Thursday, September 1, 2011

Membela Kepentingan Petani

HAL terpenting yang perlu direnungkan bersama sebagai bahan evaluasi sekaligus juga refleksi dalam memperingati Hari Petani pada September adalah sudahkah negara memberikan proteksi yang menyeluruh kepada kehidupan petani. Apabila pertanyaan tersebut diajukan kepada petani secara langsung, niscaya akan didapati jawaban: tidak ada. Bukan bermaksud pesimis dan tidak percaya (apatis) terhadap apa yang selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah, faktanya nasib petani dari masa ke masa, dari tahun ke tahun, tidak pernah beranjak dari jurang kesengsaraan, kenestapaan. Betapa potret petani secara keseluruhan dan kemiskinan bagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Sebagai contoh, dalam beberapa waktu terakhir, di Bojonegoro berita yang menceritakan tentang derita petani, nyaris tidak pernah habis. Saat memasuki masa panen beberapa waktu lalu, ribuan petani di Bojonegoro mengeluhkan tentang ketiadaan harapan pada lahan padi mereka, karena ludes diserang hama wereng. Serangan hama wereng yang menyerang nyaris seperti pagebluk, yang mengganas dan meranggasi semua tanaman padi petani, nyaris seperti tidak tersisa. Petani mengalami gagal panen alias puso. Ribuan hektare lahan pertanian tidak bisa dipanen.
Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Di saat kerugian sudah berada di ambang mata, petani tetap saja menjadi pihak yang selalu dikalahkan dan tidak berdaya. Seolah tidak mau disalahkan, pemerintah dengan enteng mengatakan gagal panen atau pagebluk pertanian di banyak daerah, termasuk di Bojonegoro, kebanyakan disebabkan petani enggan menuruti saran dan masukan dari PPL (pegawai penyuluh lapangan) Dinas Pertanian mengenai pengaturan pola tanam pada sawahnya.
Alibi pemerintah, masa yang seharusnya digunakan untuk menanam tanaman palawija, oleh para petani masih diabaikan. Para petani justru menanam padi. Padahal, mengacu rumus teknis dalam pertanian, dengan menanam palawija maka siklus perkembangan hama (khususnya wereng) akan terputus. Akan tetapi karena tetap ditanami padi, hama wereng tetap subur berkembang hingga menjadi ancaman yang menebar teror dan kemiskinan yang berkepanjangan.
Memang secara sekilas seolah petani salah dalam tragedi pertanian ini. Akan tetapi jika diteliti lebih jauh, sebenarnya petani tidak melulu salah. Persoalannya, adalah sejauh ini pemerintah tak terlalu banyak memberikan penjelasan secara detail kepada petani mengenai kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut. Kalaupun dilakukan, sejauh ini tidak dijadikan sebagai gerakan yang menyeluruh dan dengan metode yang mudah dipahami oleh petani, sehingga akan menjadi perhatian tersendiri bagi petani. Yang terjadi, petani menanggung sendiri beban kerugian itu.
Persoalan di atas hanyalah satu di antara banyak problem yang melingkupi petani dan dunia pertanian itu sendiri. Di luar gagal panen dan serangan hama wereng, problem klasik lain yang acap melingkupi petani adalah persoalan distribusi pupuk yang hampir selalu fluktuatif, dan bahkan terkesan hanya menjadikan petani sebagai komoditas kapitalisasi ekonomi.
Persoalan lainnya adalah harga hasil panen yang nyaris selalu anjlok dari tahun ke tahun, hingga minimnya kebijakan yang pro petani, semisal proteksi ketat terhadap komoditas beras impor, gula impor, dan lain sebagainya yang akan mengancam kelangsungan produk lokal. Benar bahwa sekarang adalah era perdagangan bebas yang memungkinkan setiap negara untuk masuk dan bebas melakukan perdagangan.
Akan tetapi, disinilah justru peran negara mutlak dibutuhkan oleh petani dengan cara melakukan proteksi ketat komoditas yang masuk, sekaligus menerapkan kebijakan yang benar-benar pro dan membela kepentingan petani. Keterlibatan negara, termasuk pemerintah daerah untuk memberi proteksi terhadap petani dan produk-produksnya juga merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk memberi jaminan keselamatan dan kesejahteraan terhadap rakyatnya, sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 1945. Belum lagi problem semakin menipisnya lahan pertanian di Bojonegoro yang sebenarnya juga membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, karena hal ini menyangkut sentral produksi ketahanan pangan.
Kita semua tentu tidak ingin petani selalu menjadi tumbal kemajuan dan perkembangan pesat dari sebuah negara. Sebab, jika petani sampai melakukan perlawanan dengan cara mereka sendiri, misalnya melakukan pembangkangan sipil atau boikot tanam, tidak bisa dibayangkan betapa dahsyatnya dampaknya. Karena, sejatinya merekalah sebenarnya tulang punggung perekonomian nasional. Sekali mereka bergeliat dan melawan, maka stabilitas ketahanan pangan nasional akan benar-benar terancam. Tentu kita tidak ingin bukan? Sekaranglah saatnya membela secara konsisten kepentingan petani, kepentingan tulang punggung bangsa. [*]

Local Content

COBALAH sesekali mendengar dengan seksama dan serius apa saja yang menjadi rasan-rasan di kalangan petinggi Pemkab Bojonegoro dan DPRD Bojonegoro saat ditanya apa pendapat mereka mengenai keberadaan minyak bumi dan gas (migas) di Bojonegoro? Jamak diketahui, jawaban yang muncul adalah bagaimana mengoptimalkan peran serta pemerintah daerah, wabil khusus masyarakat Bojonegoro, dalam mendayagunakan migas untuk kemakmuran rakyat.
Kalau ingin mendapat jawaban yang lebih mengerucut, pasanglah telinga, dan buka mata, serta sadap apa yang dimaui masyarakat yang dekat dengan lokasi migas nun di kawasan Kecamatan Ngasem dan Kalitidu, tempat ladang migas tersebut bersemayam: Blok Cepu. Jawaban yang mengemuka ke permukaan niscaya adalah seberapa besar kalangan lokal (local content) dilibatkan dalam pengelolaan migas.
Nyaris seragamnya koor urgensi local content agar dilibatkan dalam proses pengelolaan minyak hampir seperti suara dan nyanyian sumbang, di tengah gegap gempita penyiapan lima megaproyek (EPC) untuk menunjang produksi puncak minyak dari Blok Cepu yang diproyeksikan bakal berlangsung pada 2013 mendatang. Seolah, hembusan local content seperti menjadi daya dorong yang membangun kekompakan untuk menyuarakan bentuk-bentuk ketidakadilan yang selama ini dirasakan Bojonegoro.
Rasanya, tidak terlalu penting untuk mengetahui siapa pihak yang menghembuskan isu pentingnya local content terlibat dalam proses-proses pembangunan yang berhubungan dengan persiapan produksi puncak Blok Cepu. Kesepahaman dan keseragaman untuk menyerukan pentingnya local content, harus disikapi secara arif, sebagai sebuah sikap kritis masyarakat yang selama ini masih melihat adanya bentuk ketimpangan, untuk tidak mengatakan adanya ketidakadilan, dalam pengelolaan migas.
Rasanya, masyarakat sudah tahu bahwa besaran dana coorporate social responsibility (CSR/tanggung jawab sosial perusahaan) yang diberikan operator minyak sejak 2006 hingga sekarang yang ”hanya” Rp 21 miliar ini, masih cukup kecil apabila dibandingkan dengan potensi kerusakan lingkungan, kultur, sosial politik, ekonomi, dan juga mentalitas masyarakat untuk masa depan generasi mendatang.
Sebagian besar masyarakat Bojonegoro juga telah merasakan bagaimana terjadinya suatu
disparitas penerimaan pajak. Hingga sekarang ini, pajak yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro terhadap keberadaan investor pengelola kilang mini (mini refinery) yang mengolah minyak mentah dari Blok Cepu menjadi minyak jadi, teramat minim. Hanya seratus juta lebih sedikit. Itupun hanya untuk pajak bumi dan bangunan (PBB). Padahal, aset, nilai konstruksi, dan manfaat kilang mini tersebut hingga mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Kemana larinya? Ke pusat.
Dari sisi penerapan regulasi pajak juga tidak berpihak. Selama ini, pembayaran pajak untuk bangunan EPF (early production fasilities) yang terletak di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban hanya mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP), yang berada pada kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu per meter persegi. Hal ini kontradiktif, karena nilai aset dari EPF mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Idealnya, pembayaran pajak EPF mengacu pada taksiran validasi harga kekinian. Apabila hanya mengacu NJOP, dengan mengatasnamakan regulasi, tentu Bojonegoro amat dirugikan. Sementara, segala dampak negatif yang ditimbulkan akan ditanggung Bojonegoro. Baik di masa sekarang, lebih-lebih di masa mendatang.
Belum lagi kalau bicara bentuk-bentuk ketidakadilan lain yang diterima oleh Bojonegoro. Sebut saja, soal lifting minyak, apakah selama ini pemerintah daerah diberitahu? Apakah benar-benar sebesar 25 ribu barel per hari, sebagaimana yang disuarakan selama ini? Siapa yang menjamin bahwa klaim itu benar, toh juga pemerintahan daerah (Pemkab dan DPRD) tidak pernah diberi data pembanding oleh BP Migas maupun operator. Rasanya memang ada semacam sesuatu yang tidak boleh diketahui, meskipun negeri ini sudah memiliki Undang-Undang tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP).
Belum lagi kalau bicara soal bagi hasil participating interest (PI/penyertaan modal), dana bagi hasil (DBH) minyak, maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan pengadaan atau pembuatan infrastruktur penunjang eksploitasi Blok Cepu di luar kaki bor yang ada kesan dipersulit. Rasanya, tidak salah kalau kemudian local content menjadi nyanyian koor yang disuarakan oleh berbagai pihak. Karena, local content adalah kulminasi dari semua bentuk ketidakadilan itu sendiri. [*]

Menggugat Ketidakadilan Migas

KISAH negeri yang memiliki kandungan minyak melimpah belum tentu menjadikan negeri tersebut kaya, makmur, dan sejahtera ada benarnya. Blok Cepu, yang 90 persen wilayah operasinya masuk di Kabupaten Bojonegoro, menyimpan kekayaan minyak luar biasa. Dari sekitar 40 sumur yang dikerjakan ExxonMobil melalui anak perusahaannya, Mobil Cepu Limited (MCL), dan Pertamina, diperkirakan mengandung 600 juta barel minyak, dan gas 1,7 triliun hingga 2 triliun kaki kubik (TCF). Di lapangan, diperkirakan Blok Cepu menyimpan kandungan minyak 250 juta barel. Pada kondisi puncak (2013), operator akan mampu memproduksi minyak 250.000 barel per hari atau setara dengan 20 persen produksi minyak Indonesia saat ini (Gatra, 25 Maret 2006, lihat juga Tempo, 2 April 2006).
Faktanya, kondisi yang dirasakan oleh Kabupaten Bojonegoro, tak seindah dalam angan-angan. Bahkan bisa dibilang suatu ironis. Alih-alih kesejahteraan, Kabupaten Bojonegoro justru mengalami ketidakdilan dalam pengelolaan minyak, khususnya di luar ranah bagi hasil minyak. Setidaknya menurut penulis, ada empat perlakuan tidak adil yang diterima Kabupaten Bojonegoro dalam kaitannya dengan implikasi pengelolaan minyak.
Pertama, minimnya dana coorporate social responsibility (CSR/tanggung jawab sosial perusahaan) yang diberikan oleh operator minyak. Selama MCL beroperasi (sejak 2006 hingga sekarang/lima tahun), dana CSR (dulu community development) yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro ”hanya” Rp 17 miliar. Memang besaran riil dana CSR tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Namun, dalam pasal 15 (b) pada UU yang sama ditegaskan, yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Dalam konteks seimbang inilah besar dana CSR sudah seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Kedua, ada kesan pengadaan/pembuatan infrastruktur penunjang eksploitasi Blok Cepu di luar kaki bor dipersulit. Alotnya pembangunan lapangan terbang (lapter) adalah satu di antara sekian contoh. Padahal, untuk menunjang puncak produksi minyak pada 2013, dibutuhkan lapter terbang untuk memperlancar proses pengiriman minyak. Dari sisi ekonomi, pembangunan lapter juga bisa menghemat dana hingga triliunan rupiah. Jika hal ini bisa dimaksimalkan, akan ada pemasukan yang signifikan bagi Bojonegoro, yang tentu juga merupakan modal untuk kesejahteraan masyarakat.
Di luar lapter, Bojonegoro juga ”dipersulit” dalam pembangunan waduk yang berfungsi sebagai pendingin saat eksploitasi minyak memasuki fase puncak. Padahal, berdasarkan kajian tim Pemkab Bojonegoro, keberadaan waduk penting tak hanya sebagai pendingin, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai stok air untuk pengairan sawah pada saat musim kemarau tiba. Waduk juga dapat digunakan sebagai tempat cadangan untuk menampung air saat debit air di Bengawan Solo berlimpah. Alih-alih usulan pemkab ini disetujui, BP Migas justru mengeluarkan keputusan ”aneh”, yaitu fifty-fifty. Artinya, separo memakai konsep waduk, separo lainnya menggunakan desalinasi (penyulingan air laut menjadi air tawar) yang disalurkan dari laut di wilayah Rembang, Jawa Tengah.
Ketiga, disparitas penerimaan pajak. Hingga saat ini, pajak yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro atas keberadaan PT Tri Wahana Universal (TWU), investor pengelola kilang mini (mini refinery) yang mengolah minyak mentah dari Blok Cepu menjadi minyak jadi, teramat sangat minim. Dalam setahun, PT TWU yang ada di Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, hanya menyetor pajak Rp 130 juta. Itupun hanya untuk pajak bumi dan bangunan (PBB). Padahal, aset, nilai konstruksi, dan manfaat kilang mini tersebut hingga mencapai ratusan miliar rupiah.
Penerimaan pajak tersebut kontradiktif dengan yang ada dalam UU tentang Perpajakan, dimana daerah penghasil harusnya menerima 62 persen dari total penghasilan. Ironisnya, penerimaan pajak (PPN/PPH) terbesar justru diterima oleh Pemprov DKI Jakarta, hanya karena PT TWU kantornya berada di wilayah Jakarta. Hal ini tentu tak adil, karena yang menanggung semua risikonya adalah masyarakat sekitar, dalam hal ini rakyat Kabupaten Bojonegoro.
Keempat, penerapan regulasi yang tidak berpihak. Selama ini, pembayaran pajak untuk bangunan EPF (early production fasilities) yang terletak di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban hanya mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP), yang berada pada kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu per meter persegi. Hal ini kontradiktif, karena nilai aset dari EPF mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Seharusnya, pembayaran pajak EPF mengacu pada taksiran validasi harga kekinian. Apabila hanya mengacu NJOP, dengan mengatasnamakan regulasi, tentu Bojonegoro amat dirugikan. Sementara, segala dampak negatif yang ditimbulkan akan ditanggung oleh Bojonegoro.
Disparitas penerimaan pajak juga akan dialami Kabupaten Bojonegoro, bila lima proyek EP penunjang puncak produksi minyak, hanya mengacu regulasi yang memunculkan satu ketidakadilan bagi daerah. Sebab, semua homebase perusahaan-perusahaan yang menang tender dalam proyek lima EP terletak di Jakarta. Lagi-lagi, Kabupaten Bojonegoro hanya kecipratan, yang dalam konteks tertentu, tentu tidak adil.

Pemerataan Ekonomi
Dalam skala besar kebijakan pemerintah pusat di atas akan mampu menumbuhkan PDRB (product domestic regional bruto). Akan tetapi, sentralisasi kebijakan tersebut tak mampu menciptakan pemerataan ekonomi. Alih-alih pemerataan ekonomi, yang terjadi justru menciptakan kesenjangan kelas ekonomi antara daerah dan pusat. Dibutuhkan sebuah terobosan berani agar daerah potensial tidak lagi menjadi sapi perah, melainkan diberikan kewenangan dalam mengelola keuangannya.
Teori welfare state (negara kesejahteraan) yang selalu merekomendasi betapa pentingnya menumbuhkan potensi masyarakat kreatif yang mandiri, seharusnya menjadi titik pijak pemerintah pusat. Campur tangan pemerintah, yang tampak dalam kebijakan bagi hasil pajak, yang justru menciptakan kesenjangan distribusi bagi hasil sebagaimana dipaparkan di tulisan awal, tidak boleh menjadi tangan-tangan kotor yang justru menjebak rakyat dalam posisi ketergantungan.
Sebab, ada kecenderungan secara politis, bahwa rakyat diciptakan begitu tergantung pada pemerintah yang berkuasa (rezim). Padahal seharusnya, penyelenggaraan pemerintahan modern harus bisa menyeimbangkan perubahan perilaku sosio-ekonomi masyarakat yang berkembang serasi dan selaras dengan perubahan tersebut, tanpa rakyat harus terlempar dari risiko perubahan dan perilaku modern ataupun dari akses-akses ekonomi. Selama hal ini tidak dijalankan oleh pemerintah pusat, jangan harap ketidakadilan dalam pengelolaan migas, dapat hilang. (*)

Blok Lingkar, 10 April 2011

RSI: Dijual atau Dikelola?

Sudah hampir tiga bulan ini perdebatan mengenai mau dibawa kemana Rumah Sakit Internasional (RSI) di Jalan Veteran, Bojonegoro mengemuka di ruang-ruang private dan publik. Keputusan mau diapakan RSI di Jalan Veteran sejauh ini belum menemukan titik singgung yang tepat. Tiga opsi yang ditawarkan, atau lebih tepatnya diajukan Pemkab Bojonegoro kepada DPRD Bojonegoro, sampai detik ini masih gamang, bahkan dapat dikatakan jalan di tempat.
Sejauh ini, DPRD Bojonegoro belum memutuskan untuk mengambil satu opsi atau lebih dari tiga opsi yang diajukan oleh Pemkab Bojonegoro: dikelola sendiri oleh Pemkab Bojonegoro, dikelola bersama pihak ketiga (investor/swasta), atau dijual langsung kepada pihak ketiga. Rupa-rupanya, lembaga legislatif tak mau terjebak dalam ’permainan’ atau ritme yang dimainkan oleh eksekutif dengan pilihan tiga opsi tersebut. Indikasinya, meski permintaan rekomendasi atas tiga opsi tersebut sudah ditawarkan jauh-jauh hari, hingga detik ini belum ada kata sepakat, opsi mana yang diambil.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memilih mana opsi yang paling rasional. Akan tetapi, tulisan ini akan mengkajinya dari berbagai perspektif, sisi, yang selama ini mungkin saja tidak mengemuka di permukaan, ruang-ruang publik. Tulisan ini akan menganalisis persoalan RSI mulai dari aspek politik (peta politik masa lalu dan masa kini), aspek rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW), sisi hukum, sisi analisis mengenai dampak lingkungan dan kesehatan, aspek nilai manfaat/guna, hingga dari kacamata pandang kemampuan anggaran daerah.

Nuansa Politik
Kajian dari sisi politik, yang merupakan analisis pertama, penulis mulai dari sebelum Pilkada 2007. Kenapa ini menjadi penting, karena menurut penulis, bermula dari sinilah benang kusut pengelolaan RSI di Jalan Veteran, Bojonegoro, bermula. Sehingga, menjadi kurang komprehensif kalau tidak mengkaji sisi politik, saat melihat persoalan RSI.
Penulis beberapa saat lalu pernah berbincang dengan mantan anggota DPRD Bojonegoro periode 2004-2009. Menurut dia, pengusulan anggaran untuk RSI sebenarnya tidak ada dalam dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja 2006. Padahal, sebagai sebagai sebuah program pembangunan, sudah seharusnya setiap pengeluaran anggaran dari sebuah pemerintahan daerah, diposkan atau ditetapkan dalam dokumen APBD yang kemudian ditetapkan menjadi peraturan daerah (Perda).
Faktanya, tidak seperti itu. Anggaran untuk pembangunan RSI tidak termaktub dalam dokumen APBD. Masih menurut mantan anggota DPRD Bojonegoro periode 2004-2009 tersebut, kalaupun kemudian RSI ini dibangun di Jalan Veteran pada tahun 2006, semua hanya karena berdasar rekomendasi dari komisi B dan komisi D DPRD Bojonegoro yang kemudian diajukan dalam panitia anggaran (Panggar). Oleh Panggar, rekomendasi itu kemudian dilanjutkan dan disetujui agar RSI di Jalan Veteran, dibangun. Dilihat dari proses pengajuan anggaran, dapat dikatakan bahwa proses pengusulan RSI sebagai mal-kebijakan (penyalahgunaan kebijakan). Soal bagaimana implikasi hukumnya, biarlah ranah ini menjadi kewenengan aparat hukum.
Kedua, aspek RT/RW dan hukum. Jika ditelusuri lebih jauh, pembangunan gedung RSI di Jalan Veteran sebenarnya tidak ada dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode 2003-2008, yang merupakan blueprint dari pembangunan suatu daerah. Sebab faktanya, gedung RSI mulai dibangun pada tahun 2006, dan selesai tahun 2007. Tentu menjadi sebuah keanehan bila sebuah program pembangunan tak termaktub dalam RPJMD, tetapi tetap saja dibangun. Dari sisi keilmuan manajemen, pembangunan RSI dapat dikatakan sebagai tidak prosedural, karena tidak didahului dengan usulan di dokumen RPJMD. Sebagai perbandingan sederhana, sebuah organisasi kemasyarakatan saja dalam merealisasikan program kerjanya mengacu pada dokumen yang termaktub dalam rencana strategis (Renstra) dan dokumen rencana kerja (Raker).
Dari sisi studi kelayakan (feasibility study) bangunan RSI, juga patut dipertanyakan. Sebab, umumnya studi kelayakan dilakukan setelah anggaran untuk RSI disahkan. Studi kelayakan juga harus dilakukan enam bulan sebelum sebuah bangunan dilaksanakan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No...... Tahun ..... tentang............, yang menyebutkan bahwa studi kelayakan sebuah bangunan dibuat 6 (enam) bulan sebelum bangunan RSI dikerjakan. Faktanya, studi kelayakan gedung RSI dilaksanakan justru setelah gedung RSI mulai dibangun di Jalan Veteran. Sebuah kejanggalan yang perlu dijadikan bahan perenungan sebelum mengambil keputusan..!
Akibat ketidakjelasan konsepsi dan perencanaan pembangunan gedung RSI di dalam dokumen RPJMD, implikasinya penganggaran untuk RSI pun menjadi tidak terkontrol. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketidaksamaan taksiran harga bangunan RSI saat hendak diaudit Pemkab Bojonegoro. Ketidaksamaan itu bisa dibaca dengan jelas antara taksiran harga bangunan RSI yang dilakukan Manajemen Konstruksi (MK) yang menaksir Rp 89 miliar yang harus dibayarkan Pemkab Bojonegoro kepada kontraktor, tim ITS Surabaya menaksir seharga Rp 100 miliar, dan versi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menaksir Rp 110 miliar. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak mengeluarkan taksiran harga, karena sampai saat ini tidak mau melakukan audit gedung RSI tersebut. Ketidaksamaan taksiran harga ini jelas-jelas menunjukkan adanya dugaan ketidakberesan dalam proses pembangunan RSI.

Amdal dan Kesehatan
Aspek ketiga, yakni dari sisi analisis mengenai dampak lingkungan dan kesehatan atau Amdal dan kesehatan, penentuan lokasi RSI di Jalan Veteran, juga mengundang suatu perdebatan yang tidak sederhana. Sebab, lokasi RSI sangat berdekatan dengan lapangan Sukowati Pad B di Desa Ngampel, Kecamatan Kapas, yang dikelola oleh Joint Operating Body Pertamina PetroChina East Java (JOB P-PEJ).
Penentuan lokasi ini mengundang sebuah tanya, mana yang lebih dulu dibangun, RSI di Jalan Veteran-kah atau lapangan Sukowati Pad B. Dengan tak bermaksud untuk membela siapapun, berdasar catatan penulis, JOB P-PEJ sudah mengajukan izin pelebaran sumur, khususnya lapangan Sukowati Pad B pada 2004, dan kemudian dilanjutkan pembangunan Pad B pada tahun 2005. Sedangkan RSI di Jalan Veteran baru dibangun pada tahun 2006, dan selesai pada tahun 2007.
Jika ditelusuri lebih jauh, penentuan lokasi RSI di Jalan Veteran dilandasi unsur gegabah, karena sebelumnya tidak didasari atau didahului dengan studi kelayakan. Andai sebelum ditentukan tempatnya didahului dengan studi kelayakan, bisa jadi gedung RSI tidak akan ditempatkan di titik yang berdekatan dengan lapangan Sukowati Pad B, karena hampir bisa dipastikan, Pemkab Bojonegoro (pada waktu itu) sudah mempunyai gambaran riil kalau lokasi tersebut akan digunakan untuk Pad B, karena sebelumnya JOB P-PEJ telah mengajukan izin pengembangan sumur, jauh-jauh hari. Namun, apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur, gedung RSI hanya berjarak sekitar 125 meter dari Pad B. Dan siapapun tahu, sumur minyak berpotensi memicu ledakan sebagaimana peristiwa tahun 2005 silam.

Nilai Manfaat dan Kemampuan Daerah
Aspek keempat adalah tinjauan dari nilai manfaat dan kemampuan daerah. Sebagaimana dimaklumi bersama, saat ini kondisi RSUD dr R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro sudah overload. Sehingga, membutuhkan sebuah bangunan RSUD yang lebih luas dan lebih representatif. Akibat overload dan overcapacity, banyak pasien mengeluhkan soal pelayanan yang diberikan pihak RSUD.
Sekalipun saat ini Pemkab Bojonegoro memiliki gedung RSI, tetapi bukan merupakan jawaban kalau kemudian RSUD pindah ke gedung RSI. Ada beberapa faktor yang jadi alasan kenapa penulis menilai tidak mungkin pindah ke RSI. Selain faktor status RSI yang masih rawan bermasalah (dan juga hukum?) sebagaimana alasan-alasan di atas, rasa-rasanya RSI saat ini masih belum merupakan jawaban atas kebutuhan RSUD yang sering mengalami overload.
Mengapa? Sebab, secara faktual dan menilik kondisi sosio-ekonomi dan sosio-kultural warga Bojonegoro adalah kelas menengah dan ke bawah. Kalaupun sekarang ini PDRB (Product Domestic Regional Brutto) Bojonegoro meningkat dibanding tahun lalu, namun dari sisi pertumbuhan ekonomi, bisa saja menggumpal di satu segmen. Sedangkan dari sisi pemerataan ekonomi, Bojonegoro masih tergolong sebagai kabupaten dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi. Sehingga menjadi kurang relevan kalau RSUD disulap menjadi RSI yang tentu di kemudian hari akan menyesuaikan standar-standar paten dari rumah sakit yang berstandar internasional.
Sedangkan kelima, dari sisi kemampuan alokasi anggaran dari daerah, untuk mengoperasionalkan RSI agar sesuai standar, dibutuhkan anggaran sedikitnya Rp 258 miliar pada APBD 2012. Alokasi anggaran itu sifatnya harus langsung, tidak bisa diangsur, mengingat kebutuhan sebuah rumah sakit yang memang satu paket, dan tidak bisa dipisahkan. Pertanyaannya adalah, apakah daerah mampu menganggarkannya tahun depan?
Sebagai perbandingkan, pada APBD 2011 yang total anggarannya sekitar Rp 1,4 triliun, dan juga APBD-APBD tahun sebelumnya, 60 persen anggaran APBD habis digunakan untuk belanja rutin seperti gaji pegawai. Artinya, untuk belanja pembangunan hanya tersisa Rp 38 persen. Itupun masih dibagi-bagi secara merata untuk dana hibah, dana perbaikan infrastruktur dan anggaran penanggulangan bencana. Jika kemudian sisa dana tersebut digunakan atau tersedot untuk RSI, bisa dibayangkan anggaran untuk perbaikan infrastruktur menjadi terkurangi. Karena itu, bisa dimaklumi kalau kemudian para Kades di berbagai wilayah menolak pengoperasian RSI melalui APBD. Artinya, mereka setuju agar RSI dijual kepada pihak ketiga.

Urgensi Tim Appraisal
Dari berbagai reasoning-reasoning di atas, rasanya cukup masuk akal kalau kemudian pilihan atau jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan RSI di Jalan Veteran adalah dengan jalan dijual kepada pihak ketiga, dengan catatan tidak boleh digunakan untuk rumah sakit, mengingat pertimbangan-pertimbangan di atas.
Namun, sebelum penentuan taksiran harga jual RSI dilakukan, sebagai pertimbangan demi menghindari kesalahan dan risiko hukum di kemudian hari, alangkah baiknya bila Pemkab Bojonegoro membentuk Tim Appraisal independen yang disewa khusus untuk menaksir harga jual RSI, sebagaimana dilontarkan oleh Kepala DPPKA Herry Sudjarwo beberapa waktu yang lalu. Meski demikian, prosedur dan proses penjualannya harus dengan transparan, akuntabel, melalui lelang secara terbuka. Proses penjualannya juga harus diawasi dan melibatkan banyak pihak agar jaminan keterbukaannya ada.
Taruhlah misalnya, berdasar taksiran Tim Appraisal independen harga jual RSI adalah Rp 110 miliar, sesuai dengan taksiran BPKP. Dana itu selanjutnya bisa untuk disimpan di Bank Jatim sebagai deposito dengan bunga 50 persen. Bunga itulah yang nantinya bisa digunakan untuk dana tambahan untuk perbaikan infrastruktur daerah yang selama ini masih buruk dan dikeluhkan publik. Atau, bisa juga digunakan untuk biaya dan belanja pembangunan untuk pos lainnya.
Rasanya, dalam menyikapi polemik RSI di Jalan Veteran, harus disikapi dengan arif dan bijaksana oleh semua pihak yang berkepentingan, tidak hanya oleh Pemkab dan DPRD Bojonegoro, dengan menanggalkan semua kepentingan subjektif yang ada, termasuk juga kepentingan politik, dengan melihat pertimbangan-pertimbangan lain yang lebih rasional dan bermanfaat. Andai cara pandang multiaspek dan mulperspektif yang digunakan untuk melihat polemik RSI, rasanya jalan keluar untuk RSI tidak perlu dipolemikkan. (*)

Petani dan Kutukan Kemiskinan

BERBICARA tentang petani dan pertanian Bojonegoro tampaknya tidak bisa dilepaskan dari peta kemiskinan yang nyaris sudah mendarah daging. Ibaratnya, antara petani dan kemiskinan seperti sudah menjadi kutukan yang sulit untuk dilepas dari takdirnya. Pada masa lalu, petani dan kutukan kemiskinan terletak pada keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia (SDM) petani kala itu untuk mengelolanya, sehingga petani selalu terjebak dalam kubangan kemiskinan. Di masa kini, lingkaran kemiskinan tersebut melilit pada ketiadaan, atau setidaknya minimnya akses petani untuk terbebas dari peta kemiskinan melalui serangkaian kebijakan yang pro-poor.
Ihwal kutukan kemiskinan petani di Bojonegoro ini jauh-jauh hari sudah diungkapkan C.L.M. Penders, ilmuwan Department of History University of Queensland, Australia. Dalam penelitian panjangnya yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Bojonegoro 1900-1942: Kisah Kemiskinan Endemik di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur (diterjemahkan dari judul asli Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North-East Java-Indonesia), Penders menjelaskan fakta kemiskinan itu sudah melilit petani Bojonegoro sejak masa lampau.
Menurut Penders (1984:8), dalam literatur kolonial Belanda, daerah Bojonegoro selalu digambarkan sebagai salah satu daerah termiskin dan paling terbelakang di Pulau Jawa. Tanahnya kebanyakan tandus dan hampir tidak ada irigasi atau pekerjaan mitigasi banjir. Di luar lembah-lembah sungai yang subur di distrik Pelem dan Baureno, lahan pertanian Bojonegoro berkualitas buruk dan terdiri atas tanah liat dengan kandungan kapur yang tinggi dan kurang fosfat.
Hujan deras menyebabkan tanah di kawasan ini tergenang, sehingga kekurangan udara dan mengakibatkan pembusukan akar batang padi. Selama musim kemarau tanahnya selalu mengering dan menimbulkan rekahan besar, kadang hingga sedalam 5 meter. Tetapi daerah yang subur di dekat bengawan Solo juga sering menjadi sia-sia terkena banjir selama musim hujan.
Ketergantungan yang hampir mutlak pada kerasnya cuaca ini membuat pertanian di Bojonegoro sebagai sebuah bisnis penuh risiko. Gagal panen dan kelangkaan pangan merupakan hal yang umum terjadi di Bojonegoro. Untuk mengurangi kemungkinan kelaparan yang disebabkan gagal panen, petani di wilayah Bojonegoro sejak dahulu kala (sampai kini) menanam palawija di lahan kering (tegalan) mereka. Mereka menanam tanaman pokok seperti jagung, dan juga tembakau yang dijual di pasar domestik Jawa.

Tergerusnya Lahan Pertanian
Dalam kondisi kekinian, bahkan jauh setelah negeri ini merdeka, proteksi dalam bentuk kebijakan yang membela kepentingan petani masih jauh panggang dari api. Alih-alih bisa memproteksi, fakta yang terjadi lambat laun luas areal pertanian (sawah maupun tegalan) yang sebenarnya merupakan basis mutlak dan fundamental untuk terciptanya ketahanan pangan daerah maupun nasional, terus menyusut, tergerus dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Bojonegoro dalam Angka yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Bojonegoro, pada tahun 1996 luas tanah sawah di Bojonegoro mencapai 76 ribu hektare lebih. Sebagian besar dari lahan tersebut, yakni 61,35 persen, adalah sawah tadah hujan yang hanya dapat ditanami padi lebih dari satu kali dalam setahun. Ini berarti kebijakan untuk mendorong agar pemerintah daerah mampu `menaklukkan` alam yang gersang menjadi kekuatan yang mampu menjadi penopang ketahanan pangan masih belum maksimal dijalankan, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.
Bahkan, kecenderungan tergerusnya lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin tampak di depan mata. Berdasarkan hasil pendataan BPS Bojonegoro yang dituangkan dalam buku Bojonegoro dalam Angka 2004, dibandingkan pada tahun 1996 dengan 2004, luas tanah sawah di Bojonegoro mengalami penyusutan yang cukup signifikan. Pada 1996, luas tanah sawah di Bojonegoro masih mencapai 76 ribu hektare lebih.
Namun, pada 2004 luas tanah sawah di Bojonegoro menjadi 71,44 ribu hektare atau berkurang hingga 5.000 hektare (sekitar 7 persen) daripada delapan tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, hanya 20 persennya sawah dengan pengairan teknis, 8,4 persen sawah setengah teknis, dan sisanya tadah hujan. Tergerusnya lahan sebagian besar karena terkonversi menjadi lahan untuk permukiman, dan pertambangan minyak bumi dan gas (migas).
Jumlah lahan untuk pertanian pada 2004 tersebut terus mengalami penyusutan. Sebab, sejak 2004 hingga kini, sebagian lahan pertanian yang berada di kawasan migas, baik di wilayah Kecamatan Ngasem dan Kalitidu yang masuk Blok Cepu, maupun di wilayah Kecamatan Kapas dan Kota Bojonegoro yang masuk lapangan Sukowati, juga dikonversi menjadi lahan untuk kepentingan industri.
Khusus hingga pertengahan 2011 ini saja lahan pertanian di empat kecamatan tersebut (Ngasem, Kalitidu, Kapas, dan Kota Bojonegoro) yang terkonversi menjadi lahan industri berkurang hingga sekitar 700 hektare. Tidak menutup kemungkinan luas lahan pertanian yang terkonversi tersebut akan semakin meluas, karena pada 2013 Blok Cepu ditargetkan akan mencapai puncak produksi minyak, sehingga membutuhkan lebih banyak lagi lahan yang akan dipergunakan untuk berbagai fasilitas serta sarana dan prasarana yang mampu menunjang masifitas maupun mobilitas produksi migas Blok Cepu.

Regulasi yang Memihak
Mengacu fakta-fakta di atas, di luar untuk kepentingan nasional, dapat dianalisis bahwa salah satu penyebab semakin meluasnya tanah yang dikonversi menjadi lahan industri karena lemahnya proteksi pemerintah dalam mempertahankan sumber produksi untuk ketahanan pangan. Sehingga tidak heran kalau kemudian berita mengenai gagal panen (puso), serangan hama, hingga ancaman krisis pangan menjadi berita-berita utama atau headlines di media massa.
Padahal, dalam penjelasan pasal 14 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria disebutkan, untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan negara, yang termasuk dalam hal ini adalah ketersediaan dan ketahanan pangan.
Planning itu mencakup rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu, maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945.
Sejauh ini, regional planning pemerintah daerah untuk menciptakan stabilitas ketahanan pangan dalam bentuk regulasi masih belum terlalu tampak. Faktanya, kesan yang muncul pemerintah daerah sedemikian mudah memberikan izin kepada pihak-pihak yang ingin mengkonversi lahan pertaniannya menjadi lahan industri, tanpa mempertimbangkan akan dampaknya pada stabilitas ketahanan pangan daerah dan nasional.
Bisa jadi, kita perlu merenungkan sinyalemen Penders (1984:16) bahwa pada tahun 1900, rakyat Bojonegoro mungkin lebih sengsara daripada era tanam paksa selama tahun 1840 an. Karena, perusahaan swasta telah gagal memutus lingkaran setan penderitaan ekonomi di Bojonegoro. Pasca itu, giliran pemerintahan kolonial berpartisipasi aktif dalam urusan ekonomi dan sosial di daerah ini melalui implementasi kebijakan yang disebut politik etik (ethische politiek) yang sangat dipengaruhi pemikiran sosialis sekuler dan religius yang menguasai panggung politik belanda waktu itu. Akankah kini giliran petani Bojonegoro mengalami neo-kutukan kemiskinan melalui perusahaan-perusahaan swasta yang akan dan sedang memproduksi migas? (*)

Ujung Blok Lingkar, 15 Agustus 2011

*) Tayang di Tabloid blokBojonegoro Halaman 18, Edisi: September.2011