Kasus kekerasan seksual terhadap anak
terjadi di Tuban dua pekan lalu. Dalam kondisi tangan dan kaki terikat serta
mata ditutup kain, gadis berusia 15 tahun diperkosa. Melati diperkosa di salah
satu desa di Kecamatan Semanding. Pelakunya sang kekasih, yang juga di bawah
umur, 17 tahun. (Jawa Pos Radar Bojonegoro, 17 Januari 2013).
Di Kabupaten Bojonegoro, kasus
kekerasan anak juga menonjol dan menjadi perhatian aparatur penegak hukum.
Berdasarkan data di Mapolres Bojonegoro, kasus kekerasan anak selama 2012 ada
25. Rinciannya, persetubuhan 22 kasus, pencabulan dua kasus, dan membawa lari
anak satu kasus. Khusus kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), selama 2012
Polres Bojonegoro menerima 20 laporan.
Kasus kekerasan terhadap anak sudah
seharusnya patut mendapat perhatian yang serius, tidak hanya oleh aparatur
penegak hukum, tetapi juga kita semua. Sebab, secara statistik, angka kekerasan
dengan korban anak-anak, mempunyai kecenderungan naik dari tahun ke tahun.
Data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan
Anak menunjukkan, pada tahun 2010 tercatat 1.178 kasus kekerasan seksual dengan
korban anak-anak. Angka tersebut naik 10 persen lebih dengan menjadi 1.304
kasus pada tahun 2011. Kenaikan lebih signifikan terjadi pada tahun 2012 lalu
dengan angka 1.634 kasus atau mengalami kenaikan 25 persen lebih!.
Yang memprihatinkan, data kekerasan
seksual dengan korban anak-anak tersebut merupakan 48 persen dari total kasus
kekerasan terhadap anak selama tahun 2010, 52 persen pada tahun 2011, dan 62
persen di tahun 2012. Artinya, kecenderungan anak menjadi korban kekerasan
seksual dari tahun ke tahun semakin naik. Angka-angka tersebut adalah data dan
fakta, bukan asumsi, apalagi rekaan.
Mengapa kasus kekerasan terhadap anak
terus naik dari tahun ke tahun? Belum lama ini penulis menyaksikan tayangan diskusi
hukum Indonesia Lawyers Club yang disiarkan salah satu televisi swasta. Ada
lontaran menarik dari salah satu narasumber, seorang ibu. Bahwa, meningkatnya
kekerasan terhadap anak karena aparatur penegak hukum, salah satu faktornya
karena tidak menggunakan lex spesialis (acuan hukum khusus), yakni UU Nomor
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak sebagai dakwaan utama untuk
menjerat pelaku. Namun, lebih suka menggunakan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana), yang dikatakannya sudah jadul. Efeknya hukuman bagi pelaku
kurang berat.
Aparatur penegak hukum, khususnya
hakim, memang memiliki otoritas otonom dan tidak bisa diintervensi dalam
menerapkan vonis berdasarkan keyakinan maupun pertimbangan dalam melahirkan putusannya.
Hakim ibarat perwakilan Tuhan di bumi, yang membawa misi profetik (kenabian), --meminjam
istilah Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, yang tidak bisa diintervensi. Itulah
mengapa logo lembaga peradilan, Dewi Keadilan, matanya ditutup sambil membawa
pedang agar vonis yang dijatuhkan tidak terpengaruh siapapun.
Namun, semangat untuk memberikan efek
jera kepada pelaku kekerasan terhadap anak, menggunakan perundangan lex
spesialis, merupakan pilihan rasional dan sesuai suara publik. Sekaligus juga
sebagai sikap affirmative action dalam menyuarakan keberpihakan
perempuan dan anak. Sebab, melakukan kekerasan terhadap anak, pemerkosaan dan
pencabulan, bukan hanya sebatas tindak pidana kriminal. Lebih dari itu,
tindakan tersebut merupakan kejahatan yang merampas kehidupan korban.
Penelitian pernah dilakukan Katie M. Edwards
dkk (2009) terhadap 1.056 mahasiswi yang pernah mengalami kekerasan seksual
pada masa anak-anak atau dewasa. Hasilnya, sebagian besar korban cenderung memiliki
reaksi emosi negatif (marah, terkejut, menangis), self-blame yang
tinggi, dan putus asa terhadap masa depan ketika dihadapkan pada hal-hal yang
berkaitan dengan peristiwa perkosaan yang dialaminya.
Perasaan marah itu pula yang dirasakan
publik saat M. Daming Sanusi, calon Hakim Agung, ketika ditanya anggota Komisi
III DPR mengenai pendapatnya tentang hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan,
dengan konyol mengucapkan, yang memerkosa dan yang diperkosa sama-sama
menikmati.
Meski belakangan ucapan itu diralat dan
mengatakan ucapan itu sebagai guyonan untuk menekan rasa nervous sekaligus
menyesali perkataannya, tetap saja ucapan Daming jadi bola panas yang berujung meluasnya
kecaman publik. Ujungnya, tak satupun anggota Komisi III DPR RI yang
memilihnya. Padahal sebelumnya, anggota Komisi III ada yang mengakui kualitas
dan kemampuan Daming tidak terlalu mengecewakan. Apa lacur, nasi sudah menjadi
bubur, ucapannya dinilai tak patut dan mencederai rasa keadilan, sekaligus tak
berempati terhadap korban.
Maknanya, negara, termasuk aparatur
yudikatif, sebenarnya mempunyai peran penting mencegah meningkatnya kekerasan
anak melalui pertimbangan-pertimbangan hukum sebagaimana argumentasi di atas
dan mengambil perspektif dari korban, dengan tanpa mengabaikan hak asasi pelaku.
(*)
Ujung Blok Lingkar, 26 Januari 2013
*) Tayang di Harian Jawa Pos Radar Bojonegoro,
Halaman 26, Edisi 28 Januari 2013