Monday, October 29, 2012

Pilkada dalam Media Sosial

Apakah lalu lintas ‘diskusi’ dalam dunia maya jejaring sosial (social networking) dapat dijadikan sebagai gambaran, atau setidaknya referensi untuk memahami peta realitas Pemilihan Umum Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro 2012?
Terlalu berlebihan kita katakan ya. Tetapi, terlalu naif pula kita abaikan, bahkan katakan tidak sama sekali. Sekecil apapun keberadaan media sosial, entah facebook, twitter, atau lainnya, penulis yakin mempunyai efek yang tidak bisa disepelekan.
Sebagai varian medium baru dalam penyampaian ide/gagasan, di luar media konvensional seperti koran, majalah, tabloid, dan radio, fakta efek langsung maupun tak langsung media sosial, tak bisa disepelekan. Bukan saja dapat mempengaruhi branding (pencitraan) seseorang, tetapi juga mempengaruhi perilaku jamaah media sosial, atau masyarakat yang membuka laman tersebut.   
Jika Anda jamaah facebook, jika diperhatikan saat ini ada banyak grup yang khusus membahas Pilkada Bojonegoro. Jumlahnya lebih dari 10. Mulai hanya membincang gagasan untuk Pilkada 2012, hingga mem-branding maupun kampanye perlawanan terhadap calon-calon tertentu. Sebut saja, Pilkada Bojonegoro 2012, Ayo Menjadi Bagian dari Perubahan untuk Bojonegoro yang Lebih Baik, Bojonegoro yang Lebih Baik, hingga grup yang antitesis terhadap calon tertentu.
Dalam perspektif ilmu komunikasi, pemanfaatan dan keberadaan grup-grup dalam media sosial sebenarnya sudah lama menjadi objek kajian dan penelitian. Efek dan pengaruhnya sudah dirasakan. Namun, seberapa besar dan kuat efeknya, semua tergantung bagaimana masifitas, efektivitas, dan cakupan areanya. 
   
Gambaran Realitas?
Sejauhmana daya jangkau media sosial mampu mempengaruhi suara dan keputusan dari publik? Direktur PoliticaWave Yose Rizal dalam kuliah umum di kampus Universitas Indonesia Salemba berpendapat, suara di media sosial merupakan representasi suara rakyat. Ketepatan itu bisa didapat salah satunya karena media sosial sekarang ini merata digunakan oleh berbagai golongan masyarakat, tak hanya golongan menengah. (Kompas, 27/9/2012)
Bahkan, Yose mengklaim, pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) di twitter kecil persentasenya karena di twitter mereka lebih jujur. Tanpa ditanya, mereka bahkan bersedia mengatakan dukungannya. Berbeda dengan survei yang memakai sampel ratusan orang, media sosial menggunakan sampel 500.000 pemilik akun.
Dengan demikian, media sosial (termasuk facebook) sekarang tidak sekadar merekam percakapan para penggunanya, tetapi juga bisa dianalisis dengan menggunakan algoritme tertentu untuk misalnya memetakan dampak-dampak, sentimen, afiliasi, kecenderungan, maupun keberpihakan.
Meminjam analisis Yose, kita mungkin dapat meraba sejauhmana hiruk pikuknya media sosial dengan peta pilkada. Pada saat seorang jamaah facebook menyampaikan gagasan atau dukungan terhadap calon tertentu dengan menonjolkan sisi plusnya, tetapi banyak komentar ditautkan, secara sederhana orang dapat menganalisis sejauhmana penolakan maupun penerimaannya. Begitu pula sebaliknya.
Karena, pada dasarnya, dalam hal-hal tertentu secara psikis, jamaah facebook, seperti tesis Yose, terkadang lebih jujur menyampaikan pendapatnya dalam media sosial ketimbang percakapan verbal. Sekalipun tesis ini probabilitasnya masih perlu dikaji lebih jauh lagi, karena kebenarannya bersifat ideografik, bukan general/universal.

Ruang Publik Alternatif
Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta mungkin satu di antara sekian banyak contoh yang dapat dijadikan sebagai perbandingan untuk mengukur efektivitas dan masivitas ikhtiar branding sekaligus kontra terhadap figur calon.
Kita masih ingat bagaimana mantra Fokoke Jokowi mampu menembus sekat-sekat primordialisme, agama, suku, hingga ideologi politik masyarakat Jakarta yang tingkat heterogenitasnya tinggi. Sebaran dan efek mantra ini mampu mengalahkan hegemoni oligarki dan patronisme yang selama ini melekat pada calon tertentu.
Mantra Fokoke Jokowi seolah menjadi dendang sumbang yang dinyanyikan serempak. Seolah mantra tersebut menjelma menjadi sindiran yang membawa energi untuk melawan calon yang dianggap musuh bersama (common enemy). Kekuatannya sangat masif, hingga kemudian mampu menumbangkan dominasi calon tertentu.
Pertanyaannya adalah apakah riuh rendah media sosial pada Pilkada Bojonegoro akan mampu memberi pengaruh besar? Anda dapat membacanya dari gemuruh grup-grup yang ada, baik pro maupun antagonis. Penulis tidak perlu menyebut ragam bentuk status dan komentarnya, berikut bagaimana efeknya.    
Studi Yanuar Nugroho (2012) dan Merlyna Lim (2012) mungkin dapat dijadikan sebagai perbandingan. Bahwa, selama beberapa tahun terakhir terjadi perkembangan menarik dalam ruang publik politik. Media sosial digital menjadi lokus dibukanya kembali ruang publik untuk isu-isu politik di antara sesama anggota komunitas kewargaan. Mulai tumbuh sebuah ruang publik politik yang dipelopori para aktivis media sosial di dunia maya. Komunitas-komunitas itu terutama muncul di kota-kota besar Indonesia dan sedang terlibat mempengaruhi proses-proses politik nasional maupun lokal.  
Wabakdu, inti dari media sosial adalah membuat koneksi, bukan sekadar memiliki banyak akun dan banyak pengikut (jamaah). Jika hubungan baik dijaga dan tata krama dipelihara, isu-isu yang jadi bumerang tak akan terjadi. Akankah pergulatan akun dan pengikut dalam media sosial di Bojonegoro akan menjadi bagian penting dalam proses politik Pilkada? Menarik ditunggu pada 10 November 2012. ­(*)

Ujung Blok Lingkar, 28 Oktober 2012
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 29 Oktober 2012, Halaman 26

Sunday, October 14, 2012

Melawan Kutukan Sejarah


Kurang lebih satu bulan lagi rakyat Kabupaten Bojonegoro akan merasakan puncak dari segala hiruk pikuk Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada). Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bojonegoro menetapkan hari “H” coblosan kepala daerah jatuh pada tanggal 10 November 2012. Pada hari inilah bulat lonjong maupun arah kemudi konsolidasi demokrasi Bojonegoro untuk lima tahun ke depan terbentuk dengan jelas, apakah pendatang yang menang atau petahana yang berjaya?
Terlepas dari apapun hasilnya nanti, kita semua bersepakat bahwa momentum suksesi, apakah ia Pemilu, Pemilukada, Pilpres, ataupun strata yang lebih kecil lagi, Pilkades, adalah peristiwa politik yang mempunyai dua paras sekaligus yang antara satu sisi dengan sisi lainnya bertolak belakang: sebagai bentuk dukungan (support), sekaligus hukuman (punishment) bagi siapapun aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.
Suksesi dapat menampilkan paras politik menawan manakala publik memberikan dukungan maksimalis melalui vote’s sebagai manifestasi dari kepercayaan (trust). Fenomena Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, yang mampu menghantarkan pasangan Jokowi-Ahok meraih kursi Jakarta 1, adalah eksaminasi penting dan paling dekat yang dapat dijadikan sebagai kaca benggala betapa publik bisa dua menampilkan dua wajah sekaligus.
Pemberian kepercayaan publik Jakarta terhadap pasangan Jokowi-Ahok sekaligus merupakan hukuman bagi pasangan Fauzi Bowo-Nara. Dengan mantra ”Fokoke Jokowi” aura personal Jokowi-Ahok mampu menembus dinding-dinding mayoritas dan oligarki partai yang selama ini mendukung penuh pasangan sang petahana.       
Publik memberikan hukuman dengan memberikan suara mayoritasnya kepada pasangan Jokowi-Ahok, karena pasangan petahana dianggap merupakan simbolisasi pemerintahan yang bercirikan penguasa, bukan pemimpin, elitis dan tidak pro terhdap problem wong cilik. Di sisi lain, Jokowi-Ahok dipandang sebagai sosok pemimpin dengan segala atribut kebersahajaannya. Figur yang mencirikan apa adanya, tanpa polesan lipstik pencitraan.       
Sekalipun sosiokultural dan sosiopsikologis publik Jakarta dan Bojonegoro tidak dapat disamakan (generalisasi), akan tetapi fenomena politik di Ibu Kota RI setidaknya bisa dijadikan sebagai bahan referensi untuk menentukan keputusan politik untuk Bojonegoro ke depan. Agar keputusan lima menit yang diambil dalam bilik suara tidak berujung pada penyesalan untuk lima tahun ke depan.
Dalam Pemilukada Bojonegoro, sang petahana (Suyoto dan Setyo Hartono) yang diusung PAN, Gerindra, dan Demokrat dikepung empat penantang. Yakni, pasangan M Thalhah-Budiyanto (Golkar dan PKPB), M Choiri-Untung Basuki (PKNU, PPP, Hanura, PNBKI, PKS, PKB serta didukung PDI Perjuangan), dan juga dua pasangan dari perseorangan (independen), yakni Sarif Usman-Syamsiah Rahim, dan Andromeda Qomariyah-Sigit Budi.  
Dalam kesejarahannya, publik Bojonegoro telah berulangkali pula memberikan punishment politik di setiap momentum suksesi. Sejak era reformasi bergulir, publik Bojonegoro beberapa kali pula berandil memberikan kepercayaan sekaligus hukuman. Pada Pemilu (langsung) 1999, misalnya, publik memberi kepercayaan kepada PDI Perjuangan sehingga menang di wilayah Kabupaten Bojonegoro.
Namun, lima tahun kemudian (Pemilu 2004), PDI Perjuangan ditumbangkan oleh PKB. Pun pada Pemilu 2009, giliran Golkar yang berjaya, menumbangkan PKB. Dengan kata lain, tidak pernah ada satupun partai politik yang back to back, mampu mempertahankan prestasinya pada Pemilu setelahnya.
Capaian kerja politik kepartaian pada Pemilu yang tidak pernah back to back juga berbanding lurus di level Pemilukada yang kebanyakan lebih bercirikan personal. Pada Pemilukada langsung pertama di Bojonegoro (2007), bupati incumbent ketika itu, M Santoso, yang berpasangan dengan Budi Irawanto, justru tumbang oleh pendatang baru (Suyoto-Setyo Hartono) yang dalam Pemilukada 2012 ini giliran menjadi petahana.
Akankah pada Pemilukada 2012 nanti petahana akan berjaya, sekaligus mencetak sejarah sebagai ”tim” pertama yang meraih back to back dalam kesejarahan politik di Bumi Angling Dharma? Ataukah sebaliknya, sejarah pula akan terulang (dejavu), petahana kembali menerima ”kutukan” bagi incumbent yang tidak akan mampu mengulang kemenangan serupa dalam periode setelahnya? Jawabnya tinggal sebulan lagi. [*]