Sunday, October 2, 2011

Kunker dan Kepatutan Publik

Kunjungan kerja (kunker) anggota DPRD kembali menjadi agenda yang sering dilakukan anggota wakil rakyat dalam bulan ini, demi tujuan studi banding penerapan keberhasilan kebijakan, dan regulasi yang diterapkan kabupaten, kota, ataupun provinsi lain. Kunker dilakukan tidak sebatas antar kecamatan dalam kabupaten, tetapi juga antar kota dalam provinsi, hingga antar provinsi.
Simak saja kunker yang dilakukan anggota DPRD Tuban. Berdasar surat jadwal agenda DPRD Tuban bernomor 175/346/414.040/2011 disebutkan, dari 23 hari kerja selama bulan September 2011, 17 hari di antaranya atau 70 persen (!) digunakan untuk kunker. Sedangkan enam hari lainnya atau hanya 30 persen digunakan untuk rapat kerja (raker) dan rapat paripurna. (Radar Bojonegoro, 8 September 2011)
Yang lebih membuat masghul lagi adalah yang terjadi di DPRD Bojonegoro baru-baru ini. Rabu (14/9) lalu, sejumlah anggota Komisi C DPRD Subang, Jawa Barat, melakukan studi banding ke DPRD Bojonegoro. Rombongan tamu bermaksud ingin belajar tentang pengelolaan minyak dan gas (migas) di Bojonegoro. Ironisnya, tak ada satupun anggota DPRD Bojonegoro yang menemuinya (!). Tamu ’hanya’ ditemui sekretaris DPRD dan sejumlah kepala satuan kerja pemkab.
Sebab, pada saat bersamaan, tiga komisi DPRD Bojonegoro, yakni A, C, dan D sama-sama kunker ke berbagai daerah. Komisi A ke Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah untuk
belajar tentang pengelolaan dan penataan aset daerah. Kemudian, komisi C baru pulang dari kunker di Kabupaten Magetan untut stuba mengenai pengelolaan sekolah berstandar internasional, sedangkan komisi D ke Kabupaten Pati, Jawa Tengah untuk stuba tentang pembangunan jalan proses kecamatan. (Radar Bojonegoro, 15 September 2011)
Yang menjadi persoalan adalah anggota komisi lain yang tidak ikut kunker, dan berada di tempat tak ikut menemui tamu dari DPRD Subang. Sikap dan penghargaan terhadap tamu yang datang dari jauh-jauh (Subang) terkesan disepelekan, bahkan tidak ada. Fakta-fakta ini seolah semakin menegaskan dan menunjukkan betapa kinerja anggota legislatif nyaris
tidak terorganisir, tidak ter-schedule, dan tak ada pertanggungjawaban publik yang jelas.

Pertanggungjawaban Publik
Secara tata pemerintahan, kemungkinan tidak ada yang salah dengan kunker. Penulis beberapa waktu lalu sempat berdiskusi dengan salah satu anggota DPRD Bojonegoro. Dia bilang, kunker banyak manfaatnya. Dengan kunker, mereka banyak tahu tentang keberhasilan kebijakan kota/kabupaten lain, yang memungkinkan bisa direplikasi di Bojonegoro. Dengan kunker pula, anggota dewan bisa mengadopsi regulasi baru yang telah sukses diterapkan di daerah lain sehingga bisa di-ATM (ambil, tiru, dan modifikasi) di Bojonegoro.
Secara normatif hukum, kunker juga tidak melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, seorang anggota DPRD Bojonegoro pernah membocorkan kepada penulis bahwa, kunker juga mempunyai landasan hukum yang absah dan kuat. Regulasi di tingkat lokal inilah yang selama ini menjadi salah satu acuan dalam menentukan biaya atau besaran dana untuk kunker. Sekali lagi, dalam konstruksi hukum dan pemerintahan, tak ada yang salah dalam kunker.
Hanya, yang menjadi masalah adalah dalam hal kepantasan atau kepatutan publik. Yang jadi pertanyaan adalah apakah pantas dan patut dalam sebulan, 70 persen di antaranya dihabiskan oleh anggota dewan yang terhormat untuk kunker. Menjadi tidak salah kalau kemudian rakyat men-cap bahwa kunker hanya sebatas untuk pelesiran, jalan-jalan, dan menghabiskan anggaran yang dialokasikan oleh APBD masing-masing daerah. Karena faktanya memang jadwal kerja yang dimiliki anggota dewan (contoh kasus Tuban) hanya enam hari atau 30 persen.
Terlebih, hasil dari kunker sejauh ini tidak ada pertanggungjawaban yang jelas. Penulis kok belum pernah mendengar dan melihat, beberapa hari setelah anggota dewan pulang dari kunker mengadakan semacam public hearing, yang disitu dijelaskan hasil-hasil dari kunker, dan intisari yang akan direplikasi di Bojonegoro. Kalaupun anggota dewan tidak mau dituding pelesiran dan menghambur-hamburkan uang, dengan mengatasnamakan kunker, buat saja forum public hearing atau apapun nama medianya, sebagai suatu ruang komunikasi sekaligus bentuk pertanggungjawaban publik (public accountability) kepada elemen-elemen masyarakat.
Rasanya, hal itu jauh lebih bermartabat, bermoral, dan bertanggungjawab di mata pemilik dan pemegang mandat demokrasi: rakyat, daripada berdebat dengan tetap saja meyakini subjektivitas tafsirnya yang benar. John B. Rawls, dalam buku berjudul Theory of Justice (1971) mengatakan, manusia yang bermoral itu ditandai antara lain dengan kemampuan untuk mengerti dan bertindak berdasar keadilan. Konteks keadilan yang dimaksud disini adalah termasuk keadilan dan kepantasan/kepatutan publik. (*)

Ujung Blok Lingkar, 16 September 2011

*) Tayang di Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Edisi 18 September 2011, Halaman 30