Terhitung sejak tanggal 19 Desember 2012 seluruh
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten dan Kota se-Indonesia hampir kelar memverifikasi
faktual terhadap sejumlah partai politik (parpol) calon kontestan Pemilu 2014. Di
Kabupaten Bojonegoro, berdasarkan keputusan rapat pleno KPUK tanggal 19
Desember lalu memastikan PKPB, PKNU, PNR, PBB, PDP, dan PPN lolos verifikasi.
Sedangkan PKIB dan PPRN tidak lolos, masing-masing
karena tidak menyerahkan data tambahan yang diminta KPUK, dan sampling
keanggotaannya tidak memenuhi syarat. Parpol lain yang tak lolos adalah PNBKI.
Partai pimpinan Eros Jarot ini tidak lolos karena sedari awal memang menolak
diverifikasi oleh KPUK.
Praktis, verifikasi untuk parpol berdasarkan
rekomendasi Dewan Kehormatan KPU, hanya menyisakan dua parpol, yakni PDK dan
Partai SRI. Kedua partai tersebut akan diverifikasi lagi hingga batas waktu 28
Desember 2012. Jika semua memenuhi syarat dan ditetapkan oleh KPU,
parpol-parpol yang sudah lolos tahapan verifikasi tambahan, plus 16 parpol yang
lolos verifikasi awal (termasuk partai besar dan baru) akan menjadi kontestan
Pemilu 2014. Penetapan sebagai kontestan Pemilu 2014 akan dilakukan pada awal
tahun 2013 mendatang.
Kelak, pada 2014 mendatang, di tangan parpol lama
dan baru inilah masa depan pemerintahan negeri ini, baik eksekutif maupun legislatif,
ditentukan. Keberadaan parpol baru, tanpa menafikan kontribusi positif maupun
negatif parpol lama, akan memberikan warna dan opsi yang berbeda pada
konstituen rakyat Indonesia.
Masalahnya adalah apakah beragamnya opsi parpol itu
mampu meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap kelembagaan formal
politik. Jika indikator sederhana terejawantahkannya tipikal political society adalah dengan semakin
membaiknya angka partisipasi pemilih, mampukah keberadaan parpol-parpol
tersebut menekan angka golongan putih (golput) yang kian lama juga kian tinggi?
Golput Era
Demokrasi
Ada sisi paradoks dalam perkembangan demokrasi di
Indonesia. Sejak Pemilu digulirkan pascareformasi, angka partisipasi pemilih
lambat laun mengalami penurunan. Semakin terbukanya keran kebebasan dan
meluasnya ruang publik (public sphere)
tidak selamanya berbanding lurus dengan tingginya kepercayaan publik pada
parpol.
Berdasar data dari KPU, pada Pemilu 1999 tingkat
partisipasi rakyat Indonesia menggembirakan, yakni mencapai 93,3 persen. Dengan
kata lain angka golput (tidak menggunakan hak pilih karena berbagai sebab)
“hanya” 6,7 persen. Namun, lama kelamaan angka golput semakin naik. Terbukti,
dalam Pemilu 2004 angka partisipasi turun menjadi 84,9 persen (15,1 persen
golput). Serta, pada Pemilu 2009 tingkat partisipasi merosot menjadi 70,99
persen alias golput mencapai 29,01 persen.
Semakin tingginya angka golput memang tidak
mempengaruhi absah dan tidaknya dalam konteks legal seseorang menjadi anggota
DPR, DPRD Provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota. Yang menjadi masalah hanya
berkaitan dengan legitimasi. Dalam bahasa sederhananya kurang marem. Kian tinggi angka golput
menunjukkan kurang menyeluruhnya penerimaan publik terhadap wakil-wakilnya.
Berbagai penelitian yang dilakukan lembaga
penelitian maupun perguruan tinggi cukup menunjukkan sinyal betapa sebenarnya perilaku
dan kinerja wakil rakyat sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan publik
terhadap parpol. Jangan dikira tidak rasionalnya intensitas kunjungan kerja
(kunker) atau studi banding para wakil rakyat (di Pusat maupun Daerah) tidak
mempengaruhi persepsi publik yang hingga akhirnya berpengaruh terhadap tindakan
politiknya dalam Pemilu. Semua ada korelasinya. Tak ada api yang tak ada
asapnya.
Ikatan Ideologi
Selama demokrasi masih menjadi jalan bagi negara
ini, sampai kapapun semua sepakat bahwa parpol musti ada. Hanya, yang menjadi
masalah adalah bagaimana merawat (meruwat?) parpol agar publik kembali
mempercayainya sebagai media untuk mengartikulasikan hak-hak publik dalam
bernegara dan pemerintahan, di luar domain yang dilakukan kalangan CSO (civil society organization).
Pakar ilmu politik, Scott Mainwaring mengatakan di
dalam sistem yang telah terinstitusionalisasi dengan baik partai memiliki akar
kuat di masyarakat. Ada ikatan ideologi yang kuat mengikat antara pemilih dan
partai. Ikatan ini kemudian menumbuhkan loyalitas di hati pemilih sehingga
partai mengakar kuat. Jadi, ikatan kuat antara pemilih dan partai merupakan
salah satu aspek penting institusionalisasi (pelembagaan) partai politik (Mainwaring,
1996:7-8)
Dalam bahasa sederhana, institusionalisasi dapat
dimaknai dengan pembelaan parpol terhadap persoalan-persoalan yang dialami
konstituen. Tentu saja pembelaan yang dimaksud adalah dalam koridor supremasi
hukum dan tata aturan yang berlaku. Adakah selama ini parpol bersikap kritis
atas berbagai tindakan tidak adil negara/pemerintah terhadap konstituennya?
Pembelaan atas aspirasi publiknya merupakan bagian
dari anyaman loyalitas konstituen terhadap parpol. Bukan hanya karena butuh
suaranya pada saat Pemilu berlangsung. Jika sikap abai atau politik pembiaran terhadap
institusionalisasi parpol masih saja berlangsung, jangan harapkan kepercayaan
publik terhadap parpol tumbuh. Jangan heran pula jika golput dianggap sejernih
akal sehat…! (*)
Ujung Blok
Lingkar, 23 Desember 2012
*) Tayang di
Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 24 Desember 2012 Halaman 26