Kisah kelam pelajar menjelang ujian nasional (UN)
terjadi belum lama ini. Sebagaimana dilansir Jawa Pos Radar Bojonegoro (10/4/2013), Hr, 17, seorang pelajar SMKN terjerat kasus pencurian
kendaraan bermotor (curanmor) di Bojonegoro. Akibat perbuatannya, Hr ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Bojonegoro.
Beruntung, Dinas Pendidikan (Disdik) Bojonegoro
bertindak bijak. Hr masih dapat mengikuti UN, meski di Lapas.
Sehingga, Hr masih mempunyai kesempatan menatap masa
depannya agar lebih baik dengan menyelesaikan studi jenjang SLTA. Namun, tetap
saja peristiwa ini memprihatinkan semua pihak, khususnya para praktisi
pendidikan. Sebab, ada kecenderungan angka kriminalitas yang melibatkan
anak-anak mengalami tren peningkatan.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)
mencatat, sebanyak 2.008 tindak kriminalitas sepanjang kuartal pertama 2012,
dilakukan anak usia sekolah (7-18 tahun). Menurut Ketua Komnas PA, Arist
Merdeka Sirait, angka kriminalitas tersebut cenderung meningkat setiap
tahunnya. Dari data yang diperoleh Komnas PA, pada 2010 terjadi 2.413 tindak
kriminal anak usia sekolah. Dan pada 2011 meningkat
sebanyak 2.508 tindak kriminal. (yustisi.com,
12 Mei 2012)
Masih tingginya angka kriminalitas yang melibatkan
anak-anak dalam usia sekolah, tentu saja mengkhawatirkan semua pihak. Bukan
saja membahayakan masa depan anak didik itu, tapi juga stakeholders terkait.
Praktisi pendidikan di sekolah, orang tua, institusi sosial, hingga institusi
keagamaan. Pertanyaannya adalah mungkinkah
ini merupakan dampak dari output sistem pendidikan kita yang lebih mengandalkan kompetensi di bidang kognitif?
Hantu Bernama UN
Selama ini kita melihat bahwa pemerintah, instansi
pendidikan, maupun guru-guru di sekolah hanya menekankan kemampuan intelektual anak didik dalam penguasaan mata pelajaran. Karena
itu, diberlakukanlah standar ujian nasional (UN) yang passing grade-nya
setiap tahun selalu naik.
Penulis tidak
menyalahkan penerapan standar UN dalam sistem pembelajaran di SLTP dan SLTA
selama ini. Hanya, alangkah
idealnya jika standar UN itu
tidak menjadi satu-satunya indikator kelulusan siswa. Jika kita sadari, mereka sekarang ini tidak ubahnya robot yang hanyanya melakukan tindakan sesuai dengan yang
diprogramkan, dalam konteks ini adalah standar UN. Anak-anak didik kita belum diisi”program” yang lebih memunculkan perasaan
manusiawi, lebih menghargai perbedaan pendapat, dan
menghormati hak-hak orang lain.
Penulis menyadari bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development
Index/IPM) Indonesia tahun 2012 turun drastis
pada peringkat ke-124 dari tahun 2010 yang berada pada peringkat ke-108 dari
187 negara. IPM Indonesia 2012 jauh di bawah Malaysia yang berada di peringkat
61, Brunei 33, Singapura 26, Thailand 103, dan Filiphina 112. Angka IPM kita trennya juga menurun dibanding tahun sebelumnya. Yakni, peringkat 107 pada tahun 2007-2008, dan peringkat
108 dari 177 negara di dunia pada tahun 2006 -2007. IPM ditentukan dari tiga sektor utama. Yaitu, pendidikan,
pendapatan, dan kesehatan.
Namun, kenapa kita juga tidak
mencoba menekankan kompetensi perilaku atau performance dalam sistem
pendidikan kita? Pemerintah perlu mendorong agar guru, dosen,
dan pendidik di lembaga-lembaga pendidikan selalu membimbing, berkomunikasi,
dan menumbuhkan semangat belajar siswa dengan tidak hanya berpangku pada bidang
kognitif. Agar sumber daya manusia (SDM) bangsa kita tak hanya cakap di bidang
keilmuan, namun juga tangguh di bidang mental. Dan, pendekatan ini tidak hanya
ditentukan melalui bidang koginitif.
Penelitian Daniel Goleman, psikolog Harvard University menyebutkan, tingkat intelegensi tinggi tidak menjamin gengsi, kesejahteraan, kebahagiaan, dan
kesuksesan hidup. Ada kecerdasan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu
kecerdasan emosional (EQ), (Maksum, 2004).
Daniel Goleman memaparkan hasil
penelitiannya dari dua mahasiswanya. Seorang mahasiswa yang berintelegensi
tinggi dalam meniti karir kehidupannya harus menerima kegagalan hidup karena
rendahnya kecerdasan emosional yang dimilikinya. Seorang mahasiswa lainnya
tergolong berintelegensi rata-rata, namun dalam meniti karir kehidupan, dia
mampu menggapai puncak karir dan berhasil dalam meniti masa depan yang baik.
Hal itu disebabkan karena dia berkecerdasan emosional yang tinggi.
Miniatur Sosial
Penulis teringat
sistem penerapan pendidikan orang tua-orang tua kita dulu. Mereka begitu
santun, beradab, dan menghormati orang-orang yang berjasa terhadap perkembangan
keilmuannya. Ternyata, hal itu terjadi karena orang tua-orang tua kita diajari
cara bagaimana belajar berbudi pekerti. Dampak
dari pelajaran ini para siswa mampu menumbuhkan nilai-nilai penghormatan,
santun, dan berbudi pekerti, tapi tetap berintelegensia
tinggi. Pembelajaran ini yang sekarang tidak ada di generasi kita. Karena itu,
Indonesia perlu me-redesain konsep pendidikan yang tidak hanya berbasis
kesehatan fisik, fikiran, tetapi juga kesehatan mental.
Rumusan WHO (World Health Organization/Badan
Kesehatan Dunia) tentang kesehatan mental adalah orang yang mempunyai sifat
antara lain: berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong, merasa lebih
puas memberi dari pada menerima, memperoleh kepuasan dari perjuangannya,
menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran di hari depan, mengarahkan
sikap permusuhan menjadi perbuatan yang kreatif dan membangun, orang yang
jiwanya sehat, mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Pembudayaan
budi pekerti bisa dilakukan dengan melibatkan warga sekolah, terlebih khusus
kepala sekolah, kalangan guru dan insan sekolah lainnya. Unsur inilah yang harus mampu menciptakan suasana yang mendukung
kehidupan berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Guru mengarahkan murid
berbudi pekerti luhur, bersopan santun, melalui keteladanan. Pegawai tata usaha
sekolah dapat membantu secara administratif, pembinaan murid untuk berdisiplin,
jujur dan taat peraturan sekolah
Selain itu, orang tua siswa melalui Komite
Sekolah dapat turut membantu pembinaan murid berbudi
luhur. Begitu juga organisasi kesiswaan, dapat membina warganya sesuai dengan
tujuan pendidikan budi pekerti. Keteladanan, merupakan kunci dalam pembudayaan
budi pekerti. Secara berjenjang kepala sekolah memberi teladan kepada guru,
guru kepada murid, kakak kelas kepada adik kelas.
Namun, pembudayaan budi pekerti di sekolah
ini harus ditunjang dengan pembumian di lingkungan, minimal keluarga. Selain
menekankan unsur ketakwaan, keluarga harus didorong untuk menanamkan kejujuran
kepada anak-anaknya. Penanaman perilaku tidak berbohong, tidak curang, rela
berkorban demi kebenaran, berani mengakui kesalahan, harus ditumbuh kembangkan
sehingga menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan
Tuhan, dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Penanaman suasana demokratis, seperti
menghargai hak-hak orang lain dalam menyampaikan pendapat, saran, berkreasi,
dan lain lain, harus senantiasa didorong juga oleh keluarga. Jika dibiasakan
dan menjadi budaya yang mengikat, dengan sendirinya siswa akan membiasakannya
tidak hanya di lingkup sekolah, melainkan juga di masyarakat. Pada akhirnya,
pembiasaan berbudi pekerti ini kelak akan jadi benteng tangguh terhadap
inflitrasi dekadensi moral yang berpengaruh terhadap mentalitasnya di masa
depan.
Penanaman dan pendalaman
pembelajaran seperti ini akan kian menemukan akselerasinya jika diterapkan
dalam lingkungan sekolah yang menerapkan model pembelajaran life-in, tinggal,
ala pondok pesantren. Subkultur pendidikan model demikian dapat menjalankan dua
peran sekaligus. Sebagai laboratorium yang berfungsi mengkaji dan mendalami
kajian teoritis dan akademik, sekaligus miniatur sosial karena ada ruang untuk
mempraktikkan pendidikan budi pekerti di kawasan pondok. Sehingga, cita-cita mewujudkan
anak didik yang cerdas, tetapi berpekerti adiluhung dan bermental tangguh bukan
pekerjaan yang sulit. Semoga. (*)
*) Dikontribusikan untuk Majalah Alfatimah, Edisi April 2013