Wednesday, January 30, 2013

Kekerasan Terhadap Anak

Kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi di Tuban dua pekan lalu. Dalam kondisi tangan dan kaki terikat serta mata ditutup kain, gadis berusia 15 tahun diperkosa. Melati diperkosa di salah satu desa di Kecamatan Semanding. Pelakunya sang kekasih, yang juga di bawah umur, 17 tahun. (Jawa Pos Radar Bojonegoro, 17 Januari 2013).  
Di Kabupaten Bojonegoro, kasus kekerasan anak juga menonjol dan menjadi perhatian aparatur penegak hukum. Berdasarkan data di Mapolres Bojonegoro, kasus kekerasan anak selama 2012 ada 25. Rinciannya, persetubuhan 22 kasus, pencabulan dua kasus, dan membawa lari anak satu kasus. Khusus kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), selama 2012 Polres Bojonegoro menerima 20 laporan.
Kasus kekerasan terhadap anak sudah seharusnya patut mendapat perhatian yang serius, tidak hanya oleh aparatur penegak hukum, tetapi juga kita semua. Sebab, secara statistik, angka kekerasan dengan korban anak-anak, mempunyai kecenderungan naik dari tahun ke tahun. 
Data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak menunjukkan, pada tahun 2010 tercatat 1.178 kasus kekerasan seksual dengan korban anak-anak. Angka tersebut naik 10 persen lebih dengan menjadi 1.304 kasus pada tahun 2011. Kenaikan lebih signifikan terjadi pada tahun 2012 lalu dengan angka 1.634 kasus atau mengalami kenaikan 25 persen lebih!.
Yang memprihatinkan, data kekerasan seksual dengan korban anak-anak tersebut merupakan 48 persen dari total kasus kekerasan terhadap anak selama tahun 2010, 52 persen pada tahun 2011, dan 62 persen di tahun 2012. Artinya, kecenderungan anak menjadi korban kekerasan seksual dari tahun ke tahun semakin naik. Angka-angka tersebut adalah data dan fakta, bukan asumsi, apalagi rekaan.  
Mengapa kasus kekerasan terhadap anak terus naik dari tahun ke tahun? Belum lama ini penulis menyaksikan tayangan diskusi hukum Indonesia Lawyers Club yang disiarkan salah satu televisi swasta. Ada lontaran menarik dari salah satu narasumber, seorang ibu. Bahwa, meningkatnya kekerasan terhadap anak karena aparatur penegak hukum, salah satu faktornya karena tidak menggunakan lex spesialis (acuan hukum khusus), yakni UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak sebagai dakwaan utama untuk menjerat pelaku. Namun, lebih suka menggunakan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang dikatakannya sudah jadul. Efeknya hukuman bagi pelaku kurang berat.    
Aparatur penegak hukum, khususnya hakim, memang memiliki otoritas otonom dan tidak bisa diintervensi dalam menerapkan vonis berdasarkan keyakinan maupun pertimbangan dalam melahirkan putusannya. Hakim ibarat perwakilan Tuhan di bumi, yang membawa misi profetik (kenabian), --meminjam istilah Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, yang tidak bisa diintervensi. Itulah mengapa logo lembaga peradilan, Dewi Keadilan, matanya ditutup sambil membawa pedang agar vonis yang dijatuhkan tidak terpengaruh siapapun.  
Namun, semangat untuk memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan terhadap anak, menggunakan perundangan lex spesialis, merupakan pilihan rasional dan sesuai suara publik. Sekaligus juga sebagai sikap affirmative action dalam menyuarakan keberpihakan perempuan dan anak. Sebab, melakukan kekerasan terhadap anak, pemerkosaan dan pencabulan, bukan hanya sebatas tindak pidana kriminal. Lebih dari itu, tindakan tersebut merupakan kejahatan yang merampas kehidupan korban. 
Penelitian pernah dilakukan Katie M. Edwards dkk (2009) terhadap 1.056 mahasiswi yang pernah mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak atau dewasa. Hasilnya, sebagian besar korban cenderung memiliki reaksi emosi negatif (marah, terkejut, menangis), self-blame yang tinggi, dan putus asa terhadap masa depan ketika dihadapkan pada hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa perkosaan yang dialaminya.
Perasaan marah itu pula yang dirasakan publik saat M. Daming Sanusi, calon Hakim Agung, ketika ditanya anggota Komisi III DPR mengenai pendapatnya tentang hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan, dengan konyol mengucapkan, yang memerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati.
Meski belakangan ucapan itu diralat dan mengatakan ucapan itu sebagai guyonan untuk menekan rasa nervous sekaligus menyesali perkataannya, tetap saja ucapan Daming jadi bola panas yang berujung meluasnya kecaman publik. Ujungnya, tak satupun anggota Komisi III DPR RI yang memilihnya. Padahal sebelumnya, anggota Komisi III ada yang mengakui kualitas dan kemampuan Daming tidak terlalu mengecewakan. Apa lacur, nasi sudah menjadi bubur, ucapannya dinilai tak patut dan mencederai rasa keadilan, sekaligus tak berempati terhadap korban.   
Maknanya, negara, termasuk aparatur yudikatif, sebenarnya mempunyai peran penting mencegah meningkatnya kekerasan anak melalui pertimbangan-pertimbangan hukum sebagaimana argumentasi di atas dan mengambil perspektif dari korban, dengan tanpa mengabaikan hak asasi pelaku. (*)

Ujung Blok Lingkar, 26 Januari 2013
*) Tayang di Harian Jawa Pos Radar Bojonegoro, Halaman 26, Edisi 28 Januari 2013 

Thursday, January 10, 2013

Asa di Sumur Minyak Tua

Indonesia dianugerahi Tuhan sumber daya alam yang berlimpah. Dari sumber daya alam energi, selain dikenal memiliki cadangan minyak dan gas bumi (Migas) yang dikelola secara modern, Indonesia juga memiliki cadangan berlimpah sumber daya Migas yang selama ini dikelola dengan tradisional. Atau yang biasa disebut dengan sumur minyak tua. 
Dilansir dari Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki tak kurang dari 13.824 sumur minyak tua yang bertebaran di berbagai wilayah negeri ini. Dari jumlah itu, 745 di antaranya aktif, sedangkan 13.079 tidak aktif.
Sumur-sumur minyak tua tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Antara lain, 3.623 di Sumatera bagian selatan, 3.134 di Kalimantan Timur, 2.496 di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura, 2.392 di Sumatera bagian utara, dan 208 di Papua.
Khusus di Kabupaten Bojonegoro, terdapat 222 sumur minyak tua yang sudah diproduksi sejak zaman kolonial Belanda. Namun, tidak semua ratusan sumur tua tersebut masih aktif.   Dari data yang dihimpun dari Pemkab Bojonegoro menyebutkan, hanya 48 di antara 222 sumur minyak tua tersebut yang sampai sekarang masih aktif. Ke-48 sumur minyak tua itu berada di Desa Wonocolo, Desa Hargomulyo, dan Beji, semuanya masuk wilayah Kecamatan Kedewan.
Keberadaan 48 sumur minyak tua di Bojonegoro tersebut semakin melengkapi predikat Kota Ledre ini sebagai kabupaten penghasil minyak. Di luar sumur minyak tua atau tradisional, Bojonegoro juga memiliki sejumlah sumber minyak. Yakni, lapangan Banyuurip, di kompleks Blok Cepu, Kecamatan Gayam dan Kalitidu yang dikelola Mobil Cepu Ltd (MCL), lapangan Sukowati di Keamatan Kapas dan Kota Bojonegoro dengan operator Joint Operating Body Pertamina-PetroChina East Java (JOB PPEJ), dan lapangan Tiung Biru yang dikelola Pertamina.
Kembali ke soal sumur minyak tua, jika semua cadangan sumur tradisional tersebut mampu dimaksimalkan dengan baik, tentu harapan Bojonegoro mampu menyumbang 10-20 persen dari total produksi minyak nasional pada 2015 yang mencapai 1 juta barel per hari bukan hal yang mustahil.
Sebab, berdasar keterangan yang diperoleh berbagai pihak yang selama ini menggeluti dunia perminyakan dan aparatur pemerintah, jika 48 buah sumur tua tersebut dioperasionalkan akan mampu berproduksi antara 35.000 hingga 50.000 liter per hari. Sebuah produksi yang sangat signifikan di tengah krisis energi yang mulai melanda dunia.  
Akan tetapi, terlepas ekspektasi besar Pemerintah Pusat terhadap Kabupaten Bojonegoro yang diharapkan mampu berkontribusi maksimal atas pencapaian produksi minyak nasional, adalah sesuatu yang naif jika masyarakat lokal hanya menjadi penonton dalam pengelolaan minyak, khususnya sumur tua.
Definisi masyarakat lokal yang dimaksud itu adalah yang terepresentasikan dalam Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Berdasar Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua, khususnya Pasal 2 Ayat (3) disebutkan, Pengusahaan dan pemroduksian Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan KUD atau  BUMD berdasarkan Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi dengan Kontraktor.
Pelibatan KUD dan BUMD dalam pengelolaan Minyak Bumi pada sumur tua seharusnya dilakukan dengan prinsip-prinsip pembinaan dan alih teknologi, tidak sekadar menggugurkan kewajiban. Sehingga, dalam jangka panjang nanti KUD dan BUMD memiliki kemampuan yang memadai dalam mengelola sumber daya alam tersebut.
Hal ini menjadi penting karena transfer knowledge merupakan amanat dari Permen ESDM. Ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (2), bahwa Kontraktor wajib melakukan pembinaan teknis dan pengawasan atas aspek keselamatan, kesehatan kerja dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap KUD atau BUMD yang Memproduksi Minyak Bumi. Agar, sekali lagi, daerah tidak hanya mewarisi punahnya kekayaan alamnya, sekaligus hanya menerima limbah dan pencemaran atas kian rusaknya lingkungan sekitarnya. [*]

Ujung Blok Lingkar, 29 Desember 2012

Urgensi Transparansi dan Akuntabilitas OMS

Organisasi Masyarakat Sipil mempunyai peranan sangat penting dalam proses pembentukan bangsa Indonesia dari masa transisi ke era demokrasi. Organisasi Masyarakat Sipil seharusnya dapat membawakan aspirasi rakyat kepada pemerintah serta membuat pemerintah lebih akuntabel kepada rakyatnya. Organisasi Masyarakat Sipil juga harus melaksanakan prinsip-prinsip “good governance”, termasuk transparansi, rasa keadilan, dan akuntabilitas di dalam sistem manajemen untuk mendapat kepercayaan dan dukungan dari stakeholders.
Namun, seiring dengan pergeseran waktu, saat ini wajah Organisasi Masyarakat Sipil, khususnya Non-Government Organization (NGO) di mata masyarakat tak semanis dulu, yang dikenal sebagai agen perubahan sosial, tapi mulai terdapat noda partisan, koruptif, “pemerasan”, orientasi profit atau proyek dan seterusnya. Sementara Organisasi Masyarakat Sipil sejati, yang merasa dirugikan oleh kelakuan Organisasi Masyarakat Sipil gadungan tersebut, tidak memiliki suatu mekanisme untuk menegakkan code of conduct dan mengelemininasi mereka.
Terlepas dari adanya kesan buruk tersebut, saat ini ada desakan dari masyarakat kepada kalangan Organisasi Masyarakat Sipil, yang dari hari ke hari tuntutan itu semakin kuat, agar Organisasi Masyarakat Sipil lebih terbuka, demokratis, dan jujur dalam mengelola organisasi dan dalam menjalankan kegiatannya. Hal ini sangat wajar mengingat selama ini Organisasi Masyarakat Sipil senantiasa menuntut sistem pemerintahan yang demokratis, terbuka, jujur dan memihak rakyat kecil, sehingga sudah selayaknya bila Organisasi Masyarakat Sipil juga menerapkannya dalam tata kelola organisasi agar senantiasa mendapat kepercayaan masyarakat.
Dalam buku mengukur transparansi dan akuntabilitas LSM  yang disusun oleh TIFA, terlihat bahwa sebenarnya ajakan kepada komunitas LSM di Indonesia agar menjadi lebih akuntabel dan transparan berawal dari satu Semiloka organisasi masyarakat sipil di USC Satunama di Yogyakarta pada bulan Oktober 2002. Gagasan ini mulai bergulir sebagai sebuah gerakan karena dari kalangan LSM sendiri banyak yang sepakat bahwa apabila LSM memperjuangkan reformasi politik, ekonomi, sosial, maka sudah selayaknya kalau LSM sendiri juga mempraktekkan asas-asas yang mereka kampanyekan, terutama asas-asas transparansi dan akuntabilitas. Dengan demikian, LSM akan memperoleh kepercayaan bukan hanya dari donor, tapi juga dari publik.
Sementara itu dalam pasal 52 ayat 2 UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan juga mewajibkan bagi Yayasan yang memperoleh bantuan Rp 500 juta atau lebih harus diaudit dan wajib diumumkan dalam surat kabar. Disamping itu, dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP ditegaskan bahwa Setiap Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik untuk masyarakat luas.
Badan Publik yang dimaksud dalam UU No. 14 Tahun 2008 tersebut adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, seperti lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, serta organisasi lainnya yang mengelola atau menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan menurut UU No. 14 Tahun 2008 tersebut adalah informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait, informasi mengenai laporan keuangan, informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasar argumentasi sosio-kultural, yuridis, dan etika sosial itulah urgensitas forum pertanggungjawaban publik (public accountability) itu menemukan keniscayaan untuk dilaksanakan. Dari sisi kepantasan sosial, rasanya tidak fair apabila Organisasi Masyarakat Sipil menuntut sikap transparan dan akuntabel dari Pemerintahan Daerah, tapi Organisasi Masyarakat Sipil sendiri tidak transparan dalam pengelolaan program dan laporan keuangan.
Karena itu, Laporan Pertanggungjawaban Publik Yayasan IDFoS Tahun 2009-2012 yang dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 2012 ini adalah sebagai bentuk ikhtiar dan perwujudan konsistensi Yayasan IDFoS mendorong lahirnya tata kelola organisasi yang baik dan bersih, yang salah satu indikatornya adalah dengan adanya keterbukaan dan pertanggungjawaban dalam penyampaian informasi kegiatan dan laporan keuangan.
Forum laporan Pertanggungjawaban Publik ini adalah yang kedua kali diselenggarakan Yayasan IDFoS. Sebelumnya, Yayasan IDFoS juga menyelenggarakan forum Laporan Pertanggungjawaban Publik Tahun 2004 dan 2006.
Akhir kalam, semoga forum Laporan Pertanggungjawaban Publik Yayasan IDFoS Tahun 2009-2012 ini dapat membawa manfaat maupun kebaikan untuk masyarakat. Serta, dapat menyemaikan kembali tunas-tunas kepercayaan publik terhadap Organisasi Masyarakat Sipil sebagai agen perubahan sosial, sebagaimana filosofi awal terbentuknya Organisasi Masyarakat Sipil. Amin.

*) Disampaikan dalam Talkshow OMS dan Akuntabilitas Publik IDFoS di  Gedung Maharani Bojonegoro, 19 Desember 2012.