Tuesday, March 27, 2012

Vis a Vis Pusat dan Daerah

Polemik kelanjutan kegiatan konstruksi, pengadaan, dan rekayasa (engineering, procurement, and construction (EPC)-1 lapangan Banyuurip, Blok Cepu di Kabupaten Bojonegoro, akhirnya tuntas. Pemkab Bojonegoro akhirnya mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB) proyek penunjang puncak produksi Blok Cepu yang ditangani konsorsium PT Tripatra-Samsung itu.
Hemat penulis, terbitnya IMB untuk EPC-1 hanyalah awal dari perjalanan panjang ‘dinamika’ sosial yang sangat mungkin kerap mengiringi menjelang puncak produksi minyak Blok Cepu tahun 2014 mendatang. Sebab, jika dicermati, enam komitmen yang sebenarnya merupakan pra-syarat keluarnya IMB, belum sepenuhnya terealisasi. Khususnya berkaitan dengan tukar guling tanah kas desa yang digunakan untuk keperluan EPC-1.
Jika dicermati, sebenarnya tarik ulur penerbitan IMB terjadi karena belum ketemunya ekspektasi Pemerintah Pusat dan Daerah (Pemkab Bojonegoro). Pusat berkepentingan dengan peningkatan puncak produksi minyak Blok Cepu secepat mungkin. Diharapkan tercapai pada tahun 2014. Jika ini tercapai, harapan Indonesia kembali tercatat sebagai anggota OPEC (organisasi negara-negara penghasil minyak dunia) akan tercapai.
Pusat serius menyiapkannya. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional. Presiden SBY menginstruksikan, pencapaian produksi minyak bumi nasional paling sedikit rata-rata 1,01 juta barel per hari pada tahun 2014 untuk mendukung peningkatan ketahanan energi.
Presiden menginstruksikan kepada 11 menteri, dan beberapa petinggi badan fungsional seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, serta pejabat daerah, termasuk gubernur dan bupati/wali kota, untuk melakukan sejumlah langkah, sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

Kemudahan Perizinan
Secara khusus, Presiden menginstruksi kepada bupati untuk melakukan dua hal. Pertama, melakukan percepatan dan kemudahan perizinan (!) terkait dengan upaya peningkatan produksi minyak bumi nasional; dan, kedua, memberikan dukungan dan melakukan kebijakan dalam rangka mendukung peningkatan produksi minyak bumi nasional. Artinya, Pusat sebenarnya memiliki daya paksa menekan daerah agar memberikan kemudahan perizinan demi kelancaran produksi puncak Blok Cepu.
Tetapi masalahnya tidak semudah itu, bukan? Pemkab bersikukuh belum memberikan IMB, karena operator dinilai belum mampu merealisasikan enam komitmen yang sudah diteken bersama. Di antaranya, tukar guling tanah kas desa seluas 13,2 hektare untuk proyek Blok Cepu. Pemkab tidak kunjung memberikan IMB, karena saat ini sentimen masyarakat lokal terhadap keberadaan migas dalam sensivitas yang tinggi. Mencuatnya konflik berbasis pertambangan di beberapa daerah di Indonesia, seperti Mesuji, Bima, dan Freeport di Papua, sedikit banyak memberikan referensi dan ‘pencerahan’ bagi daerah.
Pemkab Bojonegoro melihat hal itu sebagai potensi konflik horizontal yang bisa saja meluas. Jika pemkab menyetujui dengan memberikan IMB, meski enam item belum terealisasi semua, sangat mungkin muncul gejolak. Tentu tidak diinginkan kepala daerah, karena November 2012 Pemilukada Bojonegoro dihelat. Kepala daerah selaku incumbent, tentunya tidak ingin citra politik dan nama baiknya di mata publik tercederai, bukan?
Peran BPN dan Mendagri
Salah satu problem yang menyebabkan IMB EPC-1 Blok Cepu belum turun adalah karena proses tukar guling lahan bengkok desa pada item pertama belum tuntas. Pihak operator menginginkan tukar guling diproses lebih dahulu, sehingga IMB EPC-1 segera keluar. Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri menginginkan proses tukar guling dilakukan bersamaan dengan Tuban, karena sebagian tanah kas desa di Tuban ada yang tercakup dalam proyek EPC-2 (jalur pipanisasi ke laut lepas pantai Tuban).
Di sinilah sebenarnya peran Kepala BPN dan Mendagri dapat lebih dioptimalkan. Sebagaimana Inpres Nomor 2 Tahun 2012, kepala BPN seyogyanya mempercepat proses pemberian hak atas tanah yang dipergunakan untuk mendukung peningkatan produksi minyak bumi nasional. Serta,
memberikan dukungan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang
mendukung peningkatan produksi minyak bumi nasional. BPN perlu mengambil langkah-langkah agar proses tukar guling tanah berjalan sesuai harapan Pemerintah Pusat, sekaligus tidak memberatkan pemerintah daerah.
Begitu pula Mendagri, secepatnya menginventarisasi dan mengkaji peraturan daerah yang dinilai menghambat peningkatan produksi minyak bumi nasional, serta melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Pemda dalam mendukung peningkatan produksi minyak bumi nasional. Ada sinyalemen beberapa diktum dalam Perda Nomor 23 Tahun 2011 tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Migas di Bojonegoro, menghambat Pusat merealisasikan target produksi minyak nasional.
Tarik ulur, untuk sementara, selesai. IMB EPC-1 terbit. Masing-masing pihak (Pusat, Pemkab, dan operator) sudah menyiapkan roadmap untuk merealisasikan enam komitmen, sembari menambahkan catatan menjadikan Perda 23/2011 sebagai pengikat komitmen. Agar ekspektasi Pusat dan Pemkab bisa berkelindan. Agar tidak ada dusta di antara kita. (*)

Bawah Titian, 23 Maret 2012
*) Tayang di Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Edisi 26 Maret 2012 halaman 26.

Tuesday, March 13, 2012

Saatnya Menimbang Paras

BILA tidak ada halangan yang serius, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Bojonegoro akan diselenggarakan pada bulan November 2012 mendatang. Secara resmi, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro baru akan menjalankan tahapan Pemilukada Bojonegoro enam bulan sebelumnya, atau tepatnya pada bulan Juni 2012.
Sekalipun demikian, suhu politik menjelang Pemilukada Bojonegoro sudah mulai terasa. Menu Pemilukada sudah menjadi pembahasan hangat masyarakat dari berbagai strata sosial. Sesekali cobalah buka situs jejaring sosial (social networking) seperti facebook, yang riuh rendah suksesi Pemilukada Bojonegoro sudah sedemikian kuat dan kentara. Sejumlah grup yang berlabelkan seperti Pilkada Bojonegoro 2012, Ayo Pilkada Bojonegoro 2012, atau lainnya, sudah muncul. Bahkan, bisa dibilang munculnya sudah cukup lama.
Dalam konteks pembelajaran politik, keberadaan grup-grup tersebut bisa kita pandang sebagai sesuatu yang positif untuk memberikan referensi bagi masyarakat, khususnya yang mempunyai akun facebook. Selama grup tersebut bertujuan untuk membangun tujuan (goal) yang sama untuk pembelajaran demokrasi dalam track yang konstruktif, tentu tidak ada masalah.
Akan tetapi jika grup-grup dalam situs jejaring sosial tersebut justru dijadikan sebagai media dan alat propaganda untuk menyampaikan manuver negative campaign atau black campaign, tentu memprihatinkan. Sebab, bukan tidak mungkin status dan komentar yang ditayangkan dalam grup tersebut bernada menyerang yang sangat berpotensi terhadap perlawanan hukum.
Muncul pula grup yang mengatasnamakan personel yang santer diberitakan running dalam Pemilukada Bojonegoro 2012. Kontennya juga sudah mengarah pada unsur-unsur kampanye, melebihkan sisi-sisi bakal calon yang didukung, sembari sesekali menyindir kelemahan bakal calon lain. Dalam bingkai komunikasi politik dan branding, penggunaan media ini terkadang cukup efektif untuk mengangkat pencitraan bakal calon.
Penggunaan situs jejaring sosial untuk kampanye Pemilukada, dalam konteks tertentu memang cukup efektif. Setidaknya opini untuk mempengaruhi nalar kognisi anggota grup dan anggota situs jejaring sosial yang terkonek, akan terpapar. Suka atau tidak suka, diterima ataupun tidak, opini tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi ruang bawah sadar anggota grup.
Di luar gegap gempita suhu politik menjelang Pemilukada di dunia maya, aksi-aksi yang lebih konkret juga dilakukan oleh para bakal calon. Bahkan, sejumlah bakal calon sudah disebut-sebut menggalang dukungan. Seorang bakal calon dari jalur independen (perorangan), bahkan sempat diberitakan media ini, sudah menggalang dukungan dalam bentuk fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) hingga 45 ribu.
Geliat dan manuver running Pemilukada Bojonegoro 2012 juga sudah dilakukan partai politik (parpol). Ada yang sudah mulai membuka pendaftaran bakal calon. Ada pula yang bermanuver dengan road show ke kantung-kantung masyarakat maupun organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis agama. Tidak sedikit pula yang masih malu-malu dengan berlindung di balik menunggu keputusan DPP, hingga hasil survey dari lembaga yang ditunjuk oleh DPP.
Dari manuver beragam yang dilakukan oleh bakal calon, tim sukses, hingga parpol tersebut, yang harap diingat adalah kesadaran untuk menjadikan Pemilukada tidak semata-mata sebagai pesta demokrasi, sangatlah penting. Sebab, jamak diketahui bahwa selama ini Pemilukada diasumsikan sebagai pesta demokrasi yang konotasinya adalah pesta berbagai hal. Pesta uang dari calon, hingga pesta janji-janji manis calon yang muluk-muluk, tetapi minim realisasi.
Masyarakat pemilih harus cerdas menyikapinya, agar tidak lagi menjadikan uang sebagai penentu keputusan untuk memilih. Waktu lima menit untuk menentukan sikap dalam memilih calon memang pendek. Tetapi, kriteria dan reasoning untuk memilih harus ditimbang panjang, mengingat lima menit menentukan akan menentukan masa depan dan faktor-faktor politik dan non-poitik bagi Kabupaten Bojonegoro lima tahun kemudian. Sekaranglah saat yang tepat untuk mulai mengamati nama-nama yang mulai muncul, sebagai referensi untuk mengambil keputusan November mendatang.
Sebab, sebagaimana dikatakan Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996), pemilihan umum bukan satu-satunya factor dalam konsolidasi demokrasi. Namun, demokrasi amat berkaitan erat dengan factor-faktor non politik seperti komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule of game), norma-norma birokrasi yang sah rasional (state apparatus), serta tradisi pasar (economic society). Siapkah kita? [*]

Mungkinkah Tepat Waktu?

TERHITUNG mulai Agustus 2011 operator Blok Cepu, Mobil Cepu Ltd. (MCL) memiliki waktu 36 bulan (tiga tahun) untuk mempersiapkan berbagai proyek penunjang untuk mencapai puncak produksi minyak di lapangan Banyuurip. Dihitung mulai Agustus 2011, karena pada saat itulah MCL mengumumkan pemenang tender proyek engineering, procurenment, dan constructing (EPC) I yang dimenangi oleh PT Tripatra Engineers and Constructors.
Secara bertahap hingga awal tahun 2012, MCL juga mengumumkan para pemenang tender untuk EPC II hingga EPC V. Seperti diketahui bersama, dari lima EPC, Kabupaten Bojonegoro akan disinggahi EPC I, EPC V, dan sebagian EPC II. Sedangkan Kabupaten Tuban akan menerima EPC III, EPC IV, dan sebagian EPC II. Dihitung sejak Agustus 2011 lalu, hingga kini peta jalan menuju puncak produksi sudah berkurang lima bulan. Ini berarti waktu yang disediakan untuk mempersiapkan berbagai proyek penunjang untuk mencapai puncak produksi tinggal 30 bulan lagi. Sebuah waktu yang bisa dibilang cukup pendek untuk menyiapkan proyek yang bernilai Rp 40 triliun.
Sekarang, mari berhitung apakah dengan jeda waktu 30 bulan tersebut akan mampu diselesaikan, mengingat begitu banyaknya proyek penunjang Blok Cepu, berikut problem ikutan yang turut menyertainya. Permasalahan pertama yang hingga kini belum tuntas adalah belum terealisasinya enam komitmen yang dijaminkan MCL kepada Pemkab Bojonegoro, sebagai wujud keseriusan untuk membela kepentingan konten lokal, sebagaimana amanat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi serta Pengolahan Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Kabupaten Bojonegoro.
Enam komitmen itu adalah tukar guling tanah kas desa seluas 13 hektare yang saat ini sudah disewa dan menginjak tahun kedua. Kemudian, proteksi terhadap sumber air sendang, akses Jalan Temlokorejo, Jalan Rajekwesi berupa jalan desa (paving) dan tanggul penahan tanah di Desa Brabuwan, Mojodelik, dan Bonorejo, Kecamatan Ngasem. Serta, pembuatan lapangan sepak bola di Desa Gayam, Kecamatan Ngasem, maupun surat tidak keberatan dari tujuh warga yang tersisa.
Memang saat hearing antara BP Migas, MCL, BUMD, dan Tim Optimalisasi Kandungan Lokal bersama DPRD Bojonegoro beberapa waktu lalu ada kesiapan dari MCL untuk menuntaskan tanggung jawab merealisasikan enam komitmen tersebut. Namun, seberapa jauh target yang dipatok untuk menyelesaikannya belum terpapar secara gamblang. Sebab, sebagai contoh saja, untuk membebaskan tanah kas desa seluas 13 hektare tersebut tentunya bukan hal yang mudah, karena urusan administrasinya bisa sampai ke Kementerian Dalam Negeri.
Di luar persoalan yang menjadi tanggungan operator, problem serupa juga dialami oleh rekanan atau kontraktor pemenang tender. EPC I, misalnya. Hingga kini, PT Tripatra yang menjadi pemenang tender EPC I belum kunjung menyelesaikan tahapan prakualifikasi untuk berbagai paket pekerjaan fisik yang menjadi lingkup EPC I. Belum lagi ada permasalahan tarik menarik antara rekanan lokal yang menginginkan terlibat dalam EPC I yang hingga sekarang belum mencapai konsensus dengan kontraktor utamanya.
Tentu membutuhkan waktu yang tidak pendek untuk membicarakan bagaimana rigit keterlibatan tersebut dituntaskan. Di satu sisi, PT Tripatra menginginkan kriteria dan kualifikasi dalam pengerjaan proyek-proyek EPC I sebagai barang wajib, karena memang demikianlah ada dan seharusnya standar yang wajib dipenuhi kontraktor minyak yang padat risiko dan teknologi tinggi (high risk dan technology).
Di lain sisi, PT Tripatra sejatinya juga menginginkan menggandeng partner lokal, sebagai bentuk komitmennya untuk melaksanakan amanat Perda Konten Lokal. Sekaligus, sebagai upaya untuk menciptakan iklim usaha yang harmonis, sehingga schedule waktu 36 bulan yang dipatok operator dapat dilaksanakan dengan baik. Di saat tenaga, fikiran, dan waktu dicurahkan untuk mencapai konsensus tersebut, di saat bersamaan pula waktu terus berjalan, tenggat waktu pengerjaan EPC I juga semakin dekat. Belum lagi problem-problem sosio-ekonomi yang selalu menyertai dalam industri ekstraktif.
Dari beragam problem di atas, muncul kekhawatiran produksi puncak Blok Cepu yang hingga mencapai 165 ribu barel per hari (bph) pada Agustus 2014 mendatang pun terancam mundur. Ekspektasi tinggi yang dipatok BP Migas agar kapasitas produksi minyak secara nasional pada 2014 mendatang mencapai 1 juta bph, termasuk di dalamnya 165 ribu bph dari lapangan Blok Cepu, membuat banyak kalangan bertanya-tanya sekaligus deg-degan. Mampukah? [*]

Kont(r)ak Politik

DALAM setiap momentum pemilihan umum (pemilu), apakah pemilu presiden-wakil presiden, pemilu legislatif, maupun pemilu kepala daerah, kontrak politik lazim dilakukan oleh seorang calon untuk menggaet dukungan luas dari massa pemilih atau konstituennya. Kontrak politik juga menjadi seperti persyaratan keseriusan dari seorang calon, demi meyakinkan dan mempengaruhi kognisi dan afeksi pemilih agar bertindak (behavioral), mengambil keputusan untuk memilih calon yang telah menyiapkan kontrak politik.
Kontrak politik pula yang pada Pilkada Bojonegoro 2007 silam dilakukan oleh pasangan Suyoto-Setyo Hartono (Toto) untuk menggalang dukungan massa. Faktanya, dalam hal keberanian Toto membuat kontrak politik, berikut variannya seperti surat cinta dari Kang Yoto, mampu menarik simpati publik. Keberanian untuk menampilkan diferensiasi atau perbedaan dibanding dengan calon yang lain, menjadikan Toto sebagai alternatif calon yang dinilai memberikan warna lain. Endingnya, terlepas ada permasalahan pilkada yang saat itu melingkupinya, Toto dinyatakan sebagai pemenang, dan menjadi bupati-wakil bupati hingga kini.
Kalaupun saat ini publik menganggap ternyata masih banyak janji dari kontrak politik Toto yang belum terlaksana hingga kini, itulah riilnya dendang sumbang yang sekarang bergaung di ranah publik. Janji untuk memperbaiki dan menghaluskan infrastruktur jalan di Bojonegoro, faktanya hingga tahun terakhir pemerintahannya (2012) terlalu banyak jalan yang rusak dan tidak layak untuk dilintasi.
Bisakah Toto digugat secara hukum atas pengingkaran terhadap kontrak politik yang dibuatnya pada tahun 2007 silam? M. Hadi Shubhan (2009), dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengatakan, kontrak politik yang sering dilakukan para kandidat dibuat dengan bahasa umum, tanpa suatu klasifikasi tertentu dan bukan dengan bahasa dan klasifikasi hukum. Karena dibuat dengan bahasa yang abstrak dan tidak memiliki makna hukum, dapat dipastikan kontrak politik tidak dapat ditegakkan dalam ranah hukum (non enforceable). Karena kontrak politik tidak memiliki implikasi yuridis, selembar kontrak politik hanyalah seonggok kertas yang tidak bermakna apa pun.
Kalaupun dalam kontrak politiknya sebuah pasangan calon melibatkan seorang notaris dengan maksud agar tercipta suatu persepsi bahwa kontrak politik itu adalah suatu dokumen hukum dan dapat dijadikan pegangan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, ini juga tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab, keterlibatan notaris dalam kontrak politik biasanya hanya untuk melegalisasi atau melakukan warwerken (pencatatan tanggal). Jika yang dilakukan seperti itu, surat yang dilegalisasi atau di-warmerk tersebut tidak bisa menjadi suatu akta otentik, melainkan tetap menjadi sebuah surat biasa.
Sebab, kontrak politik bukanlah sebuah peraturan perundang-undangan, karena bukan dibuat oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas. Kontrak politik juga bukan sebuah kontrak hukum bagi para pihak yang dapat dituntut pemenuhannya melalui sebuah lembaga hukum yang berbentuk pengadilan. Hal ini karena isi dan ruang lingkup kontrak politik sangat umum dan abstrak, sedangkan kontrak hukum haruslah detail. Ini karena hukum pada hakikatnya adalah perdetailan. Tanpa ketentuan yang detail, akan sangat sulit men-judgment bahwa yang menandatangani kontrak telah melakukan wanprsetasi.
Dari paparan Shubhan di atas, dapat dipahami mengapa pasangan Toto tidak bisa dituntut dan dimintai pertanggungjawabannya secara hukum, bilamana janji kampanyenya tidak bisa direalisasikan saat menjalankan pemerintahan. Kalaupun saat ini publik menganggap janji perbaikan jalan yang didengungkan Toto belum terlaksana sesuai kampanyenya, toh tetap tak bisa dipermasalahkan secara hukum. Karena, kontrak politik yang dibuat terlalu abstrak, dan konstruksinya tidak memungkinkan untuk dibuat secara detail. Dengan kata lain, kontrak politik yang dibuat pasangan Toto, bisa dikatakan hanya sebatas sebagai kontak komunikasi dan politik kepada konstituennya.
Satu-satunya pertanggungjawaban yang bisa dilakukan oleh publik adalah sanksi moral dan sanksi politik. Sebab, dua hal itulah yang memungkinkan menjerat seseorang yang secara politik di mata publiknya telah melakukan wanprestasi. Sanksi politik dilakukan saat momentum-momentum suksesi. Sedangkan sanksi moral, kendati ukurannya juga tetap abstrak, tetaplah penting karena disitulah ukuran komitmen seseorang akan bisa dijaga dan diketahui. Apakah seseorang tersebut ingkar janji, komitmen, jujur, ataukah suka mengobral janji.
Kini, semua berpulang kepada publik. Apakah bisa merawat dan menjaga ingatan agar tidak lupa terhadap dendang sumbang kontrak politik. Ataukah semua akan kembali seperti semula, bahwa publik kita selalu mudah lupa terhadap berbagai pengingkaran yang selama ini dialaminya. [*]

Dejavu

ADA dua peristiwa menarik yang terjadi selama sebulan terakhir di sela-sela menjelang dan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi serta Pengolahan Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Kabupaten Bojonegoro. Peristiwa pertama berkaitan dengan mengumpulnya sejumlah kontraktor dan pengusaha lokal di Hotel Layung, Desa Mayanggeneng, Kecamatan Kalitidu. Isu utama dalam pertemuan yang mengklaim diikuti oleh puluhan pengusaha itu adalah mendesak kepada PT Tripatra, pemenang tender EPC 1 Blok Cepu untuk melibatkan mereka dalam paket pekerjaan yang ada dalam EPC 1.
Selang sekitar dua pekan kemudian, persisnya tanggal 30 November 2011, ribuan orang yang menamakan diri Forum Kelompok Masyarakat (FKM) melakukan aksi unjuk rasa ke Pemkab Bojonegoro dan kantor DPRD Bojonegoro. Isu utama yang diusung FKM adalah mendukung Perbup Optimalisasi Kandungan Lokal dan Perda Nomor 23 Tahun 2011 dan mendesak kepada Pemkab Bojonegoro untuk memfasilitasi pertemuan dengan ExxonMobil dan anak perusahaannya MCL, dan PT Tripatra.
Dikatakan menarik karena kedua kelompok massa yang sama-sama mengatasnamakan masyarakat Ring I Blok Cepu ini mengusung isu dan tuntutan yang berbeda. Kelompok pertama terkesan mem-psywar, mengancam kepada PT Tripatra untuk merealisasikan apa yang menjadi keinginannya. Kelompok kedua lebih mendukung langkah pemkab yang telah membuat Perbup dan Perda. Hanya, tuntutan kedua yang relatif sama, yakni sama-sama ingin dipertemukan kepada PT Tripatra. Juga sama-sama mengatasnamakan rakyat, atas nama masyarakat.
Terlepas adanya kepentingan dan tuntutan yang berbeda, ada dua kepentingan berbeda yang masuk, tetapi mempunyai tujuan akhir yang sama, yakni diberikannya ruang untuk mengakses project-project di EPC 1, dan sangat mungkin juga EPC-EPC lainnya. Pada titik inilah persinggungan akan senantiasa muncul.
Munculnya kedua kelompok massa ini mengingatkan kita pada lima hingga enam tahun silam saat ramai-ramai isu soal participating interest (PI/penyertaan modal) Blok Cepu 10 persen. Ketika itu, sekelompok massa yang jumlahnya mencapai ribuan melakukan juga melakukan aksi demonstrasi ke DPRD Bojonegoro dan Pemkab Bojonegoro. Isunya, membatalkan bagi hasil antara Pemkab Bojonegoro melalui BUMD PT Asri Dharma Sejahtera (ADS) dengan PT Surya Energi Raya (SER), perusahaan milik Media Group, yang selama ini menjadi penyandang dana PI 10 Persen.
Di saat ibukota kabupaten dikepung massa yang menolak bagi hasil PI, di wilayah Ring I Blok Cepu diadakan kendurenan yang seolah menandai proyek migas segera berjalan. Di kelompok massa ini juga mengklaim mendapatkan dukungan rakyat, aksi yang dilakukan juga diklaim sebagai atas nama mandat rakyat. Menariknya, kendurenan dan selametan ini dihadiri oleh sejumlah pejabat pemerintahan daerah Bojonegoro.
Dua pengalaman lima enam tahun lalu dan sekarang seperti menjadi dejavu, terulang lagi. Seolah semakin menebalkan keyakinan bahwa bisnis perminyakan dengan segala pernik-pernik yang melingkupinya rentan menimbulkan gesekan sosial, bahkan dengan sesama teman dan kawan sendiri sekalipun. Term politik yang menyebutkan tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan seolah sudah menular di dalam dunia perminyakan.
Disinilah letak ujian sebenarnya Perda 23/2011 yang tanggal 10 November 2011 lalu disahkan oleh Pemkab dan DPRD Bojonegoro. Dinamika politik yang terjadi dalam pembahasan Raperda untuk menjadi Perda beberapa waktu lalu hanyalah merupakan awal dari sebuah test case yang sebenarnya. Ujian sebenarnya adalah saat pelaksanaan megaproyek EPC 1 dijalankan hingga mencapai puncak produksi pada tahun 2013 mendatang. Karena, semua mempunyai kepentingan untuk terlibat dalam industri minyak tersebut. Pada saat semua kepentingan berebut ingin masuk, kanalisasi yang disiapkan seharusnya juga harus memadai. Jikalau tidak bisa menjadi tersumbat hingga berujung pecah. Ini tentu tidak kita inginkan bukan? Perlu kearifan dari semua pihak untuk melihat permasalahan ini dengan jernih, dalam kacamata dan perspektif yang sama terlebih dulu. Minyak memang benar-benar panas, dan licin seperti dzat minyak itu sendiri. [*]

Konten Lokal atau Kontan Lokal?

DALAM sebulan terakhir publik Bojonegoro, khususnya Pemkab dan DPRD serta stakeholders lainnya disibukkan dengan perbincangan tentang pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi serta Pengolahan Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Kabupaten Bojonegoro. Raperda ini merupakan penyempurnaan dari Peraturan Bupati (Perbup) No 48 Tahun 2011 tentang Optimalisasi Kandungan Lokal dalam Kegiatan Industri Migas di Kabupaten Bojonegoro.
Secara garis besar, Raperda ini dibahas untuk kemudian disahkan menjadi Perda dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), membangun tenaga kerja daerah yang terampil dan memfasilitasi pelaku ekonomi daerah (rekanan dan pengusaha lokal) untuk bisa ikut berperanserta dan tumbuh serta berkembang pada proses eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi yang berlangsung di Bojonegoro.
Sesuai target yang direncanakan oleh Bagian Hukum Pemkab Bojonegoro, Raperda ini diharapkan sudah dapat disahkan pada akhir Desember atau akhir 2011 ini. Hal itu karena sesuai schedule, 2013 mendatang adalah puncak produksi migas Blok Cepu. Di sisi lain, untuk menunjang produksi puncak Blok Cepu, BP Migas dan Mobil Cepu Ltd (MCL) selaku operator, menyiapkan 5 Engineering Procurement and Construction (EPC) untuk menunjang pemenuhan sarana dan fasilitas penunjang puncak produksi.
Kesan yang muncul adalah pembahasan dan penyiapan Perda Konten Lokal tidak lebih merupakan sarana legitimasi hukum yang dilakukan daerah (termasuk pelaku ekonomi lokal) untuk terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam berbagai paket pekerjaan yang ada dalam EPC 1 hingga 5. Maklum, untuk EPC 1 saja, yang tendernya dimenangi PT Tri Patra, kabarnya nilai proyek untuk berbagai kegiatan pekerjaan tersebut mencapai triliunan rupiah. Bisa dibayangkan betapa besar perputaran uang di Bojonegoro selama kurun waktu pembangunan paket pekerjaan tersebut.
Hanya, yang menjadi persoalan adalah apakah daerah, termasuk dalam hal ini rekanan dan pelaku-pelaku ekonomi di Bojonegoro, siap dengan segala tantangan berat yang ada di depan mata tersebut, tanpa menyiapkan diri dengan pengembangan kapasitas yang memadai? Sebab, jamak diketahui, industri minyak adalah industri yang sarat teknologi tinggi (hight technology) dan penuh risiko (hight risk). Segala kualifikasi dan grade pasti diterapkan oleh pemenang tender EPC, lebih-lebih operator agar bisa memenuhi standar pengerjaan proyek tersebut.
Faktanya, saat ini problem sosial menyangkut pengerjaan paket pekerjaan di EPC 1 mulai tampak. Banyak kalangan rekanan lokal yang bersuara nyaring supaya mereka dilibatkan dalam paket-paket pekerjaan di EPC 1. Adalah sebuah kewajaran apabila mereka minta dilibatkan, karena megaproyek tersebut akan berlangsung di Bojonegoro. Tentunya akan jadi sebuah ironi kalau kemudian mereka hanya menjadi penonton, tanpa dapat berbuat apa-apa.
Di sisi lain, ngoyo woro untuk merebut paket pekerjaan yang tidak atau belum sesuai dengan kemampuan pelaku ekonomi lokal, tentu juga tidak mungkin dilakukan. Sebab, biar bagaimanapun proyek tersebut adalah sebuah bisnis yang memperhitungkan nilai-nilai keekonomian dan laba. Sulit dibayangkan bisa terjadi kalau kemudian pelaku ekonomi yang tak mempunyai kapasitas dipaksakan menjalankan proyek, hanya demi pertimbangan melibatkan masyarakat lokal. Tentu akan menghambat pekerjaan bukan? Yang rugi pada akhirnya juga pelaku ekonomi itu sendiri, bahkan pemerintah daerah Bojonegoro juga. Idealnya semua diuntungkan: pelaku ekonomi lokal ya.
Tahun 2013 masih ada waktu. Sembari pemkab menyiapkan regulasi agar pelaku ekonomi local terlibat, Pemkab Bojonegoro bersama kalangan operator harus sudah mulai menyiapkan penguatan skill da kapasitas pelaku ekonomi lokal. Penyiapan itu harus diwadahi secara rigit di Perda, agar mempunyai kekuatan hukum. Bila itu tidak dilakukan, sama halnya memaksa kepompong menjadi kupu-kupu: memaksa sesuatu yang belum waktunya. Dengan kata lain, hanya akan menjadikan konten lokal menjadi kontan lokal. [*]

Senjakala di Hari Jadi

TEPAT tanggal 20 Oktober 2011 mendatang, Kabupaten Bojonegoro akan merayakan Hari Jadi Ke-334 tahun. Konon kabarnya penetapan hari jadi Kabupaten Bojonegoro pada setiap tanggal 20 Oktober tidak murni berdasarkan ketentuan administratif yang sebelumnya diawali dengan prosedur pemerintahan yang obyektif dan sesuai dengan kesejarahan faktual Kabupaten Bojonegoro. Melainkan lebih karena peran dominan dan absolut dari pemegang tampuk kekuasaan negara saat itu. Rupanya benar, pemegang kekuasaan adalah pencipta sekaligus penentu sejarah sebuah bangsa, negara, dan daerah. Terlepas prasangka ini benar atau tidak, sejarawan dan peminat kajian sejarahlah yang mungkin berwenang untuk mengusutnya hingga tuntas dan benar.
Mengapa penelusuran jejak kesejarahan Bojonegoro tersebut penting untuk dibuka ulang, bahkan bila perlu ditelusuri ulang, karena sekitar 20 tahun silam ada penemuan penting yang perlu diperhatikan dengan serius. Sekitar 20 tahun silam, di Desa Mayanggeneng, Kecamatan Kalitidu pernah ditemukan Prasasti Adan-Adan oleh seorang petani dari desa setempat.
Konon kabarnya, Prasasti Adan-Adan yang wujud aslinya disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya tersebut menyimpan data penting kesejarahan Bojonegoro. Terlepas benar atau tidak, seorang peminat sejarah Bojonegoro pernah bercerita, dalam Prasasti Adan-Adan disebutkan, dulunya saat zaman Kerajaan Majapahit, status tanah Bojonegoro adalah pardikan, sebuah daerah/wilayah yang dibebaskan membayar pajak oleh Kerajaan Majapahit. Kuat dugaan, status tanah pardikan diberikan karena Bojonegoro bisa jadi pernah dianggap berjasa oleh Kerajaan Majapahit. Sekali lagi konon, nama Bojonegoro sudah disebut-sebut dalam prasasti yang replikasinya akan diberikan kepada Museum Rajekwesi tersebut.
Kalau memang dugaan tersebut benar, berarti nama Bojonegoro sudah disebut sejak lama, tidak lagi hanya 334 tahun silam. Sebab, jika merunut kesejarahan, masa Kerajaan Majapahit adalah tahun 1200 – 1300 an, yang kalau benar berarti usia Bojonegoro jauh lebih tua. Terlepas dugaan ini benar atau salah, tetapi dalam Ilmu Sejarah, cerita rakyat dan rerasanan yang berkembang di masyarakat (apalagi bila benar tercatat dalam prasasti) bisa merupakan data permulaan untuk lebih menggali kebenaran sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Penelusuran jejak sejarah menjadi penting, karena dengan menelusuri kesejarahan masa lampu bisa dijadikan sebagai referensi dalam pemerintahan. Penelusuran sejarah juga penting, karena di dalamnya akan terungkap nilai-nilai sosial masa lampu, hingga kultur yang dikembangkan oleh peradaban masa lampau. Referensi kultur dan peradaban masa lampau juga penting sebagai pijakan untuk menerapkan pembangunan agar kebijakan yang diambil sesuai dengan kultur dan peradaban yang berkembang di masyarakat.
Referensi kultur dan peradaban sangat penting agar kebijakan yang diambil benar-benar telah menyuarakan kepentingan dan pemenuhan hak dasar rakyatnya. Apalagi, berbicara soal pemenuhan hak dasar masyarakat, di usianya yang ke-334, Kabupaten Bojonegoro belum dapat memenuhinya secara 100 persen. Alih-alih 100 persen, pada kisaran 80 persen pun belum tentu sampai.
Sebab faktanya, berbicara soal hak dasar, pada hak dasar pendidikan, kesehatan, dan pangan saja mungkin kebijakan yang diambil masih belum sesuai dengan kehendak dan kebutuhan masyarakat Bojonegoro. Tengoklah masih ada ribuan warga miskin (Miskin) yang belum tercover dalam Jamkesmas maupun Jamkesda. Padahal, berbicara soal kesehatan, adalah kewajiban negara menanggung jaminan kesehatan warganya, khususnya dari kalangan Maskin.
Belum lagi pendidikan, yang ada kecenderungan mempraktikkan kapitalisasi pendidikan, komersialisasi pendidikan, hingga berujung pada kastanisasi pendidikan. Siapa punya uang banyak, dialah yang berpeluang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan baik. Lagi-lagi masyarakat yang tak terlalu memiliki modal besar, akan terpinggirkan oleh sistem pendidikan yang dibangun. Kesan bahwa pendidikan baik adalah mahal adalah tidak salah. Kesan bahwa orang miskin dilarang pintar juga tidak salah, karena akses untuk anak miskin teramat minim porsinya. Itupun belum lagi kebijakan untuk petani yang masih kurang tampak memihak. Kalau semua itu dibiarkan berlarut-larut, benarlah kiranya bahwa senjakala mulai menggelayut di langit Bojonegoro, di hari jadi. [*]