KPUK
Bojonegoro menetapkan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro secara
langsung akan dilaksanakan pada tanggal 10 November 2012. Dari sisi persiapan perangkat Pilkada, hingga
kini memasuki persiapan kelengkapan penyelenggara Pilkada. KPUK misalnya, sudah
melantik, dilanjutkan dengan pembekalan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Sedangkan
dari sisi pengawasan (watching),
belum lama ini tiga anggota Panitia Pengawas Kabupaten (Panwaskab) Pilkada
Bojonegoro dilantik oleh Bawaslu di Jakarta. Sebagai tindak lanjut pengawasan,
saat ini Panwaskab Pilkada sedang mempersiapkan pembentukan Panwas Kecamatan,
dilanjutkan dengan PPL (Pengawas Desa).
Di
luar komponen utama penyelenggara Pilkada itu, ada hal-hal lain yang terkadang
luput dari perhatian, meskipun kontribusinya signifikan dalam proses terciptanya
Pilkada yang kondusif dan bermartabat. Tak berbasis penyelenggara Pilkada,
tetapi fungsi. Setidaknya menurut hemat penulis, terdapat tiga hal pokok.
Yaitu, pelibatan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam proses pengawasan
Pilkada, law enforcement (penegakan
hukum), dan komitmen menjaga demokrasi substansial Pilkada.
Pelibatan OMS
Pemilu
dan Pilkada bukan hanya menjadi domain penyelenggara Pemilu. KPU dan Panwas
hanyalah merupakan lembaga yang diberi mandat untuk menyelenggarakan Pilkada,
sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Sebab, hakikinya Pilkada hanyalah
merupakan awal dari proses terbentuknya demokrasi prosedural. Dan salah satu
andilnya dari penyelenggara pemilu.
Di
sisi lain, realitas melihat ada banyak elemen dan unsur masyarakat yang memiliki
andil dan peran dalam menciptakan Pilkada yang kondusif dan bermartabat.
Idealnya mereka didorong untuk terlibat dalam proses pilkada, baik sebagai
penyelenggara melalui KPUK, PPK, PPS, hingga KPPS, maupun sebagai pengawas
mulai Panwaskab, Panwascam, hingga PPL.
Representasi
keberadaan OMS, yang terdiri dari Ormas keagamaan, OKP, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), organisasi kemahasiswaan, hingga media massa, ini penting.
Bukan hanya sekadar formalitas, tetapi juga karena masing-masing elemen
tersebut memiliki basis dukungan, pengaruh, hingga nilai-nilai yang dapat
memberikan kontribusi, sekecil apapun, dalam penciptaan Pilkada kondusif dan
bermartabat. Kita tidak boleh abai akan hal ini. Pelibatan OMS dalam pengawasan
pilkada yang berbasis partisipatif, penting dilakukan.
Sebab,
demikian Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996), pemilu bukankah satu-satunya
factor dalam konsolidasi demokrasi. Demokrasi juga amat berkaitan dengan
factor-faktor non politik, seperti komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule of game), norma-norma birokrasi
yang sah rasional (state apparatus),
serta tradisi pasar (economic society).
Pelibatan
OMS dalam pelaksanaan Pilkada, baik sebagai penyelenggara maupun pengawas
secara non-formal, merupakan bagian dari factor-faktor non-politik sebagaimana
disinyalir Juan J. Linz dan Alfred Stephen tersebut. Khususnya yang berkaitan
dengan komunikasi dan kebebasan berkumpul. Makna pentingnya, keberadaan mereka
mutlak, tidak bisa dinafikan.
Penegakan Hukum
Dalam
upaya menciptakan ketertiban sosial, kepastian dan ketertiban hukum, pemerintah
bersama DPR membentuk berbagai regulasi. Khusus untuk Pilkada, melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Selain
diatur secara spesifik dalam UU itu, KPU dan Bawaslu, selaku penyelenggara
pemilu, termasuk dalam hal ini Pilkada, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, juga diberikan kewenangan untuk
menerbitkan Keputusan atau Peraturan yang mendukung pelaksanaan Pilkada.
Secara
kuantitas, undang-undang atau aturan yang dibuat, boleh jadi tidak kurang.
Masalahnya adalah ada di titik implementasi. Sebab, tidak jarang akibat
penafsiran undang-undang yang berdasarkan subjektifitas penafsir acapkali
memicu ketegangan di grassroots.
Celakanya, bakal calon seolah menafikan kebenaran fakta hukum yang seharusnya
menjadi kesepakatan bersama untuk diikuti, agar tertib sosial dan hukum terjadi
tanpa pandang bulu.
Disinilah
peran penting aparat penegak hukum untuk
mengawalnya dengan serius. Sebab, bukan tidak mungkin, akibat ketidaktegasan
penerapan hukum akan berimplikasi terhadap legitimasi pemerintahan dari
pasangan yang terpilih kelak. Padahal, mengutip Jurgen Habermas, dalam buku Legitimation Crisis (1975), kekerasan
sangat mungkin dipicu terjadinya crisis
of governability (krisis pemerintahan). Krisis pemerintahan yang berkaitan
dengan krisis legitimasi ditandai proses ideological
breakdown (kehancuran ideologi) dan state
malfunction (kegagalan fungsi negara/pemerintah).
Komitmen Demokrasi Substansial
Tidak
dapat disangkal bahwa money politics
(politik uang) adalah tindakan yang dapat mencederai demokrasi, khususnya Pilkada.
Politik uang bukan hanya akan menjadikan cita-cita luhur Pilkada yang
menginginkan terciptanya pemerintahan yang ideal, menjadi kabur, karena
tertutupi oleh transaksional politik.
Tetapi,
fakta pula mengatakan bahwa politik uang adalah tindakan buruk yang sulit
dihilangkan dalam setiap momen suksesi politik. Bahkan, hingga desa (pilkades)
sekalipun. Oleh karena itu, hemat penulis masing-masing pasangan calon, berikut
tim kampanye dan tim suksesnya, harus didorong untuk serius mempraktikkan
demokrasi substansial. Demokrasi yang lebih menekankan pada values, nilai-nilai
itu sendiri. Nilai-nilainya adalah transparansi, akuntabilitas publik,
partisipatif, jujur, dan lainnya.
Apakah
sulit? Rasanya memang sulit, tetapi juga bukan tidak mungkin. Semua berpulang
pada komitmen semua pihak. Ya calon, penyelenggara, pengawas, aparatur
pemerintahan dan negara, OMS, hingga pada masyarakat secara lebih luas. Tetapi,
realisasinya tetap harus diawasi secara bersama-sama pula. Disinilah sebenarnya
fungsi OMS dan media massa bisa menjalankan perannya sebagai pengawas yang
terintegrasi untuk menjadikan demokrasi prosedural menjadi demokrasi
substansial, bukan demokrasi semu.
Selama
tidak ada komitmen untuk menjaga demi terciptanya demokrasi substansial, selama
itu pula kita tidak akan pernah bisa memutus mata rantai politik transaksional.
Ingatlah dengan apa yang dikatakan Aristoteles, semakin tinggi penghargaan
manusia terhadap kekayaan (uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia
terhadap kesusilaan, keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.
Selama
kecenderungan politik transaksional masih pula kita biarkan, selama itu pula
kita asusila secara politik, dan merelakan semakin mengguritanya dehumanisasi.
Kalau sudah demikian halnya, Pilkada yang kondusif dan bermartabat hanyalah
angan-angan, mengawang. Tetapi, semoga saja tidak...! [*]
*) Disampaikan
dalam Talk Show Menuju Pilkada Kondusif dan Bermartabat, Bakesbangpol dan Linmas, Bojonegoro, di Griya MCM 25 Juni
2012.