Tuesday, August 24, 2010

Spiral Kebisuan Media TV

Di luar pemberitaan tentang dugaan adanya transaksi mencurigakan di rekening milik sejumlah perwira (jenderal) atau petinggi Polri, media massa, khususnya lagi televisi (infotainment), masih juga disibukkan dengan heboh tayangan video porno dengan tersangka artis papan atas tanah air.
Semula, penulis berkeyakinan dengan telah ditetapkannya tersangka, diakuinya aksi itu oleh sang artis, pemberitaan kasus tersebut lama kelamaan mereda. Sebab, sejak kasus ”bocornya” tayangan video porno tersebut mencuat ke permukaan, intensitas pemberitaan berlangsung dengan terus menerus, satu bulan lebih. Namun ternyata, dugaan itu meleset.
Yang terjadi justru sebaliknya. Begitu ditetapkan nama tersangkanya, --dan sudah ada permintaan maaf secara terbuka dari Luna Maya dan Cut Tari, dua artis yang diduga menjadi pelaku dalam tayangan tersebut--, justru seperti gong pembuka tabir baru. Sembari tetap mengikuti perkembangan kasus tersebut dalam ranah hukum, media televisi ganti memberitakan beredarnya tayangan sejenis, dengan pelaku di luar tiga nama yang saat ini sudah beredar.
Gencarnya pemberitaan tersebut seolah memunculkan kembali perdebatan klasik yang pernah memanas beberapa waktu lalu, sehingga mengapa NU sempat mengharamkan infotainment karena dianggap mengarah pada ghibah (negative thinking). Terlepas dari perspektif agama, gencarnya pemberitaan tayangan ”panas” itu, bila ditinjau dari perspektif ilmu komunikasi, rupa-rupanya sudah mulai mengarah terhadap sebuah gejala terjadinya spiral of silence (spiral kesunyian/kebisuan/keheningan) media.

Spiral Kebisuan
Teori Spiral kesunyian/kebisuan/keheningan dikembangkan Elisabeth Noelle-Neumann. Noelle-Neumann. Spiral of silence terjadi karena ketakutan akan adanya sebuah pengasingan. Spiral of silence bukan hanya berkenaan dengan keinginan berada di pihak yang menang namun juga merupakan usaha agar tak diasingkan dari suatu kelompok sosial. Ancaman akan dikritik oleh pihak mayoritas merupakan kekuatan yang sangat berpengaruh dalam men-”diam”-kan seseorang.
Menurut Noelle-Neumann, media massa memainkan peranan penting spiral of silence dalam tiga cara. Pertama, media membentuk kesan tentang opini mana yang dominan. Kedua, media membentuk kesan tentang opini mana saja yang mengalami peningkatan. Dan ketiga, media membentuk kesan tentang opini yang mana yang bisa diutarakan di muka umum tanpa risiko diasingkan dari kelompok dominan.
Tiga hal penting di atas, terjadi dalam pemberitaan kasus tayangan video porno yang diduga diperankan oleh artis-artis papan atas. Hal ini karena media massa memiliki tiga karakteristik komunikasi massa. Yaitu, kumulasi (cumulation), ubikuitas (ubiquity), dan harmoni (consonance). Bila tiga karakteristik tersebut bergabung, akan menghasilkan dampak sangat kuat pada opini publik, sehingga berpotensi menimbulkan spiral kebisuan. (Severin, dan Tankard: 2005;325)
Titik kumulasi, mengacu pada pembesaran tema-tema atau pesan-pesan tertentu secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Ubikuitas mengacu pada kehadiran media massa yang tersebar luas. Sedangkan harmoni mengacu gambaran tunggal dari sebuah kejadian atau itu yang dapat berkembang dan seringkali digunakan bersama oleh surat kabar, majalah, jaringan televisi, dan media lain yang berbeda-beda.
Pada karakteristik cumulation, kasus pemberitaan video porno, bisa terlihat beramai-ramainya infotainment memberitakannya. Ulasan atau tayangan yang diangkat media infotainment, terkesan amat dibesar-besarkan dan terus dilakukan berulang-ulang dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat betapa tayangan infotainment dilakukan setiap waktu, mulai pagi, siang, hingga malam hari. Tema yang ditayangkan juga dari berbagai sudut pandang. Mulai tanggapan dari rekan sejawat, hingga masyarakat secara umum atas tindakan artis dalam tayangan video tersebut. Sehingga, terkesan nyaris tidak ada ruang private sama sekali dalam diri si artis. Mereka seolah mengalami ”pengadilan” sosial yang sistematis, kontinyu, dan komprehensif.
Pada karakteristik ubiquity, dapat dilihat dari menyebarnya berita tersebut secara luas di masyarakat, dan menimbulkan tanggapan beragam. Karekteristik tersebut bisa dilihat dari pendekatan psikologi komunikasi, yang mencakup efek kognitif, afektif, dan behavioral atau konatif. Akibat terstimuli oleh pesan (berita), masyarakat yang semula tidak tahu, menjadi tahu (efek kognitif). Masyarakat juga mengalami kepenasaranan, kecewa, dan marah (efek afektif), hingga kemudian terdorong melakukan tindakan-tindakan yang riil, seperti men-download di internet dan turun ke jalan untuk mengecam video itu (efek konatif/behavioral). Berbagai tindakan dari efek pemberitaan ini, serta masifitas liputan semakin mendorong berita tersebut menyebar luas ke masyarakat.
Sedangkan dari karakteristik consonance, bisa dilihat tidak hanya media infotainment yang mem-blow up secara besar-besaran berita tersebut. Cara pandang bahwa berita itu mempunyai attitude dan news value yang besar karena melibatkan artis papan atas tanah air, membuat berita itu juga dirilis secara komprehensif oleh media cetak, baik surat kabar harian, majalah, tabloid, atau media lain yang berbeda-beda semacam media online. Media massa juga mengkajinya dari berbagai aspek, dan latar belakang, namun tetap dengan gambaran tunggal kasus itu sebagai tema sentralnya. Oleh karena itu, dalam kasus video porno dengan tersangka artis papan atas tanah air tersebut, media massa telah memainkan peran penting dalam spiral of silence. Karena, berita yang diturunkan tentang tayangan video tersebut, diyakini sudah ”ditunggu-tunggu” oleh khalayak, sehingga media massa yakin tidak akan diasingkan dari kelompok dominan.

Bertindak Filosofis
Disadari atau tidak, gencarnya pemberitaan tersebut membuat stigma artis-artis tertentu, khususnya yang disebut-sebut dalam tayangan video tersebut, tercoreng, dan menghadapi pengadilan sosial. Merujuk Muzafer Sherif, dalam perspektif social judgement, pemberitaan itu telah melahirkan assimilation effect, dimana individu (personal masyarakat) sudah men-judge pesan (berita) tersebut lebih dekat pada sudut pandang aktualnya, yaitu yang sedang tren dan menjadi tema pembicaraan utama di khalayak.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah ketegasan sikap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan institusi yang berkompeten lainnya untuk selalu menekankan landasan dan tindakan filosofis (logika, etika, dan estetika) dalam memberitakan berbagai hal, khususnya yang ditayangkan dalam program bertajuk infotainment. Nilai-nilai benar dan salah untuk tujuan kebenaran (logika), baik dan buruk demi keselarasan (etika), serta indah dan buruk untuk tujuan keindahan (estetika) dalam pemberitaan, perlu ditekankan dengan regulasi yang ketat. Agar, social judgement dapat dihindari, karena mereka juga mempunyai hak yang sama di depan hukum (equality before the law). (*)

Bawah Titian, 29 Juli 2010

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Halaman 30, Edisi 1 Agustus 2010

Otak Tengah, Telepatikah?

Judul Buku : Dahsyatnya Otak Tengah: Jadikan Anak Anda Cerdas Saat Ini Juga
Penulis : Hartono Sangkanparan
Penerbit : Visimedia, Jakarta
Cetakan : Ketiga, Maret 2010
Tebal : XVI+148 Halaman


Ini kisah tiga orang kakak beradik dari Cirebon. Sang kakak bernama M. Irfan, 15, siswa kelas 1 SMA. Sang adik, Aulia, 12, siswi kelas 1 SMP. Dan adiknya lagi, Rizky, 6, siswa kelas 1 SD. Irfan, yang sekolah di salah satu SMAN favorit Kota Bandung, sebelumnya memiliki nilai ulangan harian yang lumayan jeblok, 5-6. Tiba-tiba setelah semesteran nilai raport-nya tidak ada yang 7, apalagi 5 dan 6. Semuanya menjadi 8 dan 9. Dahsyat!
Suatu ketika, tiba-tiba sebuah kunci yang dipegang Aulia patah. Dengan sedih Aulia mengabarkan kepada ibunya kalau dia mendapatkan firasat salah satu temannya jatuh dan lengannya mengalami patah tulang! Astaga! Ternyata firasat Aulia benar! Salah sahabat karibnya kecelakaan dan tulang lengannya patah!
Cerita di atas hanya satu atau dua kelebihan yang dimiliki seorang anak setelah otak tengahnya diaktivasi. Di Indonesia sendiri, wacana tentang pengembangan/pemaksimalan otak tengah tergolong sebagai sesuatu yang baru. Sebab, selama ini kita, lebih banyak dikenalkan untuk memaksimalkan otak kiri dan kanan. Indonesia cukup jauh tertinggal dibandingkan Malaysia yang sudah mengembangkan metode aktivasi otak tengah pada anak-anak bangsanya pada dua tahun lalu. Bahkan, Jepang sudah menerapkan aktivasi otak tengah pada lima tahun lalu. Mr David Ting adalah tokoh di Indonesia yang pertama kali memperkenalkan teori otak tengah dan aktivasi otak tengah kepada masyarakat luas. Mr Ting adalah guru dari para pengajar inti aktivasi otak tengah di Indonesia.
Lantas, apa itu otak tengah? Otak tengah (mesencephalon) adalah bagian otak manusia yang dominan pada saat pembentukan janin. Anda mungkin pernah mendengar pernyataan bahwa semua bayi adalah genius. Itu benar, karena mereka didominasi oleh otak tengah. Dengan perkembangan umur, otak tengah ini menjadi kurang aktif. Otak manusia modern umumnya hanya didominasi oleh salah satu bagian otak, yaitu otak kanan atau otak kiri. (halm. 9)
Berdasarkan perspektif anatomi tubuh (biologi), setiap manusia punya tiga komponen otak, yaitu otak kanan, otak kiri, dan otak tengah. Otak kiri (IQ), dominan di wilayah logika, kalkulasi/perhitungan, berbicara, membaca, menulis, dan analisis. Sedangkan otak kanan (EQ) dominan pada kepribadian, kreativitas, intuisi, implementasi, kinerja, dan seni (art). Sementara otak tengah, dominan pada sentuhan lembut kasih sayang, intelegensia, memori yang kuat, konsentrasi yang tinggi, serta genius.
Sehingga, seseorang dengan kemampuan bermain musik dan kegiatan kreatif lainnya seperti menggambar, mematung, drama, sastra, atau menari lebih cenderung didefinisikan sebagai dominan otak kanan. Mereka lebih banyak berinteraksi dengan manusia secara sosial. Mereka lebih peka terhadap perasaan dan seni. Sementara itu, orang-orang yang pintar di sekolah biasanya dikategorikan sebagai dominan otak kiri. Otak kiri memang lebih banyak dipakai untuk hal-hal yang bersifat logika dan analisis.
Padahal, di luar dua otak itu, manusia mempunyai otak tengah yang kekuatannya amat dahsyat: otak tengah. Di antara otak kanan dan otak kiri, ada corpus collosum. Corpus collosum ini adalah jembatan komunikasi neuron (sel-sel otak) di otak. Bagian otak ini merupakan penghubung antara otak kanan dan otak kiri. Bagian otak ini merupakan suatu jembatan kapasitas tinggi yang menghubungkan pusat intelektual kanan dan kiri.
Otak kanan dan otak kiri adalah pusat pemprosesan yang mempunyai tingkat kerumitan yang tinggi. Otak tengah lebih banyak berkonsentrasi pada penyediaan sarana komunikasi dengan lebar pita (bandwidth) yang tinggi, yakni 200-250 juta serat. Jika dianggap satu serat satu bit, lebar pita ini adalah 250 mega bit. Sementara, lebar pita data untuk prosesor computer saat ini hanya 64 bit. Jadi, lebar pita ini jika dibandingkan dengan lebar pita komputer adalah tiga juta kalinya!
Posisi otak tengah adalah sebagai awal dari batang otak. Batang otak adalah bagian otak yang menghubungkan otak dengan bagian lain dari tubuh, termasuk pancaindera dan otot-otot. Otak tengah dapat dikatakan berfungsi sebagai relai dari semua sinyal yang berasal dari pancaindera atau isinya yang mengontrol otot motorik. Karena fungsi otak tengah yang seperti stasiun relai itulah, maka akan terjadi konsentrasi yang tinggi dari pancaran gelombang otak kanan dan otak kiri, bila otak tengahnya sudah diaktivasi.
Sayangnya, tidak semua orang bisa mengaktivasi otak tengahnya. Padahal, menurut penulis buku ini, jika otak tengah aktif, daya ingat seseorang akan meningkat berlipat, kemampuan mengasihi orang lain meningkat tajam, kemampuan inovasi dan kreativitas tinggi, serta mampu berkonsentrasi penuh. Selain itu, bila otak tengah sudah diaktivasi akan meningkatkan kemampuan fisik dan berolahraga, meningkatkan keseimbangan otak kanan dan kiri, menyeimbangkan hormon, serta meningkatkan daya intuisi. (halm. 33)
Meskipun hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan dunia ilmiah, lantaran otak tengah dianggap lebih ke telepati (meningkatkan daya intuisi) sebagaimana dicontohkan dalam bagian awal tulisan ini, namun sebagai pengembangan keilmuan, tak ada salahnya juga bila buku ini dan teori tentang otak tengah perlu mendapatkan apresiasi.
Hanya sayangnya, penulis buku ini tidak menjelaskan mengenai tata cara mengaktivasi otak tengah. Meski, penulis menyarankan pengaktifan otak tengah dapat dilakukan untuk anak-anak berumur 5-15 tahun. Penulis hanya menunjukkan website dan informasi yang bisa diakses tentang otak tengah, termasuk cara mengaktivasinya. Yakni, di situs-situs: www.dahsyatnyaotaktengah.com; www.otaktengah.com. www.twitter.com/OtakTengah; Email: bukudot@gmail.com; Facebook: http://www.facebook.com/pages/Aktivasi-Otak-Tengah/188067732139. Kemudian, akses juga jadwal training aktivasi di Indonesia di: http://otaktengah.com/jadwal-training-aktivasi-otak-tengah, serta pendaftaran training aktivasi otak tengah di : www.trainingaktivasiotaktengah.publishing-inti.com. (*)

Bawah Titian, 24 Juni 2010

Pentingnya Guru Motivator

SUATU hari di sebuah kelas di sebuah SMP. Andi terlihat murung. Dia gelisah. Dari raut mukanya terpancar kekurang gairahan. Matanya memang memandang Ibu Ratnani, guru Bahasa Inggris, yang sedang menerangkan materi pelajaran tentang gramatika present ense. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ibu Ratnani menangkap bahasa tubuh sang murid. Kemudian, dia mendekatinya. ”Kenapa kamu kurang konsentrasi,” tanya Ibu Ratnani. Andi menjawab, ”Saya kurang bersemangat, bu. Entah kenapa?.” Ibu Ratnani tersinggung. Kemudian, dia menghukum Andi. Dia meminta Andi keluar.
***
Benarkah tindakan yang dilakukan Ibu Ratnani? Ilustrasi di atas menunjukkan betapa sosok guru hanya memperlakukan muridnya sebagai objek pengetahuan, sementara guru adalah figur sentral dan subjek yang berhak menentukan segalanya atas diri sang murid. Ditinjau dari sisi pembelajaran, idealnya sang guru tak hanya memperlakukan sang murid sebagai sosok yang pasif, tetapi harus aktif ikut menentukan keaktifannya. Pada saat tahu kondisi psikologis sang murid, guru sebaiknya bukannya mengambil tindakan reaktif, tapi justru menyikapinya dengan bijak. Bahkan, tidak menutup kemungkinan guru harus mampu memberikan motivasi kepada sang siswa agar bersemangat mengikuti pelajaran.
Ilustrasi di atas juga menunjukkan kecenderungan bahwa peran guru tidak hanya sebatas sebagai pengajar dan pendidik di sekolahan. Namun, peran guru sebagai motivator mutlak dibutuhkan. Pemberian motivasi sangat mendesak dilakukan oleh seorang guru agar kemampuan siswa dapat tereksplore secara maksimal.
Secara teori, motivasi istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi bagi seseorang (siswa) dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif. (Gage dan Berliner, 1984). Dari pengertian istilah motivasi di atas, kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa. Ada banyak teori tentang motivasi. Namun, secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandangnya, yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dan social cognition.
Dalam pandangan Teori Motivasi dari Abraham Maslow (1943-1970), secara garis besar manusia, termasuk dalam hal ini adalah peserta didik, mempunyai lima kebutuhan dalam hidupnya. Yaitu, kebutuhan fisiologis (physiological needs) berupa rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya; kebutuhan rasa aman (safety needs), yakni merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya; kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (love needs), berafiliasi dengan orang lain, diterima, dan memiliki; kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), pengertiannya butuh berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan, pengakuan; serta, kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs).
Khusus untuk kebutuhan yang kelima, Maslow membaginya lagi menjadi tiga hal. Yaitu,
kebutuhan aspek kognitif, dalam artian kebutuhan untuk mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan aspek estetik, mencakup keserasian, keteraturan, dan keindahan; serta kebutuhan aspek aktualisasi diri, upaya mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya.
Merujuk Teori Maslow, dari contoh kasus di atas maka siswa perlu diberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi dirinya sendiri. Artinya, pemberian kesempatan tersebut akan menyebabkan motivasi siswa meningkat, sehingga peserta didik dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tersebut.
Pengertiannya, dengan mengacu Teori Maslow, seorang siswa bila tahapan kebutuhannya sudah tercukupi, baik dari sisi fisiologis, rasa aman, dan cinta, maka kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri secara tidak langsung akan menjadi capaian berikutnya. Dari gambaran di atas dapat dipahami, guru jika mau memerankan diri sebagai sosok motivator, seharusnya dapat menyelidik dengan mencari tahu penyebabnya, apakah kebutuhan-kebutuhan fisiologis, rasa aman, hingga cinta, sudah terpenuhi atau belum. Sehingga, guru akan menemukan jawaban kenapa muridnya tidak mempunyai minat atau motivasi untuk esteem needs dan self-actualization needs. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah lima tahapan yang sudah digariskan Maslow, untuk sekadar hanya menggunakan satu teori tentang motivasi, sudah dilaksanakan oleh para guru agar mampu memerankan diri sebagai guru motivator? Rasanya, tidak perlu hanya dijawab secara vokal, akan tetapi dilaksanakan dengan tindakan nyata. (*)

Bawah Titian, 23 Juni 2010

Awali dari Membaca, Akhiri dengan Menulis

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman merupakan cermin diri dan realitas makro yang dapat digunakan sebagai referensi dalam menentukan tindakan dan perilaku di masa yang akan datang. Pengalaman pribadi (self experience) yang merentang panjang di masa lalu, juga merupakan identitas yang menentukan serta membentuk karakter seseorang di masa kemudian.
Dalam konteks berbagi pengalaman (share) pribadi itulah substansi tulisan dalam bulletin yang ada di tangan Anda saat ini. Semoga hal tersebut tidaklah termasuk dari apa yang dikategorikan Anita L. Vangelisti, Mark L. Knapp, dan John A. Daly, sebagai bagian dari teori conversational narcissism alias pengagungan diri. Tentu, sharing ini sarat muatan subjektivitas, --meski subjektif merupakan satu kesatuan menuju objektivitas, yang tidak sama dengan yang lainnya.
Bahwa, kecintaan terhadap baca membaca, di luar buku-buku teks pelajaran, mulai saya rasakan saat duduk di kelas 5 dan 6 SD. Secara jujur saya akui, buku-buku yang banyak penulis baca saat itu bukanlah buku sekelas Bobo, Kuncup, atau lainnya, meski saya juga membacanya, tetapi tidak begitu mainded. Ketika itu saya mulai mempunyai ketertarikan terhadap buku-buku cerita, dan dongeng bergambar yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah, di SDN I Kalitidu, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro.
Dalam perkembangannya, khususnya saat menginjak bangku SMP, orientasi membaca sedikit bergeser. Dari yang semula buku-buku dongeng, beralih ke buku-buku komik dengan tokoh hero, tetapi tidak seperti tokoh Superman atau Batman, melainkan komik-komik yang bertema silat karya seniman-seniman lokal Indonesia. Sebutlah saja komik karya Jan Mintaraga. Pertimbangan waktu itu, membaca komik beserta visualisasinya, lebih mempunyai daya tarik. Belakangan (saat dewasa), baru menyadari bahwa membaca dengan meng-visualkan tulisan/cerita dalam otak dan pikiran, akan banyak membantu perkembangan otak kanan.
Perubahan orientasi membaca ini begitu dominan. Saya tidak hanya membaca buku-buku komik, melainkan juga buku-buku yang pada masa itu dianggap agak ”aneh” untuk anak seusia saya (sekali lagi semoga ini bukan narsistik). Saya masih ingat betul, ketika masih duduk di bangku kelas 2 dan 3 SMP, saya begitu menggilai buku-buku cerita silat karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo, penulis cerita silat/kungfu asal Solo, yang karyanya justru lebih banyak bercerita atau ber-setting sosiokultural daratan China.
Hingga sekarang pun, terkadang kerinduan untuk membaca kembali buku-buku karya Kho Ping Hoo, yang sekarang ini sudah berada di alam keabadian, masih begitu kuat mendesak. Terkadang, masih terbayang dalam benak bagaimana sepak terjang Suma Han, tokoh dalam Pendekar Pulau Es, atau Yo Han, tokoh dalam Pendekar Tangan Sakti. Atau buku-buku Kho Ping Hoo lainnya yang juga melegenda semacam Pendekar Bodoh, Pendekar Budiman, dan lainnya.
Bagi saya ketika itu, membaca Kho Ping Hoo, hanya mengasyikkan. Meski, dalam buku tersebut Kho Ping Hoo tak hanya menceritakan dunia persilatan, melainkan juga sering menyisipkan nilai-nilai filsafat dari setiap tema apapun yang sedang dibahasnya. Mulai bhakti antara guru (suhu), dengan murid tertua (suheng), maupun murid terakhir (sutee). Atau, ruang lingkup apapun yang menjadi tema sentral filsafat, yaitu Tuhan, manusia, dan alam, Kho Ping Hoo selalu menyertakan ”catatan kecil” dan serius yang menyelipi gambaran umum cerita silatnya.
Yang paling penulis ingat hingga sekarang, dalam setiap bukunya, Kho Ping Hoo selalu menggambarkan sosok pendekar itu tak hanya sebagai manusia yang tangguh membela diri, melainkan juga sosok yang terpelajar (mencintai baca dan tulis). Sebagai gambaran, Kho Ping Hoo hampir selalu mencitrakan tokoh utamanya tersebut sebagai manusia yang membawa pena (maopit), sastrawan, yang selain dapat dipakai untuk menulis, juga dapat digunakan sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan-lawannya.
Suatu ketika setelah dewasa, saya baru menyadari bacaan Kho Ping Hoo ternyata adalah tergolong bacaan ”berat” dan serius. Meski ditulis dengan bahasa yang sederhana, ringan, Kho Ping Hoo selalu menyelipkan pesan-pesan filosofis yang penuh dengan etika, logika, dan estetika yang merupakan komponen utama dalam keilmuan filsafat. Kho Ping Hoo juga memposisikan manusia terpelajar (cinta baca dan tulis) yang dimetaforakan dengan ciri selalu membawa maopit, sebagai sosok yang tangguh menghadapi setiap dinamika masyarakat. Kesan terhadap Kho Ping Hoo itu terbawa hingga dewasa. Meski buku-buku Kho Ping Hoo untuk sementara mulai ”ditinggalkan”, akan tetapi kesan itu sedemikian kuat terbawa dan terpatri dalam memori.

Hasil Dialektika
Menulis merupakan hasil dari dialektika antara membaca dan mengkaji/diskusi. Menulis adalah sintesis yang dihasilkan dari tesis (membaca) dan antitesis (ruang mengkaji) yang bergumul dalam diri dan benak. Orang yang mencintai membaca, pada umumnya akan merasakan dua hal. Yaitu, kepuasan batiniah, tercerahkan, karena mendapatkan stimuli wacana yang tidak diketahui sebelumnya. Dan yang kedua, sebaliknya, justru penasaran yang pada akhirnya melahirkan beragam pertanyaan, untuk menggali lebih jauh tentang makna dan nilai yang terkandung dalam buku/bacaan yang dilahap sebelumnya.
Pertanyaan itu tidak mungkin dijawab oleh buku yang didarasnya. Buku hanya memberi dia bahan untuk bertanya, bukan bahan untuk menjawab. Di titik inilah ruang mengkaji pertanyaan-pertanyaan yang semburat dalam otak harus menemukan ruang berbagi yang membebaskan pikiran dari keterbelengguan kepenasaranan dan beragam tanda tanya di benak yang bebas ide dan nilai. Ruang atau medium itu adalah diskusi/kajian.
Di sisi lain, hanya mengkaji tidaklah cukup untuk memuaskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berjejaring di otak. Hasil dari mengkaji, dalam konteks tertentu hanya memuaskan stimuli kepenasaranan dari rasa belum tahu yang sebelumnya menjejal di dalam otak. Sementara, dorongan untuk ”menggugat” atas ketidakpuasan atas apa yang didapat di medium buku dan forum kajian belum tersalurkan. Hanya menulislah, dengan tema apapun, yang dapat menjembatani dan mengobati naluri menggugat dan berontak atas belenggu kebertanyaan itu.
Proses itu pulalah yang dirasakan secara pribadi oleh penulis selama bergulat dalam dunia tata kalimat/kata, istilah lain menulis, selama ini. Bahwa, membaca hanyalah satu awalan, dari sebuah proses panjang yang mesti harus dilalui untuk mencapai ”orgasme” intelektualitas. Jadi, awalilah dari membaca, berproseslah dalam forum kajian-kajian, dan akhiri naluri ”menggugat” dan ”pemberontakan” Anda melalui (saluran) menulis! (*)

Bawah Titian, 20 Mei 2010

*) Tayang di Sindikat Baca, Edisi Satu Tahun (Juli 2010)

Quo Vadis Gerakan Mahasiswa Pasca 1998

Kenapa mahasiswa sekarang tak mampu mengulang spirit gerakan mahasiswa era 1998? Pertanyaan reflektif tersebut senantiasa mengemuka dalam setiap diskusi-diskusi gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Faktanya, gerakan mahasiswa sekarang cenderung sporadis dan tidak tuntas.
Contoh paling dekat terkait aksi untuk menyikapi skandal Bank Century. Saat mahasiswa tingkat pusat (baca: Jakarta) ramai-ramai menggelorakan isu yang diyakini akan berbuah drama pemakzulan Wakil Presiden Boediono, apakah hal serupa dilakukan mahasiswa daerah? Memang, isu tersebut juga direspons mahasiswa daerah, tetapi tak menyeluruh, tidak massif. Ada kesan aksi di Jakarta berjalan sendiri. Dimana letak kekurangan (untuk tidak mengatakan kesalahan) terhadap aksi mahasiswa era pasca 1998?
Pertama, kurang dipahaminya faktor common enemy (musuh bersama) secara tuntas. Mahasiswa eksponen 1998 berhasil menggulingkan rezim orde baru karena pemetaaan lawan abadi, musuh bersama, yakni Soeharto, sangat tuntas. Hampir seluruh mahasiswa ketika itu sepakat menjadikan jendral bintang ”lima” tersebut sebagai musuh bersama. Kesadaran ini pada akhirnya menimbulkan ”dendam” yang sama di kalangan mahasiswa untuk segera mengakhiri rezim militeristik dan despotik Soeharto.
Kedua, konsistensi terhadap isu. Salah satu penyebab kenapa aksi mahasiswa era 1998 sukses besar adalah karena adanya konsistensi dalam mengawal isu primer dan sekunder.
Isu primer (nasional)-nya adalah turunkan dan adili Soeharto, selain isu reformasi hukum, ekonomi, dan politik. Yang perlu digarisbawahi, ada kesepakatan antar elemen gerakan, termasuk dengan mahasiswa di daerah dalam mengawal isu nasional saat menjalankan aksinya. Mahasiswa di daerah bisa (dan boleh) memunculkan isu lain, tetapi ruhnya harus tetap reformasi.
Ketiga, proses konsolidasi yang matang. Konsolidasi adalah bagian terpenting dalam menata gerakan. Konsolidasi berfungsi memperkuat jaringan, mengevaluasi tindakan-tindakan yang telah dilakukan, serta mengantisipasi munculnya anasir-anasir baru yang berpotensi merusak masifitas gerakan. Yang penulis ketahui dan pelajari, mahasiswa eksponen 1998 memahami pentingnya konsolidasi ini.
Karena itu dulu, mahasiswa familier dengan istilah informal meeting. Kegiatan ini diadakan tidak di tempat yang sama, tetapi berpindah-pindah. Forum ini menjadi ajang aktivis mahasiswa melakukan konsolidasi gerakan. Di forum ini pula perkembangan gerakan sekecil apapun, mulai isu hingga variannya, disampaikan dengan tuntas. Ini penting agar gerakan mahasiswa di pusat dan daerah, nyambung. Menjadi gerakan yang serentak dan menyeluruh.
Selain tiga hal di atas kurang diantisipasi secara cermat, ada kecenderungan negatif lain yang acap kali dilakukan oleh mahasiswa dalam aksi-aksinya dewasa ini. Mahasiswa terjebak dengan dikotomi antara gerakan moral dan politis. Maksudnya, kawan-kawan mahasiswa jarang melakukan kritisisme terhadap bentuk penyelewengan negara karena khawatir (atau paranoid?) gerakannya dimanfaatkan secara politis oleh politisi/partai politik.
Sikap ini sebenarnya kontraproduktif karena pada akhirnya malah menjadikan mahasiswa tidak melakukan apa-apa, selain hanya mencela. Sikap ini perlu dihindari. Yang harus dipahami adalah setiap gerakan yang dilakukan mahasiswa akan selalu berimplikasi politik karena target golnya adalah negara (termasuk pemerintahan daerah), tetapi ruh perjuangannya harus tetap moral. Karena inilah yang membedakan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan partai politik, meski target golnya adalah sama: negara.
Andai beberapa hal di atas dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh mahasiswa era kini, penulis yakin romantisme 1998 terulang. Taring mahasiswa kembali diperhitungkan. Bukan karena berpotensi memicu people power, tetapi mahasiswa akan menjadi kekuatan penyeimbang sekaligus kontrol yang efektif terhadap segala bentuk penyelewengan yang dilakukan negara. (*)

Bawah Titian, 3 April 2010