Monday, April 15, 2013

Rindu Pendidikan Budi Pekerti


Kisah kelam pelajar menjelang ujian nasional (UN) terjadi belum lama ini. Sebagaimana dilansir Jawa Pos Radar Bojonegoro (10/4/2013), Hr, 17, seorang pelajar SMKN terjerat kasus pencurian kendaraan bermotor (curanmor) di Bojonegoro. Akibat perbuatannya, Hr ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Bojonegoro.
Beruntung, Dinas Pendidikan (Disdik) Bojonegoro bertindak bijak. Hr masih dapat mengikuti UN, meski di Lapas. Sehingga, Hr masih mempunyai kesempatan menatap masa depannya agar lebih baik dengan menyelesaikan studi jenjang SLTA. Namun, tetap saja peristiwa ini memprihatinkan semua pihak, khususnya para praktisi pendidikan. Sebab, ada kecenderungan angka kriminalitas yang melibatkan anak-anak mengalami tren peningkatan.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, sebanyak 2.008 tindak kriminalitas sepanjang kuartal pertama 2012, dilakukan anak usia sekolah (7-18 tahun). Menurut Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, angka kriminalitas tersebut cenderung meningkat setiap tahunnya. Dari data yang diperoleh Komnas PA, pada 2010 terjadi 2.413 tindak kriminal anak usia sekolah. Dan pada 2011 meningkat sebanyak 2.508 tindak kriminal. (yustisi.com, 12 Mei 2012)
Masih tingginya angka kriminalitas yang melibatkan anak-anak dalam usia sekolah, tentu saja mengkhawatirkan semua pihak. Bukan saja membahayakan masa depan anak didik itu, tapi juga stakeholders terkait. Praktisi pendidikan di sekolah, orang tua, institusi sosial, hingga institusi keagamaan. Pertanyaannya adalah mungkinkah ini merupakan dampak dari output sistem pendidikan kita yang lebih mengandalkan kompetensi di bidang kognitif?

Hantu Bernama UN
Selama ini kita melihat bahwa pemerintah, instansi pendidikan, maupun guru-guru di sekolah hanya menekankan kemampuan intelektual anak didik dalam penguasaan mata pelajaran. Karena itu, diberlakukanlah standar ujian nasional (UN) yang passing grade-nya setiap tahun selalu naik.
Penulis tidak menyalahkan penerapan standar UN dalam sistem pembelajaran di SLTP dan SLTA selama ini. Hanya, alangkah idealnya jika standar UN itu tidak menjadi satu-satunya indikator kelulusan siswa. Jika kita sadari, mereka sekarang ini tidak ubahnya robot yang hanyanya melakukan tindakan sesuai dengan yang diprogramkan, dalam konteks ini adalah standar UN. Anak-anak didik kita belum diisi”program” yang lebih memunculkan perasaan manusiawi, lebih menghargai perbedaan pendapat, dan menghormati hak-hak orang lain. 
Penulis menyadari bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/IPM) Indonesia tahun 2012 turun drastis pada peringkat ke-124 dari tahun 2010 yang berada pada peringkat ke-108 dari 187 negara. IPM Indonesia 2012 jauh di bawah Malaysia yang berada di peringkat 61, Brunei 33, Singapura 26, Thailand 103, dan Filiphina 112. Angka IPM kita trennya juga menurun dibanding tahun sebelumnya. Yakni, peringkat 107 pada tahun 2007-2008, dan peringkat 108 dari 177 negara di dunia pada tahun 2006 -2007. IPM ditentukan dari tiga sektor utama. Yaitu, pendidikan, pendapatan, dan kesehatan.
Namun, kenapa kita juga tidak mencoba menekankan kompetensi perilaku atau performance dalam sistem pendidikan kita? Pemerintah perlu mendorong agar guru, dosen, dan pendidik di lembaga-lembaga pendidikan selalu membimbing, berkomunikasi, dan menumbuhkan semangat belajar siswa dengan tidak hanya berpangku pada bidang kognitif. Agar sumber daya manusia (SDM) bangsa kita tak hanya cakap di bidang keilmuan, namun juga tangguh di bidang mental. Dan, pendekatan ini tidak hanya ditentukan melalui bidang koginitif.
Penelitian Daniel Goleman, psikolog Harvard University menyebutkan, tingkat intelegensi tinggi tidak menjamin gengsi, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesuksesan hidup. Ada kecerdasan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional (EQ), (Maksum, 2004).
Daniel Goleman memaparkan hasil penelitiannya dari dua mahasiswanya. Seorang mahasiswa yang berintelegensi tinggi dalam meniti karir kehidupannya harus menerima kegagalan hidup karena rendahnya kecerdasan emosional yang dimilikinya. Seorang mahasiswa lainnya tergolong berintelegensi rata-rata, namun dalam meniti karir kehidupan, dia mampu menggapai puncak karir dan berhasil dalam meniti masa depan yang baik. Hal itu disebabkan karena dia berkecerdasan emosional yang tinggi.

Miniatur Sosial
Penulis teringat sistem penerapan pendidikan orang tua-orang tua kita dulu. Mereka begitu santun, beradab, dan menghormati orang-orang yang berjasa terhadap perkembangan keilmuannya. Ternyata, hal itu terjadi karena orang tua-orang tua kita diajari cara bagaimana belajar berbudi pekerti. Dampak dari pelajaran ini para siswa mampu menumbuhkan nilai-nilai penghormatan, santun, dan berbudi pekerti, tapi tetap berintelegensia tinggi. Pembelajaran ini yang sekarang tidak ada di generasi kita. Karena itu, Indonesia perlu me-redesain konsep pendidikan yang tidak hanya berbasis kesehatan fisik, fikiran, tetapi juga kesehatan mental.
Rumusan WHO (World Health Organization/Badan Kesehatan Dunia) tentang kesehatan mental adalah orang yang mempunyai sifat antara lain: berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong, merasa lebih puas memberi dari pada menerima, memperoleh kepuasan dari perjuangannya, menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran di hari depan, mengarahkan sikap permusuhan menjadi perbuatan yang kreatif dan membangun, orang yang jiwanya sehat, mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Pembudayaan budi pekerti bisa dilakukan dengan melibatkan warga sekolah, terlebih khusus kepala sekolah, kalangan guru dan insan sekolah lainnya. Unsur inilah yang harus mampu menciptakan suasana yang mendukung kehidupan berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Guru mengarahkan murid berbudi pekerti luhur, bersopan santun, melalui keteladanan. Pegawai tata usaha sekolah dapat membantu secara administratif, pembinaan murid untuk berdisiplin, jujur dan taat peraturan sekolah
Selain itu, orang tua siswa melalui Komite Sekolah dapat turut membantu pembinaan murid berbudi luhur. Begitu juga organisasi kesiswaan, dapat membina warganya sesuai dengan tujuan pendidikan budi pekerti. Keteladanan, merupakan kunci dalam pembudayaan budi pekerti. Secara berjenjang kepala sekolah memberi teladan kepada guru, guru kepada murid, kakak kelas kepada adik kelas.
Namun, pembudayaan budi pekerti di sekolah ini harus ditunjang dengan pembumian di lingkungan, minimal keluarga. Selain menekankan unsur ketakwaan, keluarga harus didorong untuk menanamkan kejujuran kepada anak-anaknya. Penanaman perilaku tidak berbohong, tidak curang, rela berkorban demi kebenaran, berani mengakui kesalahan, harus ditumbuh kembangkan sehingga menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Penanaman suasana demokratis, seperti menghargai hak-hak orang lain dalam menyampaikan pendapat, saran, berkreasi, dan lain lain, harus senantiasa didorong juga oleh keluarga. Jika dibiasakan dan menjadi budaya yang mengikat, dengan sendirinya siswa akan membiasakannya tidak hanya di lingkup sekolah, melainkan juga di masyarakat. Pada akhirnya, pembiasaan berbudi pekerti ini kelak akan jadi benteng tangguh terhadap inflitrasi dekadensi moral yang berpengaruh terhadap mentalitasnya di masa depan.
Penanaman dan pendalaman pembelajaran seperti ini akan kian menemukan akselerasinya jika diterapkan dalam lingkungan sekolah yang menerapkan model pembelajaran life-in, tinggal, ala pondok pesantren. Subkultur pendidikan model demikian dapat menjalankan dua peran sekaligus. Sebagai laboratorium yang berfungsi mengkaji dan mendalami kajian teoritis dan akademik, sekaligus miniatur sosial karena ada ruang untuk mempraktikkan pendidikan budi pekerti di kawasan pondok. Sehingga, cita-cita mewujudkan anak didik yang cerdas, tetapi berpekerti adiluhung dan bermental tangguh bukan pekerjaan yang sulit. Semoga. (*)

*) Dikontribusikan untuk Majalah Alfatimah, Edisi April 2013