Sunday, December 18, 2011

Konflik dan Konstruksi Sosial

SALAH satu catatan menonjol selama 2011 yang segera beringsut adalah masih maraknya konflik/tawuran/gesekan yang berbasis perguruan silat. Tak bermaksud untuk mendoakan, bukan tidak mungkin, kasus ini masih akan menjadi permasalahan serius di tahun 2012. Yang terbaru adalah konflik antar perguruan silat yang terjadi di Lamongan.
Sulthoni, 18, Desa Ngujungrejo, Kecamatan Turi tergolek tidak sadarkan diri di RSUD dr Soegiri Lamongan. Dia gegar otak ringan akibat dikeroyok sejumlah pemuda 9 Desember lalu. Kejadian itu diselidiki polisi. Dua jam kemudian, polisi mengamankan dua pelaku. Salah satunya adalah dari anggota sebuah perguruan silat. Gesekan berbasis perguruan silat ini selang beberapa hari usai konflik antarperguruan silat pada awal Sura (Muharam) lalu. Saat itu terjadi gesekan antara perguruan SH Terate dan PS Kera Sakti. Kasusnya kini masih menjadi penyidikan aparat kepolisian. Konflik yang terjadi di Lamongan semakin meneguhkan keyakinan bahwa konflik yang berbasis perguruan silat, seperti sudah laten. Khususnya setiap menjelang dan selama bulan Sura.
Bukan hanya di Lamongan. Konflik berbasis perguruan silat ini juga acapkali terjadi di Bojonegoro. Data Mapolres Bojonegoro menunjukkan, selama 10 tahun terakhir (2000-2010), terjadi 23 kejadian tawuran yang melibatkan oknum perguruan silat. Baik sesama perguruan silat maupun dengan masyarakat. Kejadian itu tersebar di sejumlah kecamatan di Bojonegoro. Rinciannya, 15 kejadian melibatkan antar perguruan. Sisanya, perguruan dengan masyarakat.
Sedangkan selama 2011 ini, tercatat sedikitnya tujuh kasus gesekan yang melibatkan dari anggota perguruan silat (Radar Bojonegoro, 18 November 2011). Data ini hanya berdasar laporan polisi. Bukan tak mungkin jumlahnya lebih banyak, karena tidak terendus aparat dan media. Dari sisi durasi, waktunya variatif, mulai awal tahun hingga menjelang akhir tahun. Gesekan ini juga melibatkan segmentasi yang berbeda baik sesama perguruan silat maupun anggota perguruan silat dengan masyarakat. Namun yang khas, gesekan tersebut acap terjadi pada seremonial pengesahan anggota yang lazim dilakukan setiap bulan Sura. Begitu terus, berulang-ulang.

Homo Conflictus
Manusia adalah makhluk konfliktus (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, dan pertentangan baik secara sukarela maupun terpaksa. Konflik yang berbasis perguruan silat ini dapat didekati dengan pendekatan sosiologi konstruksi sosial
Peter Berger dan Thomas Luckman. Menurut Berger dalam Kuswarno (2009; 111-112),
realitas sosial eksis dengan sendirinya dan struktur dunia sosial bergantung pada manusia yang menjadi subjeknya.
Berger dan Luckman mengungkapkan, bahwa seseorang hidup dalam kehidupannya, dan mengembangkan suatu perilaku repetitif, yang mereka sebut sebagai ‘kebiasaan’ (habits).
Kebiasaan ini memungkinkan seseorang untuk mengatasi suatu situasi secara otomatis. Kebiasaan seseorang ini berguna juga untuk orang lain. Kebiasaan yang sama pula pada akhirnya menciptakan sebuah pemahaman yang sama atas sebuah makna.
Karena habits, seseorang dapat membangun interaksi dengan orang lain yang disesuaikan dengan tipe-tipe seseorang, yang disebut sebagai pengkhasan (typication). Seiring dengan berjalannya waktu, dan kenyataan selanjutnya, beberapa kebiasaan tersebut menjadi milik bersama seluruh anggota masyarakat, komunitas, dan kelompok, sehingga terbentuklah sebuah lembaga (institution).
Dalam kaitan dengan konflik berbasis perguruan silat, persoalannya adalah bagaimana elit-elit dan anggota perguruan silat mengkategorikan (to typication) dirinya sendiri, dan bagaimana mereka mengembangkan lembaga struktur dengan seperangkat nilai, norma, dan aturan yang mereka anut bersama. Nilai-nilai ini pada akhirnya mengkonstruksi diri dan habits-nya menjadi sesuatu yang disepakati bersama, yang terkadang menimbulkan
subjektivitas tafsir terhadap nilai-nilai, dan norma di luar habits-nya. Ketiadaan pandang yang sama dalam memaknai nilai inilah yang berujung pada gesekan, dan konflik.
Mengacu pendekatan sosiolog perdamaian John Paul Lederach, mungkin sebaiknya para pemangku kepentingan menyiapkan langkah konkret agar konflik serupa tidak terulang tahun depan. Lederach dalam Novri Susan (2010; 73-73) menekankan agar konflik yang terjadi harus dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan seseorang secara sosial. Konflik juga harus dipahami melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan penciptaan makna bersama.
Proses interaktif tersebut disempurnakan melalui dan diakarkan dalam persepsi manusia, interpretasi, ekspresi, dan niatan-niatan yang semuanya tumbuh dari dan berputar kembali ke kesadaran umum mereka (common sense), sebagai manusia yang fitrahnya adalah nir-kekerasan. Pada tahap inilah diperlukan sebuah resolusi konflik, tak cukup hanya dengan manajemen konflik, yang disepakati secara bersama dalam nalar kognisi masing-masing pemangku kepentingan mulai dari perguruan silat, aparat kepolisian, tokoh agama, dan masyarakat, hingga komponen-komponen terkait lainnya. Agar gesekan yang berbasis perguruan silat tersebut tidak menjadi laten, menjadi bahaya yang kerap mengintai setiap waktu dan momentum-momentum tertentu. (*)

Ujung Blok Lingkar, 17 Desember 2011
*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Edisi 18 Desember 2011 Halaman 30.

Saturday, December 17, 2011

Quo Vadis Perda Konten Lokal?

TERHITUNG sejak 10 November 2010, Pemkab dan DPRD Bojonegoro menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi serta Pengolahan Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Kabupaten Bojonegoro. Terhitung sejak tanggal itu juga Perda yang lazim disebut dengan Perda Konten Lokal itu resmi menjadi regulasi daerah yang akan mengawal keterlibatan konten lokal dalam percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dalam kaitannya dengan migas di Bojonegoro.
Secara garis besar Perda 23/2011, sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 regulasi ini memiliki empat tujuan utama. Pertama, meningkatkan pendapatan daerah untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian daerah dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan daerah.
Kedua, mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan daerah untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional berlandaskan keunggulan kompetitif daerah terutama kontribusi dari pemanfaatan sumber daya alam secara lestari.
Ketiga, mengendalikan permasalahan sosial dan ekonomi yang potensial dapat menghambat kelancaran rangkaian pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi serta pengolahan minyak dan gas bumi di daerah. Dan keempat, mempercepat pencapaian tujuan pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan dengan mengoptimalkan kontribusi sektor swasta melalui CSR (corporate social responsibility/tanggung jawab sosial perusahaan). Pertanyaannya adalah mampukah Perda tersebut menjamin keterlibatan konten lokal, sebagaimana idealisasi konsideran Perda?

Urgensi Tim Optimalisasi
Jika dicermati lebih jauh, sebenarnya dapat dipahami bahwa ruh atau nafas utama dari Perda 23/2011 adalah dibentuknya Tim Optimalisasi Kandungan Lokal. Titik tekan ini dapat diketahui karena filosofi awal Pemkab Bojonegoro melahirkan Perda ini adalah untuk melibatkan kandungan lokal (local content) di berbagai proyek migas yang dipersiapkan untuk puncak produksi migas pada 2013 mendatang.
Tim Optimalisasi Kandungan Lokal juga dapat dikatakan sebagai think thank segala renik kepentingan yang berhubungan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi karena mempunyai peran yang urgen dan signifikan. Dalam Bab V Pasal 21 Perda 23/2011 dijelaskan, Tim Optimalisasi Kandungan Lokal mempunyai tugas untuk mengawasi dan melakukan koordinasi kegiatan pemberdayaan kandungan lokal. Namun, jika dipahami secara jernih, ada overlaping peran yang dimainkan oleh Tim Optimalisasi tersebut.
Dalam Pasal 21 ayat 1 dijelaskan, fungsi Tim Optimalisasi adalah untuk mengawasi dan melakukan koordinasi. Akan tetapi, dalam pasal yang sama di ayat 2 ditegaskan, bahwa Tim Optimalisasi Kandungan Lokal terdiri dari tiga unsur. Yaitu, pemerintah, kontraktor kontrak kerja sama (K-KKS), dan mitra K-KKS. Ada semangat untuk memberdayakan kandungan lokal, memang tidak bisa dibantah. Tetapi, mengfungsikan peran sebagai pengawas sekaligus pelaksana dengan memainkan peran-peran koordinasi dalam kegiatan pemberdayaan kandungan lokal, tanpa syak sangka lagi akan menjadikan kinerja Tim Optimalisasi tidak bisa maksimal. Logika sederhananya, tentu akan sulit memisahkan conflict of interest (konflik kepentingan) yang terjadi jikalau dua peran sekaligus itu dijalankan. Bukan menyangsikan, mengkhawatirkan sesuatu yang buruk akan terjadi tentu bukan sebuah kesalahan bukan?
Belum lagi konflik kepentingan yang diusung K-KKS dan Mitra K-KKS yang bisa dipastikan akan membawa sejumlah kriteria dalam dimensi profesionalisme dan proporsional dalam perspektif teknis dunia perminyakan. Ibaratnya K-KKS dan Mitra K-KKS tentu tidak akan mau pemberdayaan kandungan lokal yang dimaksud tidak mempertimbangkan aspek-aspek kompetensi yang selama ini menjadi standar baku bisnis perminyakan.
Perbedaan prasyarat antara K-KKS dan Mitra K-KKS yang mengsyaratkan standar kompetensi dan passing grade dalam pemberdayaan kandungan lokal dengan unsur pemerintah yang pastinya lebih mempertimbangan dinamika sosial, konsensus politik, dan akomodasi kepentingan sosial inilah yang akan menjadi bara dalam sekam, atau bom waktu yang suatu saat akan meledak jika tidak diantisipasi sejak dini.

Gesekan Horizontal
Di luar kemungkinan ramai di internal Tim Optimalisasi, yang patut juga diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya gesekan sosial di level basis, level horizontal. Belum lagi paket pekerjaan EPC 1 dijalankan, baru-baru ini Bojonegoro diramaikan dengan aksi ribuan warga yang mengatasnamakan dari Forum Kelompok Masyarakat (FKM) yang mendukung Perda 23/2011, serta mendesak kepada Pemkab Bojonegoro untuk mempertemukan mereka dengan ExxonMobil dan anak perusahaannya MCL, serta PT Tripatra, pemenang tender EPC 1.
Yang menarik, di internal FKM juga terendus konflik internal, karena dikabarkan di antara sesama pengurus FKM tak mempunyai tuntutan yang sama. Sehingga, seperti diberitakan berbagai media, sempat muncul dua selebaran yang isinya tidak sama. Selebaran satu berisi dua tuntutan, selebaran lainnya berisi tiga tuntutan. Tuntutan yang terakhir adalah menuntut PT Tripatra membatalkan tender-tender yang sudah diumumkan dan mengadakan tender ulang sesuai dengan keputusan dari Pemkab Bojonegoro.
Dinamika ini seolah semakin benderang menunjukkan siapa membawa kepentingan apa, dan atas kepentingan apa mereka bergerak. Semua berujung pada upaya untuk menepis dari kesenjangan ekonomi. Artinya, semakin tinggi potensi ekonomi yang ada di sebuah wilayah, semakin tinggi pula tensi kesenjangan maupun gesekan sosial dan horizontal yang terjadi.
Jadi, ada benarnya Gabriel Demombynes dan Berk Ozler dalam artikelnya, crime and local inequality (World Bank, 2002), yang memberikan paparan tentang hubungan antara kesenjangan lokal dengan kejahatan terhadap harta (property crime) dan kekerasan terhadap diri (violent crime). Dalam studinya (yang tidak disebutkan tahunnya) di Afrika Selatan, keduanya menemukan fakta bahwa tingkat perampokan dan gesekan sosial dilaporkan lebih tinggi 20 persen-30 persen di wilayah hukum kepolisian pada daerah yang lebih kaya dibandingkan dengan wilayah sekitarnya. Temuan ini konsisten dengan teori ekonomi terkait dengan hubungan antara kesenjangan dengan kejahatan terhadap harta benda dan teori sosial tentang kesenjangan yang memicu kejahatan secara umum.
Terlepas siapapun yang memiliki kepentingan tersebut, Pemkab Bojonegoro selaku regulator sekaligus fasilitator perlu bertindak sesegera mungkin. Mumpung belum terlambat. Cantolannya cukup kuat. Dalam Pasal 21 ayat 3 dijelaskan, bahwa tata cara pembentukan, tugas, dan tanggung-jawab Tim Optimalisasi kandungan lokal diatur dalam Peraturan Bupati. Disinilah letak urgen Peraturan Bupati agar sebisa mungkin melahirkan diktum yang menghindarkan ketegangan sosial dan menjadikan regulasi sebagai instrumen vital untuk mendorong kesejahteraan substansial dan berkeadilan. Sekali salah menentukan arah, perda tidak akan menjadi peta jalan kesejahteraan, tetapi justru sebaliknya: peta jalan kesengsaraan. [*]

Ujung Blok Lingkar, 30 November 2011

* Tayang di Tabloid Blok Bojonegoro Edisi Desember 2011

Monday, November 7, 2011

Mahalnya Sebuah Perda

MENJELANG akhir 2011, DPRD Bojonegoro, khususnya Badan Legislasi (Banleg) membuat capaian cukup penting dengan membahas dan mengesahkan lima di antara 10 rancangan peraturan daerah (Raperda) menjadi peraturan daerah (Perda). Lima Perda itu adalah Perda tentang pemekaran kecamatan dan pembentukan kecamatan baru; Perda tentang percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dalam pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi migas; Perda perubahan atas Perda 19/1990 tentang PDAM; Perda tentang wajib pajak cabang/lokasi dalam pengadaan barang dan jasa di Bojonegoro; dan Perda kesejahteraan lanjut usia.
Sedangkan lima raperda lainnya ditunda. Lima raperda itu, Raperda tentang transparansi tata kelola pemerintahan di bidang industri ekstraktif migas; Raperda tentang penanggulangan bencana; raperda tentang sistem penyelenggaraan pendidikan daerah; Raperda tentang pengelolaan barang milik pemkab; dan Raperda tentang tata cara perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah. Khusus Raperda yang disebut terakhir dipending, karena sudah ada aturan tersendiri yang mengaturnya.
Dengan disahkannya lima Raperda itu, di satu sisi DPRD Bojonegoro telah menjalankan amanat UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD, dan DPRD, khususnya pasal 78. Pasal tersebut menyebutkan adanya hak konstitusi yang besar yang dimiliki lembaga wakil rakyat. Hak itu berupa kewenangan ikut mengatur jalannya roda pemerintahan. Ketiga hak konstitusi tersebut, legislating (membuat Perda), budgeting (menyusun anggaran), dan controlling (turut mengawasi kebijakan eksekutif).
Sayangnya, peran legislating ini belum berjalan dengan baik. Indikasinya tampak dengan kasat mata. Sebab, empat Raperda yang dipending ternyata semua adalah merupakan hak inisiatif DPRD Bojonegoro. Logikanya, kalau benar Raperda itu memang diusulkan berdasarkan hak inisiatif anggota DPRD, secara matematis akan cukup mulus disahkan menjadi Perda. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Sejak masih dibahas di panitia khusus (Pansus) saja sudah memicu perdebatan hingga kemudian berujung tak disahkan di tingkat paripurna DPRD. Tentu ada persoalan lain yang sulit untuk dipahami sehingga kenapa empat Raperda tersebut tidak disahkan menjadi Perda.
Salah satu Raperda inisiatif yang sejak dulu muter-muter, hampir selalu dimasukkan di dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) DPRD Bojonegoro adalah Raperda tentang sistem penyelenggaraan pendidikan daerah. Raperda ini bahkan, seingat penulis, adalah merupakan `warisan` anggota DPRD Bojonegoro periode 2004-2009. Penulis masih ingat persis, menjelang berakhirnya masa jabatan anggota DPRD periode lalu, persisnya paro 2009, paripurna dewan merekomendasikan agar raperda tentang sistem penyelenggaraan pendidikan ini menjadi pilot project anggota dewan periode 2009-2014.
Tapi apa mau dikata? Alih-alih disahkan menjadi Perda, hingga sekarang (dua tahun kemudian) Raperda tersebut masih simpang siur, dan tidak kunjung disahkan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah memang tidak ada kesinkronan di antara internal anggota dewan dan pemkab, sehingga Raperda itu tidak pernah tuntas dibahas dan disahkan? Ataukah ada kendala teknis di konteks mekanisme penyusunan Raperdanya menjadi Perda? Ataukah justru ada kendala ’something’ yang sulit untuk diterjemahkan dengan bukti formil materiil, tetapi sangat bisa dirasakan dan dibaui?
Kalau yang pertama dan ketiga, rasanya penulis tidak mampu menjawabnya, karena mungkin eksekutif serta legislatif, (dan Tuhan tentunya) yang tahu. Tetapi dari sisi teknis mekanisme pengusulan Raperda menjadi Perda, rasanya memang ada yang kurang fair dibuka ke ranah publik. Sebab, merunut perspektif kebijakan publik, untuk membuat sebuah Raperda menjadi Perda, perlu ada sebuah daftar identifikasi masalah (DIM) dari suatu sasaran atau objek yang akan dijadikan bahan membuat regulasi.
DIM inilah yang kemudian dijabarkan sebagai draf naskah akademik, yang biasanya dipercayakan kepada perguruan tinggi sebagai representasi pengembangan keilmuan atau lembaga kredibel lainnya. Naskah akademik menjelaskan tentang batang tubuh Raperda, yang berisikan tentang hal-hal apa yang harus diatur, hingga sanksi yang akan diterapkan jika dilanggar.
Dalam naskah akademik pulalah landasan-landasan filosofis, sosiologis-kultural, dan hukum dikaji secara rigid dan detail agar saat Perda itu dilembar-daerahkan tidak memicu masalah, melainkan menyelesaikan masalah (problem solving). Dalam naskah akademik juga diatur landasan-landasan yang menjadi konsideran agar Perda yang diterbitkan tidak bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya. Baru masuk di ranah Prolegda hingga pengesahan oleh DPRD dan revisi gubernur.
Penulis berbaik sangka, (mungkin) hal itu sudah dilakukan. Tetapi, sejauh ini penulis belum pernah melihatnya dibuka secara transparan ke publik lewat public hearing misalnya. Seolah-olah, Perda menjadi barang mahal dan wajib disembunyikan. Rupanya sampai detik ini transparansi memang masih sebatas jargon yang semu! (*)

Blok Lingkar, 5 November 2011

*) Tayang di Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Edisi Minggu, 6 November 2011, Halaman 30.

Sunday, October 2, 2011

Kunker dan Kepatutan Publik

Kunjungan kerja (kunker) anggota DPRD kembali menjadi agenda yang sering dilakukan anggota wakil rakyat dalam bulan ini, demi tujuan studi banding penerapan keberhasilan kebijakan, dan regulasi yang diterapkan kabupaten, kota, ataupun provinsi lain. Kunker dilakukan tidak sebatas antar kecamatan dalam kabupaten, tetapi juga antar kota dalam provinsi, hingga antar provinsi.
Simak saja kunker yang dilakukan anggota DPRD Tuban. Berdasar surat jadwal agenda DPRD Tuban bernomor 175/346/414.040/2011 disebutkan, dari 23 hari kerja selama bulan September 2011, 17 hari di antaranya atau 70 persen (!) digunakan untuk kunker. Sedangkan enam hari lainnya atau hanya 30 persen digunakan untuk rapat kerja (raker) dan rapat paripurna. (Radar Bojonegoro, 8 September 2011)
Yang lebih membuat masghul lagi adalah yang terjadi di DPRD Bojonegoro baru-baru ini. Rabu (14/9) lalu, sejumlah anggota Komisi C DPRD Subang, Jawa Barat, melakukan studi banding ke DPRD Bojonegoro. Rombongan tamu bermaksud ingin belajar tentang pengelolaan minyak dan gas (migas) di Bojonegoro. Ironisnya, tak ada satupun anggota DPRD Bojonegoro yang menemuinya (!). Tamu ’hanya’ ditemui sekretaris DPRD dan sejumlah kepala satuan kerja pemkab.
Sebab, pada saat bersamaan, tiga komisi DPRD Bojonegoro, yakni A, C, dan D sama-sama kunker ke berbagai daerah. Komisi A ke Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah untuk
belajar tentang pengelolaan dan penataan aset daerah. Kemudian, komisi C baru pulang dari kunker di Kabupaten Magetan untut stuba mengenai pengelolaan sekolah berstandar internasional, sedangkan komisi D ke Kabupaten Pati, Jawa Tengah untuk stuba tentang pembangunan jalan proses kecamatan. (Radar Bojonegoro, 15 September 2011)
Yang menjadi persoalan adalah anggota komisi lain yang tidak ikut kunker, dan berada di tempat tak ikut menemui tamu dari DPRD Subang. Sikap dan penghargaan terhadap tamu yang datang dari jauh-jauh (Subang) terkesan disepelekan, bahkan tidak ada. Fakta-fakta ini seolah semakin menegaskan dan menunjukkan betapa kinerja anggota legislatif nyaris
tidak terorganisir, tidak ter-schedule, dan tak ada pertanggungjawaban publik yang jelas.

Pertanggungjawaban Publik
Secara tata pemerintahan, kemungkinan tidak ada yang salah dengan kunker. Penulis beberapa waktu lalu sempat berdiskusi dengan salah satu anggota DPRD Bojonegoro. Dia bilang, kunker banyak manfaatnya. Dengan kunker, mereka banyak tahu tentang keberhasilan kebijakan kota/kabupaten lain, yang memungkinkan bisa direplikasi di Bojonegoro. Dengan kunker pula, anggota dewan bisa mengadopsi regulasi baru yang telah sukses diterapkan di daerah lain sehingga bisa di-ATM (ambil, tiru, dan modifikasi) di Bojonegoro.
Secara normatif hukum, kunker juga tidak melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, seorang anggota DPRD Bojonegoro pernah membocorkan kepada penulis bahwa, kunker juga mempunyai landasan hukum yang absah dan kuat. Regulasi di tingkat lokal inilah yang selama ini menjadi salah satu acuan dalam menentukan biaya atau besaran dana untuk kunker. Sekali lagi, dalam konstruksi hukum dan pemerintahan, tak ada yang salah dalam kunker.
Hanya, yang menjadi masalah adalah dalam hal kepantasan atau kepatutan publik. Yang jadi pertanyaan adalah apakah pantas dan patut dalam sebulan, 70 persen di antaranya dihabiskan oleh anggota dewan yang terhormat untuk kunker. Menjadi tidak salah kalau kemudian rakyat men-cap bahwa kunker hanya sebatas untuk pelesiran, jalan-jalan, dan menghabiskan anggaran yang dialokasikan oleh APBD masing-masing daerah. Karena faktanya memang jadwal kerja yang dimiliki anggota dewan (contoh kasus Tuban) hanya enam hari atau 30 persen.
Terlebih, hasil dari kunker sejauh ini tidak ada pertanggungjawaban yang jelas. Penulis kok belum pernah mendengar dan melihat, beberapa hari setelah anggota dewan pulang dari kunker mengadakan semacam public hearing, yang disitu dijelaskan hasil-hasil dari kunker, dan intisari yang akan direplikasi di Bojonegoro. Kalaupun anggota dewan tidak mau dituding pelesiran dan menghambur-hamburkan uang, dengan mengatasnamakan kunker, buat saja forum public hearing atau apapun nama medianya, sebagai suatu ruang komunikasi sekaligus bentuk pertanggungjawaban publik (public accountability) kepada elemen-elemen masyarakat.
Rasanya, hal itu jauh lebih bermartabat, bermoral, dan bertanggungjawab di mata pemilik dan pemegang mandat demokrasi: rakyat, daripada berdebat dengan tetap saja meyakini subjektivitas tafsirnya yang benar. John B. Rawls, dalam buku berjudul Theory of Justice (1971) mengatakan, manusia yang bermoral itu ditandai antara lain dengan kemampuan untuk mengerti dan bertindak berdasar keadilan. Konteks keadilan yang dimaksud disini adalah termasuk keadilan dan kepantasan/kepatutan publik. (*)

Ujung Blok Lingkar, 16 September 2011

*) Tayang di Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Edisi 18 September 2011, Halaman 30

Thursday, September 1, 2011

Membela Kepentingan Petani

HAL terpenting yang perlu direnungkan bersama sebagai bahan evaluasi sekaligus juga refleksi dalam memperingati Hari Petani pada September adalah sudahkah negara memberikan proteksi yang menyeluruh kepada kehidupan petani. Apabila pertanyaan tersebut diajukan kepada petani secara langsung, niscaya akan didapati jawaban: tidak ada. Bukan bermaksud pesimis dan tidak percaya (apatis) terhadap apa yang selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah, faktanya nasib petani dari masa ke masa, dari tahun ke tahun, tidak pernah beranjak dari jurang kesengsaraan, kenestapaan. Betapa potret petani secara keseluruhan dan kemiskinan bagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Sebagai contoh, dalam beberapa waktu terakhir, di Bojonegoro berita yang menceritakan tentang derita petani, nyaris tidak pernah habis. Saat memasuki masa panen beberapa waktu lalu, ribuan petani di Bojonegoro mengeluhkan tentang ketiadaan harapan pada lahan padi mereka, karena ludes diserang hama wereng. Serangan hama wereng yang menyerang nyaris seperti pagebluk, yang mengganas dan meranggasi semua tanaman padi petani, nyaris seperti tidak tersisa. Petani mengalami gagal panen alias puso. Ribuan hektare lahan pertanian tidak bisa dipanen.
Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Di saat kerugian sudah berada di ambang mata, petani tetap saja menjadi pihak yang selalu dikalahkan dan tidak berdaya. Seolah tidak mau disalahkan, pemerintah dengan enteng mengatakan gagal panen atau pagebluk pertanian di banyak daerah, termasuk di Bojonegoro, kebanyakan disebabkan petani enggan menuruti saran dan masukan dari PPL (pegawai penyuluh lapangan) Dinas Pertanian mengenai pengaturan pola tanam pada sawahnya.
Alibi pemerintah, masa yang seharusnya digunakan untuk menanam tanaman palawija, oleh para petani masih diabaikan. Para petani justru menanam padi. Padahal, mengacu rumus teknis dalam pertanian, dengan menanam palawija maka siklus perkembangan hama (khususnya wereng) akan terputus. Akan tetapi karena tetap ditanami padi, hama wereng tetap subur berkembang hingga menjadi ancaman yang menebar teror dan kemiskinan yang berkepanjangan.
Memang secara sekilas seolah petani salah dalam tragedi pertanian ini. Akan tetapi jika diteliti lebih jauh, sebenarnya petani tidak melulu salah. Persoalannya, adalah sejauh ini pemerintah tak terlalu banyak memberikan penjelasan secara detail kepada petani mengenai kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut. Kalaupun dilakukan, sejauh ini tidak dijadikan sebagai gerakan yang menyeluruh dan dengan metode yang mudah dipahami oleh petani, sehingga akan menjadi perhatian tersendiri bagi petani. Yang terjadi, petani menanggung sendiri beban kerugian itu.
Persoalan di atas hanyalah satu di antara banyak problem yang melingkupi petani dan dunia pertanian itu sendiri. Di luar gagal panen dan serangan hama wereng, problem klasik lain yang acap melingkupi petani adalah persoalan distribusi pupuk yang hampir selalu fluktuatif, dan bahkan terkesan hanya menjadikan petani sebagai komoditas kapitalisasi ekonomi.
Persoalan lainnya adalah harga hasil panen yang nyaris selalu anjlok dari tahun ke tahun, hingga minimnya kebijakan yang pro petani, semisal proteksi ketat terhadap komoditas beras impor, gula impor, dan lain sebagainya yang akan mengancam kelangsungan produk lokal. Benar bahwa sekarang adalah era perdagangan bebas yang memungkinkan setiap negara untuk masuk dan bebas melakukan perdagangan.
Akan tetapi, disinilah justru peran negara mutlak dibutuhkan oleh petani dengan cara melakukan proteksi ketat komoditas yang masuk, sekaligus menerapkan kebijakan yang benar-benar pro dan membela kepentingan petani. Keterlibatan negara, termasuk pemerintah daerah untuk memberi proteksi terhadap petani dan produk-produksnya juga merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk memberi jaminan keselamatan dan kesejahteraan terhadap rakyatnya, sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 1945. Belum lagi problem semakin menipisnya lahan pertanian di Bojonegoro yang sebenarnya juga membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, karena hal ini menyangkut sentral produksi ketahanan pangan.
Kita semua tentu tidak ingin petani selalu menjadi tumbal kemajuan dan perkembangan pesat dari sebuah negara. Sebab, jika petani sampai melakukan perlawanan dengan cara mereka sendiri, misalnya melakukan pembangkangan sipil atau boikot tanam, tidak bisa dibayangkan betapa dahsyatnya dampaknya. Karena, sejatinya merekalah sebenarnya tulang punggung perekonomian nasional. Sekali mereka bergeliat dan melawan, maka stabilitas ketahanan pangan nasional akan benar-benar terancam. Tentu kita tidak ingin bukan? Sekaranglah saatnya membela secara konsisten kepentingan petani, kepentingan tulang punggung bangsa. [*]

Local Content

COBALAH sesekali mendengar dengan seksama dan serius apa saja yang menjadi rasan-rasan di kalangan petinggi Pemkab Bojonegoro dan DPRD Bojonegoro saat ditanya apa pendapat mereka mengenai keberadaan minyak bumi dan gas (migas) di Bojonegoro? Jamak diketahui, jawaban yang muncul adalah bagaimana mengoptimalkan peran serta pemerintah daerah, wabil khusus masyarakat Bojonegoro, dalam mendayagunakan migas untuk kemakmuran rakyat.
Kalau ingin mendapat jawaban yang lebih mengerucut, pasanglah telinga, dan buka mata, serta sadap apa yang dimaui masyarakat yang dekat dengan lokasi migas nun di kawasan Kecamatan Ngasem dan Kalitidu, tempat ladang migas tersebut bersemayam: Blok Cepu. Jawaban yang mengemuka ke permukaan niscaya adalah seberapa besar kalangan lokal (local content) dilibatkan dalam pengelolaan migas.
Nyaris seragamnya koor urgensi local content agar dilibatkan dalam proses pengelolaan minyak hampir seperti suara dan nyanyian sumbang, di tengah gegap gempita penyiapan lima megaproyek (EPC) untuk menunjang produksi puncak minyak dari Blok Cepu yang diproyeksikan bakal berlangsung pada 2013 mendatang. Seolah, hembusan local content seperti menjadi daya dorong yang membangun kekompakan untuk menyuarakan bentuk-bentuk ketidakadilan yang selama ini dirasakan Bojonegoro.
Rasanya, tidak terlalu penting untuk mengetahui siapa pihak yang menghembuskan isu pentingnya local content terlibat dalam proses-proses pembangunan yang berhubungan dengan persiapan produksi puncak Blok Cepu. Kesepahaman dan keseragaman untuk menyerukan pentingnya local content, harus disikapi secara arif, sebagai sebuah sikap kritis masyarakat yang selama ini masih melihat adanya bentuk ketimpangan, untuk tidak mengatakan adanya ketidakadilan, dalam pengelolaan migas.
Rasanya, masyarakat sudah tahu bahwa besaran dana coorporate social responsibility (CSR/tanggung jawab sosial perusahaan) yang diberikan operator minyak sejak 2006 hingga sekarang yang ”hanya” Rp 21 miliar ini, masih cukup kecil apabila dibandingkan dengan potensi kerusakan lingkungan, kultur, sosial politik, ekonomi, dan juga mentalitas masyarakat untuk masa depan generasi mendatang.
Sebagian besar masyarakat Bojonegoro juga telah merasakan bagaimana terjadinya suatu
disparitas penerimaan pajak. Hingga sekarang ini, pajak yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro terhadap keberadaan investor pengelola kilang mini (mini refinery) yang mengolah minyak mentah dari Blok Cepu menjadi minyak jadi, teramat minim. Hanya seratus juta lebih sedikit. Itupun hanya untuk pajak bumi dan bangunan (PBB). Padahal, aset, nilai konstruksi, dan manfaat kilang mini tersebut hingga mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Kemana larinya? Ke pusat.
Dari sisi penerapan regulasi pajak juga tidak berpihak. Selama ini, pembayaran pajak untuk bangunan EPF (early production fasilities) yang terletak di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban hanya mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP), yang berada pada kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu per meter persegi. Hal ini kontradiktif, karena nilai aset dari EPF mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Idealnya, pembayaran pajak EPF mengacu pada taksiran validasi harga kekinian. Apabila hanya mengacu NJOP, dengan mengatasnamakan regulasi, tentu Bojonegoro amat dirugikan. Sementara, segala dampak negatif yang ditimbulkan akan ditanggung Bojonegoro. Baik di masa sekarang, lebih-lebih di masa mendatang.
Belum lagi kalau bicara bentuk-bentuk ketidakadilan lain yang diterima oleh Bojonegoro. Sebut saja, soal lifting minyak, apakah selama ini pemerintah daerah diberitahu? Apakah benar-benar sebesar 25 ribu barel per hari, sebagaimana yang disuarakan selama ini? Siapa yang menjamin bahwa klaim itu benar, toh juga pemerintahan daerah (Pemkab dan DPRD) tidak pernah diberi data pembanding oleh BP Migas maupun operator. Rasanya memang ada semacam sesuatu yang tidak boleh diketahui, meskipun negeri ini sudah memiliki Undang-Undang tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP).
Belum lagi kalau bicara soal bagi hasil participating interest (PI/penyertaan modal), dana bagi hasil (DBH) minyak, maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan pengadaan atau pembuatan infrastruktur penunjang eksploitasi Blok Cepu di luar kaki bor yang ada kesan dipersulit. Rasanya, tidak salah kalau kemudian local content menjadi nyanyian koor yang disuarakan oleh berbagai pihak. Karena, local content adalah kulminasi dari semua bentuk ketidakadilan itu sendiri. [*]

Menggugat Ketidakadilan Migas

KISAH negeri yang memiliki kandungan minyak melimpah belum tentu menjadikan negeri tersebut kaya, makmur, dan sejahtera ada benarnya. Blok Cepu, yang 90 persen wilayah operasinya masuk di Kabupaten Bojonegoro, menyimpan kekayaan minyak luar biasa. Dari sekitar 40 sumur yang dikerjakan ExxonMobil melalui anak perusahaannya, Mobil Cepu Limited (MCL), dan Pertamina, diperkirakan mengandung 600 juta barel minyak, dan gas 1,7 triliun hingga 2 triliun kaki kubik (TCF). Di lapangan, diperkirakan Blok Cepu menyimpan kandungan minyak 250 juta barel. Pada kondisi puncak (2013), operator akan mampu memproduksi minyak 250.000 barel per hari atau setara dengan 20 persen produksi minyak Indonesia saat ini (Gatra, 25 Maret 2006, lihat juga Tempo, 2 April 2006).
Faktanya, kondisi yang dirasakan oleh Kabupaten Bojonegoro, tak seindah dalam angan-angan. Bahkan bisa dibilang suatu ironis. Alih-alih kesejahteraan, Kabupaten Bojonegoro justru mengalami ketidakdilan dalam pengelolaan minyak, khususnya di luar ranah bagi hasil minyak. Setidaknya menurut penulis, ada empat perlakuan tidak adil yang diterima Kabupaten Bojonegoro dalam kaitannya dengan implikasi pengelolaan minyak.
Pertama, minimnya dana coorporate social responsibility (CSR/tanggung jawab sosial perusahaan) yang diberikan oleh operator minyak. Selama MCL beroperasi (sejak 2006 hingga sekarang/lima tahun), dana CSR (dulu community development) yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro ”hanya” Rp 17 miliar. Memang besaran riil dana CSR tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Namun, dalam pasal 15 (b) pada UU yang sama ditegaskan, yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Dalam konteks seimbang inilah besar dana CSR sudah seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Kedua, ada kesan pengadaan/pembuatan infrastruktur penunjang eksploitasi Blok Cepu di luar kaki bor dipersulit. Alotnya pembangunan lapangan terbang (lapter) adalah satu di antara sekian contoh. Padahal, untuk menunjang puncak produksi minyak pada 2013, dibutuhkan lapter terbang untuk memperlancar proses pengiriman minyak. Dari sisi ekonomi, pembangunan lapter juga bisa menghemat dana hingga triliunan rupiah. Jika hal ini bisa dimaksimalkan, akan ada pemasukan yang signifikan bagi Bojonegoro, yang tentu juga merupakan modal untuk kesejahteraan masyarakat.
Di luar lapter, Bojonegoro juga ”dipersulit” dalam pembangunan waduk yang berfungsi sebagai pendingin saat eksploitasi minyak memasuki fase puncak. Padahal, berdasarkan kajian tim Pemkab Bojonegoro, keberadaan waduk penting tak hanya sebagai pendingin, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai stok air untuk pengairan sawah pada saat musim kemarau tiba. Waduk juga dapat digunakan sebagai tempat cadangan untuk menampung air saat debit air di Bengawan Solo berlimpah. Alih-alih usulan pemkab ini disetujui, BP Migas justru mengeluarkan keputusan ”aneh”, yaitu fifty-fifty. Artinya, separo memakai konsep waduk, separo lainnya menggunakan desalinasi (penyulingan air laut menjadi air tawar) yang disalurkan dari laut di wilayah Rembang, Jawa Tengah.
Ketiga, disparitas penerimaan pajak. Hingga saat ini, pajak yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro atas keberadaan PT Tri Wahana Universal (TWU), investor pengelola kilang mini (mini refinery) yang mengolah minyak mentah dari Blok Cepu menjadi minyak jadi, teramat sangat minim. Dalam setahun, PT TWU yang ada di Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, hanya menyetor pajak Rp 130 juta. Itupun hanya untuk pajak bumi dan bangunan (PBB). Padahal, aset, nilai konstruksi, dan manfaat kilang mini tersebut hingga mencapai ratusan miliar rupiah.
Penerimaan pajak tersebut kontradiktif dengan yang ada dalam UU tentang Perpajakan, dimana daerah penghasil harusnya menerima 62 persen dari total penghasilan. Ironisnya, penerimaan pajak (PPN/PPH) terbesar justru diterima oleh Pemprov DKI Jakarta, hanya karena PT TWU kantornya berada di wilayah Jakarta. Hal ini tentu tak adil, karena yang menanggung semua risikonya adalah masyarakat sekitar, dalam hal ini rakyat Kabupaten Bojonegoro.
Keempat, penerapan regulasi yang tidak berpihak. Selama ini, pembayaran pajak untuk bangunan EPF (early production fasilities) yang terletak di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban hanya mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP), yang berada pada kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu per meter persegi. Hal ini kontradiktif, karena nilai aset dari EPF mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Seharusnya, pembayaran pajak EPF mengacu pada taksiran validasi harga kekinian. Apabila hanya mengacu NJOP, dengan mengatasnamakan regulasi, tentu Bojonegoro amat dirugikan. Sementara, segala dampak negatif yang ditimbulkan akan ditanggung oleh Bojonegoro.
Disparitas penerimaan pajak juga akan dialami Kabupaten Bojonegoro, bila lima proyek EP penunjang puncak produksi minyak, hanya mengacu regulasi yang memunculkan satu ketidakadilan bagi daerah. Sebab, semua homebase perusahaan-perusahaan yang menang tender dalam proyek lima EP terletak di Jakarta. Lagi-lagi, Kabupaten Bojonegoro hanya kecipratan, yang dalam konteks tertentu, tentu tidak adil.

Pemerataan Ekonomi
Dalam skala besar kebijakan pemerintah pusat di atas akan mampu menumbuhkan PDRB (product domestic regional bruto). Akan tetapi, sentralisasi kebijakan tersebut tak mampu menciptakan pemerataan ekonomi. Alih-alih pemerataan ekonomi, yang terjadi justru menciptakan kesenjangan kelas ekonomi antara daerah dan pusat. Dibutuhkan sebuah terobosan berani agar daerah potensial tidak lagi menjadi sapi perah, melainkan diberikan kewenangan dalam mengelola keuangannya.
Teori welfare state (negara kesejahteraan) yang selalu merekomendasi betapa pentingnya menumbuhkan potensi masyarakat kreatif yang mandiri, seharusnya menjadi titik pijak pemerintah pusat. Campur tangan pemerintah, yang tampak dalam kebijakan bagi hasil pajak, yang justru menciptakan kesenjangan distribusi bagi hasil sebagaimana dipaparkan di tulisan awal, tidak boleh menjadi tangan-tangan kotor yang justru menjebak rakyat dalam posisi ketergantungan.
Sebab, ada kecenderungan secara politis, bahwa rakyat diciptakan begitu tergantung pada pemerintah yang berkuasa (rezim). Padahal seharusnya, penyelenggaraan pemerintahan modern harus bisa menyeimbangkan perubahan perilaku sosio-ekonomi masyarakat yang berkembang serasi dan selaras dengan perubahan tersebut, tanpa rakyat harus terlempar dari risiko perubahan dan perilaku modern ataupun dari akses-akses ekonomi. Selama hal ini tidak dijalankan oleh pemerintah pusat, jangan harap ketidakadilan dalam pengelolaan migas, dapat hilang. (*)

Blok Lingkar, 10 April 2011

RSI: Dijual atau Dikelola?

Sudah hampir tiga bulan ini perdebatan mengenai mau dibawa kemana Rumah Sakit Internasional (RSI) di Jalan Veteran, Bojonegoro mengemuka di ruang-ruang private dan publik. Keputusan mau diapakan RSI di Jalan Veteran sejauh ini belum menemukan titik singgung yang tepat. Tiga opsi yang ditawarkan, atau lebih tepatnya diajukan Pemkab Bojonegoro kepada DPRD Bojonegoro, sampai detik ini masih gamang, bahkan dapat dikatakan jalan di tempat.
Sejauh ini, DPRD Bojonegoro belum memutuskan untuk mengambil satu opsi atau lebih dari tiga opsi yang diajukan oleh Pemkab Bojonegoro: dikelola sendiri oleh Pemkab Bojonegoro, dikelola bersama pihak ketiga (investor/swasta), atau dijual langsung kepada pihak ketiga. Rupa-rupanya, lembaga legislatif tak mau terjebak dalam ’permainan’ atau ritme yang dimainkan oleh eksekutif dengan pilihan tiga opsi tersebut. Indikasinya, meski permintaan rekomendasi atas tiga opsi tersebut sudah ditawarkan jauh-jauh hari, hingga detik ini belum ada kata sepakat, opsi mana yang diambil.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memilih mana opsi yang paling rasional. Akan tetapi, tulisan ini akan mengkajinya dari berbagai perspektif, sisi, yang selama ini mungkin saja tidak mengemuka di permukaan, ruang-ruang publik. Tulisan ini akan menganalisis persoalan RSI mulai dari aspek politik (peta politik masa lalu dan masa kini), aspek rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW), sisi hukum, sisi analisis mengenai dampak lingkungan dan kesehatan, aspek nilai manfaat/guna, hingga dari kacamata pandang kemampuan anggaran daerah.

Nuansa Politik
Kajian dari sisi politik, yang merupakan analisis pertama, penulis mulai dari sebelum Pilkada 2007. Kenapa ini menjadi penting, karena menurut penulis, bermula dari sinilah benang kusut pengelolaan RSI di Jalan Veteran, Bojonegoro, bermula. Sehingga, menjadi kurang komprehensif kalau tidak mengkaji sisi politik, saat melihat persoalan RSI.
Penulis beberapa saat lalu pernah berbincang dengan mantan anggota DPRD Bojonegoro periode 2004-2009. Menurut dia, pengusulan anggaran untuk RSI sebenarnya tidak ada dalam dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja 2006. Padahal, sebagai sebagai sebuah program pembangunan, sudah seharusnya setiap pengeluaran anggaran dari sebuah pemerintahan daerah, diposkan atau ditetapkan dalam dokumen APBD yang kemudian ditetapkan menjadi peraturan daerah (Perda).
Faktanya, tidak seperti itu. Anggaran untuk pembangunan RSI tidak termaktub dalam dokumen APBD. Masih menurut mantan anggota DPRD Bojonegoro periode 2004-2009 tersebut, kalaupun kemudian RSI ini dibangun di Jalan Veteran pada tahun 2006, semua hanya karena berdasar rekomendasi dari komisi B dan komisi D DPRD Bojonegoro yang kemudian diajukan dalam panitia anggaran (Panggar). Oleh Panggar, rekomendasi itu kemudian dilanjutkan dan disetujui agar RSI di Jalan Veteran, dibangun. Dilihat dari proses pengajuan anggaran, dapat dikatakan bahwa proses pengusulan RSI sebagai mal-kebijakan (penyalahgunaan kebijakan). Soal bagaimana implikasi hukumnya, biarlah ranah ini menjadi kewenengan aparat hukum.
Kedua, aspek RT/RW dan hukum. Jika ditelusuri lebih jauh, pembangunan gedung RSI di Jalan Veteran sebenarnya tidak ada dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode 2003-2008, yang merupakan blueprint dari pembangunan suatu daerah. Sebab faktanya, gedung RSI mulai dibangun pada tahun 2006, dan selesai tahun 2007. Tentu menjadi sebuah keanehan bila sebuah program pembangunan tak termaktub dalam RPJMD, tetapi tetap saja dibangun. Dari sisi keilmuan manajemen, pembangunan RSI dapat dikatakan sebagai tidak prosedural, karena tidak didahului dengan usulan di dokumen RPJMD. Sebagai perbandingan sederhana, sebuah organisasi kemasyarakatan saja dalam merealisasikan program kerjanya mengacu pada dokumen yang termaktub dalam rencana strategis (Renstra) dan dokumen rencana kerja (Raker).
Dari sisi studi kelayakan (feasibility study) bangunan RSI, juga patut dipertanyakan. Sebab, umumnya studi kelayakan dilakukan setelah anggaran untuk RSI disahkan. Studi kelayakan juga harus dilakukan enam bulan sebelum sebuah bangunan dilaksanakan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No...... Tahun ..... tentang............, yang menyebutkan bahwa studi kelayakan sebuah bangunan dibuat 6 (enam) bulan sebelum bangunan RSI dikerjakan. Faktanya, studi kelayakan gedung RSI dilaksanakan justru setelah gedung RSI mulai dibangun di Jalan Veteran. Sebuah kejanggalan yang perlu dijadikan bahan perenungan sebelum mengambil keputusan..!
Akibat ketidakjelasan konsepsi dan perencanaan pembangunan gedung RSI di dalam dokumen RPJMD, implikasinya penganggaran untuk RSI pun menjadi tidak terkontrol. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketidaksamaan taksiran harga bangunan RSI saat hendak diaudit Pemkab Bojonegoro. Ketidaksamaan itu bisa dibaca dengan jelas antara taksiran harga bangunan RSI yang dilakukan Manajemen Konstruksi (MK) yang menaksir Rp 89 miliar yang harus dibayarkan Pemkab Bojonegoro kepada kontraktor, tim ITS Surabaya menaksir seharga Rp 100 miliar, dan versi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menaksir Rp 110 miliar. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak mengeluarkan taksiran harga, karena sampai saat ini tidak mau melakukan audit gedung RSI tersebut. Ketidaksamaan taksiran harga ini jelas-jelas menunjukkan adanya dugaan ketidakberesan dalam proses pembangunan RSI.

Amdal dan Kesehatan
Aspek ketiga, yakni dari sisi analisis mengenai dampak lingkungan dan kesehatan atau Amdal dan kesehatan, penentuan lokasi RSI di Jalan Veteran, juga mengundang suatu perdebatan yang tidak sederhana. Sebab, lokasi RSI sangat berdekatan dengan lapangan Sukowati Pad B di Desa Ngampel, Kecamatan Kapas, yang dikelola oleh Joint Operating Body Pertamina PetroChina East Java (JOB P-PEJ).
Penentuan lokasi ini mengundang sebuah tanya, mana yang lebih dulu dibangun, RSI di Jalan Veteran-kah atau lapangan Sukowati Pad B. Dengan tak bermaksud untuk membela siapapun, berdasar catatan penulis, JOB P-PEJ sudah mengajukan izin pelebaran sumur, khususnya lapangan Sukowati Pad B pada 2004, dan kemudian dilanjutkan pembangunan Pad B pada tahun 2005. Sedangkan RSI di Jalan Veteran baru dibangun pada tahun 2006, dan selesai pada tahun 2007.
Jika ditelusuri lebih jauh, penentuan lokasi RSI di Jalan Veteran dilandasi unsur gegabah, karena sebelumnya tidak didasari atau didahului dengan studi kelayakan. Andai sebelum ditentukan tempatnya didahului dengan studi kelayakan, bisa jadi gedung RSI tidak akan ditempatkan di titik yang berdekatan dengan lapangan Sukowati Pad B, karena hampir bisa dipastikan, Pemkab Bojonegoro (pada waktu itu) sudah mempunyai gambaran riil kalau lokasi tersebut akan digunakan untuk Pad B, karena sebelumnya JOB P-PEJ telah mengajukan izin pengembangan sumur, jauh-jauh hari. Namun, apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur, gedung RSI hanya berjarak sekitar 125 meter dari Pad B. Dan siapapun tahu, sumur minyak berpotensi memicu ledakan sebagaimana peristiwa tahun 2005 silam.

Nilai Manfaat dan Kemampuan Daerah
Aspek keempat adalah tinjauan dari nilai manfaat dan kemampuan daerah. Sebagaimana dimaklumi bersama, saat ini kondisi RSUD dr R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro sudah overload. Sehingga, membutuhkan sebuah bangunan RSUD yang lebih luas dan lebih representatif. Akibat overload dan overcapacity, banyak pasien mengeluhkan soal pelayanan yang diberikan pihak RSUD.
Sekalipun saat ini Pemkab Bojonegoro memiliki gedung RSI, tetapi bukan merupakan jawaban kalau kemudian RSUD pindah ke gedung RSI. Ada beberapa faktor yang jadi alasan kenapa penulis menilai tidak mungkin pindah ke RSI. Selain faktor status RSI yang masih rawan bermasalah (dan juga hukum?) sebagaimana alasan-alasan di atas, rasa-rasanya RSI saat ini masih belum merupakan jawaban atas kebutuhan RSUD yang sering mengalami overload.
Mengapa? Sebab, secara faktual dan menilik kondisi sosio-ekonomi dan sosio-kultural warga Bojonegoro adalah kelas menengah dan ke bawah. Kalaupun sekarang ini PDRB (Product Domestic Regional Brutto) Bojonegoro meningkat dibanding tahun lalu, namun dari sisi pertumbuhan ekonomi, bisa saja menggumpal di satu segmen. Sedangkan dari sisi pemerataan ekonomi, Bojonegoro masih tergolong sebagai kabupaten dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi. Sehingga menjadi kurang relevan kalau RSUD disulap menjadi RSI yang tentu di kemudian hari akan menyesuaikan standar-standar paten dari rumah sakit yang berstandar internasional.
Sedangkan kelima, dari sisi kemampuan alokasi anggaran dari daerah, untuk mengoperasionalkan RSI agar sesuai standar, dibutuhkan anggaran sedikitnya Rp 258 miliar pada APBD 2012. Alokasi anggaran itu sifatnya harus langsung, tidak bisa diangsur, mengingat kebutuhan sebuah rumah sakit yang memang satu paket, dan tidak bisa dipisahkan. Pertanyaannya adalah, apakah daerah mampu menganggarkannya tahun depan?
Sebagai perbandingkan, pada APBD 2011 yang total anggarannya sekitar Rp 1,4 triliun, dan juga APBD-APBD tahun sebelumnya, 60 persen anggaran APBD habis digunakan untuk belanja rutin seperti gaji pegawai. Artinya, untuk belanja pembangunan hanya tersisa Rp 38 persen. Itupun masih dibagi-bagi secara merata untuk dana hibah, dana perbaikan infrastruktur dan anggaran penanggulangan bencana. Jika kemudian sisa dana tersebut digunakan atau tersedot untuk RSI, bisa dibayangkan anggaran untuk perbaikan infrastruktur menjadi terkurangi. Karena itu, bisa dimaklumi kalau kemudian para Kades di berbagai wilayah menolak pengoperasian RSI melalui APBD. Artinya, mereka setuju agar RSI dijual kepada pihak ketiga.

Urgensi Tim Appraisal
Dari berbagai reasoning-reasoning di atas, rasanya cukup masuk akal kalau kemudian pilihan atau jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan RSI di Jalan Veteran adalah dengan jalan dijual kepada pihak ketiga, dengan catatan tidak boleh digunakan untuk rumah sakit, mengingat pertimbangan-pertimbangan di atas.
Namun, sebelum penentuan taksiran harga jual RSI dilakukan, sebagai pertimbangan demi menghindari kesalahan dan risiko hukum di kemudian hari, alangkah baiknya bila Pemkab Bojonegoro membentuk Tim Appraisal independen yang disewa khusus untuk menaksir harga jual RSI, sebagaimana dilontarkan oleh Kepala DPPKA Herry Sudjarwo beberapa waktu yang lalu. Meski demikian, prosedur dan proses penjualannya harus dengan transparan, akuntabel, melalui lelang secara terbuka. Proses penjualannya juga harus diawasi dan melibatkan banyak pihak agar jaminan keterbukaannya ada.
Taruhlah misalnya, berdasar taksiran Tim Appraisal independen harga jual RSI adalah Rp 110 miliar, sesuai dengan taksiran BPKP. Dana itu selanjutnya bisa untuk disimpan di Bank Jatim sebagai deposito dengan bunga 50 persen. Bunga itulah yang nantinya bisa digunakan untuk dana tambahan untuk perbaikan infrastruktur daerah yang selama ini masih buruk dan dikeluhkan publik. Atau, bisa juga digunakan untuk biaya dan belanja pembangunan untuk pos lainnya.
Rasanya, dalam menyikapi polemik RSI di Jalan Veteran, harus disikapi dengan arif dan bijaksana oleh semua pihak yang berkepentingan, tidak hanya oleh Pemkab dan DPRD Bojonegoro, dengan menanggalkan semua kepentingan subjektif yang ada, termasuk juga kepentingan politik, dengan melihat pertimbangan-pertimbangan lain yang lebih rasional dan bermanfaat. Andai cara pandang multiaspek dan mulperspektif yang digunakan untuk melihat polemik RSI, rasanya jalan keluar untuk RSI tidak perlu dipolemikkan. (*)

Petani dan Kutukan Kemiskinan

BERBICARA tentang petani dan pertanian Bojonegoro tampaknya tidak bisa dilepaskan dari peta kemiskinan yang nyaris sudah mendarah daging. Ibaratnya, antara petani dan kemiskinan seperti sudah menjadi kutukan yang sulit untuk dilepas dari takdirnya. Pada masa lalu, petani dan kutukan kemiskinan terletak pada keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia (SDM) petani kala itu untuk mengelolanya, sehingga petani selalu terjebak dalam kubangan kemiskinan. Di masa kini, lingkaran kemiskinan tersebut melilit pada ketiadaan, atau setidaknya minimnya akses petani untuk terbebas dari peta kemiskinan melalui serangkaian kebijakan yang pro-poor.
Ihwal kutukan kemiskinan petani di Bojonegoro ini jauh-jauh hari sudah diungkapkan C.L.M. Penders, ilmuwan Department of History University of Queensland, Australia. Dalam penelitian panjangnya yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Bojonegoro 1900-1942: Kisah Kemiskinan Endemik di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur (diterjemahkan dari judul asli Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North-East Java-Indonesia), Penders menjelaskan fakta kemiskinan itu sudah melilit petani Bojonegoro sejak masa lampau.
Menurut Penders (1984:8), dalam literatur kolonial Belanda, daerah Bojonegoro selalu digambarkan sebagai salah satu daerah termiskin dan paling terbelakang di Pulau Jawa. Tanahnya kebanyakan tandus dan hampir tidak ada irigasi atau pekerjaan mitigasi banjir. Di luar lembah-lembah sungai yang subur di distrik Pelem dan Baureno, lahan pertanian Bojonegoro berkualitas buruk dan terdiri atas tanah liat dengan kandungan kapur yang tinggi dan kurang fosfat.
Hujan deras menyebabkan tanah di kawasan ini tergenang, sehingga kekurangan udara dan mengakibatkan pembusukan akar batang padi. Selama musim kemarau tanahnya selalu mengering dan menimbulkan rekahan besar, kadang hingga sedalam 5 meter. Tetapi daerah yang subur di dekat bengawan Solo juga sering menjadi sia-sia terkena banjir selama musim hujan.
Ketergantungan yang hampir mutlak pada kerasnya cuaca ini membuat pertanian di Bojonegoro sebagai sebuah bisnis penuh risiko. Gagal panen dan kelangkaan pangan merupakan hal yang umum terjadi di Bojonegoro. Untuk mengurangi kemungkinan kelaparan yang disebabkan gagal panen, petani di wilayah Bojonegoro sejak dahulu kala (sampai kini) menanam palawija di lahan kering (tegalan) mereka. Mereka menanam tanaman pokok seperti jagung, dan juga tembakau yang dijual di pasar domestik Jawa.

Tergerusnya Lahan Pertanian
Dalam kondisi kekinian, bahkan jauh setelah negeri ini merdeka, proteksi dalam bentuk kebijakan yang membela kepentingan petani masih jauh panggang dari api. Alih-alih bisa memproteksi, fakta yang terjadi lambat laun luas areal pertanian (sawah maupun tegalan) yang sebenarnya merupakan basis mutlak dan fundamental untuk terciptanya ketahanan pangan daerah maupun nasional, terus menyusut, tergerus dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Bojonegoro dalam Angka yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Bojonegoro, pada tahun 1996 luas tanah sawah di Bojonegoro mencapai 76 ribu hektare lebih. Sebagian besar dari lahan tersebut, yakni 61,35 persen, adalah sawah tadah hujan yang hanya dapat ditanami padi lebih dari satu kali dalam setahun. Ini berarti kebijakan untuk mendorong agar pemerintah daerah mampu `menaklukkan` alam yang gersang menjadi kekuatan yang mampu menjadi penopang ketahanan pangan masih belum maksimal dijalankan, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.
Bahkan, kecenderungan tergerusnya lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin tampak di depan mata. Berdasarkan hasil pendataan BPS Bojonegoro yang dituangkan dalam buku Bojonegoro dalam Angka 2004, dibandingkan pada tahun 1996 dengan 2004, luas tanah sawah di Bojonegoro mengalami penyusutan yang cukup signifikan. Pada 1996, luas tanah sawah di Bojonegoro masih mencapai 76 ribu hektare lebih.
Namun, pada 2004 luas tanah sawah di Bojonegoro menjadi 71,44 ribu hektare atau berkurang hingga 5.000 hektare (sekitar 7 persen) daripada delapan tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, hanya 20 persennya sawah dengan pengairan teknis, 8,4 persen sawah setengah teknis, dan sisanya tadah hujan. Tergerusnya lahan sebagian besar karena terkonversi menjadi lahan untuk permukiman, dan pertambangan minyak bumi dan gas (migas).
Jumlah lahan untuk pertanian pada 2004 tersebut terus mengalami penyusutan. Sebab, sejak 2004 hingga kini, sebagian lahan pertanian yang berada di kawasan migas, baik di wilayah Kecamatan Ngasem dan Kalitidu yang masuk Blok Cepu, maupun di wilayah Kecamatan Kapas dan Kota Bojonegoro yang masuk lapangan Sukowati, juga dikonversi menjadi lahan untuk kepentingan industri.
Khusus hingga pertengahan 2011 ini saja lahan pertanian di empat kecamatan tersebut (Ngasem, Kalitidu, Kapas, dan Kota Bojonegoro) yang terkonversi menjadi lahan industri berkurang hingga sekitar 700 hektare. Tidak menutup kemungkinan luas lahan pertanian yang terkonversi tersebut akan semakin meluas, karena pada 2013 Blok Cepu ditargetkan akan mencapai puncak produksi minyak, sehingga membutuhkan lebih banyak lagi lahan yang akan dipergunakan untuk berbagai fasilitas serta sarana dan prasarana yang mampu menunjang masifitas maupun mobilitas produksi migas Blok Cepu.

Regulasi yang Memihak
Mengacu fakta-fakta di atas, di luar untuk kepentingan nasional, dapat dianalisis bahwa salah satu penyebab semakin meluasnya tanah yang dikonversi menjadi lahan industri karena lemahnya proteksi pemerintah dalam mempertahankan sumber produksi untuk ketahanan pangan. Sehingga tidak heran kalau kemudian berita mengenai gagal panen (puso), serangan hama, hingga ancaman krisis pangan menjadi berita-berita utama atau headlines di media massa.
Padahal, dalam penjelasan pasal 14 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria disebutkan, untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan negara, yang termasuk dalam hal ini adalah ketersediaan dan ketahanan pangan.
Planning itu mencakup rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu, maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945.
Sejauh ini, regional planning pemerintah daerah untuk menciptakan stabilitas ketahanan pangan dalam bentuk regulasi masih belum terlalu tampak. Faktanya, kesan yang muncul pemerintah daerah sedemikian mudah memberikan izin kepada pihak-pihak yang ingin mengkonversi lahan pertaniannya menjadi lahan industri, tanpa mempertimbangkan akan dampaknya pada stabilitas ketahanan pangan daerah dan nasional.
Bisa jadi, kita perlu merenungkan sinyalemen Penders (1984:16) bahwa pada tahun 1900, rakyat Bojonegoro mungkin lebih sengsara daripada era tanam paksa selama tahun 1840 an. Karena, perusahaan swasta telah gagal memutus lingkaran setan penderitaan ekonomi di Bojonegoro. Pasca itu, giliran pemerintahan kolonial berpartisipasi aktif dalam urusan ekonomi dan sosial di daerah ini melalui implementasi kebijakan yang disebut politik etik (ethische politiek) yang sangat dipengaruhi pemikiran sosialis sekuler dan religius yang menguasai panggung politik belanda waktu itu. Akankah kini giliran petani Bojonegoro mengalami neo-kutukan kemiskinan melalui perusahaan-perusahaan swasta yang akan dan sedang memproduksi migas? (*)

Ujung Blok Lingkar, 15 Agustus 2011

*) Tayang di Tabloid blokBojonegoro Halaman 18, Edisi: September.2011

Tuesday, August 23, 2011

Menjaga Paras Ramadan

DALAM sebuah tayangan berita di salah satu televisi Jumat (12/8) malam, digambarkan adanya aksi penertiban yang dilakukan oleh salah satu organ gerakan yang menamakan dirinya sebagai ’pembela’ Islam. Dengan dalih menjaga kesucian bulan puasa Ramadan, organ gerakan ini menutup paksa salah satu kios atau warung yang kebetulan menjual makanan dan minuman, termasuk minuman keras (miras). Cara yang dilakukan penuh brutalitas, emosional.
Aksi sekelompok massa ini menarik perhatian masyarakat. Selain karena jumlah massa yang ikut serta dalam penertiban/razia lumayan banyak, juga karena aksi yang dilakukan disertai teriakan-teriakan yang menyebut nama Tuhan. Yang juga ikut menarik perhatian adalah massa datang dengan cara berbondong-bondong, mengendarai motor, dan konvoi layaknya massa parpol yang sedang kampanye.
Razia, penertiban, atau apapun namanya, akhir-akhir ini getol dilakukan sejumlah pihak. Tidak hanya oleh aparat kepolisian, TNI, dan Satpol PP, tetapi juga elemen masyarakat lain seperti organ `pembela` Islam tersebut. Yang patut direnungkan, gambaran razia yang dilakukan elemen ’pembela’ Islam di atas justru menampakkan betapa paras Islam yang penuh dengan kekerasan, antikompromi, dan tanpa pendekatan kelembutan, alih-alih dengan kelembutan. Term amar ma`ruf nahi munkar (mengajak kebaikan, mencegah kemunkaran) ditafsirkan secara tunggal sekaligus subjektif oleh organ ’pembela` Islam tersebut dengan makna yang sedemikian sempit: kekerasan, sekaligus emosional.

Nir-Kekerasan
Dalam perspektif filsafat keislaman, khususnya dalam pendekatan Jawa, puasa dalam bahasa Jawa disebut dengan poso. Puasa lebih merupakan latihan rasa yang mencakup dimensi batiniah. Wilayahnya juga teramat transeden-privat, hanya Tuhan dan manusia yang tahu. Makanya tidak mengherankan, dalam filsafat Islam-Jawa, poso mengandung makna ngempet rasa (poso), menahan perasaan, menahan keinginan. Ada juga yang mengartikan puasa sebagai ngeposke roso, memberhentikan rasa. Rasa yang dimaksud ini mengarah pada nafsu yang berdimensikan negatif, maupun merusak.
Dalam dimensi keislaman, puasa dalam bahasa Arab shaum. Sebagian ahli menafsirkan, diksi shaum terdiri dari tiga huruf hijaiyah, yakni shad, wau, dan mim. Shad merupakan shumtun, yang berarti meneng (diam), maksudnya adalah mendiamkan nafsu agar tidak mempengaruhi diri. Wau bermakna wira`i atau ngreksa (menjaga), maksudnya menjaga dari sesuatu yang halal selama puasa (makan, minum, dan lainnya), lebih-lebih yang haram, seperti merusak dan menuruti hawa nafsu. Dan mim singkatan dari malakun yang berarti ngeker, menjaga hawa nafsu. Dus, apakah cara-cara merusak dan penuh kekerasan sebagaimana razia yang dilakukan ‘pembela’ Islam sudah mencerminkan makna hakiki puasa itu sendiri?
Islam adalah agama universal yang berprinsip rahmatan lilalamin (menyebarkan kasih sayang ke segenap penjuru alam). Jika mempelajari isi dan kandungan teks-teks Alquran secara mendalam, niscaya banyak ditemukan ayat-ayat bermuatan isu-isu kontemporer. Betapa Islam mengajarkan demokratisasi, egalitarianisme, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (gender), membebaskan, membela kaum tertindas, hingga pendekatan yang nir-kekerasan.
Menurut Hassan Hanafi dalam Abad Badruzaman (2005), Islam bermakna ketundukan kepada prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan sosial, cinta (kasih sayang, lembut), dan prinsip-prinsip lain yang melandasi berdirinya suatu komunitas yang bebas dan setara. Islam bukankah sebuah ide baku atau sistem ritual-ritual, upacara-upacara, dan lembaga-lembaga kaku. Melainkan suatu prinsip progresif yang selalu menghapuskan tatanan-tatanan lama yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Wabakdu, jika cara-cara kekerasan dan tanpa mempertimbangkan sisi-sisi kemanusiaan lebih dikedepankan dalam razia, penertiban, atau apapun namanya, dengan mengatas-namakan menjaga kesucian Ramadan, penulis yakin hal yang demikian ini kontradiktif dengan substansi dan prinsip dasar Islam diturunkan ke muka bumi. Tafsir tunggal dan subjektif yang dilakukan oleh orang-orang yang mengatasnamakan ’pembela’ Islam ini, rasanya sangat bertentangan dengan misi Islam itu sendiri diturunkan ke muka bumi yang menebarkan kasih sayang, membawa misi kedamaian, dan misi nir-kekerasan, misi anti-kekerasan.
Mengajak orang berbuat baik dan mencegah kemungkaran, memang diperintahkan oleh agama apapun, khususnya Islam. Baik selama Ramadan maupun di luarnya. Akan tetapi, seyogyanya pendekatan yang diterapkan haruslah equivalen, berbanding lurus dengan prinsip dasar dan misi Islam diturunkan ke muka bumi ini. Bukankah pendekatan nir-kekerasan akan jauh lebih manusiawi dan elok dalam menjaga paras suci Ramadan, serta makna hakiki puasa (shaum) itu sendiri? (*)

Ujung Blok Lingkar, 12 Agustus 2011

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Edisi 14 Agustus 2011, Halaman 30

Sunday, July 17, 2011

Bias Makna Kata Politik

DALAM sebulan terakhir wacana kepolitikan di Bojonegoro sedang diramaikan dengan sibuknya para partai politik (parpol) melakukan verifikasi agar bisa turut serta dalam Pemilihan Umum (Pemilu 2014). Hal ini bisa dimaklumi, karena secara nasional proses verifikasi parpol calon peserta Pemilu akan berakhir pada akhir Agustus 2011. Sedangkan verifikasi di tingkat kabupaten/kota, akan berakhir Juli nanti.
Sibuknya para parpol menjelang pemilu seolah memunculkan kesan, bahwa parpol hanya mempunyai ‘kegiatan’ yang menonjol menjelang pemilu. Sebelumnya, nyaris tak pernah ada aktivitas yang menonjol, atau sekurang-kurangnya terlihat di depan publik, aktivitas-aktivitas yang mengarah pada artikulasi nilai-nilai politik kepada publik. Karena itu, tidak heran apabila publik pada umumnya mempunyai anggapan bahwa aktivitas parpol hanya berkutat pada menjelang pemilu, dan selama pemilu. Namun, semoga anggapan ini salah.
Kesibukan menjelang pemilu, termasuk di dalamnya pemilukada, dapat diartikan proses-proses verifikasi persyaratan menjadi peserta pemilu. Atau, menggalang dukungan untuk mengikuti proses pencalonan dalam pemilukada. Selama pemilu, dapat diartikan aktivitas dari parpol lebih banyak tersedot pada pencalonan calon anggota legislatif, kampanye, hingga hari H coblosan. Kurang lebihnya, hanya berkutat itu. Tetapi, sekali lagi, semoga saja anggapan penulis ini salah.
***
Sekali waktu, cobalah anda berbincang-bincang dengan masyarakat desa. Tanya pendapat mereka tentang makna dari kata politik, yang naga-naganya mengalami pembiasan diksi menjadi polithik (dengan tambahan huruf ”h”). Penulis mendapati kesimpulkan, hampir sebagian besar makna yang mereka interpretasikan terhadap kata politik (yang sebagian besar mengalami pembiasan diksi menjadi polithik) adalah sesuatu yang culas, naif, licin, serta penuh dengan rekadaya dan kecurangan.
Saya tidak habis pikir, apa yang menjadi penyebabnya sehingga mengapa mereka punya konstruksi makna politik menjadi polithik yang lebih berorientasi dan berkonotasi sebagai sesuatu yang negatif, dan tidak benar. Perhatikan kalimat berikut: ”Wong polithik kok, bisa saja dia menghindar dari masalah.” Kalimat ini, bagi masyarakat desa (mungkin juga masyarakat kota?) ditafsirkan sebagai orang yang lihai, licin, dan penuh dengan cara-cara yang bisa jadi kurang benar.
Saya pun semakin penasaran dengan konstruksi diksi dan makna yang disampaikan oleh masyarakat di pedesaan ini. Selidik punya selidik, ternyata distorsi atau bias diksi serta makna politik menjadi polithik ini lahir atas pengalaman mereka selama bersinggungan dengan pesta demokrasi atau pesta politik. Selidik punya selidik pula, ternyata mereka selama ini sering menjadi korban ‘permainan’ politik sejumlah tetangga, teman, maupun elit di desanya. Mereka pun berkesimpulan, orang yang lihai melakukan permainan di dalam ranah politik praktis pantas disebut polithik-nya matang dan canggih.
Maknanya apa? Bahwa, politik dalam khazanah keilmuan politik, yang semula bertujuan mulya sebagai seni untuk menata negara demi terwujudnya kesejahteraan rakyat (welfare society) mengalami pembiasan makna yang luar biasa hebat: menjadi seni untuk menipu atau mempecundangi rakyat dan konstituen.
***
Saya teringat dengan apa yang disampaikan Hotman M. Siahaan, guru besar ilmu politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, saat jadi narasumber dalam sosialisasi pemilu dan pemilukada yang diadakan KPUK Bojonegoro, belum lama ini. Ketika itu, Hotman mengungkapkan bahwa saat ini demokrasi di Indonesia mengalami anomali (kekacauan) yang luar biasa. Hotman menyebut anomali demokrasi di Indonesia itu relevan dengan ramalan (?) pujangga besar Jawa, Ronggowarsito, yang menyebutkan adanya zaman edan pada suatu masa yang disebutnya sebagai Kalabendu.
Menurut Hotman, Indonesia, termasuk juga Bojonegoro, saat ini mengalami fase empat kritis. Keempat krisis itu adalah krisis keteladanan demokrasi, yang ini ditandai dengan minimnya kreativitas (creaty minority). Kedua, krisis tanggung jawab; ketiga, krisis pendirian yang berujung pada pembajakan demokrasi oleh oligarki dan partai dinasti, dan keempat, krisis kepercayaan.
Rasanya, fakta realitas yang diungkapkan masyarakat, sebagaimana ilustrasi di atas, klop dengan kajian keilmuan politik, sebagaimana dipaparkan oleh Hotman. Ada titik sinkron yang sama antara fakta empiris-rasional (ilmiah) dengan fakta realitas sosial. Oleh karena itulah, momentum parpol melakukan verifikasi sebagai persyaratan untuk mengikuti pemilu dan menyiapkan Pemilukada dijadikan sebagai titik tolak untuk mengembalikan politik kepada khittah-nya, sebagai seni/cara untuk menyejahterakan masyarakat, baik melalui kebijakan yang pro rakyat, maupun lewat pendidikan politik yang mencerdaskan dan mendidik. Supaya politik kembali menemukan track-nya yang benar, bukan penuh dengan bias makna. (*)

Ujung Blok Lingkar, 15 Juli 2011

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Edisi 17 Juli 2011, Halaman 30.

Tuesday, June 7, 2011

Dramaturgi Anggota Dewan

DALAM sebuah perbincangan, mantan seorang anggota DPRD Bojonegoro periode lalu berbicara terbuka, betapa beban anggota dewan sekarang tak sama dengan anggota dewan periode lalu. Ketidaksamaan beban antara yang lalu dan sekarang bukan dalam konteks kerja-kerja formal juridis. Karena, indikator kerja mereka tetap berkutat pada sejauhmana efektivitasnya dalam menjalankan tugas-tugas legislating, budgeting, serta controlling, sebagaimana tertuang dalam pasal 78 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Beban kerja yang lebih berat lebih terletak pada stigma negatif yang belakangan mencuat ke permukaan. Lazim diketahui, akhir-akhir ini anggota DPRD Bojonegoro dihebohkan dengan beragam isu tidak sedap; joki. Mulai hal yang terkesan ‘sepele’, joki tanda tangan rapat paripurna, hingga yang lumayan berat, joki anggaran. Terlepas perkaranya sekarang masih dalam pembuktian dan ditangani oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD, stigma itu akan menambah beban anggota dewan. Setidaknya di pikiran, --itu kalau masih dianggap sebagai beban.
Dengan mengedepankan azas praduga tidak bersalah, andai perkara itu benar, tindakan ini dilakukan karena anggota dewan berinteraksi dengan berbagai pihak dengan menerapkan latar-latar yang berbeda, tidak dengan apa adanya. Saat berinteraksi dengan kalangan eksekutif, mereka bergaya bak legislator yang mampu memperjuangkan dana atau anggaran untuk suatu satuan kerja (satker), meski sebenarnya tak semudah itu juga cara pengusulannya, karena ada aturan-aturan hukum yang mengikat. Akan tetapi, latar itu yang saat ini diperankan. Sehingga kemudian muncul istilah makelar anggaran.
Oknum yang diduga terlibat dalam kasus makelar anggaran ini sebenarnya sadar dengan sesadar-sadarnya, bahwa peran yang dimainkan tidak semudah membalik telapak tangan. Akan tetapi, demi tuntutan peran lain yang harus dimainkan, antara lain terlihat ”berduit” di mata konstituen dan partai asalnya, peran sebagai pengusul anggaran tetap dimainkan. Ibaratnya, wakil rakyat ini sedang memainkan sebuah drama. Dramaturgis interaksi.
***
Dalam terminologi Erving Goffman dalam Kuswarno (2009), dramaturgis adalah suatu pendekatan komunikasi dalam ilmu komunikasi, yang mengadopsi dari rumpun keilmuan sosiologi. Dramaturgis adalah interaksi sosial yang dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.
Dalam mencapai tujuannya, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan nonverbal lain. Hal ini bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Erving Goffman, tindakan di atas disebut impression management.
Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu, kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi konsep-konsep drama yang bertujuan membuat drama yang berhasil. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga, kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan.
***
Dalam kaitannya dengan contoh kasus di atas, oknum anggota dewan yang disebut-sebut sebagai makelar anggaran dan joki tanda tangan ini memerankan diri di atas panggung dengan mencoba tampil se-perfect mungkin, sesempurna mungkin sebagai wakil rakyat (front stage). Berjanji bisa menambah budget suatu satker, atau aktif mengikuti paripurna agar terkesan aktif di mata publik, meskipun tanda tangannya hanya titipan saja, adalah merupakan bentuk argumentasi yang dibangun untuk memengaruhi lawan interaksinya, yang dalam istilah Goffman disebut impression management. Fakta sebenarnya berupa keterbatasan hak dalam pengusulan anggaran, atau ketiadaan waktu hadir dalam rapat paripurna (back stage), tidaklah ditampakkan, demi menjaga sebuah citra di mata mitra satker, atau kewibawaan di mata konstituen, dan juga partai. Rasanya, berat memang jadi anggota dewan yang terhormat yang mau dan mampu, serta bisa dan biasa tampil dengan apa adanya. (*)

Blok Lingkar, 3 Juni 2011

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Halaman 30, Edisi 5 Juni 2011

Tuesday, May 31, 2011

Mengurai Konflik Indonesia-Malaysia, Meretas Komunikasi Lintas Budaya (Sebuah Tinjauan Komunikasi Sosial Budaya)

Hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia, seolah seperti ditakdirkan untuk tidak pernah ”ketemu”, semenjak pasca 1965 hingga sekarang. Beragam peristiwa budaya acapkali memantik perseteruan kedua bangsa yang sebenarnya dilahirkan dalam rahim yang sama tersebut: Melayu. Dalam era modern, Indonesia sempat digegerkan dengan klaim Negeri Jiran yang mengatakan batik adalah budaya asli Malaysia. Indonesia sempat dibuat kalang kabut dengan klaim tersebut. Atas klaim itu, Indonesia akhirnya melakukan berbagai upaya diplomatik internasional, sehingga hasil akhirnya Unesco (badan PBB yang mengurusi budaya) memutuskan bahwa batik adalah budaya asli Indonesia pada pertengahan 2010 lalu.
Hubungan bilateral antara Indonesia dengan Malaysia berkaitan dengan warisan budaya juga sempat memanas pada 2008. Khususnya saat Malaysia mencoba kembali mengklaim bahwa kesenian/budaya reog Ponorogo diklaim pemerintah Malaysia sebagai kesenian Malaysia. Tentu kita cukup masyghul, bagaimana mungkin, --sebagaimana ditulis Prof. Dr. Sam Abede Pareno dalam opini di Harian Jawa Pos (Edisi 4 Desember 2008), bahwa kesenian itu jelas-jelas ada embel-embel Ponorogo, yang merupakan salah satu wilayah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia, bisa-bisanya diklaim sebagai kesenian Malaysia.
Jauh sebelumnya, persisnya kisaran tahun 2002-2003, Indonesia pernah bersinggungan juga dengan Malaysia. Tetapi, tidak berkaitan dengan budaya, melainkan tentang batas-batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Khususnya berkaitan dengan Pulau Sipidan dan Ligatan. Perselisihan hukum internasional mengenai batas-batas teritorial tersebut akhirnya dimenangkan Malaysia, saat kasus itu diputus oleh Mahkamah Internasional. Rangkaian peristiwa-peristiwa di atas cukup menggambarkan betapa hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia, sebenarnya sudah ramai sejak dulu. Persisnya dimulai pada saat Presiden Pertama RI Soekarno pada 1967 melakukan konfrontasi dengan Malaysia, dengan slogannya yang begitu amat masyhur, Ganyang Malaysia. Kenapa perseteruan kedua bangsa yang sebenarnya satu rumpun tersebut acapkali terjadi? Tulisan ini mencoba bermaksud untuk mengkajinya dalam perspektif Ilmu Komunikasi Sosial Budaya atau Komunikasi Lintas Budaya.

Perbedaan Persepsi
Dalam khazanah Ilmu Komunikasi dijelaskan, Komunikasi adalah proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis, melainkan melalui bahasa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi, atau hal-hal lain di sekelilingnya yang memperjelas makna. Sedangkan Sosial Budaya ialah budi (moral dan wawasan) serta daya (perilaku dan kemampuan) masyarakat yang setiap masyarakat (komunitas) memiliki budi dan daya masing-masing. Sosial budaya ini dikenal sebagai suatu kebudayaan dan kebudayaan tecermin pada adat, bahasa, kebiasaan, norma yang berlaku dalam masyarakat (bangsa) tertentu.
Dengan demikian, komunikasi sosial budaya adalah komunikasi yang berlangsung di antara mereka yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Komunikasi ini melintasi batas-batas kebudayaan suatu masyarakat, suku, ataupun bangsa. Karena itu, setiap kita yang melakukan komunikasi sosial budaya, harus memahami terlebih dahulu kebudayaan komunikator atau sebaliknya kebudayaan komunikan. Salah satu unsur menonjol dari kebudayaan yang harus dipahami ialah bahasa dan juga etika (sopan santun).
Sebuah bangunan komunikasi tak akan tercipta atau menjadi komunikasi yang efektif apabila terjadi hambatan (noice). Gangguan atau kendala yang acapkali terjadi dalam komunikasi sosial budaya kebanyakan berupa perbedaan bahasa, perbedaan persepsi, dan perbedaan simbolik. Sebab, sebagaimana hipotesis yang ada, kian besar derajat perbedaan antarbudaya suatu komponen komunikasi, akan semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif.
Hipotesis tersebut sesuai dengan pendapat De Vito (1997, dalam Alo Liliweri 2009) yang menggolongkan tiga macam gangguan komunikasi. Yaitu, Pertama, fisik berupa intervensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, misalnya desingan mobil yang lewat. Kedua, psikologis, berupa intervensi kognitif atau mental, misalnya prasangka dan bias pada sumber penerima pikiran yang sempit. Ketiga, Semantik, berupa pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan, misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, menggunakan jargon atau istilah yang terlalu rumit yang tidak dipahami pendengar. Namun, dalam perspektif komunikasi sosial budaya, gangguan psikologis dan juga semantik lebih menonjol. Oleh karena itu, bila kita melakukan komunikasi sosial budaya, maka kita harus memahami psikologi dan semantik mitra komunikasi kita.
Dalam contoh kasus di atas, yaitu memanasnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia yang terus menegang dari tahun ke tahun, apabila diteliti lebih jauh, sebenarnya mulai menunjukkan betapa telah ada suatu gangguan komunikasi di antara kedua belah pihak. Perbedaan pemaknaan yang hingga pada akhirnya membuahkan gangguan atau bahkan konflik tersebut adalah berupa perbedaan bahasa, perbedaan persepsi, dan perbedaan simbolik.
Pada sisi perbedaan persepsi, terjadi ketidaksamaan pemahaman/anggapan di antara Indonesia dengan Malaysia, khususnya di dalam memahami identitas kesenian yang meskipun akarnya sama-sama dari Melayu. Dalam kasus konflik ini, sebagaimana dicontohkan oleh Prof. Dr. Sam Abede Pareno adalah kesenian reog Ponorogo. Bisa jadi, Malaysia melihat, --sehingga muncul klaim, bahwa kesenian reog Ponorogo dari sisi asal muasalnya, yakni Melayu. Sehingga, Malaysia merasa benar kalau kemudian akhirnya mengklaim kesenian reog Ponorogo adalah juga miliknya, karena Malaysia satu ras dengan Indonesia dalam rumpun bangsa Melayu.
Di sisi lain, persepsi rakyat Indonesia juga berbeda. Indonesia menganggap kesenian reog Ponorogo adalah kesenian asli Indonesia, bukan dalam konteks serumpun akar bangsa Melayu. Sebab, dengan penyertaan nama Ponorogo dalam kesenian tersebut sudah menunjukkan lokalitas asal muasalnya, yaitu Jawa Timur, Indonesia. Sehingga Indonesia pun bersikukuh, klaim Malaysia tersebut justru menguburkan makna dan substansi dari Melayu itu sendiri. Perbedaan persepsi dalam memahami kesenian inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik diplomatik kedua negara. Bagaimana dengan perbedaan simbolik dan bahasa di antara kedua negara tersebut? Tampaknya tidak sampai menimbulkan gesekan. Sejauh ini, menurut penulis, yang dominan menimbulkan ketegangan lebih karena adanya perbedaan persepsi dalam memaknai akar kebudayaan atau kesenian, --dalam hal ini reog Ponorogo, batik, itu sendiri.

Pendekatan Dialog Kultural
Lantas, apa yang harus dilakukan kedua belah pihak, Indonesia dan Malaysia, agar ketegangan serupa tidak terulang di kemudian hari? Dalam perspektif Komunikasi Sosial Budaya, ada beragam pendekatan yang bisa dilakukan untuk membangun jembatan komunikasi lintas budaya kedua negara. Alo Liliweri (2009) mencantumkan beberapa pendekatan komunikasi antarbudaya. Yaitu, pendekatan psikologi sosial, pendekatan interpretatif, pendekatan kritis, pendekatan dialektikal, pendekatan dialog kultural, dan pendekatan kritik budaya.
Dari enam pendekatan ini, merujuk kasus klaim kesenian Indonesia dan Malaysia,
rupa-rupanya pendekatan dialog kultural yang paling pas. Pendekatan ini lebih sering disebut juga sebagai madzhab yang menekankan pada isu-isu internasionalisme dan humanisme. Kedua belah pihak perlu melakukan diskusi dan dialog bersama dengan berangkat dari persamaan akar budaya, yaitu Melayu. Kedua belah pihak perlu sama-sama memahami dan menyadari bahwa reog dan batik juga berkembang dengan pesat di kedua negara.
Karena itu, dalam konteks ini, penulis sepakat dengan apa yang dipaparkan Prof. Sam Abede Pareno bahwa biarlah reog, batik, serimpi, serapang dua belas dan lain-lain itu menjadi milik kita yang pernah atau tetap disebut ”Melayu”, sehingga di kemudian hari tidak ada ketegangan lagi. Biarlah pula wayang kulit dan wayang orang yang sudah berkembang di Malaysia, terutama di Johor Bahru tersebut, menjadi milik kita semua: rumpun bangsa Melayu. Sebab, klaim dan patenisasi bukan ranah kebudayaan, melainkan ranah politik. Dan yang terpenting adalah, sebagaimana disebutkan dalam pendekatan dialog kultural, kedua negara harus sama-sama berkomitmen memberikan kontribusi keilmuannya, budayanya, keseniannya untuk meningkatkan pemahaman tentang dunia.
Di luar pendekatan dialog kultural, untuk mengurangi ketegangan hubungan kedua negara, pendekatan Teori Negosiasi Identitas yang dirumuskan Stella Ting-Toomey, juga bisa dijadikan sebagai rujukan. Menurut teori ini, identitas suatu bangsa, dalam kasus ini Indonesia dan Melayu, dinegoisasi saat berinteraksi dengan negara-negara lain, terutama dalam berbagai budayanya. Sebab, identitas selalu dihasilkan dari interaksi sosial. Identitas atau gambaran diri, dibentuk melalui proses negoisasi ketika suatu bangsa menyatakan, memodifikasi, atau menantang identifikasi diri sendiri atau orang lain. Identitas etnik dan kebudayaan ditandai oleh nilai isi (value content) dan ciri khas (salience). Value content ini dalam ranah praksisnya mempengaruhi anggotanya agar menilai komunitas atau kelompok, termasuk bangsa, lain.
Oleh karena itu, untuk membentuk masyarakat ”Melayu” yang harmonis dan rukun di kemudian hari, diperlukan suatu bangunan komunikasi yang mampu menjadi sarana hubungan yang setara di antara berbagai bangsa. Menurut Stella Ting-Toomey, perlu dibangun sebuah komunikasi yang fokus pada identitas etnik dan kebudayaan, terutama negoisasi yang terjadi ketika berkomunikasi di dalam dan di antara kelompok-kelompok kebudayaan lainnya.
Identitas-identitas yang dibentuk dalam komunikasi tersebut juga harus dari berbagai latar kebudayaan. Individu etnis maupun antarbangsa, yang hidup dalam tatanan dunia multikultural harus mampu melakukan bikulturalisme fungsional (berganti dari satu konteks budaya ke budaya yang lainnya dengan sadar dan mudah). Jika hal itu dilakukan, maka kita mencapai keadaan pengubah kebudayaan (cultural transformer). Untuk mencapai derajat tersebut, pemimpin kedua negara (Indonesia dan Malaysia) harus mempunyai jiwa lintas budaya (intercultural competence), lintas etnis, dan agama yang terdiri atas tiga komponen. Yaitu, pengetahuan (knowledge), kesadaran (mindfulness), dan kemampuan (skill).
Pengetahuan mencakup tentang pemahaman pentingnya identitas etnik, kebudayaan, agama dan bangsa. Kemampuan melihat apa yang penting bagi orang lain. Sedangkan kesadaran secara sederhana berarti menyadari pentingnya menghormati identitas etnik dan bangsa lain. Menyadari adanya penggunaan perspektif baru. Serta, kemampuan mengacu kepada kemampuan untuk menegoisasi identitas melalui observasi yang diteliti, menyimak, empati, kepekaan nonverbal, kesopanan, dan sebagainya. (*)

*) Tugas Mata Kuliah Komunikasi Sosial Budaya

GENCARNYA PEMBERITAAN VIDEO ASUSILA DI MEDIA MASSA (DALAM KAJIAN FILSAFAT KOMUNIKASI)

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam beberapa pekan terakhir ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan terkuaknya sekaligus beredarnya tayangan video asusila yang pelakunya mirip dengan artis papan atas Indonesia, yaitu mantan vokalis group band papan atas Ariel Peterpan, dengan dua presenter kondang tanah air, yaitu Luna Maya, dan Cut Tari. Dengan cepat, ”bocornya” tayangan video asusila ini menyebar ke segenap penjuru. Di mana-mana orang, tua maupun muda, lelaki dan perempuan, banyak mengunduh tayangan tersebut di media internet. Tayangan tersebut lantas dikoleksi oleh sebagian besar masyarakat baik di telepon genggam (HP) maupun dikemas dalam kepingan VCD maupun DVD.
Beredar luasnya tayangan video asusila itu juga langsung memantik respons sebagian masyarakat untuk memburu, menggandakan, sekaligus memperjualbelikan VCD/DVD yang berisi gambar-gambar adegan dan cuplikan video asusila tersebut secara bebas di pasaran. Ironisnya, DVD dan VCD yang memuat tayangan video asusila itu laku keras di pasaran. (Kompas, 15 Juni 2010). Bahkan, bukan hanya di dalam negeri, di luar negeri pun efek peredaran video asusila juga sangat terasa. Sebuah koran cukup ternama di Afrika Selatan, yang ketika itu sedang disibukkan menjadi host (tuan rumah) World Cup (Piala Dunia) 2010, ikut-ikutan menurunkan berita tentang beredarnya tayangan video dengan pelaku mirip artis papan atas Indonesia tersebut. Bahkan, efek dari beredarnya tayangan video asusila dengan pelaku mirip artis papan atas tersebut bersaing dengan berita skandal perselingkuhan yang melibatkan pejabat teras di Afrika Selatan. (Jawa Pos, 16 Juni 2010)
Beredarnya tayangan video tersebut juga disambut dengan gegap gempita oleh media massa di Indonesia, khususnya media massa televisi lewat tayangan-tayangan infotainment, dan media cetak hiburan. Hampir setiap waktu, mulai pagi, siang, sore, hingga malam hari, selama tiga pekan terakhir (Juni 2010) ini, infotainment media televisi berlomba-lomba memberitakan beredar luasnya tayangan video asusila itu. Seolah-olah, sudah tidak ada lagi batas-batas antara ruang private dengan ruang publik. Tayangan video asusila yang seharusnya hanya menjadi konsumsi kalangan terbatas tersebut berubah menjadi konsumsi publik, yang tidak hanya ditonton oleh masyarakat dewasa, tetapi juga oleh anak-anak yang dalam konteks tertentu dianggap belum waktunya untuk menerima informasi secara vulgar tersebut. Akan tetapi, yang terjadi pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak begitu diabaikan. Bagi awak media massa televisi, berita tersebut layak untuk ditampilkan karena dari sisi bobot berita, perkembangan kasus video asusila tersebut sangat ditunggu-tunggu kehadirannya oleh masyarakat. Media televisi berasumsi, semakin tinggi tingkat kepenasaranan publik terhadap sebuah tayangan, semakin tinggi pula ratingnya. Semakin tinggi rating yang didapat, semakin banyak pemasukan iklan, yang berarti semakin menggunung pula pendapatan (uang) yang akan didapat.
Gencarnya pemberitaan tentang beredarnya tayangan video asusila tersebut juga mulai memunculkan dampak negatif. Efek dari beredarnya tayangan video asusila itu bahkan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan seksual dengan korban anak di bawah umur, sebagaimana yang terjadi di Bojonegoro, belum lama ini. Kepada polisi yang menangani perkaranya tersebut, tersangka mengaku melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak SD beberapa saat setelah melihat tayangan asusila dengan pelaku mirip artis papan atas tersebut di atas. (Radar Bojonegoro, 16 Juni 2010).
Terlepas kasus itu tidak dapat dijadikan sebagai generalisasi efek ataupun dampaknya secara langsung, yang jelas pada titik ini efek konatif atau behavioral komunikasi, meskipun sebagian besar efeknya cenderung ke arah yang negatif, telah berlangsung. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengapa media massa, khususnya media televisi melalui tayangan infotainment-nya, sedemikian gencar memberitakan beredarnya tayangan video asusila yang pelakunya mirip dengan artis papan atas tanah air? Apakah gencarnya pemberitaan itu sudah mempertimbangkan aspek-aspek yang menjadi landasan dalam filsafat komunikasi? Dan bagaimana sebaiknya media televisi bersikap dan bertindak kalau menghadapi berita yang serupa? Makalah ini akan mencoba mengkaji permasalahan di atas dari sudut pandang filsafat komunikasi.

BAB II
KAJIAN TEORI

Secara elementer, komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain atau oleh seorang komunikator kepada komunikan/komunikate. Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, yaitu isi pesan (the content of the message) dan lambang (symbol). Isi pesan adalah pikiran, tetapi ada kalanya juga perasaan, dan lambang umumnya adalah bahasa. Lambang bisa dipahami dengan verbal, nonverbal, vokal, dan nonvokal, serta visual (gambar).
Dalam hubungannya komunikasi dengan proses filsafat komunikasi, Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam bukunya yang berjudul Theories of Human Communication, membagi proses filsafat komunikasi menjadi empat tema. Yaitu, epistemology (pertanyaan mengenai pengetahuan), ontology (pertanyaan mengenai eksistensi), dan axiology (pertanyaan mengenai nilai-nilai). Menurut Littlejohn, proses berfikir, bertindak, dan berkomunikasi yang menggunakan landasan-landasan yang filosofis membawa kepada pemahaman, dan pemahaman tersebut akan membawa kepada tindakan yang lebih layak dan manusiawi. (Littlejohn: 2009)

a. Aspek Epistemologi
Adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Metode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sistematis dan logis.
Epistemologi juga bersangkutan dengan metode dan prosedur dalam menguji dugaan-dugaan sementara. Serta, mengkaji instrumen dan teknik dalam rangka melakukan verifikasi sebagai penilaian yang objektif.

b. Aspek Ontologi
Adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui keberadaannya. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut Littlejohn, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi, ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.
Menurut Onong, ontologi adalah cabang filsafat mengenai sifat wujud (nature of being) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial, ontologi terkait dengan sifat interaksi sosial. Tema ontologi mencakup cara mengkonseptualisasikan komunikasi bergantung pada bagaimana pandangannya terhadap komunikator. (Onong: 2003)

c. Aspek Aksiologi
Adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, logika atau agama. Littlejohn menyebutkan bahwa aksiologi merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai). Mengenai nilai-nilai ini, dalam tema aksiologi ada tiga persoalan. Pertama, apakah pengetahuan itu bebas nilai. Kedua, sejauh mana pengaruh praktik penyelidikan terhadap objek yang dipelajari, dan yang ketiga, sejauh mana pengetahuan berupaya mencapai perubahan sosial.
Dari tiga persoalan di atas, pada tema aksiologi terdapat dua posisi umum. Yaitu, pertama, ilmu yang sadar nilai (value conscious) mengakui pentingnya nilai bagi penelitian dan teori dan secara bersama berupaya mengarahkan nilai-nilai itu kepada tujuan positif. Kedua, ilmu yang bernilai netral (value-neutral) percaya bahwa ilmu menjauhkan diri dari nilai-nilai, atau dengan kata lain ilmu itu bebas nilai.

Di luar tiga aspek di atas paham filosofis yang banyak menginspirasi perkembangan pemikiran hingga saat ini, khususnya dalam ilmu komunikasi adalah ethos, pathos, dan logos. Paham ini dengan tokoh sentral Plato dan Aristoteles. Ethos, terkait dengan rambu-rambu normatif, sumber kepercayaan atau kompeten; pathos, terkait dengan unsur afeksi, emosi/rasa dalam diri manusia, atau kemampuan dalam membangkitkan semangat/rasa; logos, terkait pertimbangan-pertimbangan nalar dan rasional dalam pengambilan keputusan. Komponen penting lain dari filsafat adalah etika, logika, dan estetika. Komponen-komponen ini akan bersinergi satu sama lainnya dengan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sehingga melahirkan poros berfikir filsafat. Artinya, sebuah tindakan dapat dianggap mencerminkan poros berfikir filsafat selama mencerminkan aspek-aspek dan komponen di atas.

BAB III
PEMBAHASAN

Sebagaimana disinggung dalam Bab II, suatu proses komunikasi dapat dianggap telah berlandaskan filosofis kalau mengacu pada landasan-landasan atau aspek filosofis. Aspek filosofis sendiri ada tiga, yaitu epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Masih ada hubungannya dengan kerangka berfikir dan berkomunikasi secara filsafati adalah ethos, pathos, dan logos, serta logika, etika, dan estetika. Baiklah mari kita kaji satu per satu, apakah gencarnya pemberitaan tayangan video asusila tersebut sudah cukup mempertimbangkan aspek-aspek filsafat komunikasi atau belum.

a. Aspek Epistemologi
Adalah menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan yang bersangkutan dengan kriteria penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi adalah cara bagaimana pengetahuan disusun. Epistemologi juga bersangkutan dengan metode dalam menguji dugaan-dugaan sementara. Serta, mengkaji instrumen dan teknik dalam rangka memverifikasi sebagai penilaian yang objektif. Dalam pemberitaan kunci utamanya adalah fakta, kejadian nyata. Namun, dalam ranah jurnalistik juga dikenal dengan istilah news value (nilai-nilai berita). Selain faktual, news value yang lainnya adalah aktual, menarik, penting, serta menarik. (Romli: 2002)
Dalam hubungannya dengan pemberitaan video asusila oleh media massa (sebagai komunikator), bila dilihat dari sisi unsur menarik, berangkali ada. Namun, apakah berita itu fakta, ini yang masih menjadi perdebatan, karena masih membutuhkan verifikasi untuk bisa mendapatkan penilaian yang objektif. Dan faktanya, kajian instrumen dan teknik dalam memverifikasi data belum ada, tetapi pemberitaannya sudah gencar, sehingga ada kesan pelaku memang sebagaimana yang dituduhkan (meski pembuktian harus melalui lembaga penegak hukum).

b. Aspek Ontologi
Adalah berkaitan dengan sifat (wujud) atau keberadaannya dalam interaksi sosial. Dalam hubungannya dengan pemberitaan video asusila di atas adalah bagaimana keberadaan media massa, dalam hal ini televisi di ruang publik. Keberadaan berita di ranah publik dalam interaksi sosial adalah untuk menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan untuk mempengaruhi (to influence).
Mengacu pada contoh kasus di atas, dari sisi mendidik, khususnya apabila kita menggunakan pendekatan efek prososial sebagaimana digagas oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi, maka gencarnya tayangan video asusila tidak dapat dikatakan sebagai to educate. Faktanya, implikasi dari berita tersebut gencar di ranah publik membuat sebagian masyarakat terobsesi untuk bertindak kekerasan seksual, sebagaimana yang diungkapkan dalam Bab I di atas. Dilihat dari sisi menginformasikan, benar ada, tetapi implikasinya tidak prososial. Begitu pula dari aspek menghibur, serta mempengaruhi, keberadaannya justru tak mencerminkan ketertiban sosial. Jadi, dalam kajian atau ranah ontologi gencarnya pemberitaan tentang tayangan video asusila tidak terpenuhi.

c. Aspek Aksiologi
Adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai dari pengetahuan tersebut. Selain nilai, aspek lain yang masuk dalam kajian aksiologi adalah logika, etika, estetika, atau agama. Dari kajian ini, dilihat dari aspek logika, sebagaimana dikutip oleh Onong Uchyana Effendy dari tulisan A. Ridwan Halim yang dimuat di majalah Optimis Nomor 42, pemberitaan bertujuan untuk mencari kebenaran, nilainya antara benar dan salah. Tetapi faktanya, gencarnya pemberitaan sudah seperti justifikasi bahwa pelakunya adalah artis yang dimaksud, meski kebenarannya belum terbukti. Hal ini ditandai dengan penyebutan nama artis dimaksud, tanpa mempertimbangkan asas hukum seperti praduga tak bersalah.
Dari aspek etika, tujuannya adalah untuk mencari kecocokan, dengan ukuran nilai baik atau buruk. Faktanya, dari etika, gencarnya pemberitaan tak terpenuhi, karena kurang mempertimbangkan efek dan dampak yang ditimbulkan bagi komunikan/ komunikate, khususnya anak-anak yang belum waktunya mengkonsumsi berita dengan model seperti itu. Kejadian kekerasan seksual dengan korban anak-anak di Bojonegoro sebagaimana disinggung di Bab I adalah salah satu buktinya.
Sedangkan dari sisi estetika, tujuannya adalah mencari keindahan, dengan nilai-nilai indah dan jelek. Faktanya, gencarnya pemberitaan mengenai video asusila, terkesan vulgar, terlalu menyudutkan, dan tidak mengindahkan atau menggunakan kaidah bahasa yang baik dan benar. Apalagi kalau dilihat dari sisi agama, jelas hal itu bertentangan karena sudah menaruh prasangka buruk kepada orang lain yang prasangkanya tidak disertai dengan bukti-bukti formal, semisal saksi atau pengakuan langsung dari pelakunya. Sehingga, gencarnya penayangan video asusila dengan pelaku mirip artis papan atas, dikaji dalam ranah aksiologi dengan mengacu aspek, logika, etika, estetika, sekaligus agama juga tidak dapat dibenarkan.

d. Aspek Ethos, Pathos, dan Logos
Dilihat dari aspek yang lain, seperti ethos, pathos, dan logos, gencarnya berita soal video asusila, juga belum berkelindan. Dari sisi ethos, media massa televisi sudah mengabaikan rambu-rambu normatif yang berkembang di masyarakat, baik dari sisi hukum legal formal negara maupun norma atau aturan-aturan sosial. Selain itu, pada ranah sumber kepercayaan atau kompetensi yang juga menjadi sentral kajian aspek ethos, tidak terpenuhi juga karena dalam penayangannya media televisi, khususnya yang dikemas dalam program infotainment, tidak mencerminkan prinsip-prinsip cover both side (keberimbangan dalam penayangan berita yang ditandai dengan tercovernya dua pihak yang terkait dengan berita).
Dari sisi pathos, yakni yang berkaitan dengan unsur afeksi, kemampuan membangkitkan semangat/rasa, efek pemberitaan tersebut cenderung lebih banyak mengarah kepada hal-hal yang berbau negatif. Komunikan/komunikate seolah digiring untuk mempunyai rasa kepenasaranan, kecewa, sedih, saat menangkap atau mencerna pemberitaan tersebut. Sedangkan dari aspek logos, yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan nalar maupun rasional di dalam pengambilan keputusan untuk penayangan berita tentang video syur, juga tidak rasional. Sebab, penayangan juga dilakukan pada jam-jam atau waktu (jam favorit) di saat anak-anak masih terjaga.
Komunikator, dalam hal ini media televisi, kurang mempunyai pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang rasional, khususnya yang berkaitan dengan dampak yang mungkin terjadi apabila berita tersebut ditayangkan secara terus menerus. Dengan demikian, aspek logos juga teramat penting untuk menjadi bahan pertimbangan komunikator agar proses komunikasinya dianggap mampu memberikan manfaat, sebagaimana yang digambarkan oleh Jalaluddin Rakhmat sebagai efek prososial dari media massa.

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan kajian sebagaimana dipaparkan di atas, gencarnya pemberitaan video asusila di media massa, apabila dikaji dalam wilayah filsafat komunikasi, yang terdiri dari aspek epistemologi, ontologi, dan aksiologi, serta komponen lain seperti logika, etika, estetika, serta ethos, pathos, dan logos, tidak memenuhi unsur-unsur atau aspek-aspek yang menjadi domain filsafat. Yang terjadi justru media massa lebih mempertimbangkan cara berfikir yang pragmatis, dengan indikasi mengejar rating, menambah iklan dan pemasukan, dari gencarnya pemberitaan tentang beredarnya tayangan video asusila. Media massa dalam mengambil keputusan soal pemberitaan beredarnya video asisula tersebut tidak berlandaskan cara berfikir dan bertindak filosofis.
Oleh karena itu, ada beberapa masukan agar bagaimana baiknya media massa menyikapi kasus-kasus semacam itu. Pertama, hendaknya media massa, secara khusus televisi, selektif dalam memilih jam tayang program acara yang hendak ditayangkan, karena bila tidak anak-anak akan terkena dampak dari program tersebut. Kedua, hendaknya media televisi tidak hanya mengejar rating dan iklan dalam pembuatan programnya, namun juga mempertimbangkan dampak negatif yang akan ditimbulkan dari gencarnya pemberitaan tersebut terhadap masyarakat secara lebih luas. Ketiga, dalam penayangan berita tentang kasus-kasus serupa, hendaknya media massa televisi, khususnya program infotainment, mengacu pada standar-standar resmi jurnalistik, agar pemberitaan yang disampaikan tidak ada kesan bias, dan menjadi penghakiman terhadap objek dan subjek berita.
Bila hal-hal sebagaimana dijabarkan dalam Bab II dan Bab III tersebut dijalankan, maka keberadaan berita di ranah publik dalam proses interaksi sosial, yang ditayangkan oleh media massa televisi, akan menemukan tujuannya. Yaitu,
menginformasikan (to inform) yang benar, mendidik (to educate) dengan baik, menghibur (to entertain) yang tidak menyesatkan, dan untuk mempengaruhi (to influence) menuju perubahan yang lebih baik. Hal ini selaras dengan tujuan dari filsafat, termasuk filsafat komunikasi itu sendiri, yang mendorong seseorang untuk mencari kebenaran, baik hubungannya dengan sesama manusia, dengan Tuhan, dan dengan alam. (*)


DAFTAR PUSTAKA


Little John., Stephen W., dan Karen A. Foss, 2009, Theories of Human Communication, Edisi Sembilan, Salemba Humanika, Jakarta.
Muhtadi, Asep Saeful, 1999, Jurnalistik: Pendekatan Teoritis dan Praktis, Logos, Jakarta.
Rakhmat, Jalaluddin, 2005, Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.
Romli, Asep Syamsul M., 2003, Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan, Batic Press, Bandung
Tankard Jr, James W., dan Severin, J. Werner, 2005, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Prenada Media, Jakarta.
Uchjana, Effendy Onong, 2003, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sumber Lain :
Makalah Kuliah Filsafat Komunikasi, Oleh Prof. Dr. Asep S. Muhtadi, Tanggal 24-25 April dan 23-24 Mei 2010.
Surat Kabar Harian Jawa Pos, Edisi 16 Juni 2010.
Surat Kabar Harian Kompas, Edisi 15 Juni 2010.
Surat Kabar Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Edisi 11 Juni 2010.

*) Tugas Makalah Filsafat Komunikasi