Wednesday, May 9, 2012

Mengembalikan Kepercayaan Politik

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro, yang oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro dijadwalkan diselenggarakan pada 10 November 2012 mendatang, bukan hanya pertarungan antarfigur calon, serta partai politik (parpol) pendukung dan pengusung. Tetapi sekaligus ujian konsistensi sejauhmana keampuhan dan kesolidan koalisi parpol mengikat massa konstituennya.
Ghalib dipahami, bahwa implikasi dari hasil Pemilihan Umum Legislatif (Pilleg) 2009, tidak satupun parpol yang memiliki kursi di DPRD Bojonegoro mempunyai delapan kursi. Padahal, jika mengacu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), khususnya pasal 59 ayat 2, setiap parpol bisa mengajukan calon sendiri dalam Pemilukada jika memiliki kursi 15 persen dari kursi yang ada di DPRD kabupaten/kota.
Dengan kalkulasi regulasi tersebut, parpol dapat mengajukan calonnya sendiri apabila memiliki kursi 7,5 yang dibulatkan menjadi delapan kursi. Konsekuensi hukum ini berimplikasi pula terhadap konsekuensi politik. Karena parpol pemilik kursi di DPRD Bojonegoro tidak ada satupun yang mempunyai delapan kursi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2008, maka jalinan koalisi atau gabungan parpol untuk mengusung dan mendukung calon dalam Pemilukada Bojonegoro adalah pilihan yang tidak bisa dielakkan.   
Masalahnya adalah pondasi koalisi yang dibangun antara partai satu dengan yang lainnya dalam banyak kasus Pemilukada di berbagai daerah tidak sama. Ada yang mengsyaratkan koalisi dibangun atas dasar kesepakatan sharing modal. Tak sedikit pula koalisi dibangun atas landasan sharing dukungan.
Atau, dalam banyak kasus, koalisi dibangun atas dasar komitmen-komitmen pragmatis dalam jangka waktu tertentu. Imbalan posisi wakil bupati, kepala satuan kerja ‘basah’, misalnya, adalah rasionalisasi yang biasanya diparalelkan dengan dukungan yang akan diberikan dan kontestasi Pemilukada.
Tidak salah kalau kemudian komitmen koalisi yang didengung-dengungkan hanyalah sebuah jargon semu nan manipulatif. Komitmen koalisi lazim diplesetkan menjadi kuali isi, yang bermakna lebih mementingkan kepentingan kuali, kantong, saku, atau uang semata. Disinilah prototipe seorang manusia, sebagaimana digambarkan Thomas Hobbes, filosof politik, bagaikan serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus).
Tetapi amat langka, untuk tidak mengatakan tak ada sama sekali, koalisi yang dibangun atas dasar kesamaan ideologi dan filosofis yang rambu-rambunya adalah logis, etis, dan estetis. Yakni, bangunan koalisi yang dibangun atas dasar nilai-nilai substansial dari ilmu politik, yaitu membangun kejujuran dalam bingkai benar-salah (logis), baik-buruk (etis), dan indah-jelek (estetis) dalam menata negara, pemerintahan.
Sudah lama sebenarnya rakyat/masyarakat rindu dengan kejujuran dalam berpolitik dari segenap aktor atau pelaku-pelaku politik. Retorika-retorika dan kamuflase politik yang selama ini dimainkan dalam dramaturgis kaum politikus dalam bingkai koalisi sudah ditangkap rakyat sebagai basa-basi yang hanya bertujuan untuk mendulang dukungan, tetapi nir-ketulusan, nir-kejujuran.
Sudah saatnya sebenarnya pondasi untuk landasan bangunan koalisi atas dasar kesamaan ideologis, komitmen, dan moralitas sebagai jualan utama yang harus dijalankan oleh aktor-aktor (pelaku) politik dalam mengembalikan trust building yang sejatinya sudah lama aus di sanubari publik. Tetapi, sekali lagi, komitmen itu haruslah bukan hanya lip service belaka, melainkan utuh dengan kesadaran politik yang holistik.    
Kesadaran politik yang holistik juga harus dibangun dalam memandang lawan politik. Justru, menurut R. Marshall (1970), landasan berpolitik yang baik adalah adanya saling mempercayai lawan politik, karena hal ini akan mampu mencegah dominasi, mencegah tirani dan totaliterianisme. Sebab, dikotomi antara kawan dan lawan politik hanyalah merupakan perbedaan cara pandang dan jalan untuk menuju sebuah goal akhir dari seni menata negara, yang sesungguhnya adalah satu dan sama. Bukankah demikian adanya? ­[*]

Ujung Blok Lingkar, 3 Mei 2012

Membangun Kesadaran Politik


Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro, yang oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro dijadwalkan diselenggarakan pada 10 November 2012 mendatang, bukan hanya pertarungan antarfigur calon, serta partai politik (parpol) pendukung dan pengusung. Tetapi sekaligus ujian konsistensi sejauhmana keampuhan dan kesolidan koalisi parpol mengikat massa konstituennya.
Ghalib dipahami, bahwa implikasi dari hasil Pemilihan Umum Legislatif (Pilleg) 2009, tidak satupun parpol yang memiliki kursi di DPRD Bojonegoro mempunyai delapan kursi. Padahal, jika mengacu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), khususnya pasal 59 ayat 2, setiap parpol bisa mengajukan calon sendiri dalam Pemilukada jika memiliki kursi 15 persen dari kursi yang ada di DPRD kabupaten/kota.
Dengan kalkulasi regulasi tersebut, parpol dapat mengajukan calonnya sendiri apabila memiliki kursi 7,5 yang dibulatkan menjadi delapan kursi. Konsekuensi hukum ini berimplikasi pula terhadap konsekuensi politik. Karena parpol pemilik kursi di DPRD Bojonegoro tidak ada satupun yang mempunyai delapan kursi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2008, maka jalinan koalisi atau gabungan parpol untuk mengusung dan mendukung calon dalam Pemilukada Bojonegoro adalah pilihan yang tidak bisa dielakkan.   
Masalahnya adalah pondasi koalisi yang dibangun antara partai satu dengan yang lainnya dalam banyak kasus Pemilukada di berbagai daerah tidak sama. Ada yang mengsyaratkan koalisi dibangun atas dasar kesepakatan sharing modal. Tak sedikit pula koalisi dibangun atas landasan sharing dukungan.
Atau, dalam banyak kasus, koalisi dibangun atas dasar komitmen-komitmen pragmatis dalam jangka waktu tertentu. Imbalan posisi wakil bupati, kepala satuan kerja ‘basah’, misalnya, adalah rasionalisasi yang biasanya diparalelkan dengan dukungan yang akan diberikan dan kontestasi Pemilukada.
Tidak salah kalau kemudian komitmen koalisi yang didengung-dengungkan hanyalah sebuah jargon semu nan manipulatif. Komitmen koalisi lazim diplesetkan menjadi kuali isi, yang bermakna lebih mementingkan kepentingan kuali, kantong, saku, atau uang semata. Disinilah prototipe seorang manusia, sebagaimana digambarkan Thomas Hobbes, filosof politik, bagaikan serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus).
Tetapi amat langka, untuk tidak mengatakan tak ada sama sekali, koalisi yang dibangun atas dasar kesamaan ideologi dan filosofis yang rambu-rambunya adalah logis, etis, dan estetis. Yakni, bangunan koalisi yang dibangun atas dasar nilai-nilai substansial dari ilmu politik, yaitu membangun kejujuran dalam bingkai benar-salah (logis), baik-buruk (etis), dan indah-jelek (estetis) dalam menata negara, pemerintahan.
Sudah lama sebenarnya rakyat/masyarakat rindu dengan kejujuran dalam berpolitik dari segenap aktor atau pelaku-pelaku politik. Retorika-retorika dan kamuflase politik yang selama ini dimainkan dalam dramaturgis kaum politikus dalam bingkai koalisi sudah ditangkap rakyat sebagai basa-basi yang hanya bertujuan untuk mendulang dukungan, tetapi nir-ketulusan, nir-kejujuran.
Sudah saatnya sebenarnya pondasi untuk landasan bangunan koalisi atas dasar kesamaan ideologis, komitmen, dan moralitas sebagai jualan utama yang harus dijalankan oleh aktor-aktor (pelaku) politik dalam mengembalikan trust building yang sejatinya sudah lama aus di sanubari publik. Tetapi, sekali lagi, komitmen itu haruslah bukan hanya lip service belaka, melainkan utuh dengan kesadaran politik yang holistik.    
Kesadaran politik yang holistik juga harus dibangun dalam memandang lawan politik. Justru, menurut R. Marshall (1970), landasan berpolitik yang baik adalah adanya saling mempercayai lawan politik, karena hal ini akan mampu mencegah dominasi, mencegah tirani dan totaliterianisme. Sebab, dikotomi antara kawan dan lawan politik hanyalah merupakan perbedaan cara pandang dan jalan untuk menuju sebuah goal akhir dari seni menata negara, yang sesungguhnya adalah satu dan sama. Bukankah demikian adanya? ­[*]

Ujung Blok Lingkar, 3 Mei 2012