Manajerial
Tim Kampanye Buruk
Ada beberapa catatan menarik, plus dan minus, dari
kampanye pasangan nomor 3, M. Choiri-Untung Basuki yang juga didukung oleh
mayoritas pengurus struktural PC NU Bojonegoro, pada Minggu tanggal 3 November.
Dari sisi jumlah massa, banyak orang yang mengatakan massa yang menghadiri
kampanye di Alun-Alun Kota Bojonegoro tersebut jumlahnya melebihi massa
kampanye pasangan incumbent, Suyoto-Setyo Hartono (ToTo), yang juga menggelar
kampanye di lokasi yang sama, Alun-Alun Kota Bojonegoro, Jumat 2 November 2012.
Setidaknya hal itu dapat diverifikasi dari
pengakuan warga dan media massa. Blok Bojonegoro.Com mencatat massa yang hadir
mencapai 55 ribu orang (berita di hari yang sama). Tetapi, Jawa Pos Radar
Bojonegoro mencatat 20 ribu orang. Terlepas siapa yang benar. Hal yang sama
dapat dilihat dari jumlah truk pengangkut, motor peserta konvoi, dan lainnya.
Catatan menarik lainnya, massa konvoi lebih
beragam. Selain diikuti delapan partai pengusung maupun pendukung (PKNU, PPP,
Hanura, PNBKI, PKB, PDIP, PKS, Partai Pelopor), massa kampanye juga datang dari
Boromania (termasuk presiden Boromania, Basar), dan massa Fatayat, dan Muslimat
NU.
Namun, ada beberapa hal yang dapat menjadi
persoalan sehingga penting untuk dijadikan bahan evaluasi. Pertama, dari sisi manajemen kampanye, masih buruk. Terkesan tidak
ada koordinasi dengan kepolisian. Hal ini dapat dilihat dari aparat kepolisian
yang terkesan membiarkan, tanpa pengamanan di depan panggung.
Kedua,
panggung yang dihadirkan terlampau kecil dan riskan ambruk. Sebab, saat
kampanye, hampir semua pentolan partai pengusung dan pendukung naik ke atas
panggung untuk berorasi. Ini belum termasuk jurkam nasional dan kiai yang ikut.
Penyiapan panggungnya masih kecil. Untungnya tidak sampai ambruk. Antisipasi
ambruk masih minim.
Ketiga,
pemilihan jurkam yang orasi di depan massa sangat buruk dan kurang antisipasi
dampak atau efek negatif yang muncul. Misalnya, kampanye yang dilakukan salah
seorang fungsionaris dari partai pendukung Choirun terkesan hanya menyerang
kubu incumbent, tanpa disertai data yang kuat. Bagi pemilih rasional hal ini
dianggap sebagai penyerangan yang membabi buta.
Jurkam lain, yang kabarnya dari kiai, malah lebih
buruk lagi. Kabarnya, dalam kampanye kiai tersebut sampai mengatakan hal-hal
yang tidak pantas. Banyak orang menilai, materi kampanye tersebut sangat tidak
pas. Bukan hanya mendegradasi kepercayaan publik pada kiai, tetapi
dikhawatirkan justru menjadi blunder. Bukan simpati yang didapat, tetapi malah
antipati. Orang yang semula simpatik, bukan tidak mungkin malah balik dan
mendukung calon lain. Pada akhirnya blunder itu menemukan jawabannya dengan
hasil Pilkada yang dimenangi incumbent.
Hal ini dapat kita lihat dan verifikasi dari
banyaknya gunjingan di kalangan masyarakat, panasnya status dan komentar di
facebook yang menyudutkan NU, bertebarannya spanduk-spanduk yang semakin menyudutkan
NU. Semua menunjukkan ada faktor tidak produktif dari orasi tersebut. Sungguh,
pemilihan kiai ataupun tokoh agama yang melakukan orasi tersebut sangat tidak
tepat dan justru kontraproduktif.
Keempat,
buruknya komunikasi media tim kampanye calon. Ada kesan tim Choirun tidak
memiliki juru bicara atau tim yang menangani komunikasi ke media. Hal ini
tampak dari setiap isu yang muncul tak ada clearing
dari juru bicara. Bahkan terkadang langsung Choiri yang berbicara, padahal
public speaking Choiri sebenarnya kurang bagus. Selain itu, juru bicara ke
media juga tidak ada saat media menanyakan tentang jumlah massa yang hadir.
Kelima,
tidak ada antisipasi terhadap kontra opini maupun kontra intelijen. Ini dapat
dilihat dari masih banyaknya isu tentang hal-hal yang menyudutkan Choirun di
hari H kampanye. Seharusnya, ada tim yang menangani itu. Sehingga, setiap isu
apapun yang muncul di publik dan media, segera diantisipasi dengan baik melalui
kontra isu. Tim inilah yang mengkaji dan membahasnya sekaligus menyiapkan
kontra isu dan kontra opininya.
Keenam,
buruknya manajerial tim kampanye. Memang banyak parpol yang tergabung di
Choirun. Ini hal yang baik, karena dukungan besar. Namun, faktanya tidak bisa
dikoordinasi dengan baik. Beberapa waktu lalu seorang tim kampanye Choirun mengeluhkan
masih banyaknya miskomunikasi antar parpol pendukung dalam beberapa hal. Selain
itu, juga tidak ada rapat evaluasi bulanan (setidaknya) untuk mendiskusikan
banyak hal dengan beberapa parpol pendukung dan pengusung.
Misalnya membahas mobilisasi massa, pengembangan
isu dan opini, strategi penggalangan dukungan, penggalangan dana, kampanye via
media (elektronik, media sosial, dll), maupun hal-hal yang lain. Semua masih
alamiah, berantakan, dan tidak tertata dengan baik. Sungguh, untuk pemenangan calon
dalam momentum politik sekelas pilkada, mereka belum siap. Sebuah pembelajaran
politik yang sangat penting bagi NU. (*)
Ujung Blok
Lingkar, 6 November 2012