Tuesday, June 26, 2012

Memutus Mata Rantai Politik Transaksional


KPUK Bojonegoro menetapkan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro secara langsung akan dilaksanakan pada tanggal 10 November  2012. Dari sisi persiapan perangkat Pilkada, hingga kini memasuki persiapan kelengkapan penyelenggara Pilkada. KPUK misalnya, sudah melantik, dilanjutkan dengan pembekalan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). 
Sedangkan dari sisi pengawasan (watching), belum lama ini tiga anggota Panitia Pengawas Kabupaten (Panwaskab) Pilkada Bojonegoro dilantik oleh Bawaslu di Jakarta. Sebagai tindak lanjut pengawasan, saat ini Panwaskab Pilkada sedang mempersiapkan pembentukan Panwas Kecamatan, dilanjutkan dengan PPL (Pengawas Desa).    
Di luar komponen utama penyelenggara Pilkada itu, ada hal-hal lain yang terkadang luput dari perhatian, meskipun kontribusinya signifikan dalam proses terciptanya Pilkada yang kondusif dan bermartabat. Tak berbasis penyelenggara Pilkada, tetapi fungsi. Setidaknya menurut hemat penulis, terdapat tiga hal pokok. Yaitu, pelibatan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam proses pengawasan Pilkada, law enforcement (penegakan hukum), dan komitmen menjaga demokrasi substansial Pilkada.

Pelibatan OMS
Pemilu dan Pilkada bukan hanya menjadi domain penyelenggara Pemilu. KPU dan Panwas hanyalah merupakan lembaga yang diberi mandat untuk menyelenggarakan Pilkada, sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Sebab, hakikinya Pilkada hanyalah merupakan awal dari proses terbentuknya demokrasi prosedural. Dan salah satu andilnya dari penyelenggara pemilu.
Di sisi lain, realitas melihat ada banyak elemen dan unsur masyarakat yang memiliki andil dan peran dalam menciptakan Pilkada yang kondusif dan bermartabat. Idealnya mereka didorong untuk terlibat dalam proses pilkada, baik sebagai penyelenggara melalui KPUK, PPK, PPS, hingga KPPS, maupun sebagai pengawas mulai Panwaskab, Panwascam, hingga PPL.
Representasi keberadaan OMS, yang terdiri dari Ormas keagamaan, OKP, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemahasiswaan, hingga media massa, ini penting. Bukan hanya sekadar formalitas, tetapi juga karena masing-masing elemen tersebut memiliki basis dukungan, pengaruh, hingga nilai-nilai yang dapat memberikan kontribusi, sekecil apapun, dalam penciptaan Pilkada kondusif dan bermartabat. Kita tidak boleh abai akan hal ini. Pelibatan OMS dalam pengawasan pilkada yang berbasis partisipatif, penting dilakukan.
Sebab, demikian Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996), pemilu bukankah satu-satunya factor dalam konsolidasi demokrasi. Demokrasi juga amat berkaitan dengan factor-faktor non politik, seperti komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule of game), norma-norma birokrasi yang sah rasional (state apparatus), serta tradisi pasar (economic society).
Pelibatan OMS dalam pelaksanaan Pilkada, baik sebagai penyelenggara maupun pengawas secara non-formal, merupakan bagian dari factor-faktor non-politik sebagaimana disinyalir Juan J. Linz dan Alfred Stephen tersebut. Khususnya yang berkaitan dengan komunikasi dan kebebasan berkumpul. Makna pentingnya, keberadaan mereka mutlak, tidak bisa dinafikan.

Penegakan Hukum    
Dalam upaya menciptakan ketertiban sosial, kepastian dan ketertiban hukum, pemerintah bersama DPR membentuk berbagai regulasi. Khusus untuk Pilkada, melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). 
Selain diatur secara spesifik dalam UU itu, KPU dan Bawaslu, selaku penyelenggara pemilu, termasuk dalam hal ini Pilkada, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, juga diberikan kewenangan untuk menerbitkan Keputusan atau Peraturan yang mendukung pelaksanaan Pilkada.     
Secara kuantitas, undang-undang atau aturan yang dibuat, boleh jadi tidak kurang. Masalahnya adalah ada di titik implementasi. Sebab, tidak jarang akibat penafsiran undang-undang yang berdasarkan subjektifitas penafsir acapkali memicu ketegangan di grassroots. Celakanya, bakal calon seolah menafikan kebenaran fakta hukum yang seharusnya menjadi kesepakatan bersama untuk diikuti, agar tertib sosial dan hukum terjadi tanpa pandang bulu.  
Disinilah peran penting aparat penegak  hukum untuk mengawalnya dengan serius. Sebab, bukan tidak mungkin, akibat ketidaktegasan penerapan hukum akan berimplikasi terhadap legitimasi pemerintahan dari pasangan yang terpilih kelak. Padahal, mengutip Jurgen Habermas, dalam buku Legitimation Crisis (1975), kekerasan sangat mungkin dipicu terjadinya crisis of governability (krisis pemerintahan). Krisis pemerintahan yang berkaitan dengan krisis legitimasi ditandai proses ideological breakdown (kehancuran ideologi) dan state malfunction (kegagalan fungsi negara/pemerintah).

Komitmen Demokrasi Substansial
Tidak dapat disangkal bahwa money politics (politik uang) adalah tindakan yang dapat mencederai demokrasi, khususnya Pilkada. Politik uang bukan hanya akan menjadikan cita-cita luhur Pilkada yang menginginkan terciptanya pemerintahan yang ideal, menjadi kabur, karena tertutupi oleh transaksional politik.   
Tetapi, fakta pula mengatakan bahwa politik uang adalah tindakan buruk yang sulit dihilangkan dalam setiap momen suksesi politik. Bahkan, hingga desa (pilkades) sekalipun. Oleh karena itu, hemat penulis masing-masing pasangan calon, berikut tim kampanye dan tim suksesnya, harus didorong untuk serius mempraktikkan demokrasi substansial. Demokrasi yang lebih menekankan pada values, nilai-nilai itu sendiri. Nilai-nilainya adalah transparansi, akuntabilitas publik, partisipatif, jujur, dan lainnya.
Apakah sulit? Rasanya memang sulit, tetapi juga bukan tidak mungkin. Semua berpulang pada komitmen semua pihak. Ya calon, penyelenggara, pengawas, aparatur pemerintahan dan negara, OMS, hingga pada masyarakat secara lebih luas. Tetapi, realisasinya tetap harus diawasi secara bersama-sama pula. Disinilah sebenarnya fungsi OMS dan media massa bisa menjalankan perannya sebagai pengawas yang terintegrasi untuk menjadikan demokrasi prosedural menjadi demokrasi substansial, bukan demokrasi semu.  
Selama tidak ada komitmen untuk menjaga demi terciptanya demokrasi substansial, selama itu pula kita tidak akan pernah bisa memutus mata rantai politik transaksional. Ingatlah dengan apa yang dikatakan Aristoteles, semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan (uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap kesusilaan, keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.
Selama kecenderungan politik transaksional masih pula kita biarkan, selama itu pula kita asusila secara politik, dan merelakan semakin mengguritanya dehumanisasi. Kalau sudah demikian halnya, Pilkada yang kondusif dan bermartabat hanyalah angan-angan, mengawang. Tetapi, semoga saja tidak...! [*]   

*) Disampaikan dalam Talk Show Menuju Pilkada Kondusif dan Bermartabat, Bakesbangpol dan Linmas,  Bojonegoro, di Griya MCM 25 Juni 2012.

Sampah-Sampah Pilkada


Pemilihan Umum Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro masih lima bulan lagi, tepatnya 10 November 2012. Masa kampanye untuk berebut ceruk suara konstituen juga masih lama, baru satu-dua bulan menjelang hari H coblosan. Akan tetapi, jika Anda perhatikan dengan seksama, hampir tidak ada jengkal yang tersisa di jalan-jalan Kota Bojonegoro yang tak diwarnai dengan seutas senyum berbagai nama yang disebut-sebut bakal maju dalam Pilkada Bojonegoro 2012.
Bukan hanya seutas senyum. Masing-masing nama juga memunculkan pencitraan nan pembeda, disertai pesan pengingat. Belum menunjukkan ajakan untuk memilih, memang. Tetapi, hampir semua orang paham dan tahu bahwa munculnya gambar-gambar yang ditampilan dalam berbagai baliho, spanduk, dan banner tersebut menyiratkan pesan, mereka siap bersaing dalam running Pilkada Bojonegoro 2012.
Hingga sekarang belum ada data pasti sudah seberapa banyak (ribuan, atau bahkan ratusan ribu?) banner yang terpasang di berbagai sudut kawasan Kota Bojonegoro. Bahkan, di sudut-sudut desa dan kecamatan, rasanya kita juga banyak mendapati pesan dan gambar nama-nama tersebut.
Akan tetapi, yang mungkin luput dari perhatian kita, hampir seluruh gambar nama-nama bakal calon (karena belum daftar dan ditetapkan sebagai calon oleh KPUK) yang dibingkai dalam baliho, spanduk, dan banner berbahan dasar plastik yang secara ekologis merupakan zat yang sulit diurai. Membutuhkan waktu 20-30 tahun lagi agar sampah plastik terurai dalam tanah. Rasa-rasanya, hiruk pikuk Pilkada akan semakin menambah volume sampah di Bojonegoro yang saat ini sebenarnya sudah overload (melebihi kapasitas).

Sampah Jalanan
Beberapa waktu lalu Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Bojonegoro Nurul Azizah mengungkapkan, volume sampah di Bojonegoro semakin overload. Volume sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Desa Banjarsari, Kecamatan Trucuk overload. Artinya, dengan tren terus meningkatnya jumlah sampah di perkotaan, dalam waktu dua hingga tiga tahun lagi TPA Banjarsari sudah tidak lagi mampu menampung sampah.
Sehingga, dibutuhkan lahan baru yang lebih luas lagi untuk TPA, di luar penerapan perilaku, tata kelola, dan gaya hidup yang benar, sebagaimana dalam diatur UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahkan, sempat muncul gagasan TPA diperluas hingga kecamatan.
Beberapa waktu lalu penulis sempat berdikusi dengan Mahmudin, Kasi Sarana dan Prasarana DKP dalam acara Diskusi Reboan IDFoS. Mahmudin mengungkap studi perencanaan teknis persampahan Bojonegoro 2011. Dalam studi tersebut terungkap, dalam sehari, sampah yang masuk ke TPA rata-rata mencapai 120 m3, sedangkan dalam sebulan mencapai rata-rata 3.500 m3. Jumlah ini hingga kini tidak berkurang, bahkan cenderung naik.
Studi tersebut juga mengungkapkan, sampah jalanan menyumbang 33 persen, disusul sampah pasar 22 persen, rumah sakit 16 persen, serta sampah dari toko, hotel, industri, terbuka, dan permukiman yang rata-rata berkisar 5 persen lebih. Dari jumlah itu, 75 persen di antaranya sampah organik, dan 25 persen sampah an-organik .
Dalam studi terungkap, menumpuknya sampah jalanan di Kota Bojonegoro tersebut akibat dari buruknya perilaku, misalnya membuang sampah sembarangan. Studi itu juga menjelaskan, dari tahun ke tahun terjadi tren peningkatan sampah, seiring semakin luasnya permukiman dan pertambahan penduduk.

Pilkada Ramah Lingkungan
Tak dapat disangkal lagi, maraknya gambar dan baliho pilkada yang bertebaran di sepanjang wilayah Kota Bojonegoro dan kecamatan-kecamatan di seluruh kabupaten semakin menambah volume sampah. Khususnya sampah jalanan dan permukiman. Jadi, sebenarnya disayangkan bila upaya menggalang simpati dan dukungan kepada publik tersebut malah menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan.
Memang, hingga kini para penyelenggara Pilkada (KPUK dan Panwaskab) belum mempunyai regulasi yang jelas untuk menertibkan baliho-baliho tersebut. Rasanya, menurut hemat penulis, sudah saatnya penyelenggara pilkada bersama aktivis lingkungan, satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), DPRD, dan organisasi berbasis lingkungan duduk bersama untuk memformat model penyelenggaraan Pilkada, yang setidak-tidaknya memiliki ruh dan semangat ramah lingkungan. Bila perlu komitmen tersebut dituangkan dalam bentuk regulasi Peraturan Bupati (Perbup), tak sekadar MoU. Misalnya, dengan menyarankan (bila perlu menerapkan aturan) bahwa media kampanye calon sebaiknya berbahan ramah lingkungan, atau aksi lainnya.           
Penulis, mengutip Rakhmat K. Dwi Susilo (2008), memang bukan aktivis lingkungan, tetapi saya memiliki sedikit kesadaran ekologis (ecological awareness), kalau lingkungan terus menerus rusak, maka berakhir pula kehidupan sosial kita... ”Saya juga bukan ahli agama, tetapi saya sangat yakin kalau pikiran, tindakan, dan perasaanku cemas atas masa depan lingkungan, maka Tuhan pun bukan Dzat yang menyia-nyiakan...”. (*)

Bawah Titian, 24 Juni 2012
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi Senin, 25 Juni 2012, Halaman 30   

Wednesday, June 6, 2012

Pendidikan dan Stigma Terminal


Suatu ketika penulis mengantar anak ke Terminal Bojonegoro. Bukan untuk bepergian, tetapi mengikuti kegiatan yang disiapkan sekolah taman kanak-kanak. Selama di terminal anak-anak dikenalkan dengan lingkungan terminal. Selama di terminal pula, anak-anak dikenalkan armada bus, jurusan antar kota dalam provinsi, bus antar kota antar provinsi, hingga hal-hal lain terkait transportasi darat moda bus.
Di sela-sela kegiatan pengenalan lingkungan, penulis sempat berdiskusi dengan Kepala UPTD Terminal Rajekwesi Bojonegoro Edi Subroto. Dia mengaku sangat senang anak sekolah, khususnya taman kanak-kanak, sudi melakukan pembelajaran pengenalan lingkungan ke terminal.    
Bagi Edi Subroto, pengenalan lingkungan dengan mengenal lebih dekat dengan awak bus, sopir, kernet, dan elemen-elemen terminal lainnya penting. Karena, faktanya anak-anak pada akhirnya nanti akan mengetahui, ada beragam jenis pekerjaan yang kelak akan diketahui. Sopir bus, pedagang atau kernet adalah bagian dari realitas yang memapar di hadapan anak-anak.    
***
Pendidikan bukan semata-mata proses pembelajaran dalam penyampaian nalar kognisi pengetahuan, ilmu, kepada anak didik. Tapi, pendidikan sekaligus mengajarkan tentang bagaimana cara memperoleh nalar kognisi tersebut dengan values (nilai-nilai) karakter yang merupakan manifestasi adiluhung kodrati manusia.
Nilai-nilai memang tidak kasat mata. Namun, harus mewujud dalam tindakan (konatif). Nila-nilai itu adalah kejujuran, keterbukaan, kesetaraan, bertanggungjawab, keadilan, hingga kesahajaan dalam keapaadaan. Artinya, output pendidikan bukan hanya terletak pada ukuran-ukuran kuantitatif berupa seberapa cepat dan maksimal seorang anak didik menerima asupan kognisi yang disampaikan oleh pendidik.
Atau, seberapa tinggi capaian yang dihasilkannya dalam proses pembelajaran. Melainkan, bagaimana cara memperoleh nalar kognisi. Akankah ditempuh dengan cara mengabaikan values karakter? Ataukah output tersebut dihasilkan melalui proses cepat saji.      
***
Proses pembelajaran pendidikan selama ini identik dilakukan pada tempat-tempat yang kasat mata berada dalam lingkungan kondusif. Amat jarang, untuk tak mengatakan tidak ada sama sekali, pembelajaran dilakukan pada lokasi yang mungkin bagi sebagian orang kurang layak.
Di terminal, misalnya. Penulis justru membayangkan ada sebuah sarana edukasi untuk anak-anak. Di terminal dapat disediakan berbagai peralatan pendidikan edukatif, maupun sarana bermain lainnya. Kerja edukasi ini tak bisa dilakukan sendiri oleh pihak terminal. Dibutuhkan kerja sama lintas sektoral dengan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) lainnya.
Dinas perhubungan, dinas pertamanan, dinas pendidikan, bakesbangpollinmas, dan dinas infokom, serta satlantas polres dapat melakukan kerja bersama dengan mengsinkronisasi konsep yang terintegrasi dalam penyediaan sarana edukasi ini.
Dinas pertamanan dan UPTD terminal, menyediakan lahan di terminal yang berfungsi tak hanya sebagai media edukasi, tetapi juga konsepsi pembelajaran lingkungan (eco-education) dengan menciptakan pemandangan yang asri nanti sejuk.
Dinas perhubungan dan satlantas bekerja sama dengan memasukkan unsur pendidikan lalu lintas melalui rambu-rambu kepada anak didik di sarana edukasi tersebut. Dinas perhubungan, bekerja sama dengan Organda, misalnya, dapat memasang bus kuno yang fungsinya adalah sebagai pembelajaran sejarah moda transportasi darat.
Sedangkan dinas pendidikan, dinas infokom, dan bakesbangpolinmas mengambil peran dengan cara mendesain konsep pembelajaran ideal sekaligus media komunikasi maupun jaringan, yang siap dioperasionalkan kepada anak didik.
Boleh jadi, pembelajaran ini bukan hanya akan mengikis stigma negatif terminal yang selama ini identik dengan kekumuhan dan rawan tindak kriminalitas (nir-edukasi?). Tapi, juga akan memberikan warna hidup yang berbeda kepada anak-anak kita. Maknanya, di manapun, kita bisa belajar. Di tempat manapun kita bisa menggali karakter maupun nilai-nilai, dengan apa adanya, dengan keterbukaan dan kejujuran. (*)

Ujung Blok Lingkar, 3 Juni 2012

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Halaman 30, Edisi 4 Juni 2012