Sunday, November 4, 2012

PNS dan Netralitas Politik

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro, 10 November mendatang, bukan tidak mungkin akan menjadi ujian netralitas sesungguhnya bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan aparatur pemerintahan. Lima Pasangan Calon (Paslon) yang running dalam Pemilukada adalah PNS (nonaktif) dan aparatur.
Pasangan nomor urut pertama, sang incumbent Suyoto-Setyo Hartono (ToTo) adalah bupati dan wakil bupati yang saat ini masih menjabat. Keduanya tak perlu mengundurkan diri karena maju sebagai calon, namun cukup mengajukan cuti. Semua tak menyangkal sebagai birokrat yang masih menjabat pengaruhnya terhadap aparatur di bawahnya masih sangat kuat.
Nomor urut dua, pasangan M. Thalhah-Budiyanto. Thalhah adalah ketua DPRD (nonaktif), dan Budiyanto adalah TNI matra Angkatan Laut (AL). Sebagai ketua DPRD, sekaligus mantan wakil bupati, Thalhah masih mempunyai akar di lingkaran aparatur Sekretariat DPRD (Setwan) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro.
Nomor urut tiga, pasangan M. Choiri-Untung Basuki (Choirun). Choiri saat ini tercatat sebagai Kepala Desa (Kades) (nonaktif) Plesungan, Kecamatan Kapas. Untung Basuki adalah mantan birokrat yang kenyang pengalaman pemerintahan, baik di level provinsi maupun kabupaten. Siapapun tak menyangsikan betapa pengaruhnya juga masih kuat.
Pasangan nomor urut empat, Sarif Usman-Syamsiah Rahim (SaSa). Sarif saat ini juga masih tercatat sebagai Kades Balenrejo, Kecamatan Balen. Sarif juga dikenal memiliki jaringan kuat di lingkaran Asosiasi Kepala Desa (AKD) dan KTNA. Kita tidak dapat memungkiri efeknya terhadap aparatur di tingkat desa.
Sedangkan pasangan nomor urut lima adalah Andromeda Qomariyah-Sigit Budi Ismu (DaDi). Sebelum maju dalam Pemilukada Bojonegoro 2012, Andromeda tercatat sebagai pejabat di lingkaran Bappemas Jawa Timur. Pengaruhnya di aparatur dan PNS juga tidak dapat dikesampingkan, karena Andromeda juga anak mantan Sekkab Bojonegoro, Mahmud Zein.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, khususnya dalam ketentuan umum poin 6. Dijelaskan, dalam upaya menjaga netralitas Pegawai Negeri dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan Pegawai Negeri, serta agar dapat memusatkan segala perhatian dan pikiran, dan tenaganya pada tugas yang dibebankan kepadanya, maka Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.
Secara eksplisit, ketentuan umum ini memang memberikan gambaran kepada kita, bahwa PNS dalam momen-momen politik tak boleh aktif sebagai pengurus. Sedangkan dalam pemahaman implisit, larangan terlibat dalam politik praktis juga berlaku dalam momentum sukses seperti Pemilukada.
Berkaca pada regulasi tersebut, Pemilukada Bojonegoro akan menjadi ujian netralitas sesungguhnya bagi PNS. Sebab, semua calon merupakan PNS aktif dan nonaktif, maupun aparatur pemerintahan. Kemungkinan untuk menggaet aparatur lain dan PNS bukan tidak mungkin terjadi.
Kita mungkin dapat memverifikasinya dengan melakukan pengamatan secara langsung di lapangan. Adakah di antara PNS dan aparatur pemerintah, termasuk para Kades di Bojonegoro, yang terlibat sebagai tim sukses aktif, baik yang tercatat secara resmi di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) maupun tidak tercatat, tetapi secara praksis aktif di lapangan.
Pengawasan bersama terhadap upaya politisasi PNS dan aparatur menjadi sangatlah penting. Karena, keberpihakan mereka secara politik praktis (dalam tindakan aktif, bukan sebagai warga negara yang memiliki hak pilih/hak politik) akan sangat dapat mempengaruhi kualitas layanan dan perlakuan terhadap publik, yang bisa jadi secara politik tidak memiliki kesamaan pilihan dalam Pemilukada.
Ketika kualitas pelayanan menjadi berkurang, karena ketidaknetralan aparatur dan PNS dalam tata kelola pemerintahan, secara jangka panjang akan menjadi blunder tersendiri bagi kelangsungan tata pemerintahan yang lebih makro. Dampak jangka panjangnya, rakyat yang akan dikorbankan.
Semoga, Pemilukada Bojonegoro yang tinggal beberapa hari ini memberikan kesadaran bagi PNS dan aparatur untuk tidak mengorbankan kepentingan politik sesaat, dan lebih mengedepankan kepentingan publik secara lebih luas. Karena, hakikinya disitulah yang menjadi core domain dari aparatur dan PNS, yakni melayani publik, bukan personal dan politik parsial. [*]

Ujung Blok Lingkar, 5 November 2012