Tuesday, June 7, 2011

Dramaturgi Anggota Dewan

DALAM sebuah perbincangan, mantan seorang anggota DPRD Bojonegoro periode lalu berbicara terbuka, betapa beban anggota dewan sekarang tak sama dengan anggota dewan periode lalu. Ketidaksamaan beban antara yang lalu dan sekarang bukan dalam konteks kerja-kerja formal juridis. Karena, indikator kerja mereka tetap berkutat pada sejauhmana efektivitasnya dalam menjalankan tugas-tugas legislating, budgeting, serta controlling, sebagaimana tertuang dalam pasal 78 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Beban kerja yang lebih berat lebih terletak pada stigma negatif yang belakangan mencuat ke permukaan. Lazim diketahui, akhir-akhir ini anggota DPRD Bojonegoro dihebohkan dengan beragam isu tidak sedap; joki. Mulai hal yang terkesan ‘sepele’, joki tanda tangan rapat paripurna, hingga yang lumayan berat, joki anggaran. Terlepas perkaranya sekarang masih dalam pembuktian dan ditangani oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD, stigma itu akan menambah beban anggota dewan. Setidaknya di pikiran, --itu kalau masih dianggap sebagai beban.
Dengan mengedepankan azas praduga tidak bersalah, andai perkara itu benar, tindakan ini dilakukan karena anggota dewan berinteraksi dengan berbagai pihak dengan menerapkan latar-latar yang berbeda, tidak dengan apa adanya. Saat berinteraksi dengan kalangan eksekutif, mereka bergaya bak legislator yang mampu memperjuangkan dana atau anggaran untuk suatu satuan kerja (satker), meski sebenarnya tak semudah itu juga cara pengusulannya, karena ada aturan-aturan hukum yang mengikat. Akan tetapi, latar itu yang saat ini diperankan. Sehingga kemudian muncul istilah makelar anggaran.
Oknum yang diduga terlibat dalam kasus makelar anggaran ini sebenarnya sadar dengan sesadar-sadarnya, bahwa peran yang dimainkan tidak semudah membalik telapak tangan. Akan tetapi, demi tuntutan peran lain yang harus dimainkan, antara lain terlihat ”berduit” di mata konstituen dan partai asalnya, peran sebagai pengusul anggaran tetap dimainkan. Ibaratnya, wakil rakyat ini sedang memainkan sebuah drama. Dramaturgis interaksi.
***
Dalam terminologi Erving Goffman dalam Kuswarno (2009), dramaturgis adalah suatu pendekatan komunikasi dalam ilmu komunikasi, yang mengadopsi dari rumpun keilmuan sosiologi. Dramaturgis adalah interaksi sosial yang dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.
Dalam mencapai tujuannya, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan nonverbal lain. Hal ini bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Erving Goffman, tindakan di atas disebut impression management.
Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu, kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi konsep-konsep drama yang bertujuan membuat drama yang berhasil. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga, kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan.
***
Dalam kaitannya dengan contoh kasus di atas, oknum anggota dewan yang disebut-sebut sebagai makelar anggaran dan joki tanda tangan ini memerankan diri di atas panggung dengan mencoba tampil se-perfect mungkin, sesempurna mungkin sebagai wakil rakyat (front stage). Berjanji bisa menambah budget suatu satker, atau aktif mengikuti paripurna agar terkesan aktif di mata publik, meskipun tanda tangannya hanya titipan saja, adalah merupakan bentuk argumentasi yang dibangun untuk memengaruhi lawan interaksinya, yang dalam istilah Goffman disebut impression management. Fakta sebenarnya berupa keterbatasan hak dalam pengusulan anggaran, atau ketiadaan waktu hadir dalam rapat paripurna (back stage), tidaklah ditampakkan, demi menjaga sebuah citra di mata mitra satker, atau kewibawaan di mata konstituen, dan juga partai. Rasanya, berat memang jadi anggota dewan yang terhormat yang mau dan mampu, serta bisa dan biasa tampil dengan apa adanya. (*)

Blok Lingkar, 3 Juni 2011

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Halaman 30, Edisi 5 Juni 2011