Tuesday, June 18, 2013

Konsistensi dan Siklus APBD

Dalam beberapa hari terakhir sejumlah daerah, termasuk Kabupaten Bojonegoro, mulai sibuk menggelar musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), sebagai tahapan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2014.

Mengacu siklus/kalender anggaran, pembahasan RAPBD diawali dengan penyusunan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Salah satu bahannya, hasil-hasil yang tertuang dalam musrenbang, baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten.   

Jika semua berjalan tepat waktu, setelah RKPD ditetapkan, pemkab menyusun kebijakan umum APBD (KUA) serta prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS). Rancangan KUA dan PPAS, yang merupakan basis awal menyusun APBD, idealnya sudah mulai dipersiapkan selama bulan Juni hingga Juli.  

Sebab, salah dalam memperhitungkan atau alpa mempersiapkan perencanaan penyusunan APBD berdampak serius terhadap penyelesaiannya. Kita tentu masih ingat, Kementerian Keuangan menjatuhkan sanksi berupa penundaan pencairan 25 persen dana alokasi umum (DAU), menyusul keterlambatan pemerintah daerah dalam menyelesaikan APBD.

Dari 524 daerah di Indonesia, 17 kabupaten/kota terlambat menyampaikan APBD 2013, sehingga dikenai sanksi. Ke-17 kabupaten itu, di antaranya Kabupaten Blora, Jateng (Kompas, 25/3/2013). Intensitas pemerintah daerah yang telat menyerahkan APBD 2013 meningkat dibandingkan tahun lalu. Pada 2012, 16 daerah dikenai sanksi.

Konflik Eksekutif-Legislatif
Cerita terlambatnya daerah menyelesaikan APBD bukan hal baru. Ibaratnya kisah lama yang selalu diulang setiap tahun. Keterlambatan penyelesaian APBD Kabupaten Blora, Jawa Tengah, tahun ini misalnya, bukan yang pertama. Menurut catatan penulis, selama 10 tahun terakhir Pemerintahan Daerah Blora selalu telat menyelesaikan APBD.  
Studi dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) 2013, seolah mengonfirmasi penyebab keterlambatan daerah menyelesaikan APBD karena beberapa hal. Yakni, rendahnya kompetensi birokrasi daerah, tarik ulur kepentingan eksekutif dan legislatif, serta keterlibatan DPRD membahas APBD sampai satuan tiga.
Tarik menarik kepentingan eksekutif dan legislatif kebanyakan didasari kebijakan politik anggaran yang tidak jarang berakhir kompromistis, setelah sebelumnya tak ada titik temu. Eksekutif dan legislatif di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur pernah vis a vis cukup tajam saat membahas APBD tahun anggaran 2012.
DPRD menghendaki anggaran jaring aspirasi masyarakat (Jasmas) tetap masuk APBD. Namun eksekutif bersikukuh tak memasukkannya, karena nomenklatur untuk itu tak dijelaskan. Toh pada akhirnya jalan kompromi yang ditempuh. Eksekutif meluluskan ‘permintaan’ DPRD, dengan memasukkan anggaran jasmas dalam perubahan anggaran APBD.     
Di luar tiga alasan di atas, kapasitas dan kemampuan anggota DPRD menyusun anggaran juga rendah. Dalam banyak hal anggota DPRD sering terjebak membahas hal-hal yang bersifat teknis dan remeh-temeh. Bukan strategi efektif pencapaian APBD.

Antisipasi Keterlambatan
Penanganan serius untuk memangkas keterlambatan menyelesaikan APBD mutlak dibutuhkan. Bukan hanya tanggungjawab pemerintah daerah, tapi juga anggota DPRD. Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD merupakan landasan yuridis yang memiliki daya ikat dan paksa bagi DPRD untuk bertanggungjawab atas keterlambatan pengesahan APBD.  
UU 27/2009 Pasal 344 ayat 1 huruf (j) menekankan, DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satu bentuk kewajiban daerah yang dimaksud adalah menyelesaikan APBD tepat waktu, sebagaimana ketentuan SE Mendagri Nomor 903/4338/SJ.   
DPRD kabupaten/kota, sebagaimana ditekankan pasal 351 huruf (k) UU 27/2009, juga memiliki kewajiban memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Kata wajib dalam diksi regulasi tersebut mempunyai daya ikat dan paksa yang harus dilaksanakan.
Selama ini tidak ada pertanggungjawaban secara moral dan politis dari DPRD kabupaten/ kota atas keterlambatannya menyelesaikan APBD. Alih-alih menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada publik, yang terjadi justru saling lempar kesalahan antara eksekutif dan legislatif. Artinya, pelanggaran konstitusi serius dan sengaja dilakukan oleh aparatur pemerintahan daerah. 
Selagi masih ada kesempatan, sudah saatnya ada perencanaan yang cermat dan terstruktur dalam penyusunan APBD. Justru dengan waktu yang masih panjang eksekutif maupun legislatif harus komitmen dan bersinergi untuk konsisten dengan kalender anggarannya. Sebab, terlambat dalam menyelesaikan APBD, dampaknya sangat fatal bagi publik. (*)    

Ujung Blok Lingkar, 16 Juni 2013
*) Tayang di Harian Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 17 Juni 2013, halaman 36.