Tuesday, December 25, 2012

Pelembagaan Parpol

Terhitung sejak tanggal 19 Desember 2012 seluruh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten dan Kota se-Indonesia hampir kelar memverifikasi faktual terhadap sejumlah partai politik (parpol) calon kontestan Pemilu 2014. Di Kabupaten Bojonegoro, berdasarkan keputusan rapat pleno KPUK tanggal 19 Desember lalu memastikan PKPB, PKNU, PNR, PBB, PDP, dan PPN lolos verifikasi.
Sedangkan PKIB dan PPRN tidak lolos, masing-masing karena tidak menyerahkan data tambahan yang diminta KPUK, dan sampling keanggotaannya tidak memenuhi syarat. Parpol lain yang tak lolos adalah PNBKI. Partai pimpinan Eros Jarot ini tidak lolos karena sedari awal memang menolak diverifikasi oleh KPUK.
Praktis, verifikasi untuk parpol berdasarkan rekomendasi Dewan Kehormatan KPU, hanya menyisakan dua parpol, yakni PDK dan Partai SRI. Kedua partai tersebut akan diverifikasi lagi hingga batas waktu 28 Desember 2012. Jika semua memenuhi syarat dan ditetapkan oleh KPU, parpol-parpol yang sudah lolos tahapan verifikasi tambahan, plus 16 parpol yang lolos verifikasi awal (termasuk partai besar dan baru) akan menjadi kontestan Pemilu 2014. Penetapan sebagai kontestan Pemilu 2014 akan dilakukan pada awal tahun 2013 mendatang.
Kelak, pada 2014 mendatang, di tangan parpol lama dan baru inilah masa depan pemerintahan negeri ini, baik eksekutif maupun legislatif, ditentukan. Keberadaan parpol baru, tanpa menafikan kontribusi positif maupun negatif parpol lama, akan memberikan warna dan opsi yang berbeda pada konstituen rakyat Indonesia.
Masalahnya adalah apakah beragamnya opsi parpol itu mampu meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap kelembagaan formal politik. Jika indikator sederhana terejawantahkannya tipikal political society adalah dengan semakin membaiknya angka partisipasi pemilih, mampukah keberadaan parpol-parpol tersebut menekan angka golongan putih (golput) yang kian lama juga kian tinggi?

Golput Era Demokrasi
Ada sisi paradoks dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Sejak Pemilu digulirkan pascareformasi, angka partisipasi pemilih lambat laun mengalami penurunan. Semakin terbukanya keran kebebasan dan meluasnya ruang publik (public sphere) tidak selamanya berbanding lurus dengan tingginya kepercayaan publik pada parpol.
Berdasar data dari KPU, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi rakyat Indonesia menggembirakan, yakni mencapai 93,3 persen. Dengan kata lain angka golput (tidak menggunakan hak pilih karena berbagai sebab) “hanya” 6,7 persen. Namun, lama kelamaan angka golput semakin naik. Terbukti, dalam Pemilu 2004 angka partisipasi turun menjadi 84,9 persen (15,1 persen golput). Serta, pada Pemilu 2009 tingkat partisipasi merosot menjadi 70,99 persen alias golput mencapai 29,01 persen.  
Semakin tingginya angka golput memang tidak mempengaruhi absah dan tidaknya dalam konteks legal seseorang menjadi anggota DPR, DPRD Provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota. Yang menjadi masalah hanya berkaitan dengan legitimasi. Dalam bahasa sederhananya kurang marem. Kian tinggi angka golput menunjukkan kurang menyeluruhnya penerimaan publik terhadap wakil-wakilnya.
Berbagai penelitian yang dilakukan lembaga penelitian maupun perguruan tinggi cukup menunjukkan sinyal betapa sebenarnya perilaku dan kinerja wakil rakyat sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap parpol. Jangan dikira tidak rasionalnya intensitas kunjungan kerja (kunker) atau studi banding para wakil rakyat (di Pusat maupun Daerah) tidak mempengaruhi persepsi publik yang hingga akhirnya berpengaruh terhadap tindakan politiknya dalam Pemilu. Semua ada korelasinya. Tak ada api yang tak ada asapnya.        

Ikatan Ideologi
Selama demokrasi masih menjadi jalan bagi negara ini, sampai kapapun semua sepakat bahwa parpol musti ada. Hanya, yang menjadi masalah adalah bagaimana merawat (meruwat?) parpol agar publik kembali mempercayainya sebagai media untuk mengartikulasikan hak-hak publik dalam bernegara dan pemerintahan, di luar domain yang dilakukan kalangan CSO (civil society organization).     
Pakar ilmu politik, Scott Mainwaring mengatakan di dalam sistem yang telah terinstitusionalisasi dengan baik partai memiliki akar kuat di masyarakat. Ada ikatan ideologi yang kuat mengikat antara pemilih dan partai. Ikatan ini kemudian menumbuhkan loyalitas di hati pemilih sehingga partai mengakar kuat. Jadi, ikatan kuat antara pemilih dan partai merupakan salah satu aspek penting institusionalisasi (pelembagaan) partai politik (Mainwaring, 1996:7-8)
Dalam bahasa sederhana, institusionalisasi dapat dimaknai dengan pembelaan parpol terhadap persoalan-persoalan yang dialami konstituen. Tentu saja pembelaan yang dimaksud adalah dalam koridor supremasi hukum dan tata aturan yang berlaku. Adakah selama ini parpol bersikap kritis atas berbagai tindakan tidak adil negara/pemerintah terhadap konstituennya?
Pembelaan atas aspirasi publiknya merupakan bagian dari anyaman loyalitas konstituen terhadap parpol. Bukan hanya karena butuh suaranya pada saat Pemilu berlangsung. Jika sikap abai atau politik pembiaran terhadap institusionalisasi parpol masih saja berlangsung, jangan harapkan kepercayaan publik terhadap parpol tumbuh. Jangan heran pula jika golput dianggap sejernih akal sehat…! (*)

Ujung Blok Lingkar, 23 Desember 2012

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 24 Desember 2012 Halaman 26

Tuesday, December 11, 2012

Belenggu Politik Transaksional


USAI sudah persaingan panjang antar kandidat yang bertarung dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro, 10 November 2012 lalu. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro telah menetapkan secara resmi pasangan Suyoto-Setyo Hartono (ToTo) sebagai pasangan bupati-wakil bupati terpilih. Pasangan nomor urut satu tersebut memeroleh dukungan terbanyak dengan 320.536 suara atau 44,38 persen.
Pasangan ToTo unggul cukup jauh dari pasangan M. Choiri-Untung Basuki (Choirun). Pasangan nomor urut tiga tersebut meraih 227.522 suara atau 31,5 persen, yang menempati posisi kedua. Sedangkan  pasangan M. Thalhah-Budiyanto meraih 104.803 suara atau 14,51 persen di peringkat ketiga. Sementara pasangan independent (perseorangan), Andomeda-Sigit Budi (DaDi) meraih 49.117 suara atau 6,8 persen, dan Sarif Usman-Syamsiah meraih 20.311 suara atau 2,81 persen, masing-masing peringkat keempat dan kelima.
Dari sisi tahapan dan prosedur formal pelaksanaan Pemilukada, suksesi untuk menentukan Bojonegoro 1 tersebut sudah berakhir. Akan tetapi, dari sisi substansial yang ukurannya adalah kualitas demokrasi, diakui atau tidak ada beberapa catatan yang secara tidak langsung dapat kita jadikan sebagai bahan evaluasi untuk pelaksanaan Pemilukada ke depan, sekaligus menyongsong pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur, maupun Pemilu 2014.
Salah satu slilit yang cukup mengganggu pelaksanaan Pemilukada Bojonegoro lalu adalah masih maraknya dugaan penggunaan politik uang (money politics) yang bertujuan mempengaruhi para pemilih. Tanpa bermaksud men-judge, dugaan adanya praktik politik uang dalam Pemilukada lalu tak bisa dinafikan keberadaannya.
Indikator adanya dugaan praktik politik uang tersebut sudah tampak dalam laporan-laporan dari masyarakat yang masuk ke meja Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten (Panwaskab) Bojonegoro. Meski pada akhirnya laporan tersebut mentah (atau dimentahkan?), dugaan bahwa politik uang masih menjadi belenggu dalam momentum suksesi politik adalah sebuah keniscayaan.       
Kenapa ini masih terjadi? Hemat penulis, di luar komponen utama penyelenggara Pemilukada, yakni KPUK dan jajarannya (PPK, PPS, dan KPPS) serta Panwaskab dan jajaran (Panwascam maupun PPL), ada hal-hal lain yang terkadang luput dari perhatian, meskipun kontribusinya signifikan dalam proses terciptanya Pemilukada yang kondusif dan bermartabat.
Tak berbasis penyelenggara Pemilukada memang, tetapi fungsional. Setidaknya menurut hemat penulis, terdapat tiga hal pokok. Yaitu, pelibatan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam proses pengawasan Pemilukada, law enforcement (penegakan hukum), dan komitmen menjaga demokrasi substansial.

Masyarakat Sipil
Pemilu dan Pemilukada tak hanya menjadi domain mutlak penyelenggara Pemilu. KPUK dan Panwaskab hanya merupakan lembaga yang diberi mandat untuk menyelenggarakan Pemilukada, sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Sebab, hakikinya Pemilukada hanyalah merupakan awal dari proses terbentuknya demokrasi prosedural. Salah satu andilnya dari penyelenggara pemilu.
Di sisi lain, realitas melihat ada banyak elemen dan unsur masyarakat yang memiliki andil dan peran dalam menciptakan Pemilukada yang kondusif dan bermartabat. Idealnya mereka didorong untuk terlibat dalam proses Pemilukada, baik sebagai penyelenggara melalui KPUK, PPK, PPS, hingga KPPS, maupun sebagai pengawas mulai Panwaskab, Panwascam, hingga PPL.
Representasi keberadaan OMS, yang terdiri dari Ormas keagamaan, OKP, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemahasiswaan, hingga media massa, ini penting. Bukan hanya sekadar formalitas (menggugurkan kewajiban formal), tetapi juga karena masing-masing elemen memiliki basis dukungan, pengaruh, hingga nilai-nilai yang dapat memberikan kontribusi, sekecil apapun, dalam penciptaan Pemilukada yang kondusif dan bermartabat. Kita tidak boleh abai terhadap hal ini. Pelibatan OMS dalam pengawasan pilkada berbasis partisipatif, menjadi sangat penting dilakukan.
Sebab, demikian Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996), pemilu bukankah satu-satunya factor dalam konsolidasi demokrasi. Demokrasi juga amat berkaitan dengan factor-faktor non politik, seperti komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule of game), norma-norma birokrasi yang sah rasional (state apparatus), serta tradisi pasar (economic society).
Pelibatan OMS dalam pelaksanaan Pemilukada, baik sebagai penyelenggara maupun pengawas secara non-formal, merupakan bagian dari faktor-faktor non-politik sebagaimana disinyalir oleh Juan J. Linz dan Alfred Stephen tersebut. Khususnya yang berkaitan dengan komunikasi dan kebebasan berkumpul. Makna pentingnya, keberadaan mereka mutlak, tidak bisa dinafikan.

Penegakan Hukum   
Dalam upaya menciptakan ketertiban sosial, kepastian dan ketertiban hukum, pemerintah bersama DPR membentuk berbagai regulasi. Khusus untuk Pemilukada melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). 
Selain diatur secara spesifik dalam UU itu, KPU dan Bawaslu, selaku penyelenggara pemilu, termasuk dalam hal ini Pemilukada, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, juga diberikan kewenangan untuk menerbitkan Keputusan atau Peraturan yang mendukung pelaksanaan Pemilukada.    
Secara kuantitas, undang-undang atau aturan yang dibuat, boleh jadi tidak kurang. Masalahnya adalah ada di titik implementasi. Sebab, tidak jarang akibat penafsiran undang-undang yang berdasarkan subjektifitas penafsir acapkali memicu ketegangan di grassroots. Celakanya, para pelaku politik suksesi seolah menafikan kebenaran fakta hukum yang seharusnya menjadi kesepakatan bersama untuk diikuti, agar tertib sosial dan hukum terjadi tanpa pandang bulu.  
Disinilah peran penting aparat penegak  hukum untuk mengawalnya dengan serius. Sebab, bukan tidak mungkin, akibat ketidaktegasan penerapan hukum, sehingga melakukan politik pembiaran atas berbagai pelanggaran, akan berimplikasi terhadap legitimasi pemerintahan dari pasangan yang terpilih kelak.
Padahal, mengutip Jurgen Habermas, dalam buku Legitimation Crisis (1975), kekerasan sangat mungkin dipicu terjadinya crisis of governability (krisis pemerintahan). Krisis pemerintahan yang berkaitan dengan krisis legitimasi ditandai proses ideological breakdown (kehancuran ideologi) dan state malfunction (kegagalan fungsi negara/pemerintah).

Demokrasi Substansial
Tidak dapat disangkal bahwa money politics (politik uang) adalah tindakan yang dapat mencederai demokrasi, khususnya Pemilukada. Politik uang bukan hanya akan menjadikan cita-cita luhur Pemilukada yang menginginkan terciptanya pemerintahan yang ideal, menjadi kabur, karena tertutupi oleh transaksional politik, belenggu politik uang.   
Tetapi, fakta pula mengatakan bahwa politik uang adalah tindakan buruk yang sulit dihilangkan dalam setiap momen suksesi politik. Bahkan, hingga desa (pilkades) sekalipun. Oleh karena itu, hemat penulis masing-masing pasangan calon, berikut tim kampanye dan tim suksesnya, harus didorong untuk serius mempraktikkan demokrasi substansial. Demokrasi yang lebih menekankan pada values, nilai-nilai itu sendiri. Nilai-nilainya adalah transparansi, akuntabilitas publik, partisipatif, jujur, dan lainnya.
Apakah sulit? Rasanya memang sulit, tetapi juga bukan tidak mungkin. Semua berpulang pada komitmen semua pihak. Mulai dari calon, penyelenggara, pengawas, aparatur pemerintahan dan negara, OMS, hingga pada masyarakat secara lebih luas. Tetapi, realisasinya tetap harus diawasi secara bersama-sama pula. Disinilah sebenarnya fungsi OMS dan media massa bisa menjalankan perannya sebagai pengawas yang terintegrasi untuk menjadikan demokrasi prosedural menjadi demokrasi substansial, bukan demokrasi semu. 
Selama tidak ada komitmen untuk menjaga demi terciptanya demokrasi substansial, selama itu pula kita tidak akan pernah bisa memutus mata rantai politik transaksional. Ingatlah dengan apa yang dikatakan Aristoteles, semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan (uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap kesusilaan, keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.
Selama kecenderungan politik transaksional masih pula kita biarkan, selama itu pula kita asusila secara politik, dan merelakan semakin mengguritanya dehumanisasi. Kalau sudah demikian halnya, Pemilu kondusif dan bermartabat hanyalah angan-angan, mengawang. Semoga tidak terulang pada Pilgub 2013 dan Pemilu 2014, cukup di Pemilukada saja. [*]

Ujung Blok Lingkar, 6 Desember 2012
*) Tayang di Tabloid Blok Bojonegoro, Edisi Desember 2012

Konsolidasi Demokrasi Birokrasi


Salah satu tahapan paling krusial dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro 2012 usai sudah.  Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro telah menetapkan pasangan Suyoto-Setyo Hartono (ToTo) sebagai pasangan bupati-wakil bupati terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro, 10 November 2012. Pasangan nomor urut satu tersebut memeroleh dukungan terbanyak dengan 320.536 suara atau 44,38 persen.
Pasangan ToTo unggul cukup jauh dari pasangan M. Choiri-Untung Basuki (Choirun). Pasangan nomor urut tiga tersebut meraih 227.522 suara atau 31,5 persen, yang menempati posisi kedua. Sedangkan  pasangan M. Thalhah-Budiyanto meraih 104.803 suara atau 14,51 persen di peringkat ketiga. Sementara pasangan independent (perseorangan), Andomeda-Sigit Budi (DaDi) meraih 49.117 suara atau 6,8 persen, dan Sarif Usman-Syamsiah meraih 20.311 suara atau 2,81 persen, masing-masing peringkat keempat dan kelima.
Fase krusial tahapan Pemilukada memang sudah selesai. Kelanjutan tahapan Pemilukada sudah beralih dari KPUK ke DPRD Bojonegoro. Tahapan ini bisa dibilang sudah tidak terlalu mendebarkan, toh hingga penetapan calon terpilih oleh KPUK dilakukan, tidak ada gugatan hukum dari empat pasangan calon lainnya, meski beberapa hari menjelang Pemilukada publik sempat diramaikan dengan isu politik uang (money politics).
Fase krusial saat ini justru beralih ke lingkup birokrasi sendiri, wabil khusus jajaran Pemkab Bojonegoro. Pasangan incumbent memiliki tugas yang tidak mudah untuk me-rekonsolidasi aparatur pemkab, mulai dari level desa hingga kabupaten. Sebab, kita semua tahu, dalam Pemilukada Bojonegoro, 10 November lalu ada dua Kepala Desa (Kades) yang running Pemilukada. Yaitu, Kades Plesungan, Kecamatan Kapas, Moch. Choiri (Ambil) yang berpasangan dengan Untung Basuki, dan Kades Balenrejo, Kecamatan Balen, Sarif Usman yang maju bersama Syamsiah Rahim.
Memang, posisi kedua mantan rival pasangan incumbent tersebut adalah Kades. Tetapi, tidak dapat dinafikan pula bahwa Kades merupakan elite di tingkatan paling basis dalam struktur pemerintahan, desa, yang pengaruhnya masih cukup kuat di kalangan grassroots. Sudah cukup banyak contoh menunjukkan jika sebuah pemerintahan tidak mampu me-manage dengan baik komunikasi politiknya hingga ke desa, sebuah kebijakan akan berjalan timpang. Bahkan tidak menutup kemungkinan mandek. Bila sudah demikian halnya, secara otomatis jalannya roda pemerintahan akan limbung.
Lebih-lebih, dalam Pemilukada lalu perolehan suara pasangan Choirun, terlepas dari berbagai strategi pemenangan yang dilakukan oleh tim kampanyenya, cukup signifikan dengan raihan 227.522 suara atau 31,5 persen. Malah, pasangan Choirun sempat unggul di empat kecamatan, yakni Bubulan, Ngasem, Trucuk, dan Kapas.
Apalagi, juga sempat berhembus kabar banyak Kades berada di belakang pasangan Choirun, sekalipun warta ini juga masih perlu klarifikasi secara lebih dalam. Meski Ambil dan Sarif Usman sudah secara terbuka dan legawa mengakui kekalahannya atas pasangan incumbent, tidak secara otomatis akan menghapus rivalitas yang sebelumnya terjalin panjang selama proses Pemilukada.
Karena itu, konsolidasi birokrasi yang menyeluruh mulai tingkat desa hingga aparatur pada Pemkab Bojonegoro menjadi pekerjaan pertama dan utama pasangan ToTo. Makna penting konsolidasi bukan hanya demi menghilangkan sekat persaingan yang sebelumnya sempat mencuat secara terbuka.
Lebih dari itu, konsolidasi juga penting dilakukan pasangan incumbent karena bertujuan untuk memunculkan semangat pengabdian dari mantan-mantan rivalnya tersebut. Pengabdian tidak hanya bisa dimaknai dengan menjadi bupati. Namun, juga bisa dilakukan dengan jabatan dan posisi kita saat ini, meski di tingkat desa, dengan memberikan pelayanan yang baik.
Jika test case pertama ini bisa dijalankan dengan mulus tanpa ada dendam, keluaran (output) positifnya tak hanya dapat dirasakan oleh pasangan petahana sebagai bentuk pencitraan politik yang dewasa dan elegan, tetapi juga rakyat secara umum. Karena, demokrasi itu sesungguhnya adalah sebuah proses untuk mencapai tujuan utama tindakan politik, yaitu kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. [*]

Ujung Blok Lingkar, 4 Desember 2012