JIKA tidak aral
melintang, hari ini (24/9) KPUK Bojonegoro menetapkan lima pasangan bakal calon
(balon) menjadi calon. Jika mereka semua lolos administrasi dan verifikasi,
dalam Pilkada Bojonegoro, 10 November 2012 nanti, bakal ada lima pasangan.
Kelima pasangan itu adalah Suyoto-Setyo Hartono, Thalhah-Budiyanto, Sarif
Usman-Syamsiah Rahim, Andromeda-Sigit, dan M. Choiri-Untung Basuki.
Sebelum kita
mencermati rekam jejak masing-masing pasangan, mari sejenak kita tengok
seberapa jauh visi, misi, dan program yang akan mereka jalankan jika diberi amanat
oleh rakyat Bojonegoro kelak. Secara sederhana, mungkin kita bisa melacaknya
dari berbagai baliho dan spanduk yang bertebaran di hampir seluruh wilayah
Bojonegoro. Oleh karena, inilah jualan yang bisa dilakukan, selagi belum
ditertibkan oleh Panwaskab atau Satpol PP.
Dari pamflet dan
baliho yang dipasang oleh kelima pasangan, saya belum menjumpai isu sensitif
yang sebenarnya sangat urgen untuk mengail dukungan publik. Isu perempuan.
Padahal, saya yakin, dari 1.038.238 pemilih yang tercatat dalam daftar pemilih
sementara (DPS), sebelum kemudian ditetapkan jadi daftar pemilih tetap (DPT),
hampir 50 persen bisa dipastikan dari perempuan. Ini merujuk DPT Pilkada 2007 atau
Pemilu 2009, yang sekitar 50 persen di antaranya pemilih perempuan.
Jadi, sebenarnya aneh
dan mengecewakan, ceruk suara besar ini malah tidak disinggung secara spesifik.
Entah lagi kalau kelima pasangan bakal calon memiliki anggapan bahwa perempuan
hanya akan menjadi konco wingking. Jika politik sonder perempuan ini
yang dipilih, saya yakin kaum perempuan akan melakukan ”pembalasan” yang
setimpal pada 10 November 2012 mendatang.
Tidak Peka Gender
Sebenarnya ironi jika
perempuan tidak mendapatkan perhatian serius (semoga tidak lupa) dari kelima
pasangan calon. Padahal, dari delapan tujuan pembangunan milenium (millenium
development goals/MDGs) empat di antaranya memberikan perhatian spesifik
kepada perempuan. Yakni, mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, mendorong
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, meningkatkan kesehatan ibu, dan
memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem.
Sedangkan empat isu
lainnya adalah menurunkan angka kematian anak, memerangi HIV dan AIDS, malaria,
serta penyakit lainnya, memastikan kelestarian lingkungan, maupun kampanye
global untuk partisipasi pembangunan (promote global partnership for
development).
Padahal, dari
perspektif gender dan fenomena yang terjadi selama ini hak-hak perempuan masih
jauh dengan hak-hak laki-laki dalam realitasnya. Di jenjang pendidikan,
misalnya, tingkat pendidikan perempuan secara umum lebih rendah daripada
laki-laki. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah pula rasio
gendernya.
Fakta menunjukkan,
termasuk Bojonegoro, untuk tingkat SD rasio gendernya, 100 (untuk laki-laki):95
(perempuan). Tingkat SMP, rasionya lebih rendah, 100:89, dan tingkat SMA
100:84. Sedangkan rasio pendidikan laki-laki dan perempuan di perguruan tinggi
(PT) 100:69. Di bidang ekonomi pun perempuan memikul beban ganda. Selain
bekerja, kaum perempuan juga tetap harus bertanggung jawab mengelola urusan
keluarga.
Dari permasalahan
ini, saya teringat dengan paparan Darmaningtyas, pakar pendidikan nasional,
saat mengikuti workshop gender beberapa waktu lalu. Menurut Darmaningtyas, pemberdayaan
perempuan tidak akan terwujud apabila pria juga tak diberdayakan untuk
memerdekakan perempuan. Upaya ini harus didorong karena adanya fakta
kesenjangan sivolusi di masyarakat.
Dalam penelitiannya,
Darmaningtyas mendapati adanya 20 persen perempuan masuk di kategori A, yakni
cantik, kaya, dan pintar. Kategori B, 20 persen, yang mencakup cantik, kaya, namun
tidak pintar; kelompok C, tidak cantik, tidak kaya, tetapi pintar, 20 persen.
Serta, kelompok D, tidak cantik, tidak kaya, dan tidak pintar, 40 persen.
Darmaningtyas menemukan
fakta, kelompok A cenderung melanggengkan hegemoni kelasnya dengan melakukan
interaksi (termasuk pernikahan) dengan sesama kelompok A, atau
sekurang-kurangnya dengan kelompok B. Artinya, mau tidak mau kelompok C dan D
melakukan hubungan reproduksi kemiskinan, sehingga terjadi kesenjangan
sivolusi.
Saya yakin penelitian
ini relevan, setidaknya-tidaknya ada kesamaan hasilnya dengan di Bojonegoro. Namun
anehnya, isu sensitif ini belum diangkat sebagai tawaran maupun strategi program
pemberdayaan supaya kaum perempuan memiliki cukup referensi dalam menentukan
pilihan. Agar kaum perempuan tidak memilih kucing dalam karung, yang tidak
diketahui bibit, bebet, dan bobot-nya. Atau jangan-jangan itu
yang mereka maui? Ah, semoga ini hanya igauan saya. Saya yakin kok
mereka sudah menyiapkan segebok janji, tetapi belum sempat dibeber. Mereka
mungkin hanya lupa, lupa, dan lupa. Menarik untuk kita tunggu. (*)
Ujung Blok Lingkar,
23 September 2012
*) Tayang di Harian Jawa
Pos Radar Bojonegoro, Edisi 24 September 2012, Halaman 26.