Thursday, September 5, 2013

Golput dan Kerancuan Sistemik


Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Timur usai sudah. Kendati hasilnya masih harus menunggu perhitungan secara manual (real count) oleh KPUK masing-masing daerah dan KPU Provinsi Jawa Timur, kita mungkin sudah dapat menebak siapa yang akan menjadi pemenang dalam Pilgub 2013, mengacu referensi quick count sejumlah lembaga survei tempo hari.
Terlepas siapa pun pemenangnya, hal yang cukup memprihatinkan untuk dicermati dalam Pilgub kemarin adalah masih cenderung tingginya angka golongan putih alias golput. Lihat saja statistik golput di tiga kabupaten ini.
Di Kabupaten Lamongan, berdasar rilis yang disampaikan Panwaskab setempat, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pilgub lalu mencapai 39 persen (Jawa Pos Radar Bojonegoro, 1 September 2013).
Angka golput lebih memprihatinkan tecermin di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban. Di Bojonegoro, warga yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pilgub mencapai 41 persen. Sementara di Tuban lebih tragis, 47,9 persen!
Dibandingkan dengan Pilgub 2008, khususnya putaran pertama, angka golput di Tuban pada Pilgub 2013 mengalami peningkatan. Karena, pada Pilgub 2008 putaran pertama golputnya 38,98 persen. Pada Pilgub 2008 putaran kedua angka golputnya lebih tinggi, 50,17 persen.
Bagaimana dengan Bojonegoro? Tak jauh berbeda. Pada putaran pertama Pilgub 2008, angka golput mencapai 37 persen. Sedangkan putaran kedua Pilgub 2008 angka golput 43 persen.    
Mengacu data tersebut, hampir separo masyarakat Tuban dan Bojonegoro tak menggunakan hak politiknya dalam pilgub. Ini artinya pula siapapun gubernur dan wakil gubernur terpilih nanti hanya dipilih oleh separo lebih sedikit masyarakat Tuban dan Bojonegoro.
Lebih dramatis lagi kalau perolehan pasangan cagub-cawagub dibandingkan dengan jumlah angka golput. Di Tuban misalnya, tercatat angka golputnya 48 persen, sementara perolehan paslon tertinggi di Tuban “hanya” 43 persen. Sebuah angka yang jomplang.           

Masalah Klasik
Tren terus meningkatnya angka golput sebenarnya bukan barang baru. Bahkan, bisa dibilang hal klasik yang nyaris selalu terulang dalam setiap momentum suksesi atau kontestasi politik di daerah maupun pusat.
Kalau kita perhatikan, jauh sebelum pilgub digelar, terekam aneka rupa dan macam komentar publik. Beberapa warga mengaku tak akan memilih karena tidak ada ‘sesuatu’ (baca: uang)-nya.     
Sebagian lagi mengaku tidak menggunakan hak pilihnya karena merasa tak mengenal dengan calon, tidak mempunyai hubungan ideologis dan spesifik dengan kandidat, tidak tahu akan ada pilgub hingga yang lebih ekstrim lagi, abai dengan politik dan acuh terhadap pilgub.  
Semula kita berharap beragam komentar dan persepsi itu akan memudar dan berbalik menjadi partisipasi politik publik seiring mulai gencarnya penyelenggara pilgub melakukan sosialisasi dan aktifnya pasangan calon mengenalkan diri. Namun toh, sikap acuh tak acuh publik terhadap pilgub tetap saja cukup tinggi.  
Kecenderungan ini tidak jauh berbeda dengan even pemilu anggota legislatif (Pileg). Penulis enam bulan silam pernah membeber data angka golput dalam kontestasi politik di Indonesia. Sebagai penyegar ingatan saja, berdasar data KPU, pada Pemilu 1999, tingkat partisipasi pemilih masih mencapai angka yang sangat tinggi, yakni 93,3 persen. Namun, pada Pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen. Bahkan, pada Pemilu 2009 tingkat partisipasi pemilih merosot menjadi 70,99 persen. Bagaimana dengan Pemilu 2014? Menarik untuk ditunggu.

Pemimpin Bukan Penguasa
Ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa golput menjadi pilihan seksi dan, terkadang menjadi pilihan ”akal sehat”. Tentu kita tidak menyalahkan penyelenggara pemilu yang mungkin dianggap kurang maksimal dalam melakukan sosialisasi.
Karena faktanya pemilu memang bukan hanya domain penyelenggara pemilu, tetapi juga seluruh komponen stakeholders lainnya. Termasuk publik dan media massa. Jangan dikira media massa, yang meminjam terminologi Antonio Gramsci tergolong sebagai masyarakat politik, tidak memiliki tanggung jawab terhadap kebersinambungan pemilu.
Karena, satu di antara beberapa fungsi media massa adalah mengedukasi publik untuk ikut menggunakan hak pilihnya dalam demokrasi prosedural. Tentu saja selain sebagai penyebar informasi dan sosial kontrol.  
Masalahnya, penyebab tingginya angka golput adalah kompleks. Ibarat tubuh, ada kerancuan sistemik yang jika terputus salah satunya akan menghambat seluruh jaringan sel yang ada dalam tubuh. Jaringan sel yang dimaksud adalah mulai elit penguasa, partai, pemerintahan, publik hingga pengampu kepentingan lainnya.
Di antara sel yang terputus itu adalah menipisnya kepercayaan publik terhadap pemimpin di pemerintahan. Semula publik niatnya memilih pemimpin, tetapi yang lahir penguasa. Petikan persepsi publik berikut seakan mengkonfirmasi kebenaran asumsi di atas.
Coba dengar apa kata mereka saat tidak mencoblos. Sebagian besar bilang,”Paling-paling kalau sudah jadi juga lupa”. Kalimat ini dapat kita konklusikan sebagai krisis kepercayaan (distrust), krisis teladan.  
Dalam sebuah kesempatan, Yonki Karman, pengajar di Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta, menulis, jangan sampai rakyat memilih pemimpin tetapi yang muncul penguasa. Hitung-hitungan politik yang memenuhi benak penguasa adalah bagaimana melunasi utang untuk ongkos membiayai perjalanannya menuju singgasana kekuasaan. Saat memerintah pun ia tak merasa terganggu dengan korupsi birokrasi sejauh kepentingan dirinya tidak terganggu.
Padahal seharusnya, pemimpin adalah amanah yang tugas pokoknya mengayomi dan menyejahterakan rakyatnya tanpa pandang bulu. Ia membangun karena dipercaya oleh rakyat, membangun bersama dan untuk rakyat. Pemerintahan tidak diskriminatif dalam kebijakan ataupun implementasi.
Apakah karakteristik penguasa itu sudah menjalar ke tubuh pemimpin kita? Anda pasti bisa merabanya sendiri, bukan? Bagaimana pendapat Anda? (*)

Ujung Blok Lingkar, 1 September 2013

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi Senin, 2 September 2013, Halaman 28