Tuesday, August 7, 2012

Pemilukada 2012: Rivalitas Ideologis dan Politis


Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro, yang oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bojonegoro dijadwalkan berlangsung pada 10 November 2012 nanti, sepertinya menjanjikan karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2007, baik tipologi maupun momentumnya.
Apa titik relevansi Pemilukada 2012 dengan Pilkada 2007? Mari sejenak kita buka memori lama yang terpampang dalam labirin Pilkada 2007 silam. Dalam Pilkada 2007, sudah jamak diketahui muncul rivalitas yang ketat dan laten antara HM. Santoso yang ketika itu masih menjabat sebagai Bupati Bojonegoro (periode 2002-2007), dengan HM. Thalhah, yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Bupati Bojonegoro.
Rivalitas itu mengemuka tidak hanya dalam hubungan personal di antara keduanya, meski dalam tataran formal keduanya masih bisa menampilkan wajah dramaturgis, yang seolah-olah tidak ada kompetisi di antara keduanya. Tetapi, bagi yang mengetahuinya, setidaknya mengamati, perwajahan itu hanyalah semu dan tidak sebenarnya.
Ketegangan politik (saat) itu sebenarnya bisa diverifikasi dengan terlihatnya hubungan kurang harmonis dalam realitasnya. Di mana-mana, mungkin publik sudah sering mendengar bagaimana upaya perebutan pengaruh antara Santoso dengan Thalhah, ketika itu begitu kuat. Sampai-sampai ketika itu muncul kesan antara klan S1 (Santoso) dan klan S2 (Wabup).
Perebutan pengaruh itu merembet di ranah publik hingga mempengaruhi berjalannya roda Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro ketika itu. Dalam berbagai kesempatan yang berkaitan dengan publik, kedua belah pihak seperti sedang bersaing berebut pengaruh di mata publik. Rivalitas itu berlanjut hingga Pilkada 2007. Keduanya vis a vis secara terbuka dalam gelanggang Pilkada.
Di tengah memanasnya hubungan keduanya, muncul new comer (pendatang baru), Suyoto. Saat publik membaca secara kental rivalitas antara Santoso dan Thalhah, publik pun seolah membutuhkan figur alternatif yang bebas dari anasir orang lama. Suyoto yang hadir dengan pendekatan kampanye yang integratif, mampu memukau publik. New comer datang untuk memenangi Pilkada. Publik ketika itu ‘menghukum’ Santoso-Thalhah yang tengah asyik dengan rivalitasnya, dengan menjatuhkan dukungan kepada publik.

Realitas Pemilukada 2012
Bagaimana dengan Pemilukada 2012? Sebenarnya, jika kita perhatikan secara serius, ada benang merah karakteristik maupun momentum antara Pilkada 2007 dengan Pemilukada 2012. Setidaknya ada dua alasan utama yang bisa dijadikan sebagai argumentasi. Pertama, rivalitas ideologis. Secara geneologi politik, ada benang merah karakteristik antara dua figur yang bisa dibilang sejatinya terlibat konflik kepentingan yang laten.
Baik Suyoto maupun Thalhah sama-sama mempunyai latar belakang yang tidak berbeda jauh. Dari sisi kultur pendidikan, latar belakang keduanya sama. Sama-sama mantan rektor sebuah perguruan tinggi. Suyoto adalah mantan Rektor Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Gresik. Sedangkan Thalhah mantan Rektor Universitas Bojonegoro (Unigoro).
Yang menarik, keduanya juga sama-sama mempunyai latar belakang politik. Ingat, M. Thalhah sampai saat ini masih tercatat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golongan Karya (PG) Bojonegoro. Sedangkan Suyoto juga tidak kalah matoh. Dia masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Amanat Nasional (PAN) Jawa Timur.  
Secara kelembagaan politik (baca: partai politik) rivalitas keduanya mencapai klimaksnya pada Pemilihan Umum Legislatif (Pilleg) 2009. Pada Pilleg 2009, Partai Golkar mampu memenangi rivalitas kelembagaan politik tersebut. Meski sama-sama memperoleh tujuh kursi, tetapi Partai Golkar lebih unggul dalam perolehan suara. Sesuai rekapitulasi KPUD Bojonegoro ketika itu Partai Golkar memperoleh 100.000 lebih suara, unggul ribuan suara atas PAN.
Siapa pemenang rivalitas personal Thalhah dengan Suyoto? Apabila mengacu hasil  Pilkada 2007, pasangan Suyoto-Setyo Hartono (Toto) yang menang. Namun, Thalhah yang maju lagi dalam Pemilukada 2012 nanti, yang kali ini bergandengan dengan Agus Hariyanto (AH), masih berkesempatan untuk revans. Siapa pemenangnya? Menarik untuk ditunggu.
Titik kesamaan kedua adalah munculnya kehadiran penantang atau pendatang baru. Ada perbedaan posisi yang disandang incumbent (petahana), dalam hal ini pasangan Toto yang masih terus bertahan formasinya pada Pemilukada 2012. Ketika Pilkada 2007, penantangnya adalah Toto, sementara pada Pemilukada 2012 menghadirkan banyak pendatang baru. Baik yang berangkat melalui gabungan Parpol maupun jalur perseorangan (independen).  
Penantang dari gabungan Parpol terdiri dari pasangan M. Choiri, pengusaha dan Kepala Desa Plesungan, Kecamatan Kapas, yang bergandengan dengan Untung Basuki, birokrat. Pasangan yang berakronim Choirun itu diusung oleh PKNU, PPP, Partai Hanura, PKS, dan PNBKI yang akumulasi kursinya (hingga akhir Juli) 14 buah.
Sedangkan dari jalur independen, ada tiga pasangan. Yakni, Andromeda Qomariyah-Sigit Budi H (birokrat-pegiat LSM), Sarif Usman-Syamsiyah Rachim (Kades Balenrejo, Kecamatan Balen-akademisi/pengusaha), dan Harmono-Sukemi (mantan Administratur Perhutani-birokrat dan pengusaha media). Akankah pendatang baru yanang menang? Ataukah jago lama yang masih menghegemoni? Menarik untuk ditunggu juga?

Kampanye Jujur
Dari sisi pendekatan kepada publik, model yang dilakukan kontestan baru hampir mirip-mirip dengan yang dilakukan incumbent, khususnya Suyoto. Pendekatan integralistik secara personal kebanyakan juga dipilih oleh masing-masing calon. Kisah sukses Suyoto pada Pilkada 2007, yang dengan pendekatan kemanusiaannya, diretas ulang dengan berbagai replikasi, oleh kontestan lain.
Kondisinya kini seperti berbalik. Model yang dilakukan incumbent, yang hingga kini masih diteruskan, ditambahi dengan labeling pengajian, juga digunakan sebagai ‘senjata’ serupa oleh kontestan lain untuk menandingi popularitas petahana. Manakah yang efektif untuk menarik masyarakat? Menarik ditunggu hasilnya.
Yang pasti, momentum Pemilukada bukan hanya tentang aktualisasi instrumen-instrumen politik yang dilakukan aktor-aktor politik dalam menyuarakan visi besarnya dalam menata pemerintahan. Pemilukada juga merupakan sebuah dedikasi dan komitmen untuk bersama-sama melakukan konsolidasi, sekaligus membangun bangunan demokrasi bagi tertatanya pranata sosial yang, dalam perspektif Antony Giddens, welfare society (masyarakat berkesejahteraan).
Manifestasi dari sebentuk dedikasi dan komitmen membangun pranata sosial tersebut harus dilakukan dengan kejujuran, bukan hanya berlandaskan upaya-upaya untuk pemenuhan kemenangan yang dilakukan dengan menempuh berbagai cara dan mencederai nilai-nilai pranata sosial yang berkembang.
Filosof Wittgenstein dalam buku Culture and Value (1984:35) mengatakan, kejujuran adalah kebenaran dan kebenaran hanya dapat dikatakan oleh orang yang telah menghayatinya. Bukan oleh orang yang masih hidup dalam kebohongan.
Artinya, membangun dan mengkonsolidasikan demokrasi prosedural tak cukup dilakukan dengan teori-teori normatif yang benar secara akademik dan empiris. Lebih dari itu, upaya tersebut harus ditempuh dengan cara-cara yang jujur dan benar. Pelaksanaan cara-cara ini lebih bermakna dan bermartabat, karena di dalamnya mendorong terciptanya sebuah uswah (teladan) yang menyiratkan nilai-nilai kebenaran. Dus, jangan sekali-kali melakukan kebohongan publik. Sekali saja itu dilakukan oleh para kontestan Pemilukada dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, publik mempunyai cara tersendiri untuk membalasanya, baik secara politik maupun sosial. [*]

Rivalitas Parpol dan Perorangan


Tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Bojonegoro mulai memasuki fase krusial. Hingga awal Agustus 2012 ini, konfigurasi Bakal Calon Bupati (Bacabup) dan Bakal Calon Wakil Bupati (Bacawabup) mulai berpendar. Setidaknya, ada lima pasangan Bakal Calon (Balon), baik dari jalur partai politik maupun independen (perseorangan), yang muncul.
Dari jalur partai politik ada tiga pasangan. Mereka adalah pasangan petahana (incumbent), Suyoto-Setyo Hartono (Toto). Dua nama ini diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN) yang berkoalisi dengan Partai Gerindra, dan Partai Demokrat (PD). Kemudian, pasangan M. Thalhah, yang bergandengan dengan Agus Hariyanto (AH). Thalhah-AH mendapat rekom dari Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan.
Dan ketiga pasangan Moh. Choiri yang bergandengan dengan Untung Basuki (Choirun). Dua Balon ini mendapat rekomendasi dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), serta Partai Nasional Benteng Kemerdekaan Indonesia (PNBKI).
Selain jalur Parpol, ada tiga pasangan Bacabup dan Bacawabup yang maju dari jalur independen. Mereka adalah pasangan Andromeda Qomariyah-Sigit Budi H, Syarif Usman-Syamsiyah Rachim, dan Harmono-Sukemi. Untuk nama terakhir, sangat mungkin tercoret, karena hingga awal Agustus berkas dukungan mereka tidak diverifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro.
Bagi masyarakat Bojonegoro, Pemilukada kali ini menghadirkan nuansa yang berbeda jika dibandingkan dengan Pilkada 2007. Selain secara perundangan dan mekanisme yang memang tidak sama, perbedaan mencolok lainnya adalah hadirnya dua pasangan dari jalur independen pada Pemilukada Bojonegoro, yang dijadwalkan KPUK berlangsung pada 10 November 2012. Pada Pilkada 2007 kontestannya didominasi oleh calon dari partai politik.   
Dapat dikatakan, Pemilukada 2012 ini seperti menjanjikan ‘pertarungan’ yang terbuka antara rekrutan partai politik, yang diwakili oleh majunya tiga pasangan calon, serta rivalitas serius dari perseorangan yang diwakili oleh dua pasangan. Soal apakah publik tetap cenderung terhadap pilihan partai politik atau sebaliknya, 10 November lah waktu penentuannya.  
Tetapi, justru sekaranglah saatnya publik bisa menilai apakah pasangan dari jalur perseorangan sudah cukup menjanjikan untuk menggantikan dominasi sekaligus hegemoni partai politik yang selama ini sudah bercengkeram lama, berkelindan dengan struktur sosial yang mengurat mengakar. Atau justru sebaliknya, sejarah akan tercipta dengan lahirnya pemimpin dari jalur independen. Menarik untuk ditunggu.  
Tetapi, marilah sejenak kita tinggalkan ‘pertarungan’ terbuka yang sebentar lagi akan tergelar. Yang menjadi penting untuk dicermati publik adalah sejauhmana kemampuan aktor-aktor politik, yang diwakili oleh para kontestan, berikut instrumen yang akan digunakan, mampu mempengaruhi publik untuk memberikan dukungan.
Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, pernah berpesan, tolok ukur kedaulatan suatu republik dapat dilihat dari kemampuan aktor-aktor di dalamnya untuk menciptakan kemandirian sosial ekonomi, kemerdekaan politik, dan memiliki kepribadian dalam berbudaya.
Apa maknanya? Bahwa kemampuan aktor-aktor politik Pemilukada berikut anasir di dalamnya, dalam mendesain sebuah visi dan misi besar style politiknya akan sangat mempengaruhi kepercayaan publik untuk memberikan mandat sosial. Mandat sosial dalam bentuk kepercayaan publik ini penting untuk ditekankan agar instrumen yang dihasilkan mampu menunjang dan menciptakan kemandirian sosial, ekonomi, dan politik sebagaimana disinyalir oleh Bung Karno.
Tidak pandang aktor-aktor politik tersebut dari partai politik ataupun perseorangan, selama mampu merealisasikan visi besar tersebut, yakinlah bahwa publik akan dengan sendirinya memberikan dengan sukarela mandat sosial tersebut. Kesadaran dan keseriusan untuk menanamkan kepercayaan ini menjadi penting agar Pemilukada, yang merupakan salah satu bentuk dari ikhtiar konsolidasi demokrasi, tidak hanya menjadi semacam ritual politik yang gegap gempita di permukaannya, tetapi senyap nilai-nilai demokrasi dalam substansinya. Semua belum terlambat, tetapi justru baru dimulai.
Pemilukada juga merupakan sebentuk model kaderisasi dan rekrutmen kepemimpinan daerah. Baik buruk jalannya rekrutmen kepemimpinan daerah, tergantung sejauhmana kemampuan institusi-institusi sosial didalamnya untuk membentuk dan mengarahkan mau dibawa kemana kemudi pemerintah daerah.
Dibutuhkan sebuah cara pandang yang arif, bijak, dan holistik agar suksesi pemerintah daerah ini tidak semata-mata dipandang sebagai gelanggang perebutan kekuasaan. Melainkan sebagai ikhtiar untuk ruang aktualisasi konsolidasi demokrasi, dengan tidak menafikan kepekaan atas realitas sosial yang berkembang.
Aristoteles, filosof peletak sendi-sendi politik, menekankan, etika seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah mampu membangun kepekaan diri terhadap apa yang mereka butuhkan. Bukan apa yang seorang pemimpin butuhkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang beretika tidak akan menuntut apapun kepada rakyat demi kepetingan sendiri saat rakyatnya sedang hidup menderita. [*]

     

Kunker Stadium IV


KOLOM ini bermula dari diskusi kecil penulis belum lama ini. Penulis semula jengah menulis kembali kunjungan kerja (kunker), studi banding (stuba), bimbingan teknis (bimtek) atau apapun yang berkaitan dengan perjalanan dinas anggota DPRD Bojonegoro.
Jengah karena sebenarnya belum lama penulis menulis kolom Kunker Anggota DPRD dan Kepatutan Publik di pada koran yang sama, edisi 18 September 2011 lalu. Tetapi, penulis harus menulisnya kembali karena rasanya kunker, stuba, ataupun bimtek yang dilakukan oleh anggota DPRD Bojonegoro akhir-akhir memasuki level tinggi. Atau mungkin bahasa yang tepat adalah Stadium IV.
Kolom ini juga bukan dimaksudkan mengurusi ‘rumah tangga’ lembaga pemerintahan daerah, DPRD. Namun, sebagai lembaga yang sumber pendanaannya dari APBD, penulis memandang patut mempertanyakannya, karena sedikit banyak kita (termasuk Anda) adalah pembayar pajak, yang sebagian di antaranya masuk APBD.
Jadi, sudah sepantasnya kalau kemudian kita mempertanyakan asas manfaat dan kegunaannya. Lagi pula, penulis tidak mau dikatakan sebagai orang yang memiliki selemah-lemahnya iman saat melihat kekurangpatutan bersimaharajalela di depan mata. Setidaknya-tidaknya melalui tulisan.

Pemborosan Anggaran
Kalau Anda mencermati aktivitas kunker dan bimtek anggota dewan akhir-akhir ini mungkin pantas geleng-geleng kepala. Mari kita lihat statistiknya. Selama Juli 2012, anggota dewan bimtek tentang sosialisasi perundang-undangan di Jakarta hingga dua kali. Selain bimtek, selama Juli pula mereka belasan kali kunker ke berbagai daerah.
Rinciannya, kunker luar provinsi tiga kali, dan kunker dalam provinsi tiga kali. Ingat, seluruhnya dilakukan oleh semua anggota komisi (A, B, C, dan D) berikut pimpinan dewan. Dari jumlah itu, apabila dipersentase, selama Juli 2012 aktivitas anggota dewan 80 persennya kunker dan bimtek! Karena, menurut pengamatan penulis, selama Juli rata-rata komisi DPRD hearing dua hari. 
Di awal Agustus kegiatan serupa masih dilakukan. Berdasarkan jadwal dari badan musyawarah (Banmus) DPRD, seluruh komisi kunker kembali pada 2-4 Agustus 2012. Praktis, mereka hadir hanya pada 1 Agustus, itupun untuk mengambil gaji (Jawa Pos Radar Bojonegoro, 4 Agustus 2012). Setelah ini, anggota dewan ‘jeda’ kunker, untuk kembali kunker lagi (khusus untuk badan legislatif) pada akhir Agustus.     
Kunker seolah menjadi primadona baru bagi anggota dewan untuk mengeluarkan dana APBD. Menurut analisa Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jawa Timur, kunker dan studi banding merupakan modus baru anggota DPRD dalam memboroskan uang APBD.
Analisa FITRA Jawa Timur, seperti menemukan pembenarannya. Dalam kajian anggaran DPRD yang dilakukan oleh IDFoS beberapa waktu lalu, selama 2011 total biaya kegiatan luar kantor Rp 11,612 miliar. Dengan rincian, total biaya perjalanan dinas dalam daerah Rp 487,850 juta, serta total biaya perjalanan dinas luar daerah Rp 10,016 miliar. Angka-angka ini tidak ngawur dan tak asal sebut, tetapi berbasis dan bersumber dari Perbup Nomor 14 Tahun 2011 tentang Penjabaran APBD Bojonegoro 2011.
Memang, tidak semua penggunaan anggaran menggunakan label kunker. Dalam Perbup 14/2011 dijelaskan, label yang digunakan adalah rapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah, pelatihan dan pendidikan formal, maupun bimtek implementasi peraturan perundang-undangan. Ada juga yang memakai label kunker pimpinan dan anggota DPRD dalam daerah, peningkatan kapasitas pimpinan dan anggota, hingga sosialisasi perundang-undangan.
Yang menarik, dari semua penggunaan anggaran tersebut, masing-masing item uraian ada label perjalanan dinas untuk pimpinan dan anggota dewan. Karena itu, bila dibuat perhitungan kasar, rata-rata per anggota dewan setiap tahun mendapat tambahan pendapatan dari perjalanan dinas sejumlah Rp 210,082 juta! dengan perhitungan Rp 10,504 miliar dibagi 50 anggota dewan.
Bagaimana dengan 2012? Rasanya hitung-hitungan dan model penyerapan anggarannya tak jauh berbeda. Bahkan, tidak menutup kemungkinan besaran pendapatan tambahan yang akan diterima anggota dewan (di luar uang representasi) lebih besar. Sebab, hitung-hitungan tersebut berdasar alokasi total anggaran yang dikelola sekretariat DPRD (Setwan) selama 2011 yang sebesar Rp 18 miliar. Sementara, pada 2012 ini, jika usulan perubahan APBD 2012 disetujui paripurna, Setwan akan mengelola anggaran hingga Rp 30 miliar lebih.

Mendorong Kontrol   
Dengan postur anggaran demikian, rasanya para pemangku kepentingan (stakeholders), tidak patut pula berdiam diri. Para aktivis mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), Ormas, Ornop, akademisi, Parpol hingga jurnalis, dan pemangku kepentingan lain rasanya perlu untuk mendorong akuntabilitas dan pertanggungjawaban atas penggunaan dana tersebut.
Kita tidak menolak kunker, bimtek, atau stuba, karena toh secara legal formal tidak menyalahi peraturan perundang-undangan. Tetapi, setidak-tidaknya ada pertanggungjawaban yang rasional dan logis dari penggunaan dana tersebut. Karena, rasanya publik belum pernah kok tahu (apalagi memahami dalam konstruksi yang benar) soal apa yang dilakukan dan dihasilkan anggota dewan pasca kunker. Pada titik inilah sebenarnya kita patut mempertanyakannya, sekaligus menuntut pertanggungjawaban karena ada andil dari uang pajak kita. [*]

Ujung Blok Lingkar, 4 Agustus 2012        

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 6 Agustus 2012, Halaman 30.