Wednesday, January 5, 2011

Menanam untuk Kehidupan

Indonesia, selain diberkati karunia luar biasa berupa alam yang subur dan kaya sumber daya alam (SDA), juga seperti ”ditakdirkan” sebagai negeri yang rentan sekaligus akrab dengan bencana. Belum lama berlalu, negeri ini diguncang oleh Gunung Merapi meletus, disusul semburan abu vulkanik Gunung Bromo, dan baru-baru ini ancaman dari Gunung Semeru.
Di luar ancaman musibah dari gunung, dalam setahun terakhir ini Indonesia juga akrab dengan gempa bumi, potensi tsunami, dan banjir, baik dari luapan Bengawan Solo atau sungai lainnya, akibat hujan deras, maupun banjir bandang yang diakibatkan menipisnya sumber resapan air hutan dan pepohonan. Selain sumber resapan air dan hutan, banjir bandang juga disebabkan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan dan pedesaan akibat tak terkontrolnya pengembangan lahan untuk industri dan permukiman. Efek panjang dari tidak jelasnya kerangka pembatasan perluasan lahan ini, selain pengaruh polusi, dan lainnya, mengakibatkan paru-paru bumi (baca: hutan) rusak. Dampak panjangnya, gersangnya pepohonan dan hutan, turut memberikan andil dalam menciptakan perubahan iklim (climate change).
Pemerintah, sejauh ini tidak berdiam diri. Dimana-mana digalakkan gerakan menanam pohon di lahan-lahan kosong, baik lahan pekarangan rumah tangga maupun lahan kritis non-produktif, termasuk kawasan hutan. Pencanangan satu miliar pohon, diikuti dengan penetapan bulan menanam nasional, serta gerakan perempuan tanam dan pelihara selama November dan Desember lalu, adalah salah satu buktinya. Pertanyaan selanjutnya adalah
apakah gerakan ini sekadar formalitas atau simbolis belaka, tanpa ada tindak lanjutnya?

Empat Aspek Konservasi
Dalam persepektif ekologi, ada empat aspek yang mutlak dibutuhkan dalam upaya-upaya menjaga serta melestarikan lingkungan dan alam. Keempat aspek itu adalah konservasi, teknis, estetika, dan manfaat. Keempat aspek itu harus berkelindan, satu kesatuan, tidak bisa dipisah-pisahkan. Bukan bermaksud menafikan aktivitas penghijauan yang selama ini sudah dilakukan, jika dikaji lebih jauh, salah satu kegagalan gerakan penghijauan yang selama ini digalakkan adalah tidak termanifestasikannya keempat aspek tersebut.
Pertama, aspek konservasi. Aspek ini menitiktekankan pada keanekaragaman sekaligus kelangkaan flora yang hendak ditanam. Untuk mengejawantahkan aspek ini, hal yang perlu diperhatikan adalah apakah pepohonan yang hendak ditanam tersebut merupakan varietas yang secara ”anatomi” tumbuhan dapat menunjang proses konservasi alam, baik untuk tujuan konservasi air, konservasi tanah, konservasi lingkungan, maupun konservasi udara. Aspek ini penting ditekankan agar hendaknya pohon yang ditanam bertujuan untuk menjaga keanekaragaman flora agar tidak punah atau musnah. Pun, sebagai upaya untuk pembudidayaan agar varietas tanaman tersebut tetap terjaga (lestari).
Kedua, aspek manfaat. Pertanyaan pentingnya adalah apakah pohon yang hendak ditanam memenuhi nilai-nilai manfaat bagi masyarakat, alam, udara, air, dan lingkungan. Artinya, bila memungkinkan, hendaknya pohon yang akan ditanam sebisa mungkin tak sembarang pohon, melainkan dilihat sisi manfaatnya. Misalnya dengan menelisik apakah tanaman itu
mampu memberi manfaat dari sisi kesehatan, pendidikan, lingkungan, bahkan bila perlu
memberi nilai tambah secara ekonomi. Penekanan aspek ini menjadi kian penting, karena dengan mendasari menanam bukan hanya untuk tujuan konservasi, melainkan juga untuk memberi nilai tambah sisi-sisi yang lain, akan semakin memassifkan gerakan menanam di masyarakat.
Ketiga, aspek estetika. Aspek ini lebih banyak berhubungan dengan afektif (rasa) atau unsur keindahan dalam menata tanaman. Pertanyaannya adalah apakah dalam penataan tanaman dalam gerakan penghijauan tersebut sudah mempertimbangkan aspek rasa, seni,
yang pada akhirnya dapat menunjang keindahan, keelokan, yang sedap dipandang mata?
Memang, sekilas aspek ini tidak terlalu penting. Tetapi jika didalami dengan lebih jauh,
justru aspek inilah yang menjadi magnetnya, daya tarik, agar menanam tidak dipandang sebagai aktivitas ansich, tetapi juga dapat dijadikan sebagai media ataupun sarana untuk mengeksplorasi rasa keindahan.
Keempat, aspek teknis. Aspek ini lebih banyak berkaitan dengan cara, metode, dan teknik
menanam pohon yang benar. Aspek ini juga penting untuk dicermati, karena kebanyakan gerakan tanam pohon yang dilakukan hanya berdasar semangat, belum dilandasi bekal atau skill teknis mengenai cara menanam yang benar. Aspek ini bila tidak diperhatikan hanya akan menjadikan tanaman atau pohon yang kita tanam muspro alias sia-sia. Dan
pada akhirnya, cita-cita dan harapan besar untuk andil dalam gerakan menanam hanya
sekadar di awang-awang, tidak sesuai dengan target awal yang direncanakan. Apakah empat aspek ini sudah dilaksanakan? Kita bisa menelusurinya sendiri-sendiri.

Menghargai Pohon
Dalam ranah filsafat ilmu disebutkan bahwa, objek materia sebuah ilmu adalah manusia. Sedangkan objek formanya, khususnya dalam perspektif ilmu komunikasi, yaitu tindakan (interaksi) manusia. Akan tetapi, dewasa ini objek materia ilmu komunikasi yang selalu bertumpu pada manusia, mulai dipertanyakan kembali. Faktanya, saat ini muncul sebuah penelitian (?) yang menghasilkan sebuah premis baru bahwa komunikasi tak hanya untuk sesama manusia. Komunikasi dengan non-manusia (non-human communication) ternyata juga bisa dilakukan.
Seorang komunikolog dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Dr. Engkus Kuswarno M.S., mengungkapkan sebuah penelitian ilmiah di Jepang yang menggunakan paradigma empiris, dengan perspektif fenomenologi. Hasil penelitian menyebutkan, meminum air mineral yang sebelum air itu diminum terlebih dahulu diajak ”ngomong”, dengan minum air mineral yang sebelumnya tidak diajak ”ngomong”, memberikan efek manfaat yang berbeda.
Air mineral yang sebelum diminum diajak ”ngomong” lebih dahulu, ternyata memberi efek lebih segar dan menyehatkan. Sebaliknya, air mineral yang ketika akan diminum tak pernah diajak ”berkomunikasi”, mempunyai rasa yang biasa dan efek segarnya standar, alih-alih menyehatkan. Sekilas, tak masuk akal. Akan tetapi, yang patut diperhatikan dari penelitian ini adalah Jepang merupakan sebuah negara yang sangat kuat tradisi ilmiahnya.
Hasil penelitian tersebut memang tidak bisa dijadikan sebagai sebuah generalisasi, karena pendekatannya kualitatif-antipositivistik (interpretif), sehingga hanya menjadi ideografik, bukan general/universal atau nomotetik, sebagaimana yang diajarkan dalam tradisi-tradisi kuantitatif-positivistik. Tetapi, hal ini setidaknya menjadi sebuah kajian atau setidaknya wacana baru dalam ranah konvensional objek materia sebuah ilmu.
Masih tidak percaya lagi? Penulis mempunyai seorang teman yang menyukai tanaman bonsai. Dia melakukan dua pendekatan berbeda dalam menghadapi bonsai-bonsainya.
Pada bonsai satu, dia memperlakukannya dengan akrab, layaknya seorang teman, bahkan mungkin lebih, layaknya seorang istri. Bonsai ini diajak ”ngomong”, dibelai, disayang, bahkan juga ”dicium”. Sedangkan bonsai yang kedua, dibiarkan, hanya disiram, tanpa diajak berkomunikasi dengan mesra. Hasilnya? Terlepas secara teknis, bonsai yang sering diajak ”ngomong” tumbuhnya lebih bagus, daunnya lebih lebat, dan tekstur batangnya pun lebih gemuk.
Masih kurang percaya? Seorang karyawan Perhutani KPH Cepu bercerita, dia pernah disambati oleh seorang temannya mengenai pohon mangganya yang tak pernah berbuah, meski usianya sudah waktunya berbuah. Hingga suatu saat, dia mencoba mengajak pohon mangga itu berkomunikasi. Setiap mau pergi, kawan ini mengajak ngomong pohon itu.
”Sayang, saya pergi dulu yaa, muuah.”
Dia berkata demikian, sembari membelaikan tangannya pada pohon mangga itu. Pun saat pulang, dia ”salami” pohon mangga itu, layaknya manusia yang lama tak pernah bertemu.
Dan Anda tahu bagaimana dampaknya? Selang beberapa bulan kemudian, pohon mangga tersebut berbuah. Buahnya pun besar-besar. Teman karyawan Perhutani itu sampai heran, bagaimana bisa pohon yang sudah bertahun-tahun tak berbuah itu, akhirnya berbuah juga.
Apa hubungannya dengan tiga cerita fakta di atas? Bahwa, selain kita memertimbangkan empat aspek konservasi dalam gerakan penanaman pohon, hal lain yang juga tidak kalah pentingnya bagi kita adalah bagaimana perlakuan kita dalam merawat pohon yang sudah kita tanam. Sebab, biar bagaimanapun, pohon adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan, yang juga mempunyai ”nyawa” dan ”perasaan”.
Pohon dan tanaman dikatakan sebagai makhluk hidup, karena dia juga tumbuh (bersemi). Sama halnya dengan makhluk hidup yang lain, selama ia (sengaja tidak disebut dia) kita sayang, ia akan memberikan respons yang baik kepada kita. Bentuk respons dan terima kasihnya adalah ia akan tumbuh dengan ”sehat” dan ”berbuah” sebagaimana yang kita inginkan. Sebab, hakikinya menanam pohon adalah menanam kehidupan. Anda tidak percaya? Buktikanlah sendiri. (*)

Bawah Titian, 31 Desember 2010

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Edisi 2 Januari 2011 Halaman 30