Tuesday, August 23, 2011

Menjaga Paras Ramadan

DALAM sebuah tayangan berita di salah satu televisi Jumat (12/8) malam, digambarkan adanya aksi penertiban yang dilakukan oleh salah satu organ gerakan yang menamakan dirinya sebagai ’pembela’ Islam. Dengan dalih menjaga kesucian bulan puasa Ramadan, organ gerakan ini menutup paksa salah satu kios atau warung yang kebetulan menjual makanan dan minuman, termasuk minuman keras (miras). Cara yang dilakukan penuh brutalitas, emosional.
Aksi sekelompok massa ini menarik perhatian masyarakat. Selain karena jumlah massa yang ikut serta dalam penertiban/razia lumayan banyak, juga karena aksi yang dilakukan disertai teriakan-teriakan yang menyebut nama Tuhan. Yang juga ikut menarik perhatian adalah massa datang dengan cara berbondong-bondong, mengendarai motor, dan konvoi layaknya massa parpol yang sedang kampanye.
Razia, penertiban, atau apapun namanya, akhir-akhir ini getol dilakukan sejumlah pihak. Tidak hanya oleh aparat kepolisian, TNI, dan Satpol PP, tetapi juga elemen masyarakat lain seperti organ `pembela` Islam tersebut. Yang patut direnungkan, gambaran razia yang dilakukan elemen ’pembela’ Islam di atas justru menampakkan betapa paras Islam yang penuh dengan kekerasan, antikompromi, dan tanpa pendekatan kelembutan, alih-alih dengan kelembutan. Term amar ma`ruf nahi munkar (mengajak kebaikan, mencegah kemunkaran) ditafsirkan secara tunggal sekaligus subjektif oleh organ ’pembela` Islam tersebut dengan makna yang sedemikian sempit: kekerasan, sekaligus emosional.

Nir-Kekerasan
Dalam perspektif filsafat keislaman, khususnya dalam pendekatan Jawa, puasa dalam bahasa Jawa disebut dengan poso. Puasa lebih merupakan latihan rasa yang mencakup dimensi batiniah. Wilayahnya juga teramat transeden-privat, hanya Tuhan dan manusia yang tahu. Makanya tidak mengherankan, dalam filsafat Islam-Jawa, poso mengandung makna ngempet rasa (poso), menahan perasaan, menahan keinginan. Ada juga yang mengartikan puasa sebagai ngeposke roso, memberhentikan rasa. Rasa yang dimaksud ini mengarah pada nafsu yang berdimensikan negatif, maupun merusak.
Dalam dimensi keislaman, puasa dalam bahasa Arab shaum. Sebagian ahli menafsirkan, diksi shaum terdiri dari tiga huruf hijaiyah, yakni shad, wau, dan mim. Shad merupakan shumtun, yang berarti meneng (diam), maksudnya adalah mendiamkan nafsu agar tidak mempengaruhi diri. Wau bermakna wira`i atau ngreksa (menjaga), maksudnya menjaga dari sesuatu yang halal selama puasa (makan, minum, dan lainnya), lebih-lebih yang haram, seperti merusak dan menuruti hawa nafsu. Dan mim singkatan dari malakun yang berarti ngeker, menjaga hawa nafsu. Dus, apakah cara-cara merusak dan penuh kekerasan sebagaimana razia yang dilakukan ‘pembela’ Islam sudah mencerminkan makna hakiki puasa itu sendiri?
Islam adalah agama universal yang berprinsip rahmatan lilalamin (menyebarkan kasih sayang ke segenap penjuru alam). Jika mempelajari isi dan kandungan teks-teks Alquran secara mendalam, niscaya banyak ditemukan ayat-ayat bermuatan isu-isu kontemporer. Betapa Islam mengajarkan demokratisasi, egalitarianisme, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (gender), membebaskan, membela kaum tertindas, hingga pendekatan yang nir-kekerasan.
Menurut Hassan Hanafi dalam Abad Badruzaman (2005), Islam bermakna ketundukan kepada prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan sosial, cinta (kasih sayang, lembut), dan prinsip-prinsip lain yang melandasi berdirinya suatu komunitas yang bebas dan setara. Islam bukankah sebuah ide baku atau sistem ritual-ritual, upacara-upacara, dan lembaga-lembaga kaku. Melainkan suatu prinsip progresif yang selalu menghapuskan tatanan-tatanan lama yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Wabakdu, jika cara-cara kekerasan dan tanpa mempertimbangkan sisi-sisi kemanusiaan lebih dikedepankan dalam razia, penertiban, atau apapun namanya, dengan mengatas-namakan menjaga kesucian Ramadan, penulis yakin hal yang demikian ini kontradiktif dengan substansi dan prinsip dasar Islam diturunkan ke muka bumi. Tafsir tunggal dan subjektif yang dilakukan oleh orang-orang yang mengatasnamakan ’pembela’ Islam ini, rasanya sangat bertentangan dengan misi Islam itu sendiri diturunkan ke muka bumi yang menebarkan kasih sayang, membawa misi kedamaian, dan misi nir-kekerasan, misi anti-kekerasan.
Mengajak orang berbuat baik dan mencegah kemungkaran, memang diperintahkan oleh agama apapun, khususnya Islam. Baik selama Ramadan maupun di luarnya. Akan tetapi, seyogyanya pendekatan yang diterapkan haruslah equivalen, berbanding lurus dengan prinsip dasar dan misi Islam diturunkan ke muka bumi ini. Bukankah pendekatan nir-kekerasan akan jauh lebih manusiawi dan elok dalam menjaga paras suci Ramadan, serta makna hakiki puasa (shaum) itu sendiri? (*)

Ujung Blok Lingkar, 12 Agustus 2011

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Edisi 14 Agustus 2011, Halaman 30