Sepekan lalu, persisnya tanggal 24 dan 25
September 2013, DPRD Bojonegoro sibuk dengan agenda uji publik 14 rancangan
peraturan daerah (raperda). Ke-14 raperda itu merupakan inisiasi dari dewan
yang sebelumnya masuk agenda program legislasi daerah (prolegda) 2013.
Ke-14 raperda inisiatif dewan itu sebagian
besar berkaitan dengan isu yang sedang hangat di Bojonegoro. Di antaranya,
raperda tentang tanggung jawab sosial perusahaan (TSP), penanggulangan
kemiskinan daerah, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), ruang terbuka
hijau (RTH), dan pertambangan. Serta, sembilan raperda lainnya.
Lima raperda di atas sangat krusial, karena
jika diadaptasikan dengan isu hangat yang ada di Bojonegoro, nyambung. Jamak
dimafhumi dalam beberapa tahun terakhir isu minyak dan gas menjadi topic
trending. Isu migas seolah-olah menjadi isu yang disukai media, media
darling.
Dunia pertambangan (minyak) akan senantiasa
berhubungan dengan amdal. Bisa dibilang amdal merupakan kunci pengendalian dan
kontrol lingkungan pada sebelum, selama, dan pasca beroperasinya pertambangan.
Disinilah urgensinya raperda ini, karena daerah dapat mengontrol langsung
kualitas lingkungannya selama industri migas berlangsung.
Raperda amdal juga sebagai regulasi teknis
operasional bagi daerah, selain regulasi yang termaktub dalam undang-undang.
Begitu juga raperda RTH, dapat menjadi kendali untuk konservasi kawasan
penghijauan. Serta, raperda TSP yang bisa dikatakan sebagai regulasi untuk
mendorong terciptanya kesalehan sosial perusahaan.
Pada titik ini, kita bolehlah (sekali) ini angkat
topi dengan semangat para anggota dewan mengangkatnya menjadi regulasi selagi
daerah belum terlalu jauh melangkah dalam membuat regulasi terkait migas.
Dari sisi kuantitas, jumlah raperda yang saat
ini diusulkan dewan relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan periode
sebelumnya. Ini belum termasuk sejumlah raperda inisiatif DPRD yang tahun lalu
disahkan.
Secara semangat, kita boleh respek dengan
dewan dengan raperda inisiatifnya. Namun, di sisi mekanisme, proses, dan isi penyusunan
regulasi, tampaknya banyak hal yang masih harus dikritisi bareng-bareng. Mari
kita diskusikan beberapa di antaranya.
Tiga Catatan
Pertama dari sisi anggaran, prinsip efisiensi
secara kasat mata dilanggar. Lihat saja, dari 13 raperda, satu perda di
antaranya masuk anggaran 2012, yang diusulkan dewan di tahun ini dianggarkan Rp
1,3 miliar. Hitungan kasarnya, satu perda Rp 100 juta. Cukup mahal.
Bandingkan dengan eksekutif yang membutuhkan
anggaran Rp 376 juta untuk delapan raperda. Untuk penyusunan naskah
akademiknya, pemkab membutuhkan anggaran Rp 47 juta. Terlepas bagaimana
mekanisme yang dilakukan keduanya, faktanya raperda dewan lebih “mahal”. Tak
heran bila saat ini berhembus isu kurang sedap di internal dewan.
Kedua, dari isi raperda. Rabu (25/9), penulis
dikabari seorang kawan. Dia mengeluhkan betapa ‘tipis’-nya raperda tentang
biaya pemberangkatan jamaah haji, tak ada 10 pasal. Sudah tipis, tak ada pula
sanksi secara eksplisit di raperda itu.
Ada pelanggaran serius terhadap pasal 5 bab
II tentang asas pembentukan perundang-undangan, sebagaimana diatur di UU No 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Khususnya dalam
kejelasan rumusan.
Dan, pasal 6 undang-undang yang sama, tentang
ketentuan materi muatan peraturan harus menciptakan ketertiban dan kepastian
hukum. Catatannya, jika tak ada sanksi, bagaimana tercipta kepastian hukum.
Kalau maunya begitu, buat perbup saja.
Ketiga, dari sisi proses pembahasan. Secara
substansi, uji publik yang dilakukan dewan terkait raperda, cukup baik.
Masalahnya adalah uji publik yang dilakukan dewan terkesan kurang menyeluruh.
Draf hampir jadi baru diujipublikkan.
Kalau dewan serius mendorong partisipasi
publik, idealnya uji publik dilakukan sejak awal, sejak masih proses naskah
akademik. Karena, keterbukaan, termasuk isi materi raperda, merupakan asas (hal
mendasar) dalam pembentukan peraturan, sebagaimana tertuang dalam pasal 5 UU
12/2011.
Selagi belum terlambat, ada baiknya dewan
lebih transparan maupun partisipatif dalam membahas 14 raperda ini. Berikanlah
publik tinggalan yang baik sebelum Anda semua meninggalkan kursi dewan,
tahun depan. (*)
Ujung Blok Lingkar, 29 September 2013
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro
Halaman 32, Edisi 30 September 2013