidak boleh dicampakkan begitu saja. Jangan kita membiarkan masa depan generasi kita menjadi bangsa yang tercerabut dari akarnya.
Bukankah sudah tampak tanda-tanda bahwa bangsa kita mulai kehilangan jati diri bahasa ibu dengan tiadanya kesopansantunan anak didik? Kita harus instropeksi penanda ini, Tuan. Dulu, saat kami masih kecil, kami diajari bahasa Jawa yang penuh dengan nilai-nilai adiluhung. Ada stratifikasi bahasa yang digunakan antara kepada orang yang lebih tua, sebaya, dan lebih muda.
Harus diakui, dalam hal-hal tertentu, terkadang stratifikasi bahasa itu menimbulkan jarak. Namun, disadari atau tidak, pembiasaan untuk menggunakan stratifikasi bahasa itu membuat kita terlatih untuk memperlakukan orang-orang di sekitar kita. Sehingga pada akhirnya pembiasaan ini membuat kita memiliki perilaku yang santun dengan siapapun, tidak peduli kepada yang lebih muda, sebaya, maupun lebih tua.
Tuan, ruh itulah yang kini telah hilang. Tidak adanya semangat bersama pada pejabat pemegang pemerintahan di negeri ini mengakibatkan bahasa daerah yang sangat kaya makna itu nyaris punah. Kita masih punya waktu untuk menyelamatkan asset leluhur sekaligus benteng untuk generasi muda kita, Tuan.
Marilah, asset itu kita mulai pelihara dengan mendorong pejabat kekuasaan, baik di level provinsi, kabupaten/kota untuk mem-proteck kelestarian bahasa ibu itu melalui regulasi-regulasi dalam bentuk peraturan daerah (perda). Adanya UU Otonomi Daerah seharusnya menjadi spirit untuk melahirkan kebijakan perlindungan terhadap asset leluhur tersebut.
Selain itu, Tuan, pejabat pemerintahan daerah, baik pemprov, pemkab, maupun pemkot, harus mulai membumikan kembali pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah, sejak dini (playgroup) hingga memasuki usia remaja. Selama ini, fakta yang terjadi bahasa daerah untuk SD di tingkat awal sudah dihilangkan. Euforia globalisasi boleh saja. Namun, mengesampingkan bahasa daerah secara dini hanya gara-gara terlalu memberi porsi yang lebih besar kepada bahasa asing, adalah sebuah perjudian besar peradaban masa lalu dan benteng masa mendatang, Tuan.
Sekilas, memang terkesan klise, Tuan. Namun, jika kita gunakan mata hati, kita akan mengetahui bahwa kecerdasan berfikir tanpa dibarengi dengan kesehatan mental dan emosional serta penghormatan (pelestarian) terhadap khazanah budaya lokal (local wisdom) dari para leluhur yang telah memberikan sumbangsih peradaban ini, hanya akan melahirkan pejabat korup dan generasi-generasi despotik yang justru bakal menyengsarakan rakyat di kemudian hari.
Sudah saatnya tuan, kita memperbaiki pendidikan bangsa kita, tidak hanya pada otaknya, melainkankan juga mental dan tindakannya. Tidakkah ini yang seharusnya kita lakukan agar bangsa ini maju dan bermartabat, Tuan? (*)

Bawah Titian, 21 Februari 2009

Mencari Uswah Politik di NU

Puncak tahun politik segera memasuki babak akhir. Tiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) mulai mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Masing-masing, pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win), Megawati-Prabowo (Mega-Pro), dan Soesilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY Berboedi). Ketiganya bakal bertarung dalam Pilpres 8 Juli mendatang.
Membicarakan pesta demokrasi dan perhelatan politik, rasanya kurang sedap kalau tidak membincangkan turut andilnya Nahdlatul Ulama (NU). Ini bisa dimaklumi karena suara nahdliyin sangat signifikan (diperkirakan berjumlah 50 juta) dalam turut menyukseskan langkah calon untuk menduduki kursi kemenangan. Peluang itu tampaknya mulai dibaca capres dan celakanya kans itu mulai ”dimainkan” oleh elite-elite NU.
Simak saja, beberapa waktu lalu Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi mulai kedatangan JK. Meski berkali-kali menyatakan bahwa kedatangannya untuk silaturahmi, orang awam sudah bisa menangkap maksud kedatangan JK ke pucuk pimpinan NU: mengail simpati dan dukungan suaranya dalam pilpres. JK sah-sah saja merapat ke NU, apalagi saudagar Makassar yang juga Wapres itu merasa mempunyai hubungan kultural dan emosional dengan NU. Konon keluarganya adalah salah satu pendiri NU di Sulawesi Selatan.
Kecenderungan untuk ”main-main” juga dilakukan badan otonom (banom) NU yang lain. Sebut saja Muslimat NU. Belum lama ini terdengar kabar organisasi ibu-ibunya NU itu hendak melangsungkan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) di Makassar. Rapimnas disebut-sebut sebagai bagian dari upaya Muslimat merapat ke JK. Yang jadi persoalan adalah apakah manuver-manuver politik para elite NU tersebut memberikan teladan atau uswah yang baik bagi nahdliyin?

Belajar dari Pengalaman
Sebenarnya kalau mau jujur, manuver politik yang dilakukan para elite NU itu semakin menambah uswah (teladan) politik yang kurang baik bagi konstituen nahdliyin. Sudah terlalu sering teladan kurang baik dipertontonkan secara terbuka oleh elite-elite NU, baik yang berkaitan langsung dengan politik (baca: kekuasaan) maupun organisasi.
Mari kita buka file-nya. Saifullah Yusuf (Gus Ipul) melakukan uswah kurang baik kepada nahdliyin saat menjabat Sekjen DPP PKB pada 2005 silam. Padahal di saat bersamaan Gus Ipul menjabat sebagai Ketua Umum PP GP Ansor. Perangkapan jabatan ini jelas tak mengindahkan Anggaran Rumah Tangga (ART) NU Bab XV tentang Rangkap Jabatan, khususnya pasal 45 ayat 2 yang menyebut, ”jabatan pengurus harian NU, lembaga lajnah dan banom pada semua tingkat kepengurusan tidak dapat dirangkap dengan jabatan pengurus harian partai politik dan atau organisasi yang berafiliasi kepadanya.”
Semua orang tahu bahwa PKB adalah media transformasi hak politik yang dianggap resmi oleh nahdliyin. Namun, apapun dalihnya, organisasi kemasyarakatan tetap beda gerakan dan orientasinya dengan organisasi sosial politik, meski secara kultural ada kesamaan.
Uswah yang kurang baik juga dilakukan oleh Hasyim Muzadi saat mencalonkan diri sebagai capres pada Pilpres 2004. Ketika itu Hasyim hanya non aktif sementara dari posisinya sebagai ketua umum. Hal serupa dilakukan oleh Ketua Umum PP Muslimat Khofifah Indar Parawansa dan Gus Ipul saat maju sebagai calon gubernur Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Secara organisatoris, sikap tersebut tidak disalahkan, karena dalam ART NU Bab XV pasal 45 ayat 3 memang hanya mengsyaratkan non aktif bagi pengurus harian yang mencalonkan diri atau dicalonkan untuk mendapatkan jabatan politik. Akan tetapi, secara etika sebenarnya hal itu kurang pantas dan tidak memberikan teladan yang baik terhadap umat NU. Sebab, untuk memisahkan antara kepentingan pribadi seorang Hasyim Muzadi, Khofifah maupun Gus Ipul dengan kepentingan organisasi sangat sulit.
Di mata nahdliyin, posisi ketua umum organisasi melekat dengan pribadi. Ini yang harus dan idealnya lebih dikedepankan. Apalagi, posisinya adalah sebagai pimpinan organisasi yang berbasis sosial, dimana moralitas dan etika menjadi kesepakatan tidak tertulis yang harus ditegakkan. Karena itu, sangat bisa dimaklumi kalau Pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang yang juga adik kandung Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sholahudin Wahid (Gus Sholah) meminta Hasyim sangat berhati-hati menyikapi imbas politik dari Pilpres 2009 terhadap nahdliyin. (Jawa Pos, 17 Mei 2009).

Haruskah Menjauhi Politik?
Dari berbagai persoalan di atas, penulis berkeyakinan sebenarnya NU sedang mengalami krisis uswah (keteladanan). Untuk mengembalikan uswah yang sebelumnya menjadi ikon di NU, tidak perlu menjauh dari politik. Sebab, mengacu studi Greg Fealy (2003), satu dari tiga tujuan politik NU adalah mengupayakan kedudukan bagi anggota-anggota NU dalam birokrasi. Birokrasi dipandang sebagai salah satu jalan menuju mobilitas dan status sosial. Masuknya muslim tradisional dalam birokrasi dipandang dapat meningkatkan kedudukan NU di masyarakat Indonesia, sekaligus memperkuat suara umat di kalangan pemerintah.
Akan tetapi, dalam mengupayakannya tidak harus dilakukan dengan cara-cara vulgar dan menabrak dinding-dinding moralitas dan etika. Ada banyak strategi yang masih dapat dilakukan, karena penulis yakin para kandidat tetap akan merapat ke NU, karena mereka membutuhkan dukungan suara untuk kepentingan pilpres. Elite NU sudah harus mulai mengubah dan menghilangkan teladan yang kurang elok. Karena itu, pertama, sudah saatnya petinggi-petinggi NU menyadari dinamisasi yang berkembang pesat di internal nahdliyin. Disini eloknya ”permainan” elite NU dibutuhkan, dengan mengedepankan etika dan uswah politik yang baik. Itu yang pertama.
Yang kedua, ada baiknya NU merumuskan secara tersurat regulasi yang mengatur etika dan hubungan dengan partai politik. Sejauh ini, belum ada aturan yang menjelaskan tentang hal tersebut. Ini untuk menghindari bias pemahaman yang sering terjadi di tubuh NU, sehingga berujung pada konflik yang pada akhirnya merugikan NU, baik secara jamaah (basis massa NU) maupun jami`yyah (organisasi). Dan, forum serta momen yang tepat untuk merumuskannya adalah Muktamar NU 2009. Hal ini dengan asumsi apabila Muktamar NU 2009 tidak molor, karena Hasyim Muzadi, ketua umum PB NU saat ini, terpilih dalam Muktamar 2004 di Donohudan, Solo, Jawa Tengah.
Ketiga, melakukan penguatan kembali basis ekonomi dan sosial. Pilihan ini harus fokus digarap NU dan badan otonomnya. Krisis global yang melanda dunia termasuk Indonesia harus turut dicarikan jalan keluarnya. NU, sebagai organisasi masyarakat sipil harus ikut andil memecahkan persoalan tersebut. Hal ini sekaligus pembuktian bahwa agama tidak hanya masuk di ruang-ruang transendental dengan ketuhanan, melainkan juga menjawab problem realitas dalam dimensi antrophosocial. Sekaligus juga untuk pembuktian bahwa ormas tidak hanya cakap bermain-main teks agama, tetapi juga lihai mengejawantahkan kontekstualisasi teks agama sebagai fiqh sosial yang membebaskan kaum teraniaya. (*)

Bawah Titian, 18 Mei 2009

Mengawal Peradaban dengan NU

ADA tiga problem besar, selain sejumlah masalah lain, yang mengiringi hari lahir (Harlah) Ke-83 Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun ini, 2009. Ketiga persoalan itu tampaknya akan begitu dominan dan menjadi perbincangan serius di kalangan NU dalam beberapa tahun ke depan. Ketiga problem tersebut adalah ekonomi, ideologi, dan politik.
Persoalan ekonomi akan terus menjadi problem serius dari masa ke masa yang dihadapi oleh NU, karena mengutip pendapat cendikiawan muslim Indonesia (alm) Nurcholis Madjid, kalangan nahdliyin belum mentas secara ekonomi. Modal basis massa dari kalangan tradisional yang secara kultur dalam hal-hal tertentu masih menutup diri dengan teknologi, akan menjadi kendala tersendiri bagi perbaikan kehidupan secara ekonomi.
Dalam perkembangan kekinian, problem ekonomi yang dihadapi NU kian kompleks. Dampak krisis global yang menyebar ke Indonesia sejak Oktober 2008 mulai berdampak ke sektor riil. Akibatnya, perusahaan melakukan rasionalisasi produksi dengan PHK (pemutusan hubungan kerja). Secara nasional, PHK diperkirakan terjadi pada 500 ribu tenaga kerja.
Khusus Jawa Timur, hingga kini diestimasikan bahwa angka PHK sudah mencapai 10.000-30.000 tenaga kerja. PHK, yang akhir-akhir ini dilakukan banyak perusahaan, jika diteliti lebih jauh kebanyakan yang menjadi korbannya adalah kaum nahdliyyin, meski mereka adalah NU ”kultural”. Kita tidak bisa memejamkan mata atas semua fakta yang terpampang di depan mata tersebut. Sebab, NU tidak hanya bertanggung jawab menjaga ideologi, tetapi harus mampu menjadi katalisator di bidang ekonomi terhadap problem yang dihadapi umatnya.
Dari ideologi, tantangan menonjol yang harus dijawab oleh NU adalah kian maraknya gerakan transnasional, baik dalam skala nasional maupun internasional. Bentuk kekuatan ini adalah ideologisasi agama dari Timur Tengah yang ditengarai diusung organisasi plat agama yang bercita-cita mendirikan Negara Islam. Bentuk konkretnya antara lain Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan Majelis Mujahidin.
Perkembangan gerakan ideologi ini dari ke hari kian membesar dan patut diwaspadai. Dalam banyak kasus pengaruh gerakan transnasional di Indonesia sudah mulai masuk pada ranah-ranah yang dulu merupakan basis kultural dari NU. Dalam sebuah acara diskusi kecil beberapa waktu lalu penulis sempat terkaget dengan pengakuan seorang teman yang mengaku resah dengan kian mengguritanya gerakan ini. Seorang aktivis muda NU mendadak berubah haluan menjadi pengikut transnasional karena tidak menemukan peran NU sebagai perubahan sosial. Sebuah problem yang wajib dipikir dan diperhatikan oleh NU.
Di sisi politik, jamak dimafhumi bahwa Tahun 2009 adalah Tahun Politik. Pada tahun inilah NU benar-benar akan menghadapi tantangan yang tidak enteng. Konsistensi NU dalam mengawal demokrasi dengan berdiri di tengah-tengah organisasi sosial politik dipertaruhkan. Mampukah NU menjawab tantangan-tantangan tersebut?

Sikap Kita
Seharusnya NU mampu dan dapat menangkal sekaligus mengatasi tantangan yang ada di depan mata tersebut. NU punya modal yang besar untuk mengatasinya, terlepas banyaknya sisi kelemahan pada NU seperti lemahnya rekrutmen pengkaderan dan belum jelasnya rumusan visi sosialnya.
Social capital yang utama NU adalah memiliki jamaah yang tersebar di seluruh tanah air, bahkan di luar negeri, sebagian besar di pedesaan dan perkotaan. Sumber daya ini kalau mampu di-manage dengan baik, tentu akan membuahkan modal ekonomi yang sangat tangguh dan fundamental.
NU juga memiliki prinsip-prinsip fundamental yang terbukti mampu sustainable menjawab tantangan zaman, baik dari sisi ideologi maupun politik. Sepanjang prinsip ini dikembangan dengan sungguh-sungguh menjadi landasan dalam mengambil semua keputusan, bukan tidak mungkin tantangan dari sisi ideologis dan politik akan mampu terjawab. Greg Fealy, peneliti NU dan pengajar di Universitas Monash, Australia, dalam bukunya berjudul Ijtihad Politik Ulama (2003), dengan bagus mendiskripsikan prinsip dasar NU itu menjadi tiga kategori utama yang antara satu dengan lainnya berkaitan. Yakni, kebijaksanaan, keluwesan, dan moderatisme.
Prinsip kebijaksanaan dalam hal ini digunakan dalam pengertian yang netral. Yakni, pengambilan tindakan yang kondusif bagi upaya-upaya memperoleh manfaat atau menghindari kerugian. Ada tiga kaidah yang digunakan NU untuk menghindari risiko akibat buruk. Yakni, dar’al mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih (menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan), akhaffud-dararain (bila dihadapkan pada pada dua bahaya atau lebih, pilih salah satu yang risikonya paling kecil), dan bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (lain).
Sedangkan prinsip luwes mengandung arti keluwesan dalam pengambilan keputusan sebagai bagian dari penerapan kaidah fiqih menimalkan risiko yang akan dihadapi oleh umat. Sikap luwes, khususnya dalam ranah politik, juga mengandung maksud darurat memperbolehkan hal yang semula dilarang dan apa yang tidak tercapai 100 persen jangan ditinggalkan (dibuang) hasil yang cuma sebagian (kurang dari 100 persen).
Sementara moderatisme (tawasuth) dapat diartikan sebagai suatu keinginan untuk menghindarkan tindakan yang ekstrem dan bersikap hati-hati dalam bertindak dan menyatakan pendapat. Moderatisme adalah, karena menurut KH Achmad Siddiq, mantan Rais Am PBNU, merupakan sintesa antara dua sikap yang ekstrim.
Karena itu, dengan bermodalkan prinsip-prinsip azasi tersebut, ke depan NU harus melakukan beberapa hal untuk menjawab tantangan sosial kontemporer. Pertama, penataan organisasi (institusional building). Jika tidak ada perbaikan organisasi yang membuat struktur NU lebih berfungsi secara efektif dan efisien, program sebaik apapun akan sulit terlaksana. Hal ini penting agar NU dengan segala perangkatnya dapat berfungsi dan bersinergi mewujudkan visi jam`iyyah.
Kedua, peningkatan ekonomi umat merupakan langkah strategis bagi penciptaan tatanan masyarakat yang berkeadilan dalam bidang ekonomi, khususnya menyangkut pendistribusian yang sampai saat ini masih timpang. Sudah waktunya bagi NU untuk mengembangkan organisasi berbasis entrepeneurship, holding company dalam hal manajemennya, bukan berbasis tradisional.
Ketiga, penguasaan teknologi informasi. Perkembangan ini tidak hanya penting diansitipasi sejak dini, tetapi juga harus dilakukan massalisasi penguasaan pengetahuan dan keahlian dalam bidang teknologi informasi, karena kalau tidak, NU akan semakin tertinggal jauh.
Keempat, membangun jaringan kerja nasional dan internasioal. Ini harus dilakukan, jika tepat sasarannya akan memperkuat dukungan dan mempercepat pencapaian visi dan misi NU. Jadi, perlu dirancang berbagai program dan kegiatan-kegiatan yang nyata dan dapat dirasakan oleh masyarakat di lingkungan NU.
Kelima, fokus pada peningkatan pelayanan sosial, kesehatan, dan penguasaan skill tenaga kerja dengan menggandeng lembaga-lembaga kekaryaan. Juga, peningkatan kualitas pendidikan masyarakat di lingkungan NU agar menghasilkan peserta didik yang bermutu dan untuk selanjutnya menyumbang pada kualitas umat (NU).
Keenam, NU perlu mendiskusikan ulang tema-tema ideologi yang selama ini telah ada untuk dikontekstualisasikan untuk menjawab perkembangan dan tantangan yang dihadapi umatnya.
Jika peran-peran di atas mampu dimainkan dengan baik oleh NU, bukan tak mungkin NU akan menjadi organisasi yang tidak hanya mampu menjawab problem realitas, tetapi juga mampu menjadi pengawal peradaban. Wallahu A`lam. (*)

Menunggu Gubernur Negarawan

Setelah melalui babak ”perpanjangan waktu” di Kabupaten Bangkalan dan Sampang, pemilihan gubernur-wakil gubernur Jawa Timur menemukan juaranya. Pasangan Karsa (Soekarwo-Saifullah Yusuf) akhirnya keluar sebagai pemenang, mengalahkan pasangan Kaji (Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono). KPU Jawa Timur melalui suratnya bernomor 2 Tahun 2009 tertanggal 30 Januari 2009 menetapkan pasangan Karsa sebagai gubernur-wakil gubernur Jawa Timur terpilih periode 2009-2014.
Di Bangkalan, Kaji mendapatkan 144.238 suara, sedangkan Karsa 253.981 suara. Di Sampang, Kaji memperoleh 146.360 suara, sedangkan Karsa 210.052 suara. Jadi, secara
keseluruhan Kaji mendapat 7.626.757 suara (49,89 persen), sedangkan Karsa 7.660.861 suara (50,11 persen). (Kompas, 31 Januari 2009). Selisih kemenangan pasangan Karsa atas Kaji sangat tipis, hanya 0,22 persen atau 34.104 suara.
Pelantikan pasangan yang dicalonkan oleh PAN-Partai Demokrat dan didukung Partai Golkar, PKB, dan PKS ini sudah di depan mata. Departemen Dalam Negeri merestui pasangan ini akan dilantik pada 12 Februari mendatang.
Tentu kita berharap pelantikan tersebut mengakhiri drama penentuan L1 dan L2 yang panjang dan melelahkan tersebut. Sehingga ke depan, pasangan terpilih ini segera dapat menata pembangunan di Provinsi Jawa Timur, setelah hampir setahun tidak memiliki gubernur-wakil gubernur definitif.

Fase Krusial
Segera setelah pelantikan, Karsa akan membentuk ”kabinet”-nya untuk melanjutkan pembangunan di Jawa Timur. Meski beberapa waktu lalu Pj Gubernur Jawa Timur sudah melakukan mutasi jabatan di jajaran pemprov, tidak menutup kemungkinan penataan ”kabinet” masih memungkinkan dilakukan oleh pasangan ini.
Sebagai mantan Sekdaprov Jawa Timur, Soekarwo tentu sudah banyak mengenal pejabat-pejabat yang kompeten di bidangnya untuk diberi kepercayaan membantu menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Inilah ujian pertama dan krusial yang harus dilalui Karsa dengan mulus pasca pelantikan. Bersama Baperjakatprov, keduanya dituntut cermat, teliti, proporsional, dan profesional, dalam menentukan orang-orang yang masuk dalam jajaran pemerintahannya.
Sebelum menentukan pejabat yang dipandang cakap untuk diplot sebagai pembantunya kelak, ada baiknya pasangan Karsa memperhatikan sinyalemen Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo, yang dilansir sejumlah media beberapa waktu lalu.
PGRI mengsinyalir, salah satu penyebab tak kunjung majunya perkembangan pendidikan di Indonesia adalah banyaknya kepala dinas pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang tidak kapabel di bidangnya. Temuan PGRI menyebutkan, terdapat 50 persen dispendik kabupaten/kota di Indonesia dipimpin oleh pejabat yang tidak memiliki latar belakang pendidikan. Penempatan pejabat-pejabat tersebut di lingkungan dispendik acapkali didasari pertimbangan ”balas budi” politik karena dianggap turut berjasa dalam menghantarkan calon menuju kursi bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil walikota yang sekarang ini didudukinya.
Temuan PGRI tersebut menarik untuk dikaji dan dijadikan kontrol, karena bukan hanya pendidikan saja yang perlu diperhatikan, tetapi juga instansi lain. Pada wilayah inilah kenegarawanan Soekarwo dan Saifullah Yusuf diuji. Meski keberangkatan awalnya atas tiket partai pelangi, saat masuk gerbang birokrasi, keduanya dituntut untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat dengan segala kemampuan terbaiknya, penuh dedikasi, dan mono loyalitas.
Loyalitas kepada partai politik yang memberangkatkan dan mendukungnya idealnya harus berakhir pada saat pengabdian kepada masyarakat itu dimulai. Saat ditahbiskan sebagai gubernur dan wakil gubernur, detik itu pula loyalitas yang dimiliki keduanya adalah tunggal. Yakni, loyal kepada masyarakat, dengan rela melepaskan segala atribut asal usulnya.

Politik dan Kinerja Aparatur
Sikap kenegarawanan penting diambil setidaknya karena dua aspek. Pertama, dari sisi politik (baca: legitimasi). Seperti kita ketahui bersama, kemenangan pasangan Karsa terhadap Kaji sangat tipis, hanya 0,22 persen atau 34.104 suara. Boleh dibilang bahwa kemenangan Karsa tidak mutlak, legitimasinya sangat tipis. Angka 34.104 suara tersebut hanya setara dengan penduduk di satu kecamatan untuk tingkatan sedang. Logika sederhananya adalah dukungan politik yang diberikan warga Jawa Timur tak ada separo, jika dihitung juga dengan jumlah warga yang memilih golput. Untuk menutup legitimasi tersebut, perlu diimbangi dengan sikap-sikap yang bisa diterima warga Jawa Timur, meski dalam pilgub sebelumnya, baik putaran pertama maupun kedua, tidak memilih pasangan Karsa.
Kedua, aspek kinerja aparatur pemerintahan. Jamak diketahui pula bahwa dalam pilgub putaran pertama yang lalu struktur birokrasi Jawa Timur terbelah, kendati tidak kelihatan secara kasat mata. Majunya dua birokrat, Soekarwo dan mantan Wagub Soenarjo (yang berpasangan dengan Ali Maschan Moesa/Salam), sedikit banyak akan menimbulkan friksi. Karsa bisa menekan (bahkan mungkin menghapus) friksi yang muncul tersebut dengan menampilkan sosok negarawan yang sejati, bukan semu.
Bila ini yang dilakukan, tentu yang diuntungkan adalah masyarakat Jawa Timur secara keseluruhan, bukan hanya yang memilih Karsa. Pembangunan kembali Jawa Timur akan dimulai dengan semangat baru: semangat kenegarawanan. Sekarang, bola tersebut ada di tangan Pakde Karwo dan Gus Ipul. (*)
Bawah Titian, 10 Februari 2009

Efek Domino Putusan MK

”Derita” KPU Jawa Timur belum berakhir. Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2009 ditentukan melalui system suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut. Dengan putusan itu, caleg yang menempati nomor urut sepatu berpeluang sama dengan mereka yang berada di urutan paling atas. Putusan itu diketok setelah MK mengabulkan permintaan uji materiil pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Permohonan uji materiil diajukan oleh caleg PDIP Muhammad Sholeh dkk serta caleg Partai Demokrat Sutjipto.
Implikasi dari putusan lembaga penafsir tunggal undang-undang tersebut sangat serius. Sejumlah agenda yang telah disiapkan KPU Jawa Timur terkait persiapan Pemilu 2009 terancam amburadul. Sebab, sebelumnya MK juga mengabulkan sebagian dari gugatan pasangan Kaji (Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono) atas hasil pilgub yang ditetapkan KPU Jawa Timur.
MK memutuskan, coblosan di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang harus diulang. Sementara untuk Kabupaten Pamekasan hanya penghitungan suaranya saja yang harus diulang. KPU Jawa Timur sendiri telah memutuskan coblosan ulang di Sampang dan Bangkalan akan dilaksanakan 21 Januari 2009. Sedangkan penghitungan ulang di Pamekasan 28 Desember 2008.
Dua putusan MK tersebut menimbulkan efek domino terhadap pelaksanaan Pemilu 2009 di Jawa Timur. Pada Januari 2009 mendatang, seharusnya KPU Jawa Timur dan KPU kabupaten/kota se Jawa Timur harus sudah mulai mempersiapkan tahapan-tahapan Pemilu 2009. Sebab, Pemilu 2009 bakal digelar April 2009. Tetapi kini, tahapan-tahapan pemilu itu terancam tertunda, karena KPU Jawa Timur, serta KPU Kabupaten Bangkalan dan Sampang harus bekerja keras dalam 30 hari ke depan. Mereka harus lebih fokus pada coblosan ulang jika tak ingin kasus penyelewengan suara pada pilgub putaran kedua kembali terjadi.
Keruwetan ini semakin menambah benang kusut persiapan KPU Jawa Timur dalam menyiapkan pemilu, karena sebelumnya ada beberapa agenda yang belum tuntas.
Pertama, saat ini mayoritas keanggotaan KPU kabupaten/kota se Jawa Timur telah habis. Sejauh ini tahapan seleksi atau rekrutmen anggota KPU kabupaten/kota baru pada tahap seleksi wawancara dan psikotes.
Sedianya, pelaksanaan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) calon anggota KPU kabupaten/kota dilaksanakan Desember ini. Karena putusan MK mengisyaratkan drama pilgub belum final, tugas KPU Jawa Timur kembali terbengkalai. Memang, uji kelayakan dan kepatutan bisa saja dilakukan oleh KPU Jawa Timur dalam waktu dekat.
Namun, hal itu terlalu riskan karena waktunya tergesa-gesa. Ini tentu problem yang tidak bisa dianggap remeh karena bisa menjadi batu sandungan di masa mendatang.
Kedua, kalaupun terpilih anggota KPU kabupaten/kota yang baru, problem anyar masih muncul. Kesiapan anggota KPU kabupaten/kota yang baru dalam melaksanakan tahapan pemilu sangat mepet. Dengan limitasi waktu yang kurang dari tiga bulan (akhir Januari-Maret), mereka harus menyiapkan tahapan-tahapan pemilu yang begitu banyak. Mulai sosialisasi, pembentukan PPK (panitia pemilihan kecamatan), PPS (panitia pemungutan suara), regulasi kampanye, dan lainnya.
Padahal, hampir bisa dipastikan dari lima anggota KPU kabupaten/kota nanti, paling banyak hanya terdapat dua muka lama yang dipercaya lagi sebagai anggota lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Jika demikian halnya, jelas tiga anggota baru ini butuh adaptasi, sementara waktu yang tersedia tidak banyak.

Mewaspadai Golput
Jika beberapa hal di atas tidak segera diatasi dengan baik oleh KPU Jawa Timur, maka hantu golput bukan tidak mungkin muncul kembali. Bahkan, tidak menutup kemungkinan angkanya bisa lebih tinggi.
Kita sangat miris dengan angka golput pada Pilgub Jawa Timur tahap kedua 4 November 2008 yang menembus angka 45,68 persen. Dari 29.280.470 juta jumlah pemilih di Jawa Timur, yang menggunakan hak pilihnya 15.399.665 juta jiwa, alias angka partisipasi hanya 54,32 persen. Angka golput pada putaran kedua ini meningkat cukup signifikan. Pada pilgub putaran pertama 23 Juli 2008, dari jumlah pemilih 29.061.718 orang, yang menggunakan hak suaranya 61,63 persen. Sementara 38,37 persen lainnya memilih golput. (Kompas, 12/11/2008).
Potensi golput masih tinggi karena pada Pemilu 2009 ada perubahan sistem sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pemilu. Yakni, dari mencoblos, menjadi mencontreng. Banyaknya jumlah parpol peserta pemilu (38 partai) dan jumbonya ukuran surat suara (54x84 cm) juga semakin menambah daftar panjang kepelikan pemilu.
Bisa jadi, karena sistemnya yang ”ruwet” dan seringnya pemilihan, baik pilkada maupun pilkades, masyarakat menjadi enggan, bosan, kurang paham, dan kurang peduli dengan pemilu. Simulasi yang digelar KPU di Jakarta adalah salah satu contohnya. Sejumlah pemilih mengaku belum mengetahui bahwa tanggal pemungutan suara pemilu adalah 9 April 2009. Ironinya, pengakuan itu terlontar dari bibir seorang mahasiswi yang secara kapasitas dan wawasan seharusnya lebih tahu.
Pengetahuan ibu-ibu jauh lebih ”parah”. Sebagian dari mereka mengaku tidak tahu sama sekali tentang penyelenggaraan pemilu. Lucunya, mereka justru menganggap simulasi itu sudah pemilu sesungguhnya. Padahal simulasi itu dilakukan di kawasan perkotaan yang lebih dekat dengan informasi. Kita bisa membayangkan, bagaimana jika di pedesaan?

Yang Harus Dilakukan
Ancaman tingginya angka golput dalam Pemilu 2009 jangan lantas membuat masyarakat dan penyelenggara pemilu patah arang. Apalagi, pemerintah, berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN 2008, telah menyiapkan dana untuk penyelenggaraan Pemilu 2009 sebesar Rp 6,67 triliun, dan untuk keperluan operasional KPU senilai Rp 793,9 miliar: sebuah angka yang sangat fantastis!
Untuk menekan angka golput, menurut penulis, ada beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan. Pertama, tahapan sosialisasi, pendidikan pemilih (civic education), dan simulasi pemilu harus gencar dilakukan yang diukur dengan indikator-indikator capaian. Domain sosialisasi pemilu memang di tangan KPU. Namun, dengan pendeknya limit waktu, plus bejibunnya keruwetan yang masih melanda pilgub mau tidak mau KPU harus membuka diri. KPU harus membuang jauh-jauh ego sentrisme dan mau bekerja sama dengan parpol, ormas, hingga organisasi masyarakat sipil untuk gencar melakukan simulasi dan sosialisasi. Sebab, bisa jadi keengganan masyarakat untuk datang memilih disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap hak-hak dan sistem pemilu.
Kedua, metode sosialiasi yang selama ini hanya monologis dan sesekali dialogis, harus didesain ulang dengan cara yang lebih efektif serta disukai masyarakat. Bila dipandang perlu, sosialisasi disesuikan dengan kearifan budaya lokal (local wisdom) yang ada. Misalnya, melalui seni tayub, wayang, dan lainnya. Dalam banyak hal, cara-cara kultural lebih efektif daripada pendekatan struktural yang kaku dan formalistis. Pendekatan yang menyentuh kepekaan masyarakat tentang arti penting pemilu bagi kehidupan dan masa depan demokrasi, harus menjadi ruh dari sosialisasi ini.
Ketiga, sudah waktunya bagi para pembuat dan pengambil kebijakan di Indonesia, mulai memikirkan konsep pemilihan yang serentak (digabungkan), mulai dari pilpres, pilgub, hingga pilbup/pilwali. Selain biayanya relatif lebih sedikit, model pemilihan serentak akan lebih mampu mengurangi kejenuhan masyarakat untuk memilih. Sehingga, tingkat
partisipasi masyarakat menjadi lebih tinggi.
Keempat, parpol dan caleg harus benar-benar mengedepankan politik sebagai tanggung jawab mengejawantahkan mandat sosial, bukan sekadar untuk memburu kekuasaan. Jika frame ini tidak diubah, masyarakat semakin enggan datang ke TPS, parpol kian tak laku: deklarasi sekaligus sebagai pembubaran parpol, dan masa depan demokrasi kian gelap. Kita tentu tidak ingin yang demikian kan? (*)
Bawah Titian, 25 Desember 2008

Alarm Bahaya Pemilu 2009

Drama pemilihan gubernur-wakil gubernur (Pilgub) Jawa Timur belum berakhir.Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan pasangan Kaji (Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono) atas hasil pilgub yang ditetapkan KPU Jawa Timur. MK memutuskan, pemilihan di Kabupaten Bangkalan dan Sampang harus diulang. Sementara untuk Kabupaten Pamekasan hanya penghitungan suaranya saja yang harus diulang.
Putusan MK ini mau tidak mau membawa implikasi serius terhadap pelaksanaan Pemilu 2009. Sebab, pada Januari 2009 mendatang, KPU Jawa Timur dan KPU kabupaten/kota se Jawa Timur harus sudah mulai mempersiapkan tahapan-tahapan Pemilu 2009. Sebab, Pemilu 2009 bakal digelar April 2009. Tetapi kini, tahapan-tahapan pemilu itu terancam tertunda, karena, jika tidak ada halangan, KPU Jawa Timur merencanakan pelaksanaan pilgub ulang di Bangkalan dan Sampang pada Januari mendatang.
KPU Jawa Timur, serta KPU Kabupaten Bangkalan dan Sampang harus bekerja keras dalam 60 hari ke depan. Mereka harus lebih memfokuskan diri pada pilgub ulang ini jika tidak ingin kasus penyelewengan suara pada pilgub putaran kedua kembali terjadi.
Keruwetan ini semakin menambah benang kusut persiapan KPU Jawa Timur dalam menyiapkan pemilu. Sebelumnya, sudah ada beberapa agenda yang belum tuntas terkait persiapan pemilu. Pertama, saat ini mayoritas keanggotaan KPU kabupaten/kota se Jawa Timur telah habis. Sejauh ini tahapan seleksi atau rekrutmen anggota KPU kabupaten/kota baru menyelesaikan tahap seleksi wawancara dan psikotes.
Sedianya, pelaksanaan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) calon anggota KPU kabupaten/kota akan dilaksanakan pada awal hingga Desember ini. Karena putusan MK mengisyaratkan belum finalnya drama pilgub, maka tugas KPU Jawa Timur kembali terbengkalai. Sangat mungkin uji kelayakan dan kepatutan yang pelaksanaannya juga dilakukan oleh KPU Jawa Timur tidak akan terlaksana dalam waktu dekat. Kalau pun hal itu bisa dilakukan, dikhawatirkan prosesnya tidak berjalan dengan baik karena waktunya tergesa-gesa. Ini tentu problem yang tidak bisa dianggap remeh dan sebelah mata yang bisa menjadi batu sandungan di masa mendatang.
Kedua, kalaupun telah terpilih anggota KPU kabupaten/kota yang baru, problem anyar masih muncul. Yakni, kesiapan anggota KPU kabupaten/kota baru dalam melaksanakan tahapan pemilu. Dengan limit waktu yang hanya empat bulan, mereka harus menyiapkan tahapan-tahapan pemilu yang sedemikian banyak. Mulai tahap sosialisasi, pembentukan PPK (panitia pemilihan kecamatan) dan PPS (panitia pemungutan suara), penyiapan dan pembuatan regulasi tentang kampanye, serta tahapan-tahapan lainnya.
Padahal, hampir bisa dipastikan dari lima anggota KPU kabupaten/kota nanti, paling banter hanya dua muka lama yang kembali dipercaya sebagai anggota lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Jika demikian halnya, maka jelas tiga anggota KPU kabupaten/kota yang baru butuh adaptasi. Tentu ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sementara, mereka hanya punya waktu empat bulan untuk menyiapkan kerja berat pesta demokrasi.

Mewaspadai Golput
Jika beberapa hal di atas tidak segera diatasi dengan baik oleh KPU Jawa Timur, maka hantu golput bukan tidak mungkin muncul kembali. Bahkan, tidak menutup kemungkinan angkanya bisa lebih tinggi.
Kita cukup miris dengan angka golput pada pilgub Jawa Timur tahap kedua 4 November 2008 lalu yang menembus angka 46 persen. Dari 29.280.470 juta pemilih di Jawa Timur, yang menggunakan hak pilihnya hanya 15.399.665 juta jiwa. Sedangkan 13.469.016 juta pemilih (46 persen) tak menggunakan hak pilihnya alias golput. (Jawa Pos, 12/11/2008). Angka golput pada putaran kedua ini meningkat cukup signifikan. Pada putaran pertama tercatat ”hanya” 38,37% suara atau 11.152.406 juta pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Potensi golput dalam Pemilu 2009 masih tinggi karena pada pemilu mendatang ada perubahan yang akan diterapkan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pemilu. Yakni, dari mencoblos, menjadi mencontreng. Banyaknya jumlah parpol peserta pemilu (38 partai) dan jumbonya ukuran surat suara (54x84 cm) juga semakin menambah daftar panjang kepelikan pemilu.
Bisa jadi, lantaran sistemnya yang boleh dibilang ruwet dan seringnya pelaksanaan pemilihan, baik pilkada maupun pilkades, membuat masyarakat enggan, bosan, kurang paham, dan kurang peduli dengan pemilu. Simulasi yang digelar oleh KPU di Jakarta adalah salah satu contohnya.
Sejumlah pemilih, misalnya, mengaku belum mengetahui bahwa tanggal pemungutan suara pemilu adalah 9 April 2009. Ironinya, pengakuan itu terlontar dari bibir seorang mahasiswi yang secara kapasitas dan wawasan seharusnya lebih tahu. Pengetahuan ibu-ibu jauh lebih ”parah”. Sebagian dari mereka mengaku tidak tahu sama sekali tentang penyelenggaraan pemilu. Lucunya, para lansia itu justru menganggap simulasi tersebut sudah pemilu sesungguhnya (Jawa Pos, 30/11/2008). Padahal simulasi itu dilakukan di kawasan perkotaan yang lebih dekat dengan informasi. Kita bisa membayangkan, bagaimana jika di pedesaan?

Yang Harus Dilakukan
Tingginya intensitas pemilihan ini menjadi salah satu penyebab angka golput naik. Sebab, bisa jadi masyarakat saat ini sudah jenuh dengan pemilihan yang berulang-ulang, mulai tingkat desa, maupun pilkada kabupaten/kota dan provinsi, tetapi tak ada perbaikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dampaknya, semakin lama masyarakat kian apatis. Sementara, di bagian lain sosialisasi yang dilakukan sangat mepet.
Namun, ancaman tingginya angka golput dalam Pemilu 2009 tidak lantas membuat masyarakat dan penyelenggara pemilu patah arang. Apalagi, pemerintah, berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN 2008, telah mengalokasikan dana untuk keperluan penyelenggaraan Pemilu 2009 sebesar Rp 6,67 triliun, dan untuk keperluan operasional KPU sebesar Rp 793,9 miliar: sebuah angka yang sangat fantastis!
Untuk menekan minimnya angka golput, ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan. Pertama, tahapan sosialisasi pemilu harus gencar dilakukan yang diukur dengan indikator-indikator capaian. Domain sosialisasi pemilu memang ada di tangan KPU. Namun, dengan pendeknya limit waktu, plus bejibunnya keruwetan yang masih melanda pilgub Jawa Timur mau tidak mau KPU harus membuka diri.
KPU harus membuang jauh-jauh ego sentrisme dan mau bekerja sama dengan elemen-elemen masyarakat, baik parpol, ormas, hingga organisasi masyarakat sipil untuk gencar melakukan simulasi dan sosialisasi. Sebab, bisa jadi keengganan masyarakat datang memilih disebabkan ketidaktahuan mereka akan hak-hak dan sistem pemilu yang ada.
Metode sosialiasi yang selama ini hanya bersifat monologis dan sesekali dialogis, juga harus didesain ulang dengan cara yang lebih efektif serta disukai masyarakat. Misalnya, diintegralkan dengan budaya dan seni yang disukai masyarakat sasaran. Dalam banyak hal, cara-cara kultural memang lebih efektif daripada pendekatan struktural yang kaku dan formalistis.
Bagaimana harus ditekankan kepada masyarakat bahwa pemilu merupakan prasyarat demokrasi prosedural untuk membentuk pemerintahan. Pendekatan yang mampu menyentuh kepekaan masyarakat tentang pentingnya pemilu dalam kehidupan dan masa depan demokrasi, harus menjadi ruh dari sosialisasi, bukan sekadar untuk menjalankan atau menggugurkan jadwal tahapan pemilu.
Kedua, sudah waktunya para pembuat dan pengambil kebijakan di Indonesia, mulai memikirkan konsep pemilihan yang serentak (digabungkan), mulai dari pilpres, pilgub, hingga pilbup/pilwali. Selain biayanya relatif lebih sedikit, model pemilihan serentak diyakini akan lebih mampu menekan angka kejenuhan masyarakat untuk memilih. Ending-nya, tingkat partisipasi masyarakat menjadi lebih tinggi, dan angka golput pun bisa ditekan.
Ketiga, parpol dan calon anggota legislatif (caleg) harus benar-benar mengedepankan politik sebagai tanggung jawab mengejawantahkan mandat sosial, bukan hanya sekadar untuk memburu kekuasaan. Jika frame ini tidak diubah, masyarakat kian enggan datang ke TPS, parpol kian tak laku: deklarasi sekaligus sebagai pembubaran parpol, dan masa depan demokrasi kian gelap. Kita tentu tidak ingin yang demikian kan? Semoga. (*)
Bawah Titian, 3 Desember 2008

Politik Bola Sodok PKS

DALAM sebulan terakhir nama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi bahan utama pembicaraan di ranah politik tanah air. Salah satu pemicunya adalah iklan politik PKS yang menimbulkan kontroversi, karena mengusung sejumlah nama di luar maenstream mereka selama ini. Mulai dari KH Hasyim Asy`ari (pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), M. Natsir (tokoh Masyumi), Soekarno (presiden pertama RI sekaligus tokoh nasionalis), hingga Soeharto (mantan presiden RI).
Penyertaan nama-nama tersebut dalam iklan politik PKS memantik protes dari sejumlah kalangan yang selama ini menganggap tokoh-tokoh itu trade mark mereka. Ketua Umum PB NU, KH Hasyim Muzadi, misalnya. Dia menilai pemunculan nama KH Hasyim Asy`ari itu tak lebih hanya sebagai upaya PKS mendulang simpati dari nahdliyyin. Sebab, apapun kakek KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut merupakan ikon NU.
Protes serupa dilontarkan Din Syamsuddin. Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menilai iklan PKS mencederai umat Muhammadiyah. Iklan itu akan menyeret Muhammadiyah ke ranah politik praktis,padahal platform organisasi ini adalah berbasis sosial. Mereka juga menganggap iklan PKS hanya strategi menjelang Pemilu 2009 yang bertujuan mendulang simpati dari Muhammadiyah.
Belum selesai kontroversi itu, PKS kembali bermanuver. Berdalih rekonsiliasi, Rabu (19/11) lalu PKS mengumpulkan keluarga pahlawan. Lagi-lagi manuver tersebut berbuah kontroversi dan menyita perhatian publik (baca: media massa). Sebab, sejumlah keturunan pahlawan nasional hadir dalam pertemuan tersebut. Sebut saja, Agustanzil Sjahroezah (cucu KH Agus Salim), Halida Hatta (cucu Moh. Hatta), KH Salahuddin Wahid (cucu KH Hasyim Asy`ari), Bambang Sulistomo (putra Bung Tomo), dan Amelia Ahmad Yani (putri Jendral A. Yani). (Jawa Pos, 20 November 2008).
Tak pelak, dua manuver ini menimbulkan banyak pertanyaan. Tuluskah PKS menyebut nama-nama tokoh di atas sebagai guru bangsa? Apakah ada kepentingan politik jelang Pemilu 2009? Ataukah justru itu merupakan langkah cerdik PKS yang mampu membaca peluang untuk mengail dukungan?

Gaya Baru Berpolitik?
Ibarat manusia, perkembangan PKS dari tahun ke tahun terus membesar. Partai Keadilan (nama lama PKS) sempat tidak lolos electoral threshold dalam Pemilu 1999. Namun, pada Pemilu 2004 mereka bermetaforsis menjadi PKS. Pada periode inilah gerakan politik mereka terus menyebar. Pola MLM (multilevel marketing) dan pembiakan sel dalam sistem rekrutmen dan kaderisasinya menjadikan mereka mempunyai massa yang militan, solid, dan loyal.
Suka tidak suka, mau tidak mau, kekuatan politik PKS ini akan menjadi ancaman serius
dari tahun ke tahun bagi parpol-parpol lama yang basis kaderisasinya masih lemah.
Partai Golkar, misalnya. Partai ini dulu dikenal memiliki massa yang militan dan solid. Namun kini, label tersebut seolah telah ”direbut” PKS. Tentu, telah melalui modifikasi sedemikian rupa.
Jika dicermati, dari tahun ke tahun PKS terus berkreasi, mencari varian-varian baru untuk menggalang simpati massa. PKS mungkin sadar betul bahwa mereka bukan partai berbasis massa layaknya PKB atau PDIP. Karena itu, mereka harus menjadi partai berbasis kader, yang pendekatannya memang pelan, tetapi output-nya akan mampu menghasilkan anggota-anggota partai yang militan, solid, dan loyal. Mereka menganggap sistem kaderisasi yang matang lebih baik daripada metode kaderisasi parpol berbasis massa, yang secara sekilas terlihat riil, tetapi sebenarnya rapuh karena landasan fundamentalnya tidak kokoh.
Tuntutan untuk selalu survive inilah yang melandasi PKS selalu menciptakan ide-ide baru dan segar, meski melawan arus sekalipun. Kader-kader PKS, tahu bahwa KH Hasyim Asy`ari adalah ikon NU, yang merupakan basis andalan PKB dan PKNU. Mereka sangat mafhum KH Ahmad Dahlan merupakan tokoh yang dihormati warga Muhammadiyah, yang tak lain lumbung suara PAN dan PMB. Mereka sangat maklum Bung Karno adalah figur sentral kaum nasionalis dan marhaenis, yang secara kultur milik PDIP. Dan, mereka pun mengerti bahwa Soeharto masih mempunyai banyak pengikut dan loyalis yang telah memiliki afiliasi politik, semisal PKPB.
Tetapi kenapa nama-nama mereka ”dicatut” untuk menjadi ”ikon baru” PKS? Disinilah kejelian mereka. Sebenarnya, PKS amat sadar nama-nama di atas adalah bukan ”bagian” dari mereka. Namun, justru itulah celah politik yang harus diambil dan dimanfaatkan. Sebab, dengan memunculkan nama-nama tokoh tersebut di atas, bisa dipastikan menjadi kontroversi yang akan terus dibahas publik. Imbasnya popularitas PKS terus terangkat.
Ibarat bermain biliar (bola sodok), PKS telah menyodok nama-nama tokoh di atas (bola putih) dengan kadar yang telah ditentukan, untuk dibenturkan dengan publik (bola nomor 1, 2, 3 dan seterusnya). Benturan bola-bola bernomor tersebut tentu ada yang langsung masuk ke lubang. Atau, paling tidak ada yang mendekati lubang.
Dan, salah satu cara (stik bola sodok) yang cukup efektif adalah lewat komunikasi massa, yang dalam wilayah ini berupa iklan politik. PKS sadar betul bahwa dengan komunikasi massa mereka bisa mengubah anggapan publik yang selama ini meyakini PKS adalah partai yang bukan berbasis tradisionalis (NU), modernis (Muhammadiyah), dan nasionalis (PDIP). Hal ini bisa dimaklumi karena tujuan komunikasi massa adalah untuk mengubah sikap, opini, atau pandangan dan perilaku (to change the attitude, opinion, and behavior), sehingga timbul pada komunikan (publik) efek kognitif, efek afektif, dan efek konatif atau behavioral. (Onong Uchjana: 2003)
PKS juga sadar bahwa mendekati komunitas NU, Muhammadiyah, dan nasionalis belum memungkinkan jika dilakukan dengan cara-cara horizontal. Misalnya, dengan melakukan safari politik ke kantong-kantong ketiga elemen di atas. Dan, salah satu cara yang cukup efektif adalah menggunakan pendekatan vertikal, termasuk dengan iklan politik. Mereka berharap bola-bola liar dan bernomor tersebut masuk dalam lubang.
Pilihan ini juga menunjukkan kejelian PKS dalam mengemas strategi marketing politik sebagaimana digagas pakar pemasaran Hermawan Kertajaya. Yakni, mengandung PDB (position, differentiate, dan brand). Artinya, jika ingin laku, sebuah produk (dalam kasus ini adalah partai) harus tampil beda dengan (partai) yang sudah ada selama ini.

Tantangan
Iklan politik PKS menjadi tantangan tersendiri bagi parpol peserta Pemilu 2009. Parpol peserta pemilu dituntut aktif dan terus menggali inovasi untuk meraih dukungan publik. Bila selama ini strategi penggalangan massa yang dipakai oleh parpol lebih banyak melalui pendekatan mobilisasi, mungkin model itu kurang menarik lagi bagi masyarakat.
Pilpres AS memberi banyak pembelajaran dan strategi politik yang menarik. Simaklah bagaimana sedemikian totalnya tim relawan presiden terpilih Barrack Husein Obama dalam mengail dukungan massa. Mereka tidak kenal lelah menelepon calon pemilih day to day untuk sekadar mengingatkan dan memberi pengertian agar memilih Obama dalam pilpres 4 November yang lalu tersebut.
Simak juga cara Obama yang bersedia membangun komunikasi dengan massanya melalui internet yang selalu online. Sistem ini juga digunakan tim Obama untuk mempengaruhi calon pemilihnya. Cara ini terbukti efektif karena mayoritas warga AS memang melek internet.
Mungkin, kedua cara di atas (belum) bisa diterapkan di Indonesia. Tetapi, setidaknya parpol harus terus mencari cara dan metode yang lebih cerdas dan dewasa untuk mengail dukungan masyarakat. Tentu dengan catatan rayuan yang ditawarkan ke publik tersebut harus disertai dengan keseriusan untuk melaksanakannya, bukan hanya lip service, apabila kelak terpilih menjadi wakil rakyat. Hal ini penting untuk dilakukan agar golput (golongan putih) tidak menjadi ”parpol” yang dipilih rakyat, karena kecewa dengan pengkhianatan para wakil rakyat dan parpol yang dipilihnya. Bagaimana parpol? (*)

Bawah Titian, 28 November 2008

Reinterpretasi Teks Keagamaan Kita (Studi Kasus Pernikahan Syekh Puji-Ulfa)

Dalam beberapa hari terakhir ini publik dikejutkan dengan pernikahan kontroversial antara Syekh Puji, 43, pengusaha asal Semarang, Jawa Tengah, dengan Lutfiana Ulfa. Pernikahan ini menjadi gonjang ganjing dan menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, karena Ulfa baru berusia 12 tahun.
Sampai-sampai Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak ”memvonis” pengusaha bernama asli H. Pujiono Cahyo Widianto itu dengan tiga kesalahan atau pelanggaran sekaligus. Menurut Komnas Perlindungan Anak, pemimpin Ponpes Miftahul Jannah itu dinilai, pertama, melakukan pelanggaran terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU itu disebutkan, perkawinan dengan anak-anak dilarang. Paling tidak, untuk menikah umur perempuan harus 16 tahun, sementara laki-laki 19 tahun.
Kedua, Syekh Puji dianggap melanggar UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang tidak memperbolehkan adanya persetubuhan terhadap anak. Dan, vonis ketiga, Komnas Perlindungan Anak menilai Syekh Puji melanggar UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ini karena Syekh Puji mengangkat istri keduanya itu sebagai General Manager PT Sinar Lendoh Terang, perusahaan milik Syekh Puji.
Kasus ini semakin menjadi pusat perhatian karena Syekh Puji menyikapi badai kritik dan kecaman itu dengan santai dan meyakini bahwa langkah yang ditempuh adalah benar. Dalam banyak kesempatan wawancara dengan media massa, baik cetak maupun elektronik, Syekh Puji menegaskan pernikahannya dengan Ulfa tidak dilandasi dengan unsur paksaan. Alasannya, selain sudah mendapat izin (baca: ikhlas) dari istri pertamanya (Hj. Ummi Hanni), orang tua Ulfa (Suroso-Siti Huriah) juga merestui apabila anaknya dinikahi oleh Syekh Puji.
Pria yang sebelum Lebaran lalu menjadi perhatian karena membagikan zakat Rp 1,3 miliar secara langsung kepada ribuan warga tersebut juga meyakini bahwa pernikahannya dengan Ulfa tidak bertentangan dengan agama. Mungkin, yang dimaksud Syekh Puji ini adalah bahwa langkah yang ditempuhnya tidak melawan Islam, karena Nabi Muhammad SAW pernah menikah dengan gadis (Aisyah r.a, putri Abu Bakar) yang berusia 9 tahun.

Perbedaan Pemahaman Keagamaan
Dalam hal menikahi wanita lebih dari satu, apa yang dialami oleh Syekh Puji tersebut tergolong sebagai poligami. Di kalangan Islam, perdebatan tentang poligami tidak pernah tuntas sejak dulu. Sebagian ahli Islam (ulama) klasik tetap berkeyakinan bahwa poligami adalah sah dan dibolehkan dalam agama. Dalil teks yang digunakan ulama klasik sebagai legitimasi dan justifikasi (landasan pembenar) adalah QS. An Nisa ayat 3 dan mencontoh secara ”total”, --yang mungkin tanpa ditelisik lebih jauh, mengenai pernikahan yang telah dilakukan Nabi, yang dalam contoh kasus ini adalah menikahi Aisyah r.a.
Namun, sebagian ulama kontemporer menilai poligami tidak memenuhi unsur keadilan umat manusia yang diciptakan setara, sederajat. Padahal, Islam diturunkan ke muka bumi membawa misi pembebasan (liberate) dari kaum tertindas.
Kelompok ulama kontemporer meyakini bahwa Islam adalah agama universal yang berprinsip rahmatan lilalamin (menyebarkan kasih sayang ke segenap penjuru alam). Apabila kita mempelajari isi dan kandungan teks-teks Alquran, banyak sekali bermuatan isu-isu kontemporer. Kesimpulannya, Islam mengajarkan demokratisasi, egalitarianisme, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (gender), serta membebaskan, dan membela kaum tertindas.
Islam berarti sebagai ketundukan kepada prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan sosial, cinta, dan prinsip-prinsip lain yang melandasi berdirinya suatu komunitas yang bebas dan setara. Sebab, Islam bukankah sebuah ide baku atau sistem ritual-ritual, upacara-upacara, dan lembaga-lembaga yang kaku. Melainkan Islam adalah suatu prinsip progresif yang selalu menghapuskan tatanan-tatanan lama. (Hassan Hanafi: 1981).

Perlukah Standarisasi Pemahaman?
Apabila ditelisik lebih jauh, kebanyakan dari kasus-kasus poligami terjadi di kalangan masyarakat yang menerapkan doktrin-doktrin keagamaan yang berbasis ulama klasik. Sekadar menyebut contoh, keyakinan bahwa berpoligami, --dan mungkin termasuk pernikahan dengan anak di bawah umur (sesuai patokan UU Perkawinan), itu dihalalkan kebanyakan berkembang subur di wilayah-wilayah yang berdekatan dan berbasis pondok pesantren. Hal ini dapat dimaklumi karena rujukan masyarakat di wilayah itu kebanyakan berporos pada ulama yang selama ini berdoktrin ulama klasik.
Masalahnya adalah masih relevankah pemahaman keagamaan seperti itu dengan konteks realitas sosial yang selalu berkembang? Sebab, apabila Islam membolehkan anak di bawah umur menikah, maka ini tentu paradoks dengan prinsip dasar ajaran Islam yang diturunkan ke muka bumi, sebagaimana disinggung di tulisan awal.
Penulis yakin bahwa Islam diturunkan ke muka bumi dengan misi mulia. Kalaupun sejak dulu hingga sekarang masih ada perbedaan pemahaman tentang beberapa hal, termasuk menikahi gadis di bawah umur, mungkin hal itu lebih disebabkan cara dan methode yang diambil oleh ulama klasik dulu tak sama dengan ulama kontemporer.
Bisa jadi, ulama klasik dulu saat meng-istinbath (menentukan dasar hukum)-kan suatu persoalan yang terjadi di masyarakat, belum banyak mengadopsi ilmu-ilmu modern yang berkembang pesat seperti sekarang ini. Misalnya pendekatan hermeneutic, yakni methode menafsirkan teks agama dengan memperhatikan konteks realitas serta situasi waktu yang melingkupi atau menjadi sebab turunnya teks-teks tersebut (Abad Badruzaman; 2005).
Saat ini juga berkembang pesat ilmu-ilmu baru seperti antropologi, linguistik, metode sejarah, biologi, fisika, kimia, dan lainnya yang mungkin ketika itu belum ada, --dan kalaupun ada, belum diperlukan sebagai supporting dalam mencari pemahaman keagamaan terhadap apa yang terjadi di masa lampau.
Sekiranya disiplin ilmu-ilmu modern di atas juga digunakan kalangan ulama klasik dalam mencari pemahaman terhadap teks-teks yang ada, maka, meminjam istilah kawan-kawan JIL (Jaringan Islam Liberal), “kunci” penafsiran atas teks-teks yang ada tentu akan lebih longgar, dapat membumi sesuai dengan realitas sosial, dan tak menjadikan Nabi selalu sebagai ”bemper” atas tindakan-tindakan umat yang bertentangan dengan misi dasar Islam. Wallahu A`lam.
Bawah Titian, 27 Oktober 2008

Melestarikan Alam dengan ”Rukun Islam Keenam”

Dalam beberapa tahun terakhir isu lingkungan menjadi tema yang dominan dan menyita perhatian publik nasional maupun internasional. Isu lingkungan dianggap sangat penting karena terkait langsung dengan kehidupan di Bumi. Terjadinya pemanasan global (global warming), banjir, angin kencang, tanah longsor, perubahan iklim dan cuaca, serta kian menipisnya lapisan ozon (O3) menjadi alasan utama dunia internasional segera mengambil sikap.
Panel PBB untuk Perubahan Iklim (United Nations Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) di Velencia mengumumkan, pemanasan global adalah sesuatu yang tidak terbantahkan lagi dan dapat menimbulkan dampak sangat mengerikan. Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon menantang negara-negara di dunia untuk melakukan aksi nyata mengatasi ancaman tersebut.
Dari berbagai literatur disebutkan, pemanasan global terjadi salah satunya karena kian menipisnya hutan untuk kebutuhan pangan hingga papan manusia. Menipisnya hutan antara lain dipicu populasi manusia yang kian banyak dan aktivitas manusia yang padat. Dampaknya, polusi dari kendaraan bermotor, asap pabrik, maupun limbah semakin melimpah.
Persoalannya, jika pepohonan di hutan, termasuk di Indonesia, sudah tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan manusia dalam mereproduksi oksigen (O2), terjadilah efek rumah kaca (green house effect). Karena, hutan adalah paru-paru bumi yang mempunyai fungsi mengabsorsi gas Co2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil (minyak, batubara) menyebabkan gas Co2 di atmosfer yang menyelebungi bumi menipis. Jika berlangsung terus, suhu bumi meningkat, gumpalan es di kutub utara dan selatan mencair.
Ancaman itu mulai terbukti. Saat ini, rata-rata temperatur global naik 1,3 Fahrenheit (setara 0,72 derajat Celcius) dalam 100 tahun terakhir. Apabila kenaikan temperatur mencapai 3 derajat Celcius, 40 hingga 70 persen spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan terancam punah. Deputi Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Konservasi SDA dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnerliyati Hilman, menyatakan, Indonesia juga tak bisa lepas dari dampaknya. Akibat pemanasan global, permukaan laut Indonesia naik 0,8 cm per tahun dan berdampak tenggelamnya pulau-pulau nusantara hampir satu meter dalam 15 tahun ke depan.
Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia dua tahun lalu Departemen Kehutanan mengumumkan setiap harinya Indonesia kehilangan satu species (punah) dan kehilangan hampir 70 persen habitat alami pada 10 tahun terakhir ini. Menipisnya hutan juga mengakibatkan banjir. Sebab, fungsi daerah resapan dan tangkapan air (catchment area) tak lagi dimiliki hutan karena pohonnya semakin habis. Dampak buruk itu mulai dirasakan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, semisal di Bojonegoro (Jawa Timur), Bogor (Jawa Barat), dan Kalimantan Selatan, dalam beberapa bulan terakhir ini.

Kerusakan Hutan dan Penyebabnya
Indonesia memiliki 10 persen hutan tropis dunia yang tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12 persen dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16 persen spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25 persen dari spesies ikan dunia. Sebagian di antaranya endemik atau hanya dapat ditemui di daerah itu. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan cepat. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997). Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis itu.
Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektare per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektare per tahun. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektare hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektare berada dalam kawasan hutan. (Badan Planologi Dephut, 2003)
Ada beberapa faktor kenapa hutan rusak begitu cepat. Pertama, faktor ekonomi. Di daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa hutan, seperti di Kabupaten Bojonegoro, kasus kejahatan kehutanan dominan. Di Bojonegoro perkara kehutanan menduduki peringkat teratas dengan 190 kasus (Profil Kejari Bojonegoro, 2006). Tren ini bertahan hingga sekarang. Hampir seluruh pelaku kejahatan mengaku motif melakukan illegal logging karena ekonomi ditunjang peluang untuk melakukan ada: tersedianya lahan hutan yang luas. Artinya, dengan adanya luas wilayah hutan, masyarakat yang tak punya mata pencaharian tetap, dan bertempat tinggal di sekitar hutan, berpikiran menjarah hutan untuk kepentingan makan dan hidup mereka adalah jalan keluar.
Kedua, lemahnya Penegakan Hukum disadari atau tidak, faktor lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu pemicu masih maraknya penebangan hutan secara liar. Sebagian masyarakat tetap nekad menebang, karena mereka kecewa dengan pihak-pihak lain yang melakukan perbuatan yang sama, tetapi tidak tersentuh hukum. Warga sekitar tak bisa berbuat apa-apa karena ”orang-orang kuat”, --antara lain oknum Perhutani, dan aparat, yang terlibat illegal logging tidak tersentuh oleh hukum. Padahal, volume kayu yang dijarah kelompok-kelompok kuat ini jauh lebih besar daripada yang diambil masyarakat sekitar hutan. Kecemburuan perlakuan di depan hukum inilah yang menjadi salah satu pemicu masyarakat tetap menjarah.

Mengembalikan Kelestarian Hutan
Langkah pertama, menerapkan fikih ekologi. Adalah sebuah ironi ketika masalah lingkungan atau wawasan ekologi hampir tidak mendapatkan tempat bagi umat beragama, tidak terkecuali umat Islam. Sebagian umat Islam menganggap agama hanya ”mampu” berbicara detail mengenai ”dunia lain” (alam akhirat beserta isinya), ibadah ritual (salat, puasa, dll) teologi, moralitas dan sebagainya. Tapi, hampir tak menyinggung masalah ekologi (lingkungan hidup). Padahal, lingkungan adalah masalah yang fundamental dalam kehidupan manusia. Sebab, akibat orang tidak mengindahkan lingkungan, malapetaka terjadi. Mulai banjir, tanah longsor, kekeringan, hingga pemanasan global.
Manusia lupa ketika Tuhan memerintahkan mereka memahami segala yang telah diciptakan-Nya. Padahal, Allah telah membuat perumpamaan antara kebenaran dan kebatilan dengan ilustrasi memakai pohon sebagai objek pelajaran bagi manusia. (QS. Ibrahim:14:24-26).
Pertanyaannya adalah kenapa umat beragama (termasuk umat Islam) tidak menganggap penting masalah lingkungan seperti ibadah ritual individual. Kenapa pula setiap terjadi bencana umat beragama dengan enteng tanpa beban menyatakan itu sebagai takdir Tuhan. Sebagai cobaan atau azab dari Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan selalu ”dikambinghitamkan” setiap ada malapetaka.
Jika ada pemahaman yang salah dalam lingkungan, diperlukan pemahaman keagamaan dengan berlandaskan dogma azasi Islam: rukun.
Dalam Islam, biasanya ulama membuat pola pembedaan kajian dalam tiga kategori pokok: Iman, Islam, dan Ihsan. Pembahasan Iman, terangkum enam rukun. Islam, ada lima rukun. Bagaimana Ihsan? Perlukah ada rukun Ihsan?
Hampir keseluruhan kajian Islam memahami konsep Ihsan sebagai kualitas psikologis seseorang agar harmoni dengan aktivitas keislamannya dan pemahaman keimanannya. Jadi, Ihsan bukan merupakan ajaran tambahan, melainkan sebuah ajaran pokok yang seharusnya dilakukan seorang muslim sebagaimana melakukan rukun Iman dan Islam. Namun, orang cenderung lalai dengan Ihsan.
Padahal, Ihsan adalah puncak kesempurnaan dalam mengabdi kepada Tuhan dan menjalankan ritualitas individual. Orang mungkin mudah menjadi mukmin dan muslim, dengan hanya sekadar mengaku. Namun, untuk menjadi muhsin, orang memerlukan kesinambungan antara apa yang dikatakan dan diyakini sebelum lantas membuktikannya melalui aktivitas (Ihsan).
Disinilah mengapa Ihsan tidak mempunyai rukun sebagaimana Iman dan Islam. Atau, mungkin saja Tuhan membuat dispensasi pada manusia untuk menentukan rukun ihsannya sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Meski demikian, konsep rukun ihsan luas, karena kata ihsan mengandung arti segala kualitas positif (kebaikan, indah, elok, kegembiraan, dan harmoni). Sehingga, bisa jadi rukun islam yang keenam, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam proses penciptaan alam semesta, adalah menjaga keseimbangan alam semesta. (M. Thalhah dan Achmad Mufid AR, 2008).
Pada wilayah inilah peran ulama untuk ikut membangun kesadaran dogmatis yang salah dari sebagian besar masyarakat bahwa bencana alam semata takdir Tuhan, sangat dibutuhkan. Ulama harus menjalankan fungsinya untuk bertanggung jawab secara sosial, tidak hanya sebatas pada hal-hal yang terkait dengan Iman dan Islam, tetapi juga Ihsan. Karena sejatinya Ihsan adalah puncak kesempurnaan keberagamaan seseorang. Dengan berbuat Ihsan, berarti telah melakukan keseimbangan hubungan antara dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Jadi, kesimpulannya adalah dengan merusak keseimbangan (termasuk alam) maka, di mata Tuhan tidak akan terangkai keseimbangan antara Iman dan Islam seseorang. Doktrin ini harus dilakukan semua pihak, --khususnya ulama dengan bekerja sama dengan pemegang otoritas pengelolaan hutan, agar manusia mempunyai kesadaran untuk membangun kelestarian hutan. Sentuhan di wilayah ideologis ini dibutuhkan untuk merubah pola pikir masyarakat yang selama ini mungkin menganggap bahwa menebang hutan tidak merupakan pelanggaran agama yang serius (hanya dianggap sebagai pencurian biasa).

Kedua, sosio ekonomi dan politik berbasis partisipasi. Alasan ekonomi merupakan salah satu penyebab kenapa penjarahan hutan masih ada di berbagai daerah. Jika diteliti lebih jauh, sebagian masyarakat tetap nekad mencuri kayu hutan karena terdesak kebutuhan ekonomi. Untuk memutus mata rantai itu, tidak mudah. Sejauh ini pemerintah memang sudah mengupayakan mengurangi pencurian kayu (hutan) dengan memberdayakan masyarakat sekitar (bukan pinggiran) hutan dengan berbagai program. Misalnya, melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), atau Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), dan lainnya.


Hanya, penulis memandang aplikasi program ini masih kurang efektif. Terbukti, penjarahan masih berlangsung, dan kesadaran masyarakat untuk lebih peduli pada hutan masih minim. Mungkin, salah satu kelemahan dari program ini adalah cara pendekatannya. Selama ini pendekatan program di atas lebih bersifat tawaran konsep yang baku. Masyarakat belum disentuh partisipasinya berdasarkan kesadarannya sendiri. Ini bisa dipahami karena masyarakat masih memiliki budaya minta di-wongke (dihargai). Mulai dari idenya hingga perannya.
Sejauh ini peran yang dilakukan fasilitator yang ditunjuk otoritas pengelola hutan belum integral. Idealnya, fasilitator perlu merasa menjadi bagian masyarakat, menumbuhkan inovasi dalam masyarakat, mengelola konflik ke arah positif, bersifat netral, tidak terjebak pada metode (fleksibel), dan sabar. Hal ini perlu dipahami karena masyarakat berperilaku natural (alamiah), suka sharing (berbagi) pengalaman antarmasyarakat, merasa paling tahu tentang dirinya, dan paling tahu apa yang harus dilakukannya (Yappika, 2004).
Selain berbasis partisipasi, membangun kesadaran melestarian hutan juga harus berbasis ekonomi. Artinya, saat pemegang otoritas pengelolaan hutan melarang warga sekitar mencuri kayu, harus diimbangi dengan solusi ekonomis dalam jangka pendek dan menengah. Mungkin, cara Yayasan Pusat Pengembangan Pendidikan Mata Pencaharian Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, ini perlu dicontoh.
Mereka mampu membangun kesadaran masyarakat sekitar hutan dengan menanam pohon jenitri (buahnya adalah bahan untuk tasbih) yang sangat prospektif di lahan kritis. Bayangkan, untuk sekali panen (tiga tahun sekali) dari 200 pohon yang ditanam mampu menghasilkan uang Rp 375 juta! Sebuah angka yang besar untuk ukuran masyarakat.
Di wilayah ini pula peran pemegang kebijakan diperlukan. Pemerintah, terutama pemerintah daerah, perlu membuat bluechip untuk lahan kritis yang hendak dikelola menjadi lahan produktif. Bila perlu kebijakan ini dibuatkan landasan hukumnya, --bisa berupa perda, untuk menjamin keteraturan, tata cara dan syarat pemberlakuannya, serta kepastian sanksi bagi pelanggarnya.
Pohon yang ditanam tidak harus jenitri, tetapi bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter daerah masing-masing. Jika ini dilakukan, penulis yakin paling tidak masyarakat sekitar hutan akan pecah konsentrasinya, karena akan disibukkan dengan pekerjaan lain yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomis, daripada mencari kayu hutan yang memiliki risiko hukum.

a. Supremasi Hukum
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas menyebutkan bahwa, ”barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah.”
Namun, dalam praktiknya pelaku-pelaku kejahatan lingkungan tak banyak yang jera. Berdasarkan pengalaman penulis, kebanyakan pelaku illegal logging di wilayah Bojonegoro, Tuban, Lamongan, (Jawa Timur), dan Blora (Jawa Tengah) adalah orang-orang lama. Mereka memang sempat dihukum, tetapi masa hukumannya sangat pendek, tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Sehingga efek jera yang seharusnya menjadi tujuan dari supremasi hukum, nyaris tak ada.
Bahkan, tak jarang mereka masih bisa dengan bebasnya melenggang, meski semua tahu bahwa dia adalah pelaku pembalakan hutan. Karena itulah, ada adagium dari masyarakat, selama hukum tidak mampu menyentuh pelaku-pelaku penjarahan hutan kelas kakap, jangan harap illegal logging benar-benar nihil. Sindiran masyarakat ini seolah-olah menantang para penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) untuk membuktikan keseriusannya memberantas pembalakan hutan. Bagaimana pak aparat? Anda siap menerima tantangan ini?

Selain tiga hal di atas, sejauh ini upaya membangun kelestarian hutan dan alam sekitar sudah gencar dilakukan berbagai pihak. Di antaranya, dengan melakukan gerakan menanam sejuta pohon. Agar lebih sempurna, gerakan ini sebaiknya juga berlaku untuk semua keluarga, tidak hanya menanam pohon di hutan dan di lahan kritis. Bila perlu setiap rumah diwajibkan menanam (minimal) satu pohon. Dengan semakin banyaknya pohon untuk resapan air, tak hanya di hutan dan lahan kritis, akan semakin luas pula kawasan pepohonan yang positif untuk membersihkan oksigen, ”menambal” kebocoran lapisan ozon, dan memberi kesempatan hidup yang lebih lama bagi species lainnya.
Sudah saatnya kita memberi manfaat untuk sesama. Dan, hal itu bisa kita mulai dari diri kita sendiri. Jika semua berfikir demikian, penulis yakin kelestarian hutan bukan hanya sekadar angan-angan, tetapi nyata. (*)

Bawah Titian, 12 Oktober 2008

RESENSI: Memahami melalui Pohon Pemikiran Gus Dur

RESENSI

Judul Buku:
The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Biografi Gus Dur)

Penulis:
Greg Barton

Penerbit:
PT. LKiS Pelangi Aksara Jogjakarta

Edisi:
Cetakan VIII April 2008

Tebal:
xxviii + 516 Halaman


Memahami melalui Pohon Pemikiran Gus Dur

KONTROVERSIAL. Demikian kata yang pas untuk menggambarkan sosok seorang Abdurrahman Wahid. Gus Dur memang selalu menjadi pembicaraan. Selain karena pernyataan-pernyataannya yang menantang, sikapnya sering kontroversial. Belum lama ini publik dibuat terhenyak dengan ajakan golput dari mantan ketua umum PB NU tersebut sehubungan dengan diterimanya gugatan PKB versi Muhaimin Iskandar oleh Mahkamah Agung. Bagi sebagian kalangan yang ‘melek’ politik, ajakan golput mungkin hal yang biasa, karena itu adalah hak. Tetapi, ajakan itu dianggap sebagai sesuatu yang kontroversial karena yang menyerukan adalah seorang mantan Presiden RI.
Gus Dur kembali menyedot perhatian publik saat memberi tanggapan atas insiden Monas antara Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) versus Front Pembela Islam (FPI). Ketika itu, Gus Dur mengutuk aksi kekerasan yang diduga dilakukan oleh kelompok FPI tersebut. Statemen Gus Dur ini pun direaksi keras oleh Habib Rizieq, pimpinan FPI.
Dua hal di atas hanyalah satu di antara sekian banyak sikap Gus Dur yang oleh sebagian kalangan dianggap kontroversial. Pribadi yang kontroversial inilah yang menarik Greg Barton, seorang dosen senior pada Fakultas Seni Deakin University, Geelong, Victoria, Australia untuk meneliti sekaligus menuangkannya dalam bentuk buku biografi sosok ketua umum dewan syura DPP PKB tersebut.
Greg Barton mulai berkenalan dengan Gus Dur pada 1989. Ketika itu, Greg Barton masih menjadi mahasiswa pascasarjana yang canggung. Saat bertemu dengan Gus Dur, Greg Barton baru saja memulai menggarap disertasi doktor dengan mengamati (fenomena) Islam Liberal di Indonesia (halm. 4).
Sejak saat itu, Greg Barton mulai akrab dengan Gus Dur. Ilmuwan Negeri Kanguru ini pun mulai kenal luar dalam sosok Gus Dur. Sampai-sampai Greg Barton sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh Gus Dur. Tak heran bila selama tujuh bulan, di antara 21 bulan masa pemerintahan Gus Dur (1999-2001), Greg Barton biasa keluar masuk ke Istana Negara untuk berdiskusi dengan cucu KH Hasyim Asy`ari, pendiri NU tersebut.
Buku yang kali pertama dicetak oleh LKiS Jogjakarta pada Juni 2003 tersebut berisi lima bagian besar. Bagian pertama, berisi tentang kehidupan Gus Dur selama di pesantren maupun di lingkungan keluarga. Bagian kedua, menceritakan terbentuknya seorang intelektual dari sosok Gus Dur. Pada bagian ini diungkapkan perjalanan studi Gus Dur d Kairo (Mesir), Baghdad (Irak), dan Eropa.
Bagian ketiga, membahas tentang Islam dan modernitas di Indonesia. Boleh dibilang, di bagian inilah petualangan Gus Dur dalam mengembangkan pluralisme di Indonesia dan dunia dimulai. Sedangkan bagian keempat, membeber soal masyarakat sipil dan Islam, yang dibagi menjadi dua bahasan; reformasi dan kontroversi, serta mendorong batas. Sementara bagian kelima mengungkap tentang politik, pembaruan, dan kepresidenan. Di bagian inilah Greg Barton mengeksplore peristiwa-peristiwa di balik kejatuhan rezim Gus Dur, yang mungkin belum pernah diangkat di ranah publik.
Bagi sebagian kalangan yang mengenal Gus Dur dengan baik, mungkin tidak terlalu aneh dengan sepak terjang dan kontroversinya. Gus Dur sejak muda memang suka bermain-main sedemikian rupa sehingga dia menjadi nakal dan ceroboh. Dalam banyak hal, dia menunjukkan kurangnya disiplin diri. Selama masa belajarnya dan kemudian dalam kehidupan profesionalnya, Gus Dur sering gagal mencapai apa yang sebenarnya dapat diraihnya, hanya karena tidak adanya disiplin diri atau perhatian yang terfokus.
Itu terlihat ketika Gus Dur menjadi presiden. Ada banyak keadaan, khususnya dalam membina koalisi dengan Megawati dan PDIP, yang memerlukan pemikiran strategis.
Dalam banyak hal Gus Dur menindaklanjutinya dengan suatu permainan taktik yang cemerlang, namun dengan perencanaan yang buruk. Hal itu terlihat ketika dia berhasil mengatasi secara cemerlang sidang tahunan MPR pada Agustus 2000.
Meski opini umum memperkirakan bahwa MPR akan mengeluarkan ketetapan yang mengurangi kekuasaan presiden, akhirnya Gus Dur bisa lolos tanpa kekurangan suatu apa. Sayangnya, dia tidak bisa menyusun kabinet yang memungkinkannya mengkonsolidasikan persekutuannya dengan Megawati dan PDIP (halm 488).
Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang otoriter (salah satu contohnya, di PKB Gus Dur menjadi sosok yang superior dan nyaris tidak terjamah). Greg Barton mengungkapkan bahwa karakter ini bisa jadi terbentuk karena sisi kepribadian Gus Dur yang dominant. Gus Dur memiliki keyakinan yang kuat akan nasib. Sehingga, Gus Dur juga yakin bahwa dia harus melakukan hal-hal yang besar. Dalam perjalanan hidupnya, Gus Dur berada dalam suatu lingkungan dimana dia hampir tidak punya saingan dalam hal pengetahuan dan minat. Hasilnya, Gus Dur mempunyai kepercayaan diri yang sangat besar. Sehingga, banyak orang berpendapat bahwa besarnya kepercayaan diri itu bisa membahayakan dirinya sendiri (halm. 485).
Kendati cenderung ceroboh, kurang disiplin, kurang suka dengan hal-hal yang berbau formal, dan otoriter, ada sisi konsistensi dalam diri Gus Dur yang terus diperjuangkannya hingga saat ini. Nilai-nilai yang dikembangkan tersebut dikenal dengan sebutan Pohon Pemikiran Gus Dur yang mencakup tujuh tema pokok. Yakni, pandangan-dunia pesantren, pribumisasi Islam, keharusan demokrasi, finalitas negara-bangsa Pancasila, pluralisme agama, humanitarianisme universal, dan antropologi kiai.
Karena itu, tak heran kiranya Gus Dur begitu mati-matian membela AKKB yang menjadi korban kekerasan sekelompok massa yang mengatasnamakan Islam. Bagi Gus Dur, Islam tidak boleh dimaknai sebagai teks. Islam harus dimaknai sebagai nilai-nilai yang konteks agar membumi dalam kehidupan bermasyarakat. Gus Dur juga berada di garda terdepan kala membela Jaringan Islam Liberal (JIL) pimpinan Ulil Abshar Abdalla saat dianggap kafir dan menyimpang dari Islam oleh sejumlah kalangan, termasuk dari beberapa kiai NU. Bagi Gus Dur apa yang disuarakan oleh menantu KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
Tersebut merupakan bagian dari pengejawantahan nilai-nilai dari pluralisme agama dan humanitarianime universal. Klop!.
Pandangan Gus Dur yang moderat ini diakui sendiri oleh Franz Magnis-Suseno. Dalam buku Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur terbitan Incres dan PT Remaja Rosdakarya Bandung (2000), Franz mengatakan, Gus Dur itu menghayati agama Islam secara sangat terbuka. Dia sosok pribadi yang bebas dari segala kepicikan, primordialistik, dan sektarian. Dia jelas 100 persen seorang yang beragama Islam. Tetapi, keislamannya begitu mantap sehingga dia tidak terancam oleh pluralitas.
Selain menceritakan kehidupan Gus Dur, di bagian akhir buku ini Greg Barton juga memberikan analisis tentang 12 sebab kejatuhan presiden RI keempat tersebut. Yakni, harapan yang terlalu besar, lawan-lawan yang kuat, masyarakat sipil yang lemah, pers yang dipenuhi oleh politik, dan kekurangan modal politik. Lalu, gerakan reformasi yang terbelah, kaum Islamis cenderung menjadi ujung tombak bagi oposisi, tidak adanya konstitusi yang demokratik, sikap bermusuhan aparatur negara, dan sistem hukum yang tidak berfungsi dengan baik. Serta, negara rente yang bekerja sama dengan kejahatan yang terorganisasi, dan militer yang melawan.
Jadi, buku karangan Greg Barton ini sangat menarik, layak untuk dibaca dan dikaji bagi kalangan aktivis mahasiswa maupun NGO (non government organization), akademisi, peneliti, politisi, santri, kaum nahdliyin, pegiat demokrasi dan pluralisme, serta masyarakat umum.
Selain karena buku setebal 516 halaman ini tergolong langka karena memuat biografi Gus Dur secara cukup lengkap, meski hanya sampai pada kejatuhan Gus Dur dari tampuk kekuasaan pada 2001, juga karena bahasa yang digunakan mudah dicerna, tidak perlu sampai mengerenyitkan dahi, serta ditulis secara objektif (tak bersifat pledoi/pembelaan). Akhirnya, Selamat membaca. (*)

Bawah Titian, 31 Juli 2008