Sudah
menjadi kesepakatan umum bahwa demokrasi prosedural adalah salah satu model
pembentukan pemerintahan yang disepakati untuk dijalankan oleh semua pihak di setiap
hierarki struktural kewilayahan. Salah satu model dari demokrasi prosedural
adalah memilih pemimpin melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah-Wakil Kepala
Daerah (Pemilukada).
Dalam
perjalanannya, pelaksanaan Pemilukada acapkali disertai dengan gunjingan dan
rerasanan yang berlangsung tak hanya setelah pelaksanaan, melainkan juga
menjelang ataupun selama pelaksanaan momentum suksesi tersebut. Tidak
terkecuali pelaksanaan Pemilukada Bojonegoro, yang menurut rencana dilaksanakan
10 November 2012 nanti.
Salah
satu titik rawan yang mungkin kerap menyertai dan terjadi dalam pelaksanaan
Pemilukada adalah munculnya praktik-praktik mafioso. Mafioso dalam konteks ini tak
hanya sosok figur yang memiliki andil dalam mempermainkan suara saat
pelaksanaan Pemilukada. Melainkan juga sosok figur kerap mewarnai pra, selama,
hingga pasca Pemilukada.
Ada
beberapa tindakan yang mengarah pada konsepsi mafioso. Pertama, berkaitan
dengan aksi yang dilakukan beberapa pihak yang berhubungan dengan proses salah
satu tahapan dari Pemilukada. Khususnya adalah yang berkaitan dengan
persyaratan maju untuk bakal calon dari jalur independen (perseorangan).
Mungkin,
kita pernah mendengar tentang muncunya sosok-sosok penumpang gelap atau
penunggang liar (free rider) yang
memanfaatkan momentum Pemilukada untuk mengeruk keuntungan. Beberapa waktu yang
lalu kita mungkin sempat mendengar munculnya broker atau makelar yang
menawarkan jasa untuk menyiapkan sekaligus menggalang Kartu Tanda Penduduk
(KTP) yang dibutuhkan oleh calon independen, sebagai syarat maju dalam
Pemilukada.
Modusnya,
dengan menawarkan harga yang sama-sama menguntungkan (deal) dan disepakati oleh makelar dan tim sukses calon independen. Bagi
broker, ada keuntungan yang akan didapat dari ”jual jasa” penyediaan KTP
tersebut, dari nilai nominal yang disepakati. Sementara bagi tim sukses calon
independen, cara ini juga dipandang ”membantu” untuk memudahkannya dalam
mencari dukungan KTP, yang disyaratkan oleh KPUK sebanyak 43.100 lembar. Terlepas
apakah isu ini benar atau tidak, karena membutuhkan verifikasi dan crosscheck
lapangan, apapun fenomena ini muncul di masyarakat, dan patut diperhatikan
dengan serius.
Fenomena
praktik mafioso kedua adalah dugaan adanya penggunaan fasilitas negara
(pemerintah) untuk melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi mencuri start
kampanye. Biasanya, yang sering terjadi, praktik-praktik seperti ini dilakukan
oleh pihak-pihak atau bakal calon yang menyandang status incumbent. Atau setidak-tidaknya bakal calon yang menyandang
predikat sebagai pejabat publik.
Dengan
berbagai fasilitas yang dimilikinya secara melekat, antara lain dalam bentuk
kendaraan dinas, dana perjalanan dinas, hingga staf yang bertugas di satuan
kerja pemerintah daerah (SKPD), pejabat incumbent
dan pejabat publik memang sangat potensial untuk melakukan penyalahgunaan
jabatan ini untuk kepentingan pencitraan di depan publik.
Apakah
praktik seperti ini dibenarkan? Secara normatif, lembaga yang mempunyai
otoritas untuk mengawasi, Panwas Pilkada dan KPUK, akan sangat kesulitan untuk
menyatakan bahwa tindakan tersebut sebagai kampanye terselubung, atau
setidak-tidaknya sebagai curi start kampanye. Karena faktanya, memang tidak ada
tindakan dan ucapan yang pesannya mengarah untuk mendukung incumbent.
Tetapi,
mungkin hampir semua orang akan mempunyai rasa yang sama bahwa aksi-aksi itu
bagian dari kampanye, sekalipun susah dibuktikan hitam di atas putihnya.
Karena, secara normatif hukum legal formal, kita mungkin tidak akan pernah
mampu menemukan bukti pelanggarannya. Dan inilah sebenarnya salah satu bentuk
praktik mafioso, yang sekalipun kasat di depan mata, tetapi sulit dijerat
dengan normatifme regulasi yang tersedia.
Bentuk-bentuk
praktik mafioso ketiga adalah permainan politik anggaran yang ada dalam APBD.
Lagi-lagi pihak yang berpotensi melakukan praktik-praktik seperti ini adalah incumbent dan bakal calon yang
menyandang status sebagai pejabat. Berdasar pengalaman analisis FITRA Jawa
Timur, rata-rata modus yang dipakai adalah dengan cara menaikkan anggaran
bantuan sosial dan hibah pada satu tahun jelang pelaksanaan Pemilukada.
Anggaran
tersebut memang peruntukannya adalah untuk masyarakat, yang lagi-lagi sangat
rawan menjadi kampanye terselubung. Biasanya pula, satu tahun setelah
Pemilukada, anggaran ini turun kembali. Apakah hal ini sudah terjadi di
Bojonegoro? Mari kita awasi bersama. Jika benar ada, tak salah jika kita
beranggapan, mafioso Pemilukada bukan asumsi, tetapi benar adanya. [*]