Tuesday, September 28, 2010

Wong Ndesa dan Politik

Hampir bisa dipastikan, di setiap even suksesi politik, apakah pemilihan umum (pemilu) presiden-wakil presiden, pemilu anggota legislatif, apalagi pemilu kepala daerah atau pemilukada, suara orang desa, menjadi daya tarik yang selalu menggiurkan. Agak dapat dimaklumi kalau suara wong ndesa menjadi rebutan dan daya tarik, karena hak pilih dari masyarakat yang tinggal di pedesaan menjadi kekuatan mayoritas.
Sebagai perbandingan, saat Pemilukada Bojonegoro, jumlah hak pilihnya mencapai 1 juta jiwa lebih. Dari jumlah itu, 75 persen lebih hak suara, tinggal di desa. Oleh karena itu, calon yang ingin menang, bisa dipastikan akan berebut suara, berebut simpati, mengail dukungan masyarakat desa. Keinginan itu pula yang saat ini mulai dilakukan oleh bakal calon kepala daerah Tuban. Meskipun hak pilihnya masih didata KPUK, bisa dipastikan suara mayoritas dari masyarakat desa. Tidak mengherankan, penggunaan tagline ataupun jargon-jargon bernapaskan ”pembelaan” terhadap kepentingan wong ndesa, diluncurkan, demi meraih simpati dan dukungan orang desa.
Menjadi wajar apabila kemudian pesan komunikasi politik yang dibangun, menggunakan gaya-gaya khas orang desa. Misalnya, muleh ndeso, mbangun deso; mbangun deso, noto kutho. Atau, bila mungkin dan bila perlu, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Kang Yoto, saat mencalonkan diri sebagai bupati Bojonegoro 2007 silam, calon kepala daerah bisa menggunakan figur orang desa yang lugu, jujur, bersahaja, dan apa adanya, sebagai simbol pencitraan calon. Kang Yoto, selain menyiapkan dua lembar kontrak politik, juga menggunakan figur Kang Bai, warga Desa Tambakrejo, Kecamatan Kanor, yang lugu untuk mengail simpati publik. Atas peran Kang Bai, dan ”Kang Bai-Kang Bai” lainnya, Kang Yoto melenggang mulus menjadi bupati Bojonegoro. Pesan wong ndesa dan figur apa adanya, sejauh ini, masih terbukti ampuh.
***
Apa yang dilakukan para (bakal) calon kepala daerah, termasuk di Tuban yang pada 2011 akan melangsungkan pemilukada, rupa-rupanya mirip dengan konsep atau gagasan Mao Tse-Tung atau Mao Tse Dong (1893-1976), pemimpin sosialis dari Tiongkok yang amat terkenal dengan tagline atau jargon Desa Mengepung Kota. Jargon lain Mao yang juga amat populer dilakukan pada periode pemerintahannya di Tiongkok adalah Lompatan Jauh ke Depan. Dua konsep ini sama-sama menjadikan orang desa, wong ndesa, sebagai barikade politik dan strategi untuk mengail dukungan.
Dalam buku Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, karangan Michael H. Hart (1978), yang diterjemahkan oleh H. Mahbub Djunaidi, mulanya Mao berpegang pada pendapat bahwa, kaum buruh industri di kota-kota adalah basis terkuat penyokong gerakannya. Ini sejalan dengan teori Karl Marx, pendiri ideologi dan filsafat materialisme yang merupakan akar gerakan sosialialis-komunis.
Tetapi, sekitar tahun 1952, Mao berkesimpulan, paling tidak di daratan Tiongkok, bahwa
sokoguru partai berasal dari kaum tani yang berbasiskan di pedesaan, bukan buruh yang berbasiskan di wilayah perkotaan. Anggapan ini ada dasarnya karena selama pertempuran panjang dan sengit dengan rejim nasionalis, Mao selalu berada di daerah pedesaan. Ide ini dia terapkan tatkala menjadi kepala negara. Bila Stalin berkuasa di Rusia, umumnya pembangunan dititikberatkan pada sektor produksi industri, Mao justru menarik perhatian lebih besar pada pembangunan sektor pertanian dan pedesaan. Meski demikian, di bawah kendali Mao, pembangunan industri Tiongkok maju pesat. Besarnya pengaruh Mao itulah yang akhirnya membuat Michael H. Hart menempatkan Mao Tse-Tung sebagai sosok nomor 20 dari 100 orang yang paling berpengaruh dalam sejarah dunia.
***
Tidak terlalu penting mencari tahu akar strategi politik yang dibangun para calon kepala daerah, sehingga kita tidak perlu menelusuri apakah mereka menerapkan ideologi marxis, leninisme, sosialisme, ataupun komunisme, yang selama ini menjadi ”ideologi” haram di negeri kita. Sebab, dalam banyak hal (menurut penulis), penerapan ideologi sosialisme bisa jadi lebih ”cocok” digunakan untuk membangun kesadaran gerakan masyarakat di kalangan bawah, bukan sebagai landasan untuk mengelola negara. Oleh karena faktanya, Tiongkok pun, yang selama ini dianggap sebagai mbahnya negara sosialis yang tersisa di luar negara-negara kawasan Amerika Latin, tak ”murni-murni” amat ideologi sosialisnya. Tiongkok juga sudah mengadopsi sebagian doktrin-doktrin kapitalisme, yang selama ini menjadi musuh besar sosialisme.
Yang perlu dilihat adalah, antara Mao dan calon kepala daerah, sama-sama menggunakan jasa orang desa untuk memperlicin jalan menuju pendapa. Yang perlu juga digarisbawahi adalah jangan sampai wong ndesa hanyalah dijadikan sebagai komoditas politik, karena sedemikian besarnya biting yang tersedia, untuk meraih kursi empuk kekuasaan. Orang desa sekarang dengan dulu sudah jauh beda. Wong ndesa, berani dan siap saja menggugat andai mereka hanya dijadikan sebagai komoditas politik, pengail simpati, sebagaimana yang disinggung Agus Susanto Rismanto, ketua Komisi A DPRD Bojonegoro, melalui figur penggugat, Kang Bai, dalam artikelnya di Radar Bojonegoro edisi 29 Agustus 2010 lalu. Dan kalau itu terjadi, rasa-rasanya, unen-unen orang Jawa, bahwa ojo dhi-ojo dhi, wong tuwo malati (jangan dik, orang tua bisa membawa petaka), bisa berubah menjadi ojo dhi-ojo dhi, wong ndesa malati (jangan dik, orang desa bisa membawa celaka). (*)

Bawah Titian, 12 September 2010

*) Tayang di Radar Bojonegoro Halaman 24 Edisi 15 September 2010

Iqra` dan Teologi Baca

Rasanya, setiap Ramadan tiba, kita senantiasa mengisinya dengan pelbagai ibadah ritual dan sosial (mungkin?) yang senantiasa berulang ulang dari tahun ke tahun. Dan rasanya, setiap Ramadan hadir, kita senantiasa tidak pernah lupa bahwa di dalamnya, persisnya setiap tanggal 17 Ramadan, umat Islam pada umumnya memperingati nuzulul quran, momentum turunnya wahyu/ayat pertama Alquran yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Wahyu pertama itu adalah QS Al Alaq 1-5, yang diterima Nabi Muhammad SAW pada 17 Ramadan (6 Agustus 610 M). Wahyu ini memiliki makna pembatas strata sosial yang tegas antara strata kebodohan dan keagungan ilmu, karena berintikan perintah untuk membaca (iqra`).
Akan tetapi, apakah substansi teologi iqra` (baca dan tulis) tersebut sudah membekas di hati kaum muslimin? Rasa-rasanya belum maksimal (untuk tak mengatakan tidak sama sekali). Kita mungkin bisa mengukurnya. Tengoklah betapa IPM (indeks pembangunan manusia/human development index), yang salah satu dari tiga indikasinya tersebut adalah pendidikan, termasuk dalam hal ini pendidikan yang bersifat baca dan tulis, justru masih menempatkan Indonesia di peringkat 107 (tahun 2007-2008) dari 177 negara di dunia. Peringkat Indonesia masih di bawah negara-negara miskin Asia lainnya.
Hari ini kita juga bisa merefleksi, betapa meski wahyu itu sudah diturunkan sejak 1.400 tahun yang silam, budaya membaca masih lemah di negeri kita, Indonesia. Hal itu dapat kita lihat dalam rilis data yang dibeber Badan Pusat Statistik 2006, yang memaparkan fakta bahwa budaya membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen (!). Padahal, idealnya 80 persen. Budaya membaca, jauh lebih rendah dibanding menonton televisi yang mencapai 70 persen lebih, yang pada titik-titik tertentu memiliki dampak negatif yang sangat cukup signifikan dalam memperburuk moralitas anak muda, melalui tayangan-tayangan yang kurang mendidik. Padahal, kata para pujangga bijak, dengan membacalah kunci menguasasi dunia. Dengan membacalah, jendela dunia terbuka. Dan dengan membacalah, awal dari segala kesuksesan hidup, dunia dan akhirat.
Salah satu hal yang mungkin (setidaknya menurut penulis) belum tuntas kita laksanakan adalah bahwa teks-teks keagamaan, dalam hal ini ayat-ayat yang terkandung dalam kitab suci Alquran, baru sebatas dipahami dan diimani sebagai landasan ritual, bukan sebagai teks yang membutuhkan kontekstualisasi ayat yang dihubungkan dengan realitas sosial. Perintah membaca sebatas dipahami sebagai perintah untuk membaca teks-teks/ayat-ayat Alquran secara ansich. Akan tetapi, belum dipahami sebagai perintah untuk membaca dan mengkaji dalam banyak hal.
Padahal sebenarnya (sekali lagi menurut penulis), kalau kita pahami, dengan Tuhan menjadikan iqra` sebagai ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi SAW, mengandung maksud bahwa Tuhan sejatinya tidak ingin hamba-hamba-Nya tidak menguasai ilmu, dan acap dikungkung dengan kemiskinan pengetahuan. Tuhan tegas-tegas memprioritaskan tentang kedalaman intelektualitas dengan memperbanyak membaca segala hal yang telah diciptakan-Nya, dibandingkan dengan intensitas ibadah ritual semata. Hal ini dapat kita lihat mengapa bukan perintah salat, zakat, puasa, dan haji yang didahulukan oleh Allah SWT untuk diwahyukan kepada Rasulullah SAW, melainkan justru lebih pada perintah membaca (iqra`).
Reinterpretasi teks-teks keagamaan inilah yang sekiranya perlu dipertajam lagi, sehingga terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadi rahmatan lilalamin. Apabila mengacu pada perspektif Hassan Hanafi, pemikir Islam kontemporer, sejatinya teks iqra` itu mengandung makna-makna demokratisasi, egalitarianisme, persamaan hak seluruh manusia, membebaskan dari ketertindasan, ketidakberdayaan, serta kemiskinan pada diri manusia. Tentunya melalui membaca (ilmu).
Rasanya kita perlu terus meng-kontekstualisasi teks-teks keagamaan dengan semangat atau ruh pembebasan terhadap ketertinggalan, sebagaimana yang dilakukan Ali Ashghar Engineering dengan konsepsi teologi pembebasan kaum mustadh`afinnya yang populer di periode emas Islam.
Atau, rasanya kita membutuhkan lagi pemikir-pemikir kontemporer semacam KH Sahal Mahfudz, dari Ponpes Kajen, Pati, Jawa Tengah yang sedemikian rela dan berkenan guna memeras fikirannya, serta ”berani” merumuskan dan menafsirkan teks-teks keagamaan dengan konsepsi fiqih sosial, yang sedemikian membela hak-hak kaum tertindas. Sebab, pada dasarnya, mereka (Hassan Hanafi, Ali Ashghar Engineering, maupun KH Sahal Mahfudz) meyakini, bahwa Islam adalah agama ”kiri” yang senantiasa akan melawan segala bentuk penindasan, kebodohan, kemiskinan, serta menjunjung tinggi penegakan terhadap kesetaraan dan keadilan dalam segala hal, termasuk dalam ilmu dan pendidikan, dalam membaca dan menulis.
Penulis yakin, selama teks-teks agama tersebut masih kita tafsirkan dan fahami sebatas teks ritual semata, bukan mendasarkan pada kontekstualisasi dengan realitas sosial, maka daftar peringkat IPM maupun persentase minim budaya baca masyarakat kita, akan selalu menjadi data yang kita refleksi setiap tahun, setiap 17 Ramadan. Dan, jangan harap IPM dan budaya baca masyarakat akan meningkat (!). Wallahu a`lam bisshowab. (*)

Bawah Titian, 17 Ramadan 1431 H (27 Agustus 2010)

*) Tayang di Radar Bojonegoro Halaman 30 Edisi 29 Agustus 2010

Nasionalisme Dua Dimensi

ADA dua momentum sakral (baca: nasionalisme) sekaligus, pada bulan ini. Ramadan 1431 Hijriyah dan HUT Ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia. Sakral, karena dua momentum itu memberikan kesempatan kepada diri kita untuk sejenak merefleksi dan berkontemplasi, apa yang telah kita sumbangkan dalam hidup ini untuk tanah air, dan agama, serta masyarakat.
Dalam khazanah klasik Islam, Ramadan memberi makna bulan pengsucian, bulan dua dimensi. Bulan dimana manusia (umat Islam) dituntut untuk tidak hanya melakukan ritual transedental kepada Allah SWT lewat puasa yang an sich (mutlak) untuk Robb.
Melainkan juga ibadah sosial yang di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofi untuk memikirkan orang lain sebagai bentuk sebuah refleksi, dan toleransi untuk merasakan penderitaan orang yang kelaparan dari sisi ragawi.
Ramadan bagi bangsa Indonesia, memiliki titik persinggungan yang dapat dicarikan benang merahnya dengan Agustus, bulan lahirnya bangsa Indonesia. Apabila merujuk sejarah, 65 tahun silam, saat bangsa Indonesia berjuang melawan tirani penjajahan,
juga dilakukan pada bulan suci Ramadan. Spirit Ramadan pada 65 tahun silam itu diejawantahkan dengan nasionalisme dua dimensi.
Dimensi dunia, semua pejuang kala itu meyakini, dengan mengangkat senjata, mereka akan mampu memberikan penghidupan yang lebih baik kepada anak cucunya kelak: merdeka. Para pejuang kala itu meyakini, perjuangan hari ini tak lain merupakan cita-cita hidup bahagia demi anak cucu kelak. Tidak peduli nyawa menjadi taruhannya.
Dimensi ukhrawi, diejawantahkan oleh para pejuang dengan melambari keyakinan itu dengan sikap tawakal, pasrah, dan ridlo, bahwa puasa Ramadan kala itu merupakan momen yang sangat sakral dan tepat untuk menyatukan jiwa dan raga mereka Dzat-Nya. Sebab, hakiki puasa adalah ibadah yang semata-mata untuk Rabb. Ibadah yang harus nir-harapan, nir-imbalan. Ibadah yang hanya Rabb yang tahu balasan yang akan diberikan. Keyakinan bisa satunya ruh pejuang dengan Dzat Allah itu menjadi sebuah keyakinan dan energi yang luar biasa dahsyatnya. Hingga akhirnya, negara-negara di dunia mengakui bahwa Indonesia merdeka oleh keyakinan dan doktrin menyatunya ruh pejuang dengan Dzat Illahy.
Sejatinya sublimasi nilai-nilai Ramadan dan Agustus pada tahun ini haruslah menyatu
dalam jiwa para pelajar. Memang, bentuk dari memperingati semangat nasionalisme bangsa (Agustusan) dan nasionalisme ukhrowi (Ramadan) bagi pelajar, khususnya pelajar NU (IPNU) dan pelajar putri NU (IPPNU), tidak dapat disamakan dengan pelajar lainnya. Karena, IPNU dan IPPNU adalah calon pemimpin bangsa, berbeda dengan pelajar sekolah pada umumnya yang hanya melokalisir bentuk nasionalisme dengan cara-cara sempit, dengan mengikuti berbagai kegiatan seperti gerak jalan, karnaval, atau lomba-lomba sejenis lainnya.
Manifestasi nasionalisme negara dan Ramadan bagi aktivis IPNU dan IPPNU harus menjadi momentum yang mampu memberikan manfaat untuk sesama, setidaknya bagi komunitas kecil masyarakatnya. Misalnya, dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang mampu menunjang keberdayaan masyarakat. Antara lain, menyelenggarakan berbagai pelatihan-pelatihan yang bertujuan meningkatkan capacity building masyarakat, baik dalam dimensi sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun lainnya.
Bentuk cinta tanah air dan ghirah Ramadan dengan cara seperti ini lebih bermartabat dan bermakna, ketimbang melakukan kegiatan-kegiatan seremonial yang sepi dari makna yang substansial. Hal karena IPNU dan IPPNU adalah masa depan NU, lebih jauh lagi, adalah masa depan pemimpin bangsa. Sebagai calon-calon pemimpin bangsa, sudah seyogyanya konstribusi yang diberikan bukan hanya bermakna sempit, melainkan karya nyata, karya hakiki, manfaat untuk sesama. Wallahu A`lam. (*)

Bawah Titian, 12 Agustus 2010