Sunday, July 15, 2012

Praktik Mafia dalam Pemilukada

Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa demokrasi prosedural adalah salah satu model pembentukan pemerintahan yang disepakati untuk dijalankan oleh semua pihak di setiap hierarki struktural kewilayahan. Salah satu model dari demokrasi prosedural adalah memilih pemimpin melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah (Pemilukada).
Dalam perjalanannya, pelaksanaan Pemilukada acapkali disertai dengan gunjingan dan rerasanan yang berlangsung tak hanya setelah pelaksanaan, melainkan juga menjelang ataupun selama pelaksanaan momentum suksesi tersebut. Tidak terkecuali pelaksanaan Pemilukada Bojonegoro, yang menurut rencana dilaksanakan 10 November 2012 nanti.
Salah satu titik rawan yang mungkin kerap menyertai dan terjadi dalam pelaksanaan Pemilukada adalah munculnya praktik-praktik mafioso. Mafioso dalam konteks ini tak hanya sosok figur yang memiliki andil dalam mempermainkan suara saat pelaksanaan Pemilukada. Melainkan juga sosok figur kerap mewarnai pra, selama, hingga pasca Pemilukada.
Ada beberapa tindakan yang mengarah pada konsepsi mafioso. Pertama, berkaitan dengan aksi yang dilakukan beberapa pihak yang berhubungan dengan proses salah satu tahapan dari Pemilukada. Khususnya adalah yang berkaitan dengan persyaratan maju untuk bakal calon dari jalur independen (perseorangan). 
Mungkin, kita pernah mendengar tentang muncunya sosok-sosok penumpang gelap atau penunggang liar (free rider) yang memanfaatkan momentum Pemilukada untuk mengeruk keuntungan. Beberapa waktu yang lalu kita mungkin sempat mendengar munculnya broker atau makelar yang menawarkan jasa untuk menyiapkan sekaligus menggalang Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dibutuhkan oleh calon independen, sebagai syarat maju dalam Pemilukada.
Modusnya, dengan menawarkan harga yang sama-sama menguntungkan (deal) dan disepakati oleh makelar dan tim sukses calon independen. Bagi broker, ada keuntungan yang akan didapat dari ”jual jasa” penyediaan KTP tersebut, dari nilai nominal yang disepakati. Sementara bagi tim sukses calon independen, cara ini juga dipandang ”membantu” untuk memudahkannya dalam mencari dukungan KTP, yang disyaratkan oleh KPUK sebanyak 43.100 lembar. Terlepas apakah isu ini benar atau tidak, karena membutuhkan verifikasi dan crosscheck lapangan, apapun fenomena ini muncul di masyarakat, dan patut diperhatikan dengan serius.
Fenomena praktik mafioso kedua adalah dugaan adanya penggunaan fasilitas negara (pemerintah) untuk melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi mencuri start kampanye. Biasanya, yang sering terjadi, praktik-praktik seperti ini dilakukan oleh pihak-pihak atau bakal calon yang menyandang status incumbent. Atau setidak-tidaknya bakal calon yang menyandang predikat sebagai pejabat publik.
Dengan berbagai fasilitas yang dimilikinya secara melekat, antara lain dalam bentuk kendaraan dinas, dana perjalanan dinas, hingga staf yang bertugas di satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), pejabat incumbent dan pejabat publik memang sangat potensial untuk melakukan penyalahgunaan jabatan ini untuk kepentingan pencitraan di depan publik.
Apakah praktik seperti ini dibenarkan? Secara normatif, lembaga yang mempunyai otoritas untuk mengawasi, Panwas Pilkada dan KPUK, akan sangat kesulitan untuk menyatakan bahwa tindakan tersebut sebagai kampanye terselubung, atau setidak-tidaknya sebagai curi start kampanye. Karena faktanya, memang tidak ada tindakan dan ucapan yang pesannya mengarah untuk mendukung incumbent.
Tetapi, mungkin hampir semua orang akan mempunyai rasa yang sama bahwa aksi-aksi itu bagian dari kampanye, sekalipun susah dibuktikan hitam di atas putihnya. Karena, secara normatif hukum legal formal, kita mungkin tidak akan pernah mampu menemukan bukti pelanggarannya. Dan inilah sebenarnya salah satu bentuk praktik mafioso, yang sekalipun kasat di depan mata, tetapi sulit dijerat dengan normatifme regulasi yang tersedia.
Bentuk-bentuk praktik mafioso ketiga adalah permainan politik anggaran yang ada dalam APBD. Lagi-lagi pihak yang berpotensi melakukan praktik-praktik seperti ini adalah incumbent dan bakal calon yang menyandang status sebagai pejabat. Berdasar pengalaman analisis FITRA Jawa Timur, rata-rata modus yang dipakai adalah dengan cara menaikkan anggaran bantuan sosial dan hibah pada satu tahun jelang pelaksanaan Pemilukada.
Anggaran tersebut memang peruntukannya adalah untuk masyarakat, yang lagi-lagi sangat rawan menjadi kampanye terselubung. Biasanya pula, satu tahun setelah Pemilukada, anggaran ini turun kembali. Apakah hal ini sudah terjadi di Bojonegoro? Mari kita awasi bersama. Jika benar ada, tak salah jika kita beranggapan, mafioso Pemilukada bukan asumsi, tetapi benar adanya. [*]