Thursday, March 3, 2011

Rejuvenasi Nilai-Nilai Pancasila, Dari Kontrak Sosial Menuju Visi Bangsa

Judul Buku:
Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa

Penulis:
As`ad Said Ali

Penerbit:
Pustaka LP3ES Indonesia

Edisi:
Cetakan Ketiga, Juni 2010

Tebal:
xxxii + 340

BAGI masyarakat yang berusia di atas 30 tahun, mungkin tak terlalu asing dengan istilah Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Istilah itu sedemikian akrab karena kita pernah mengalami langsung fase, dimana Pancasila ditafsirkan secara tunggal oleh penguasa sebagai ideologi negara yang harus didoktrinkan kepada segenap warga negara.
Namun, pelan tetapi pasti indoktrinasi Pancasila melalui ”ritual” P4 mulai dipertanyakan, seiring tumbangnya rezim despotik Orde Baru di bawah kendali Soeharto, serta terbitnya fajar Reformasi. Penafsiran tunggal lima sila Pancasila semakin dianggap tidak relevan, karena tidak jarang diwarnai dengan aksi-aksi represif. Akan tetapi, seperti ada sebuah konsekuensi lain dari terbukanya kran kebebasan dalam era Reformasi. Masyarakat tak lagi mengenal, alih-alih memahami, Pancasila yang sudah kadung dianggap sebagai dasar negara oleh para pendiri republik ini (founding fathers). Meski, di sisi lain, masyarakat masih menginginkan Pancasila sebagai landasan formal negara, daripada negara Islam.
Hasil survei nasional bertajuk Islam dan Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada 2007 menunjukkan gejala di atas. Bahwa, bahwa mayoritas responden (84,7 %) lebih mendukung NKRI dan Pancasila ketimbang beraspirasi negeri Islam (22,8 %). Hasil ini memperkuat survei yang diadakan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 2006, yakni 69,6 % responden masih mengidealkan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila, 11,5 % menginginkan seperti negara Islam, dan hanya 3,5 % menginginkan Indonesia seperti negara demokrasi Barat. (halm. 1)
Namun, yang menjadi masalah dan perlu direnungkan oleh semua pihak adalah hasil dari survei yang dilakukan harian Kompas, dan dirilis pada 1 Juni 2008 lalu. Hasil dari survei memperlihatkan, pengetahuan masyarakat mengenai Pancasila merosot tajam. Sebanyak 48,4 % responden berusia 17-29 tahun tidak bisa menyebutkan sila-sila Pancasila secara benar dan mengkap. Sebanyak 42,7 % responden berusia 30-45 tahun salah menyebut sila-sila Pancasila, dan responden berusia 46 tahun ke atas lebih parah, yakni 60,6 % salah menyebutkan kelima sila Pancasila. (halm. 2)
Problem di atas membuat banyak pihak, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertanya-tanya. Apakah Pancasila sebagai dasar negara sudah dilupakan dan ditinggalkan? Apakah arah perjalanan bangsa ini menyimpang? Apakah kehidupan bernegara kita sekarang ini tidak kokoh? Apakah ekses dari reformasi dan demokratisasi terlalu besar dan mahal? Dan apa yang kita harapkan dari Pancasila dalam menjawab tantangan bangsa dan tantangan global yang kian besar dewasa ini? (halm. 4)
Semenjak rezim Orde Baru tumbang, seiring menyingsingnya fajar Reformasi, kalangan akademisi mulai gelisah. Mereka berkesimpulan salah satu sebab mengapa Pancasila sulit diterima masyarakat adalah, karena pemaksaan pemaknaan dan penafsiran tunggal rezim Orde Baru terhadap kelima sila Pancasila. Karena itu, diperlukan suaatu pemahaman baru terhadap Pancasila, tapi dengan tetap tanpa mengubah substansi dasar sila-sila Pancasila. Beberapa tahun setelah orde Reformasi bergulir, muncullah sejumlah wacana rejuvenasi (peremajaan kembali) Pancasila. Pertama, wacana tentang Pancasila sebagai kontrak sosial dan bukan sebagai ideologi. Sebab, Pancasila adalah norma-norma yang disepakati bersama sebagai dasar kehidupan sosial dan kenegaraan Indonesia merdeka. Posisinya, setara dengan Marna Charta Inggris atau Bill of Right Amerika Serikat. Sebagai kontrak sosial, Pancasila tidak mungkin diubah, karena mengubah Pancasila berarti seperti halnya mengubah negara. Karena diletakkan sebagai kontrak sosial, Pancasila tidak mungkin berbenturan dengan ideologi-ideologi atau pandangan dunia manapun, baik yang bersifat sekuler maupun keagamaan. Pengusung gagasan itu adalah Ong Hok Am dan Andi Achdian.
Kedua, wacana Pancasila sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila adalah suatu identitas kebangsaan dan keindonesiaan atau ciri kultural masyarakat Indonesia atas dasar mana negara Indonesia dibentuk. Nilai-nilai yang dikandung oleh Pancasila, dianggap sebagai perangkai nilai yang mampu menjadi perekat sosial, sekaligus preferensi ideal yang harus dipelihara dan diperjuangkan di bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Pancasila dapat berfungsi secara efektif sebagai perekat keberagaman masyarakat Indonesia. Tapi, fungsi tersebut akan hilang tatkala Pancasila diubah menjadi ideologi negara. Wacana ini diusung Mochtar Pabotinggi.
Ketiga, wacana mengenai Pancasila sebagai visi bangsa dan negara. Pancasila merupakan cita-cita dan harapan yang hendak diraih oleh bangsa ini, bukan kondisi faktual sekarang. Pancasila ibarat kompas yang membantu menunjuk arah kemana bangsa dan negara harus meluruskan langkah dan perjuangannya. Penggagas wacana ini adalah Herry Priyono dan Achmad Fedyani Saifudin.
Keempat, wacana yang meletakkan Pancasila sebagai konsepsi politis ataupun ideologi negara. Ia hanya berlaku di ruang publik atau di dalam domain politik. Pancasila hanya berlaku pada struktur dasar dari kehidupan kenegaraan, yaitu lembaga-lembaga politik, ekonomi, dan sosial sebagai kesatuan skema kerja sama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pengusung gagasan ini adalah Agus Wahyudi, kepala Pusat Studi Pancasila dan dosen Fakultas Filsafat UGM. (halm. 52-55)
Walapun terdapat perbedaan wacana, para ahli sepakat untuk tetap menjadikan Pancasila sebagai dasar kehidupan kenegaraan, dan kebangsaan yang seyogyanya harus disegarkan dan dikontektualisasikan. Selain itu, tidak akan menjadikan Pancasila sebagai doktrin komprehensif yang mengatasi dan menolak ideologi lain. Serta, tak menjadikan Pancasila sebagai kebenaran tunggal, monointerpretasi dan justifikasi otoritarianisme negara yang sebagaimana selama ini dipraktikkan oleh rezim Orde Baru.
Dari berbagai pandangan di atas, dan menyikapi krisis pemahaman terhadap Pancasila sebagaimana hasil survei di atas, para akademisi dan penulis buku ini memandang perlu ada penyegaran pemahaman terhadap Pancasila. Pertama, Pancasila harus dimaknai sebagai kehadiran suatu karakter ”masyarakat Indonesia” yang harus diterima dengan apa adanya. Masyarakat Indonesia yang dimaksud disini adalah keragaman suku, agama, adat isitiadat, dan nilai-nilai kultural lainnya.
Kedua, Pancasila harus dipahami sebagai konsensus dasar kebangsaan, serta kenegaraan, karena pada hakikatnya Pancasila adalah milik bersama. Semua elemen bangsa berhak mengembangkan dan memperkaya semangat dan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Tafsir dan pengembangan semangat Pancasila tak boleh dimonopoli segelintir orang atau golongan tertentu, sebagaimana yang dilakukan Orde Baru. Sebab, sejarah telah membuktikan, setiap ada upaya monopoli penafsiran teks Pancasila, akan selalu muncul resistensi dan perlawanan dari rakyat.
Ketiga, Pancasila berisi norma-norma abstrak yang mengandung dimensial universalitas, sekaligus partikular. Norma-norma tersebut telah menjadi identitas normatif masyarakat Indonesia. Disitu terkandung visi masa depan bangsa. Akan tetapi, untuk menjabarkan visi yang rumusannya masih abstrak dan kurang operasional ini, tentu sangat tergantung dengan konteks zaman. Singkat kata, proposisi-proposisi itu menjelaskan adanya sebuah tafsir fungsi Pancasila sebagai dasar negara, konsensus dasar, identitas kultural, dan visi bangsa, yang saling mengait satu dengan lainnya. Tafsir inilah yang diperlukan untuk era sekarang ini, era dimana demokrasi, toleransi, transparansi, dan akuntabilitas publik telah menjadi tuntutan zaman.
Karena itu, buku ini menarik untuk dijadikan sebagai referensi para pengambil kebijakan, pengajar PPkn, sekaligus pegiat sosial dalam menjalin relasi (hubungan) sosial. Buku ini, sebagaimana dikatakan KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam pengantar buku tersebut, dapat menghidupkan kembali Pancasila. Sebab, buku yang relatif tebal ini, tidak hanya merunut dari awal terumuskannya Pancasila hingga perjalanannya melalui Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno; Orde Baru-nya Soeharto; sampai dengan zaman Reformasi saat ini, tetapi juga mencoba meyakinkan akan pentingnya, bahkan semakin pentingnya Pancasila dewasa ini, untuk menghadapi tantangan global. (*)

Bawah Titian, 19 Februari 2011

*) Tayang di Majalah GEMA, Edisi 05/Th II/Jan-Feb/2011

OMS dan Urgensi Fund Rising

ADA pertanyaan yang menarik manakala kita berdiskusi tentang fund rising. Benarkah lembaga swadaya masyarakat (LSM) kalah bersaing dengan organisasi kemasyarakatan (Ormas) maupun organisasi kepemudaan (OKP)? Untuk menjawabnya, tidak mudah. Butuh argumentasi yang tidak saja panjang, tetapi juga komprehensif. Baiklah, penulis ingin mengawali tulisan ini dengan mencari dulu perbedaan OMS (saya lebih senang menyebutnya demikian daripada LSM), dengan Ormas. Sebab, dengan menelusuri akar masalahnya terlebih dahulu, kita bisa membedakan kenapa gerakan dua lembaga itu tidak sama. Sehingga, pada akhirnya dapat diketahui kenapa fund rising ormas cenderung lebih berhasil daripada badan usaha yang dibangun oleh OMS.

Ideologisasi Ormas
Diskusi ontologi mengenai hakikat dan substansi kedua institusi ini penting ditekankan, karena hakikinya antara ormas dan OMS memang beda, meski dalam titik-titik tertentu dapat dicari benang merahnya. Berdasar basis anggota atau massa, setidaknya menurut penulis, ada perbedaan yang cukup signifikan antara ormas atau OKP dan OMS. Ormas cenderung mempunyai basis massa yang lebih ”jelas” dan ”riil” dibandingkan dengan OMS. Kejelasan dan keriilan basis ormas/OKP ini, dikarenakan beberapa faktor. Selain ideologis dan hierarki/strukturalisasi, historisitas (kesejarahan) terhadap lahirnya sebuah ormas juga dapat mempengaruhi masifitas dan loyalitas (fanatisme sempit?) sekelompok anggota terhadap ormas yang diikutinya.
Sebagai contoh, ormas semacam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, mungkin lebih mempunyai massa anggota yang lebih ”riil” dan ”jelas” dibandingkan, misalnya dengan OMS tertentu. Massa NU dan Muhammadiyah dalam hal-hal tertentu lebih solid, karena mereka diikat sebuah buhul yang disebut ideologi (garis perjuangan). Ideologi ini pada akhirnya memunculkan energi yang terejawantahkan dalam sebuah, meminjam term Max Weber, tindakan sosial dalam realitas sistem sosial. Realisasi dari ideologi ini pada akhirnya pula menciptakan militansi, yang dalam proses tertentu melahirkan kesadaran untuk memberikan sesuatu (baca: sumbangsih, dedikasi) kepada ormas yang diikutinya.
Sehingga, menjadi tidak mengherankan kalau kemudian anggota ormas/persyarikatan Muhammadiyah rela menyisihkan sebagian hartanya untuk dihibahkan kepada organisasi, yang kemudian dikelola menjadi fund rising (badan usaha) seperti SPBU ataupun rumah sakit, untuk menghidupi operasionalisasi organisasi. Demikian pula halnya dengan NU, karena terpaan ideologisasi dan nilai-nilai organisasi, massanya menjadi militan dan pada akhirnya terdorong untuk melakukan tindakan sosial. Tindakan tersebut terejawantahkan dalam amal usaha seperti rumah sakit, lembaga pendidikan, atau usaha ekonomi lainnya, untuk kesinambungan organisasi.
Selain ideologisasi, faktor lain yang mendorong massa organisasi dengan rela, selain juga dibungkus dengan kerja-kerja profesional, militan dalam mengembangkan amal usaha itu adalah adanya hirarki yang jelas atau struktural. Meskipun juga, dalam titik-titik tertentu struktural organisasi belum tentu menjadi faktor yang dominan dalam terwujudnya suatu badan usaha.
Artinya begini, dengan adanya jaringan hierarki dari daerah hingga pusat, secara tidak langsung menjadi modal sosial ormas tersebut. Sebagai contoh, hal-hal yang tak mampu
dijalankan ormas di kota A atau kabupaten B dalam mengembangkan badan usaha, dapat
ditopang atau dibantu dengan kelebihan-kelebihan yang sudah dimiliki ormas tertentu di kota C, misalnya. Relasi organisasi ini hanya dapat dilakukan, sepanjang ada hubungan hirarki, ideologi, dan kesamaan kesejarahan. Faktor-faktor inilah yang menurut penulis, pada akhirnya mendorong massa organisasi mau dan rela (?) mengembangkan fund rising demi sustainabilitas kerja-kerja organisasi.

Massa Cair OMS
Bagaimana dengan OMS? Mari mengukurnya dengan empat hal di atas ideologi, hierarki, basis massa, dan historisitas. Dari sisi ideologi, kalau kita mau jujur, tidak banyak jumlah OMS yang mempunyai ideologi yang ”jelas” dan tegas. Sebagian besar OMS (untuk tidak sebagai justifikasi) lebih berorientasi pada hal-hal yang bersifat pragmatis, alih-alih filosofis.
Padahal, bila mengacu paradigma awal kenapa sebuah sistem sosial membutuhkan peran dan fungsi OMS adalah demi terciptanya sebuah pranata sosial yang tangguh dan solid. Ada banyak paradigma yang selama ini dikembangkan NGO yaitu selain CO (community organizer), CD (comunity development) dan sublimasi (perpaduan) kedua paradigma tersebut, CO-CD. Pertanyaannya adalah apakah konsepsi itu sudah benar-benar tegas dipilih oleh sebuah OMS untuk menjadi sebuah landasan ideologis dalam menjalankan aktifitasnya, baik isu pendidikan, ekonomi, lingkungan, politik, dan lainnya? Rasanya, kalau kita mau jujur mengakui, belum benar-benar dilakukan.
Akibat ketidakjelasan kelamin ideologis inilah yang pada akhirnya menyumirkan gerakan OMS untuk memperteguh dan merealisasikannya dalam sebuah mandat sosial (social mandatory). Ketidakjelasan ideologis ini pada akhirnya juga menyebabkan basis massa sebuah NGO menjadi cair, tidak terikat utuh dan berkelindan dalam sebuah tata nilai yang dibangun melalui sandaran ideologis.
Kalaupun ada basis massa, kebanyakan sifatnya hanya berupa dampingan, namun tidak mempunyai ikatan ideologis yang kuat dan mengikat. Kalaupun ada keterikatan, hal itu hanya berhubungan dengan program-program yang sedang dijalankan dan sifatnya hanya tentatif-temporal. Sehingga, menjadi tidak mengherankan kalau kemudian OMS (untuk tidak mengatakan semuanya) sulit untuk merealisasikan sebuah fund rising lembaganya, untuk menunjang operasionalisasi OMS dalam mengemban dan menjalankan amanat dari mandat sosial yang disandangnya.
Di sisi lain, hierarki OMS juga tidak terlalu tampak, dan bahkan sangat jarang. Kalaupun ada hubungan antara OMS satu dengan lainnya, hal itu lebih bersifat pada jejaring sosial (social network) yang tidak diikat dalam satu komitmen tertentu yang massif. Jejaring itu lebih bersifat membangun solidaritas, dan adanya suatu kesamaan isu bangunan gerakan. Bahkan, dalam titik-titik tertentu jaringan tersebut berpotensi menjadi batu sandungan dan kompetitor, saat menyuarakan kepentingan yang tidak berbeda. Faktor-faktor inilah yang menurut penulis, yang pada akhirnya menjadi alibi utama mengapa OMS amat sulit membangun badan usaha.

Kapal Dagang Usaha
Uraian dan analisis peta ormas dan OMS di atas bukan berarti sebagai justifikasi, bahwa OMS tak perlu membuat badan usaha, karena adanya perbedaan basis massa, historisitas, ideologisasi, dan hierarki. Tetapi justru sebaliknya dan sudah seharusnya, hambatan itu dijadikan sebagai tantangan agar OMS memiliki badan usaha agar gerakan-gerakan yang dibangun dapat independen, otonom, dan mengakar.
Sebab faktanya, banyak OMS yang telah mampu membangun badan usaha, sehingga bisa menunjang kerja-kerja sosial lembaganya. Sebut saja LkiS Jogjakarta. LKiS ini awalnya hanya OMS yang mengkhususkan diri pada kajian diskursus/wacana tentang keislaman, demokrasi, agama, dan sosial. Dalam perkembangannya, LKiS mampu membangun suatu fund rising melalui penerbitan yang komersil. Sehingga, pada akhirnya LKiS juga dikenal sebagai penerbit buku yang menerbitkan buku-buku berkualitas. Hal sama dilakukan oleh LP3ES. Selain sebagai lembaga kajian dan riset ilmiah, kini LP3ES juga dikenal sebagai penerbit buku-buku berkualitas.
Dalam merintis fund rising atau badan usaha, ada dua model, dari beberapa langkah yang bisa dilakukan OMS di Bojonegoro dan sekitarnya. Pertama, dengan mendirikan ”kapal dagang” yang irama gerakannya mungkin berbeda dengan paradigma atau garis gerakan OMS yang mengindukinya. Kapal dagang OMS ini dapat berorientasi pada sisi komersil dan profit, tetapi tetap mengedepankan paradigma OMS yang menjunjung tinggi nilai-nilai transparansi, demokrasi, dan akuntabilitas dalam praksisnya.
Kedua, badan usaha OMS bisa dibangun dengan melakukan kerja-kerja konsultatif yang tidak jauh-jauh dari nilai-nilai gerakan yang dibangun OMS dimaksud. Misalnya, OMS di bidang pendidikan, bisa saja mendirikan badan usaha yang mengarah pada pelatihan-pelatihan yang mengarah pada capacity building (penguatan kapasitas). Tetapi, model ini dibangun dalam kerangka komersil dan profit. Menurut penulis, model ini lebih elegan, daripada membuat badan usaha melalui kerja-kerja politik-pragmatis yang justru sangat kontraproduktif dengan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Di luar dua model di atas, peran pemda dalam memfasilitasi agar OMS tidak bergantung dan terlalu ”menyusu” pada APBD mutlak dilakukan. Selain bisa dilakukan dengan cara menyelenggarakan pelatihan entrepreneurship yang dapat membuka cakrawala baru bagi pegiat OMS, pemda juga bisa memberikan akses yang luas kepada OMS untuk berkiprah di ranah praksis. Namun, semua itu harus tetap dibingkai dalam ranah-ranah transparan, akuntabel, dan demokratis. (*)

Bawah Titian, 18 Februari 2011

*) Tayang di Majalah GEMA, Edisi 05/Th II/Jan-Feb/2011