Apakah
lalu lintas ‘diskusi’ dalam dunia maya jejaring sosial (social networking)
dapat dijadikan sebagai gambaran, atau setidaknya referensi untuk memahami peta
realitas Pemilihan Umum Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro
2012?
Terlalu
berlebihan kita katakan ya. Tetapi, terlalu naif pula kita abaikan, bahkan katakan
tidak sama sekali. Sekecil apapun keberadaan media sosial, entah facebook,
twitter, atau lainnya, penulis yakin mempunyai efek yang tidak bisa
disepelekan.
Sebagai
varian medium baru dalam penyampaian ide/gagasan, di luar media konvensional
seperti koran, majalah, tabloid, dan radio, fakta efek langsung maupun tak
langsung media sosial, tak bisa disepelekan. Bukan saja dapat mempengaruhi branding
(pencitraan) seseorang, tetapi juga mempengaruhi perilaku jamaah media sosial,
atau masyarakat yang membuka laman tersebut.
Jika
Anda jamaah facebook, jika diperhatikan saat ini ada banyak grup yang khusus
membahas Pilkada Bojonegoro. Jumlahnya lebih dari 10. Mulai hanya membincang gagasan
untuk Pilkada 2012, hingga mem-branding maupun kampanye perlawanan terhadap
calon-calon tertentu. Sebut saja, Pilkada Bojonegoro 2012, Ayo Menjadi
Bagian dari Perubahan untuk Bojonegoro yang Lebih Baik, Bojonegoro yang
Lebih Baik, hingga grup yang antitesis terhadap calon tertentu.
Dalam
perspektif ilmu komunikasi, pemanfaatan dan keberadaan grup-grup dalam media
sosial sebenarnya sudah lama menjadi objek kajian dan penelitian. Efek dan
pengaruhnya sudah dirasakan. Namun, seberapa besar dan kuat efeknya, semua tergantung
bagaimana masifitas, efektivitas, dan cakupan areanya.
Gambaran
Realitas?
Sejauhmana
daya jangkau media sosial mampu mempengaruhi suara dan keputusan dari publik? Direktur
PoliticaWave Yose Rizal dalam kuliah umum di kampus Universitas Indonesia Salemba
berpendapat, suara di media sosial merupakan representasi suara rakyat. Ketepatan
itu bisa didapat salah satunya karena media sosial sekarang ini merata
digunakan oleh berbagai golongan masyarakat, tak hanya golongan menengah. (Kompas,
27/9/2012)
Bahkan,
Yose mengklaim, pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters)
di twitter kecil persentasenya karena di twitter mereka lebih jujur. Tanpa
ditanya, mereka bahkan bersedia mengatakan dukungannya. Berbeda dengan survei
yang memakai sampel ratusan orang, media sosial menggunakan sampel 500.000
pemilik akun.
Dengan
demikian, media sosial (termasuk facebook) sekarang tidak sekadar
merekam percakapan para penggunanya, tetapi juga bisa dianalisis dengan
menggunakan algoritme tertentu untuk misalnya memetakan dampak-dampak,
sentimen, afiliasi, kecenderungan, maupun keberpihakan.
Meminjam
analisis Yose, kita mungkin dapat meraba sejauhmana hiruk pikuknya media sosial
dengan peta pilkada. Pada saat seorang jamaah facebook menyampaikan
gagasan atau dukungan terhadap calon tertentu dengan menonjolkan sisi plusnya, tetapi
banyak komentar ditautkan, secara sederhana orang dapat menganalisis sejauhmana
penolakan maupun penerimaannya. Begitu pula sebaliknya.
Karena,
pada dasarnya, dalam hal-hal tertentu secara psikis, jamaah facebook, seperti
tesis Yose, terkadang lebih jujur menyampaikan pendapatnya dalam media sosial ketimbang
percakapan verbal. Sekalipun tesis ini probabilitasnya masih perlu dikaji lebih
jauh lagi, karena kebenarannya bersifat ideografik, bukan general/universal.
Ruang
Publik Alternatif
Pemilihan
Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta mungkin satu di antara sekian
banyak contoh yang dapat dijadikan sebagai perbandingan untuk mengukur
efektivitas dan masivitas ikhtiar branding sekaligus kontra terhadap figur
calon.
Kita
masih ingat bagaimana mantra Fokoke Jokowi mampu menembus sekat-sekat
primordialisme, agama, suku, hingga ideologi politik masyarakat Jakarta yang tingkat
heterogenitasnya tinggi. Sebaran dan efek mantra ini mampu mengalahkan hegemoni
oligarki dan patronisme yang selama ini melekat pada calon tertentu.
Mantra
Fokoke Jokowi seolah menjadi dendang sumbang yang dinyanyikan serempak.
Seolah mantra tersebut menjelma menjadi sindiran yang membawa energi untuk
melawan calon yang dianggap musuh bersama (common enemy). Kekuatannya
sangat masif, hingga kemudian mampu menumbangkan dominasi calon tertentu.
Pertanyaannya
adalah apakah riuh rendah media sosial pada Pilkada Bojonegoro akan mampu
memberi pengaruh besar? Anda dapat membacanya dari gemuruh grup-grup yang ada,
baik pro maupun antagonis. Penulis tidak perlu menyebut ragam bentuk status dan
komentarnya, berikut bagaimana efeknya.
Studi
Yanuar Nugroho (2012) dan Merlyna Lim (2012) mungkin dapat dijadikan sebagai
perbandingan. Bahwa, selama beberapa tahun terakhir terjadi perkembangan
menarik dalam ruang publik politik. Media sosial digital menjadi lokus
dibukanya kembali ruang publik untuk isu-isu politik di antara sesama anggota
komunitas kewargaan. Mulai tumbuh sebuah ruang publik politik yang dipelopori
para aktivis media sosial di dunia maya. Komunitas-komunitas itu terutama
muncul di kota-kota besar Indonesia dan sedang terlibat mempengaruhi
proses-proses politik nasional maupun lokal.
Wabakdu,
inti dari media sosial adalah membuat koneksi, bukan sekadar memiliki banyak
akun dan banyak pengikut (jamaah). Jika hubungan baik dijaga dan tata
krama dipelihara, isu-isu yang jadi bumerang tak akan terjadi. Akankah
pergulatan akun dan pengikut dalam media sosial di Bojonegoro akan menjadi
bagian penting dalam proses politik Pilkada? Menarik ditunggu pada 10 November
2012. (*)
Ujung Blok Lingkar, 28 Oktober 2012
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 29
Oktober 2012, Halaman 26