Tuesday, September 25, 2012

Politik Sonder Perempuan


JIKA tidak aral melintang, hari ini (24/9) KPUK Bojonegoro menetapkan lima pasangan bakal calon (balon) menjadi calon. Jika mereka semua lolos administrasi dan verifikasi, dalam Pilkada Bojonegoro, 10 November 2012 nanti, bakal ada lima pasangan. Kelima pasangan itu adalah Suyoto-Setyo Hartono, Thalhah-Budiyanto, Sarif Usman-Syamsiah Rahim, Andromeda-Sigit, dan M. Choiri-Untung Basuki.
Sebelum kita mencermati rekam jejak masing-masing pasangan, mari sejenak kita tengok seberapa jauh visi, misi, dan program yang akan mereka jalankan jika diberi amanat oleh rakyat Bojonegoro kelak. Secara sederhana, mungkin kita bisa melacaknya dari berbagai baliho dan spanduk yang bertebaran di hampir seluruh wilayah Bojonegoro. Oleh karena, inilah jualan yang bisa dilakukan, selagi belum ditertibkan oleh Panwaskab atau Satpol PP.
Dari pamflet dan baliho yang dipasang oleh kelima pasangan, saya belum menjumpai isu sensitif yang sebenarnya sangat urgen untuk mengail dukungan publik. Isu perempuan. Padahal, saya yakin, dari 1.038.238 pemilih yang tercatat dalam daftar pemilih sementara (DPS), sebelum kemudian ditetapkan jadi daftar pemilih tetap (DPT), hampir 50 persen bisa dipastikan dari perempuan. Ini merujuk DPT Pilkada 2007 atau Pemilu 2009, yang sekitar 50 persen di antaranya pemilih perempuan.  
Jadi, sebenarnya aneh dan mengecewakan, ceruk suara besar ini malah tidak disinggung secara spesifik. Entah lagi kalau kelima pasangan bakal calon memiliki anggapan bahwa perempuan hanya akan menjadi konco wingking. Jika politik sonder perempuan ini yang dipilih, saya yakin kaum perempuan akan melakukan ”pembalasan” yang setimpal pada 10 November 2012 mendatang.    

Tidak Peka Gender
Sebenarnya ironi jika perempuan tidak mendapatkan perhatian serius (semoga tidak lupa) dari kelima pasangan calon. Padahal, dari delapan tujuan pembangunan milenium (millenium development goals/MDGs) empat di antaranya memberikan perhatian spesifik kepada perempuan. Yakni, mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, meningkatkan kesehatan ibu, dan memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem.
Sedangkan empat isu lainnya adalah menurunkan angka kematian anak, memerangi HIV dan AIDS, malaria, serta penyakit lainnya, memastikan kelestarian lingkungan, maupun kampanye global untuk partisipasi pembangunan (promote global partnership for development).
Padahal, dari perspektif gender dan fenomena yang terjadi selama ini hak-hak perempuan masih jauh dengan hak-hak laki-laki dalam realitasnya. Di jenjang pendidikan, misalnya, tingkat pendidikan perempuan secara umum lebih rendah daripada laki-laki. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah pula rasio gendernya.
Fakta menunjukkan, termasuk Bojonegoro, untuk tingkat SD rasio gendernya, 100 (untuk laki-laki):95 (perempuan). Tingkat SMP, rasionya lebih rendah, 100:89, dan tingkat SMA 100:84. Sedangkan rasio pendidikan laki-laki dan perempuan di perguruan tinggi (PT) 100:69. Di bidang ekonomi pun perempuan memikul beban ganda. Selain bekerja, kaum perempuan juga tetap harus bertanggung jawab mengelola urusan keluarga.
Dari permasalahan ini, saya teringat dengan paparan Darmaningtyas, pakar pendidikan nasional, saat mengikuti workshop gender beberapa waktu lalu. Menurut Darmaningtyas, pemberdayaan perempuan tidak akan terwujud apabila pria juga tak diberdayakan untuk memerdekakan perempuan. Upaya ini harus didorong karena adanya fakta kesenjangan sivolusi di masyarakat.
Dalam penelitiannya, Darmaningtyas mendapati adanya 20 persen perempuan masuk di kategori A, yakni cantik, kaya, dan pintar. Kategori B, 20 persen, yang mencakup cantik, kaya, namun tidak pintar; kelompok C, tidak cantik, tidak kaya, tetapi pintar, 20 persen. Serta, kelompok D, tidak cantik, tidak kaya, dan tidak pintar, 40 persen.
Darmaningtyas menemukan fakta, kelompok A cenderung melanggengkan hegemoni kelasnya dengan melakukan interaksi (termasuk pernikahan) dengan sesama kelompok A, atau sekurang-kurangnya dengan kelompok B. Artinya, mau tidak mau kelompok C dan D melakukan hubungan reproduksi kemiskinan, sehingga terjadi kesenjangan sivolusi.
Saya yakin penelitian ini relevan, setidaknya-tidaknya ada kesamaan hasilnya dengan di Bojonegoro. Namun anehnya, isu sensitif ini belum diangkat sebagai tawaran maupun strategi program pemberdayaan supaya kaum perempuan memiliki cukup referensi dalam menentukan pilihan. Agar kaum perempuan tidak memilih kucing dalam karung, yang tidak diketahui bibit, bebet, dan bobot-nya. Atau jangan-jangan itu yang mereka maui? Ah, semoga ini hanya igauan saya. Saya yakin kok mereka sudah menyiapkan segebok janji, tetapi belum sempat dibeber. Mereka mungkin hanya lupa, lupa, dan lupa. Menarik untuk kita tunggu. (*)   

Ujung Blok Lingkar, 23 September 2012

*) Tayang di Harian Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 24 September 2012, Halaman 26.

Tuesday, September 11, 2012

Menjawab Tantangan Publik


Kerja Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro kian sibuk dan menyita perhatian publik. Selain mempersiapkan semua tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro yang ditetapkan berlangsung pada 10 November 2012 mendatang, penyelenggara pemilu tersebut juga membuka pendaftaran untuk partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014.
Salah satu persyaratan utama untuk menjadi kontestan Pemilu 2014 adalah parpol harus menyerahkan seperseribu atau 10 persen kartu tanda anggota (KTA) partai ke KPUK. Selanjutnya, KPUK akan melakukan verifikasi, sekaligus menguji keabsahan terhadap KTA parpol tersebut.
KPUK Bojonegoro sendiri secara resmi telah menutup pendaftaran peserta Pemilu 2014 pada Jumat (7/9) lalu. Hingga hari terakhir pendaftaran, ada 25 parpol yang mendaftarkan diri untuk mengikuti Pemilu 2014 di Bojonegoro. Ke-25 parpol itu adalah partai yang memiliki hirarki struktural di tingkat pusat (DPP), tingkat provinsi (DPD/DPW), tingkat kabupaten (DPC/DPD), hingga kecamatan (PAC) dan desa (PR).
Ke-25 parpol itu adalah Partai Nasdem, PKP Indonesia, Partai Gerindra, PKPB, PD, dan PNR. Kemudian, PAN, PNBKI, PKNU, PKPI, PDK, PKB, dan PPP. Serta, PKS, PRN, PDP, PBB, PKBIB, Partai Golkar, PPRN, Partai Pelopor, PDIP, Partai Hanura, PPN, dan Partai SRI.
Banyaknya parpol yang berniat ‘adu peruntungan’ berebut massa cair rakyat memang tak bisa dinafikan keberadaannya, bahkan bisa menjadi sebuah keharusan. Sebagai penganut demokrasi prosedural, keberadaan parpol masih menjadi katalisator utama bagi negeri ini untuk melakukan kaderisasi kepemimpinan, penyalur aspirasi, maupun menjalankan roda pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun daerah.
Bahwa parpol masih menjadi mesin utama manifestasi penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah tidak terbantahkan lagi. Namun, menjadikan pemilu sebagai satu-satunya panggung utama untuk mendulang simpati dan suara publik adalah cara pandang yang terlalu simplistis, terlalu menyederhanakan masalah.
Masalahnya, cara pandang tersebut justru menjadi hal yang utama bagi praktisi politik, meminggirkan dan menganaktirikan faktor-faktor penting pemilu lainnya. Dampaknya, kerja-kerja politik yang dilakukan pun hanya sebatas menjelang, dan selama pemilu itu sendiri. Pengawalan terhadap konstituen untuk memahami arti penting dari politik dan demokrasi nyaris diabaikan.

Faktor Non-Politik
Argumentasi yang dapat kita gunakan untuk memahami bahwa pemilu bukan merupakan satu-satunya model konsolidasi demokrasi adalah tesis Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996). Menurut Juan J. Linz dan Alfred Stephen, pemilu bukankah satu-satunya faktor dalam konsolidasi demokrasi.
Sebab, menurut keduanya, demokrasi juga sangat berkaitan dengan faktor-faktor non politik seperti komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule of game), norma-norma birokrasi yang sah rasional (state apparatus), serta tradisi pasar (economic society).
Menurut hemat penulis, komunikasi dan kebebasan berkumpul idealnya dapat dilakukan oleh parpol jauh sebelum genta pemilu ditabuh. Fungsi parpol sebagai pembawa mandat sosial (baca: konstituen) sebenarnya dapat diartikulasikan dengan mengintensifkan pola komunikasi dari berbagai problem realitas yang ada.
Faktanya, peran ini sungguh masih jauh panggang dari api. Alih-alih menjalankannya dengan baik, justru yang terjadi ‘kedekatan’ parpol dengan konstituen hanya berlangsung menjelang pemilu. Akibat renggangnya disparitas komunikasi dan kebebasan berkumpul ini kecenderungan politik transaksional seperti merupakan jawaban. Konstituen merasa tujuan pragmatis lebih dipandang sebagai solusi karena keabaian komunikasi politik Konsolidasi demokrasi juga berkelindan dengan konstitusi dan norma-norma birokorasi yang sah dan rasional. Penulis meyakini, keduanya bisa tercapai apabila parpol mampu menjalankan pendidikan politik yang fair dan bermartabat.
Dengan memberikan kebebasan dan ruang kepada publik untuk menyampaikan ide dan gagasan-gagasannya, harapan terciptanya konstitusi yang fair, akuntabel, serta kredibel bukan pepesan kosong. Semua sebenarnya berpulang pada kemauan dan kemampuan dari parpol untuk bersungguh-sungguh menjalankan pendidikan politik Tentu, dengan catatan hal itu dilakukan dengan fair dan serius, serta menjadikan politik sebagai media menyejahterakan, bukan sekadar pemilik suara yang setelah diambil lantas dicampakkan. Beranikah parpol menjawab tantangan publik? (*)

Ujung Blok Lingkar, 9 September 2012

*) Tayang di Harian Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 10 September 2012, Halaman 26


Migas dan Politik


Ada dua momen besar yang akan dan sedang berlangsung dalam intensitas tinggi di Bojonegoro. Dua kata itu saling terkait dan bahkan berhubungan. Minyak dan Gas (Migas), serta politik, lebih fokusnya adalah Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bojnegoro menjadwalkan Pemilukada berlangsung pada 10 November 2012 mendatang.
Migas menjadi isu sentral dan strategis, karena akhir-akhir ini berbagai kegiatan penunjang percepatan puncak produksi pada tahun 2015 dari lapangan minyak Blok Cepu, terus digenjot operator, Mobil Cepu Ltd. (MCL), berikut kontraktornya. Khususnya penyediaan fasilitas dan sarana untuk engineering, procurement and construction (EPC) 1, 2, dan 5 yang akan mengarungi sebagian wilayah Kabupaten Bojonegoro.
Karena itu, dibutuhkan iklim kondusif untuk tujuan bersama agar penuntasan EPC 1, 2, dan 5 dapat berjalan sesuai dengan jadwal. Sebab, dengan komitmen bersama dari berbagai pihak, khususnya antara operator dan pemerintah, harapan Pemerintah Pusat yang menggantungkan produksi minyak dari Blok Cepu mampu menumbang 10 persen kebutuhan minyak nasional akan terpenuhi, tepat pada waktunya.
Masalahnya adalah dalam waktu yang tidak terlalu lama, persisnya 10 November 2012, Kota Ledre akan mempunyai hajatan politik yang besar: Pemilukada. Semua pasti tahu, Pemilukada akan menyedot energi besar berbagai pemangku kepentingan. Tidak terkecuali juga aparatur Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
Hampir bisa dipastikan mereka akan terlibat dalam banyak aktivitas dari ekses yang timbul dari dinamika politik lokal. Sementara di waktu bersamaan, Pemkab Bojonegoro diberi tenggat waktu oleh Pemerintah Pusat untuk bersama-sama mendukung proyek nasional dari lapangan minyak Blok Cepu.
Tudingan dari Badan Pelaksana (BP) Migas bahwa Pemkab Bojonegoro dinilai menghambat perizinan untuk EPC 1, dan 5, terlepas dari argumentasi Pemkab Bojonegoro yang menolak dikatakan menghambat, adalah salah satu bukti bahwa proyek nasional minyak dari Blok Cepu tidak bisa dianggap sambil lalu atau dikesampingkan.
‘Ketegangan’ antara Pemkab Bojonegoro dengan BP Migas-Pemerintah Pusat bahkan sempat menghangat. Bahkan, sampai-sampai ada niatan dari Menteri ESDM untuk mengajak Bupati Bojonegoro Suyoto untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), khusus untuk membicarakan masalah progress Blok Cepu.
Sekalipun ketegangan tersebut kini sudah mulai mencair, setidak-tidaknya kita memiliki suatu gambaran bahwa potensi konflik kepentingan (conflict of interest) akan selalu menjadi laten, dan suatu saat bisa saja mencuat. Mengingat, masih ada banyak hal yang belum tertuntaskan dalam persiapan percepatan puncak produksi minyak dari lapangan Banyuurip, Blok Cepu. Alasannya, selain EPC 1, proyek penunjang dan pengembangan lapangan Banyuurip lainnya ada, yaitu EPC 2 dan EPC 5.
Dengan kata lain, sebenarnya antara Migas dan Pemilukada Bojonegoro berkaitan erat. Ingat, siapapun bupati yang nanti akan terpilih, akan melewati masa puncak produksi minyak dari Blok Cepu yang diperkirakan akan berlangsung pada 2015 hingga 2016. Jika Pemilukada Bojonegoro berlangsung 10 November 2012, sangat mungkin juga pelantikan bupati dan wakil bupati terpilih akan dilantik pada awal tahun 2013. Artinya, masa jabatan bupati akan berlangsung hingga 2018.
Siapapun pelaku ekonomi, termasuk investor migas, pasti menginginkan suatu iklim usaha yang kondusif guna mendukung kelancaran coor bisnis dan usahanya. Tidak terkecuali operator migas yang menjalankan usaha di Bojonegoro. Bukan rahasia lagi pula apabila operator migas pun menginginkan adanya sebuah kepastian hukum yang memperlancar usaha-usahanya, termasuk kemudahan perizinan yang dibutuhkan untuk EPC 1, 2, dan 5.
Artinya, agenda besar Pemerintah Pusat di balik proyek nasional minyak dari Blok Cepu, bukan tidak mungkin akan menjadi pendulum siapa yang ‘direstui’ untuk menjadi bupati. Akankah bupati yang terpilih kelak adalah orang-orang yang ‘ramah’ dengan industri migas? Menarik untuk ditunggu. [*]