Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Pemilukada) Bojonegoro, 10 November mendatang, bukan tidak mungkin akan
menjadi ujian netralitas sesungguhnya bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
aparatur pemerintahan. Lima Pasangan Calon (Paslon) yang running dalam Pemilukada
adalah PNS (nonaktif) dan aparatur.
Pasangan nomor urut
pertama, sang incumbent Suyoto-Setyo Hartono (ToTo) adalah bupati dan wakil
bupati yang saat ini masih menjabat. Keduanya tak perlu mengundurkan diri
karena maju sebagai calon, namun cukup mengajukan cuti. Semua tak menyangkal
sebagai birokrat yang masih menjabat pengaruhnya terhadap aparatur di bawahnya
masih sangat kuat.
Nomor urut dua,
pasangan M. Thalhah-Budiyanto. Thalhah adalah ketua DPRD (nonaktif), dan
Budiyanto adalah TNI matra Angkatan Laut (AL). Sebagai ketua DPRD, sekaligus
mantan wakil bupati, Thalhah masih mempunyai akar di lingkaran aparatur
Sekretariat DPRD (Setwan) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro.
Nomor urut tiga,
pasangan M. Choiri-Untung Basuki (Choirun). Choiri saat ini tercatat sebagai
Kepala Desa (Kades) (nonaktif) Plesungan, Kecamatan Kapas. Untung Basuki adalah
mantan birokrat yang kenyang pengalaman pemerintahan, baik di level provinsi
maupun kabupaten. Siapapun tak menyangsikan betapa pengaruhnya juga masih kuat.
Pasangan nomor urut
empat, Sarif Usman-Syamsiah Rahim (SaSa). Sarif saat ini juga masih tercatat
sebagai Kades Balenrejo, Kecamatan Balen. Sarif juga dikenal memiliki jaringan
kuat di lingkaran Asosiasi Kepala Desa (AKD) dan KTNA. Kita tidak dapat memungkiri
efeknya terhadap aparatur di tingkat desa.
Sedangkan pasangan
nomor urut lima adalah Andromeda Qomariyah-Sigit Budi Ismu (DaDi). Sebelum maju
dalam Pemilukada Bojonegoro 2012, Andromeda tercatat sebagai pejabat di
lingkaran Bappemas Jawa Timur. Pengaruhnya di aparatur dan PNS juga tidak dapat
dikesampingkan, karena Andromeda juga anak mantan Sekkab Bojonegoro, Mahmud
Zein.
Penjelasan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, khususnya dalam ketentuan umum poin
6. Dijelaskan, dalam upaya menjaga netralitas Pegawai Negeri dari pengaruh
partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan Pegawai
Negeri, serta agar dapat memusatkan segala perhatian dan pikiran, dan tenaganya
pada tugas yang dibebankan kepadanya, maka Pegawai Negeri dilarang menjadi
anggota dan atau pengurus partai politik.
Secara eksplisit, ketentuan
umum ini memang memberikan gambaran kepada kita, bahwa PNS dalam momen-momen
politik tak boleh aktif sebagai pengurus. Sedangkan dalam pemahaman implisit,
larangan terlibat dalam politik praktis juga berlaku dalam momentum sukses
seperti Pemilukada.
Berkaca pada regulasi
tersebut, Pemilukada Bojonegoro akan menjadi ujian netralitas sesungguhnya bagi
PNS. Sebab, semua calon merupakan PNS aktif dan nonaktif, maupun aparatur
pemerintahan. Kemungkinan untuk menggaet aparatur lain dan PNS bukan tidak
mungkin terjadi.
Kita mungkin dapat
memverifikasinya dengan melakukan pengamatan secara langsung di lapangan.
Adakah di antara PNS dan aparatur pemerintah, termasuk para Kades di
Bojonegoro, yang terlibat sebagai tim sukses aktif, baik yang tercatat secara
resmi di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) maupun tidak tercatat, tetapi
secara praksis aktif di lapangan.
Pengawasan bersama
terhadap upaya politisasi PNS dan aparatur menjadi sangatlah penting. Karena,
keberpihakan mereka secara politik praktis (dalam tindakan aktif, bukan sebagai
warga negara yang memiliki hak pilih/hak politik) akan sangat dapat
mempengaruhi kualitas layanan dan perlakuan terhadap publik, yang bisa jadi
secara politik tidak memiliki kesamaan pilihan dalam Pemilukada.
Ketika kualitas
pelayanan menjadi berkurang, karena ketidaknetralan aparatur dan PNS dalam tata
kelola pemerintahan, secara jangka panjang akan menjadi blunder tersendiri bagi
kelangsungan tata pemerintahan yang lebih makro. Dampak jangka panjangnya,
rakyat yang akan dikorbankan.
Semoga, Pemilukada
Bojonegoro yang tinggal beberapa hari ini memberikan kesadaran bagi PNS dan
aparatur untuk tidak mengorbankan kepentingan politik sesaat, dan lebih
mengedepankan kepentingan publik secara lebih luas. Karena, hakikinya disitulah
yang menjadi core domain dari aparatur dan PNS, yakni melayani publik,
bukan personal dan politik parsial. [*]
Ujung Blok Lingkar, 5
November 2012