Friday, February 18, 2011

Refleksi Hari Pers Nasional (HPN) Pers dan Tanggung Jawab Sosial

ADA satu pertanyaan menggelitik yang mungkin dapat menjadi sebuah bahan renungan para pekerja maupun pegiat media/pers, minimal untuk penulis pribadi, yang pada hari ini (9 Februari 1946-9 Februari 2011) merayakan Hari Pers Nasional (HPN). Pertanyaan itu adalah masihkah pers menjadi pilar keempat demokrasi, selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif? Rasanya, pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab, karena membutuhkan argumentasi yang tidak pendek dan sederhana untuk menjelaskannya.
Pertanyaan itu muncul karena dilandasi adanya sebuah kenyataan faktual bahwa jurnalis era sekarang dipandang sudah bertindak terlampau pragmatis, alih-alih dapat berfikir dan bertindak filosofis. Orientasi bagaimana membangun sebuah berita yang konstruktif dan bisa menjadi sebuah preferensi masyarakat dalam mengkonstruksi pranata-pranata sosial dan demokrasi, tidak lagi menjadi sebuah pilihan utama. Yang terjadi justru sebaliknya, pers dianggap hanya sebagai sarana untuk memburu kepentingan-kepentingan pragmatis, tetapi mengesampingkan filosofi awal mengapa pers diperlukan dalam sebuah sistem sosial. Benarkah gejala itu sudah terjadi?

Empat Teori Pers
Ada banyak teori yang menjelaskan tentang pers dan media di era modern. Akan tetapi, empat teori di bawah ini cenderung menjadi meanstream yang diamini mayoritas praktisi media dan akademisi ilmu komunikasi. Dalam buku berjudul Four Theories of The Press (Siebert, Peterson, dan Schramm, 1956) yang dikutip oleh Werner J. Severin, dan James W. Tankard Jr (2005:378), pada dasarnya secara umum teori pers dapat digolongkan menjadi empat kategori. Yaitu, teori otoriter, teori liberal, teori tanggung jawab sosial, dan teori totaliter-Soviet. Teori otoriter adalah pers yang mendukung dan menjadi kepanjangan tangan dari kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa dan cenderung melayani negara. Dengan kata lain, pers berada di bawah ketiak kekuasaan absolut dan despotik. Pers jadi corong negara yang hanya menyuarakan kepentingan yang linier.
Dalam teori liberal sebaliknya, pers merupakan alat untuk mengawasi pemerintah, serta memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun yang paling dominan adalah kapitalisasi modal ekonominya. Siapa pihak yang memiliki modal paling kuat, Ia lah yang akan mewarnai hitam putihnya sebuah sistem sosial. Sedangkan dalam teori totaliter-Soviet, pers dimiliki oleh pemerintah dan dikendalikan dengan ketat yang murni membela kepentingan negara. Bentuk dari pengendaliannya adalah berupa pengawasan dan nilai-nilai ekonomi, serta tindakan-tindakan politis pemerintah.
Bagaimana dengan teori tanggung jawab sosial? Ciri umum teori ini adalah siapapun bisa bebas memiliki pendapat. Sebab, media dikendalikan oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, dan etika profesional. Media juga mengemban tugas tanggung jawab sosial dan bila tidak mencerminkan realitas sosial, suatu pihak tertentu harus memaksanya agar berjalan sesuai dengan track awal.
Meskipun mendewakan kebebebasan untuk berpendapat, teori ini juga memiliki larangan yang pantang dilanggar. Media pers dilarang melakukan gangguan-gangguan yang serius terhadap hak-hak pribadi yang diakui dan terhadap kepentingan sosial yang vital. Diktum ini bisa diterjemahkan bahwa media dilarang membuat laporan yang dapat berpotensi terciptanya konlfik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

Nilai-Nilai Filosofis
Dari penjabaran empat teori di atas, Indonesia mengambil pilihan yang keempat, yakni teori tanggung jawab sosial. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah teori ini sudah dijalankan dengan konsisten, sesuai dengan nilai-nilai filosofis awalnya? Untuk mengukur apakah pers sudah menjalankan fungsi sosial sebagaimana semestinya, khususnya yang mengacu persepektif tanggung jawab sosial, Herbert J. Gans (1979), pakar sosiologi, mengsyaratkannya dengan melihat nilai-nilai abadi berita yang filosofis. Nilai-nilai ini di luar news value (nilai berita) praktis aplikatif yang sudah jamak dipraktikkan oleh pekerja media, yang mengarah pada aktual, faktual, menarik, penting, menghibur, dll.
Menurut Herbert J. Gans, nilai-nilai abadi filosofis itu mengacu delapan hal. Nilai-nilai tersebut bisa dilihat dari laporan media massa. Delapan hal itu adalah (1) etnosentrisme, artinya apakah berita yang ditulis sudah mengagungkan bangsa sendiri, dalam bahasa lain adalah patriotisme, dibandingkan bangsa asing? Tentu yang dimaksud dalam nilai ini adalah yang mengarah pada konstruktif. (2) Demokrasi altruistik, yaitu berita-berita yang menyiratkan politik harus berdasar pada kepentingan pelayanan publik (public service). (3) Kapitalisme bertanggung jawab. Artinya berita yang menyiratkan kalangan pengusaha (kapitalis) menahan diri untuk tidak mengambil keuntungan atau laba yang berlebihan dengan mengabaikan kepentingan publik.
(4) Moderatisme, yakni menghindari tindakan-tindakan berlebih atau ekstrem berupa pelanggaran terhadap ketentuan hukum formal yang berlaku, adat istiadat, dan nilai-nilai abadi, yang dalam titik-titik tertentu tak memicu terjadinya konflik SARA. (5) Mengacu tatanan, yakni dengan menghargai penguasa dan nilai-nilai yang ada, serta peduli dengan kohesi sosial. (6) Respek terhadap kepemimpinan yang bermoral dan kompeten, jujur dan pandai, yang memiliki visi, dan keberanian. (7) Memiliki visi individualisme, yang dapat diejawantahkan dengan cara melindungi kebebasan individu dari gangguan bangsa dan masyarakat yang despotik. Dan, (8) Pastorialisme kota kecil. Maksudnya, media massa harus mempunyai kecenderungan untuk mengangkat potensi-potensi yang ada dalam sebuah komunitas yang kecil, sehingga menjadi berkembang dan positif. Poin ini juga dapat dijelaskan bahwa, media harus mampu mendorong pertumbuhan, pembangunan, dan kemajuan sebuah kota kecil, dengan tetap menghargai pluralisme masyarakat yang sedang tumbuh berkembang.
Mengacu delapan nilai-nilai abadi filosofis di atas, kita mungkin dapat mengukur apakah pers sekarang ini sudah mampu menjalankannya dengan baik ataukah justru sebaliknya, tidak. Bila memang tidak ada, maka benarlah ada anggapan bahwa pers sekarang tidak lagi pantas dianggap sebagai pilar yang keempat dari demokrasi. Kalaupun baru ada sebagian yang dijalankan, rasanya insan pers wajib merenung (refleksi) di hari ini dan hari-hari mendatang, ternyata masih banyak yang belum bisa dilakukan demi terjaganya sebuah sistem sosial yang dinamis dan demokratis. Dirgahayu Pers Indonesia. (*)

Bawah Titian, 08 Februari 2011

*) Tayang di Radar Bojonegoro Edisi 9 Febrruari 2011, Halaman 32

Refleksi Hari Pers Nasional (HPN) Pers dan Tanggung Jawab Sosial

ADA satu pertanyaan menggelitik yang mungkin dapat menjadi sebuah bahan renungan para pekerja maupun pegiat media/pers, minimal untuk penulis pribadi, yang pada hari ini (9 Februari 1946-9 Februari 2011) merayakan Hari Pers Nasional (HPN). Pertanyaan itu adalah masihkah pers menjadi pilar keempat demokrasi, selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif? Rasanya, pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab, karena membutuhkan argumentasi yang tidak pendek dan sederhana untuk menjelaskannya.
Pertanyaan itu muncul karena dilandasi adanya sebuah kenyataan faktual bahwa jurnalis era sekarang dipandang sudah bertindak terlampau pragmatis, alih-alih dapat berfikir dan bertindak filosofis. Orientasi bagaimana membangun sebuah berita yang konstruktif dan bisa menjadi sebuah preferensi masyarakat dalam mengkonstruksi pranata-pranata sosial dan demokrasi, tidak lagi menjadi sebuah pilihan utama. Yang terjadi justru sebaliknya, pers dianggap hanya sebagai sarana untuk memburu kepentingan-kepentingan pragmatis, tetapi mengesampingkan filosofi awal mengapa pers diperlukan dalam sebuah sistem sosial. Benarkah gejala itu sudah terjadi?

Empat Teori Pers
Ada banyak teori yang menjelaskan tentang pers dan media di era modern. Akan tetapi, empat teori di bawah ini cenderung menjadi meanstream yang diamini mayoritas praktisi media dan akademisi ilmu komunikasi. Dalam buku berjudul Four Theories of The Press (Siebert, Peterson, dan Schramm, 1956) yang dikutip oleh Werner J. Severin, dan James W. Tankard Jr (2005:378), pada dasarnya secara umum teori pers dapat digolongkan menjadi empat kategori. Yaitu, teori otoriter, teori liberal, teori tanggung jawab sosial, dan teori totaliter-Soviet. Teori otoriter adalah pers yang mendukung dan menjadi kepanjangan tangan dari kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa dan cenderung melayani negara. Dengan kata lain, pers berada di bawah ketiak kekuasaan absolut dan despotik. Pers jadi corong negara yang hanya menyuarakan kepentingan yang linier.
Dalam teori liberal sebaliknya, pers merupakan alat untuk mengawasi pemerintah, serta memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun yang paling dominan adalah kapitalisasi modal ekonominya. Siapa pihak yang memiliki modal paling kuat, Ia lah yang akan mewarnai hitam putihnya sebuah sistem sosial. Sedangkan dalam teori totaliter-Soviet, pers dimiliki oleh pemerintah dan dikendalikan dengan ketat yang murni membela kepentingan negara. Bentuk dari pengendaliannya adalah berupa pengawasan dan nilai-nilai ekonomi, serta tindakan-tindakan politis pemerintah.
Bagaimana dengan teori tanggung jawab sosial? Ciri umum teori ini adalah siapapun bisa bebas memiliki pendapat. Sebab, media dikendalikan oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, dan etika profesional. Media juga mengemban tugas tanggung jawab sosial dan bila tidak mencerminkan realitas sosial, suatu pihak tertentu harus memaksanya agar berjalan sesuai dengan track awal.
Meskipun mendewakan kebebebasan untuk berpendapat, teori ini juga memiliki larangan yang pantang dilanggar. Media pers dilarang melakukan gangguan-gangguan yang serius terhadap hak-hak pribadi yang diakui dan terhadap kepentingan sosial yang vital. Diktum ini bisa diterjemahkan bahwa media dilarang membuat laporan yang dapat berpotensi terciptanya konlfik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

Nilai-Nilai Filosofis
Dari penjabaran empat teori di atas, Indonesia mengambil pilihan yang keempat, yakni teori tanggung jawab sosial. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah teori ini sudah dijalankan dengan konsisten, sesuai dengan nilai-nilai filosofis awalnya? Untuk mengukur apakah pers sudah menjalankan fungsi sosial sebagaimana semestinya, khususnya yang mengacu persepektif tanggung jawab sosial, Herbert J. Gans (1979), pakar sosiologi, mengsyaratkannya dengan melihat nilai-nilai abadi berita yang filosofis. Nilai-nilai ini di luar news value (nilai berita) praktis aplikatif yang sudah jamak dipraktikkan oleh pekerja media, yang mengarah pada aktual, faktual, menarik, penting, menghibur, dll.
Menurut Herbert J. Gans, nilai-nilai abadi filosofis itu mengacu delapan hal. Nilai-nilai tersebut bisa dilihat dari laporan media massa. Delapan hal itu adalah (1) etnosentrisme, artinya apakah berita yang ditulis sudah mengagungkan bangsa sendiri, dalam bahasa lain adalah patriotisme, dibandingkan bangsa asing? Tentu yang dimaksud dalam nilai ini adalah yang mengarah pada konstruktif. (2) Demokrasi altruistik, yaitu berita-berita yang menyiratkan politik harus berdasar pada kepentingan pelayanan publik (public service). (3) Kapitalisme bertanggung jawab. Artinya berita yang menyiratkan kalangan pengusaha (kapitalis) menahan diri untuk tidak mengambil keuntungan atau laba yang berlebihan dengan mengabaikan kepentingan publik.
(4) Moderatisme, yakni menghindari tindakan-tindakan berlebih atau ekstrem berupa pelanggaran terhadap ketentuan hukum formal yang berlaku, adat istiadat, dan nilai-nilai abadi, yang dalam titik-titik tertentu tak memicu terjadinya konflik SARA. (5) Mengacu tatanan, yakni dengan menghargai penguasa dan nilai-nilai yang ada, serta peduli dengan kohesi sosial. (6) Respek terhadap kepemimpinan yang bermoral dan kompeten, jujur dan pandai, yang memiliki visi, dan keberanian. (7) Memiliki visi individualisme, yang dapat diejawantahkan dengan cara melindungi kebebasan individu dari gangguan bangsa dan masyarakat yang despotik. Dan, (8) Pastorialisme kota kecil. Maksudnya, media massa harus mempunyai kecenderungan untuk mengangkat potensi-potensi yang ada dalam sebuah komunitas yang kecil, sehingga menjadi berkembang dan positif. Poin ini juga dapat dijelaskan bahwa, media harus mampu mendorong pertumbuhan, pembangunan, dan kemajuan sebuah kota kecil, dengan tetap menghargai pluralisme masyarakat yang sedang tumbuh berkembang.
Mengacu delapan nilai-nilai abadi filosofis di atas, kita mungkin dapat mengukur apakah pers sekarang ini sudah mampu menjalankannya dengan baik ataukah justru sebaliknya, tidak. Bila memang tidak ada, maka benarlah ada anggapan bahwa pers sekarang tidak lagi pantas dianggap sebagai pilar yang keempat dari demokrasi. Kalaupun baru ada sebagian yang dijalankan, rasanya insan pers wajib merenung (refleksi) di hari ini dan hari-hari mendatang, ternyata masih banyak yang belum bisa dilakukan demi terjaganya sebuah sistem sosial yang dinamis dan demokratis. Dirgahayu Pers Indonesia. (*)

Bawah Titian, 08 Februari 2011

*) Tayang di Radar Bojonegoro Edisi 9 Febrruari 2011, Halaman 32

Mendamba Pendidik Yang Motivator

SUATU hari di sebuah kelas. Andi tampak murung. Dia gelisah. Dari raut mukanya terpancar kekuranggairahan. Matanya memang memandang Ibu Ratnani, guru pelajaran matematika, yang sedang menerangkan tentang logaritma. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ibu Ratnani menangkap bahasa tubuh Andi. Dia mendekatinya. ”Kenapa kamu kurang konsentrasi?” tanya Ibu Ratnani. Andi tidak menjawab. Dia takut. Sikap Andi justru membuat Ibu Ratnani tersinggung. Tanpa basa-basi, dia menghukum Andi. Dia memerintah Andi keluar ruangan kelas.
***
Ilustrasi di atas, jika disikapi secara arif dan bijak, menunjukkan betapa sosok guru hanya memperlakukan muridnya sebagai objek pengetahuan, sedangkan guru adalah figur vital, sentral, sekaligus subjek yang berhak menentukan segalanya atasdiri sang murid. Ditinjau dari sisi pembelajaran, idealnya sang guru tak hanya memperlakukan sang murid sebagai sosok yang pasif, tetapi harus aktif ikut menentukan keaktifannya. Pada saat tahu kondisi psikologis sang murid yang kurang bergariah, seorang pendidik idelnya tidak mengambil tindakan reaktif, tapi justru menyikapinya dengan arif dan bijak. Bahkan, tidak menutup kemungkinan guru harus mampu memberi motivasi kepada sang siswa agar bersemangat mengikuti pelajaran.
Ilustrasi di atas juga menunjukkan kecenderungan betapa peran guru tidak hanya sebatas sebagai pengajar dan pendidik di sekolah. Namun, peran guru sebagai motivator mutlak dibutuhkan. Pemberian motivasi mendesak dilakukan oleh seorang guru agar kemampuan siswa dapat tereksplore secara maksimal. Tak mudah memang untuk melakukannya, tapi inilah tantangan yang harus dihadapi dengan bijak oleh seorang guru, pendidik, di zaman yang masyarakatnya sedemikian dinamis.
Secara teori, motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberi energi bagi seseorang (siswa) dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif. (Gage dan Berliner, 1984).
Dari pengertian motivasi ini, kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa. Ada banyak teori tentang motivasi. Namun, secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasar sudut pandangnya yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dan social cognition.
Dalam cara pandang Teori Motivasi Abraham Maslow (1943-1970), secara garis besar, manusia, termasuk hal ini peserta didik, mempunyai lima kebutuhan dalam hidupnya. Yaitu, kebutuhan fisiologis (physiological needs) seperti berupa rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya; kebutuhan rasa aman (safety needs), yakni merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya; kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (love needs), berafiliasi dengan orang lain, diterima, dan memiliki; serta kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), pengertiannya butuh berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan, pengakuan; serta, kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs).
Khusus kebutuhan kelima, Maslow membaginya menjadi tiga hal. Yaitu kebutuhan aspek kognitif, dalam arti kebutuhan mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan aspek estetik, mencakup keserasian, keteraturan, dan keindahan; serta kebutuhan aspek aktualisasi diri, upaya mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya. Merujuk Teori Maslow, dari contoh kasus di atas, siswa perlu diberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi dirinya sendiri. Dalam artian, pemberian kesempatan tersebut akan menyebabkan motivasi siswa meningkat, sehingga peserta didik dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Dengan mengacu Teori Maslow, seorang siswa bila tahap kebutuhannya sudah tercukupi, baik dari sisi fisiologis, rasa aman, dan cinta, maka kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri secara tidak langsung akan menjadi capaian berikutnya. Dari gambaran di atas dapat dipahami, guru jika mau memerankan diri sebagai sosok motivator, idealnya dapat menyelidik dengan mencari tahu akar penyebabnya, apakah kebutuhan-kebutuhan fisiologis, rasa aman, hingga cinta, sudah terpenuhi atau belum. Sehingga, guru akan bisa menemukan jawaban kenapa muridnya tidak mempunyai minat/motivasi untuk esteem needs dan self-actualization needs.
Pertanyaannya, apakah lima tahapan yang digariskan Maslow, untuk sekadar memakai satu teori tentang motivasi, sudah dilaksanakan para guru dan sekolah, termasuk kepala sekolah, agar memerankan diri sebagai motivator? Rasanya, tidak perlu dijawab dengan vokal verbal, akan tetapi dilaksanakan dengan tindakan nyata, agar kejadian di SDN 2 Campurrejo, Kecamatan Kota Bojonegoro tempo hari, tidak terulang. (*)

Bawah Titian, 21 Januari 2011
*) Tayang di Radar Bojonegoro Edisi 23 Januari 2011 Halaman 30