Rasanya tidak pernah ada habisnya
membicarakan keterlambatan pemerintahan Blora dalam pembahasan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Bahkan, tahun ini untuk yang
ke-12 kalinya atau 12 tahun, pembahasan RAPBD Blora mengalami keterlambatan.
Sampai-sampai ada guyonan di kalangan
jurnalis dan OMS Blora, bahwa andaikan ada pemecahan rekor terlambat dalam
pembahasan APBD, mungkin Blora akan menyabet sebagai juara bertahan sekaligus
berturut-turut, sekaligus pemecah rekor yang sulit ada tandingannya.
Bukan bermaksud menyampaikan sisi
buruk Kabupaten Blora, marilah kita bandingkan pembahasan RAPBD di kabupaten
tetangga sebelah, Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. Bisa dibilang, pembahasan
RAPBD di tiga kabupaten tersebut, --terlepas dengan segala keterbatasan,
dinamika, hingga ragam kepentingan stakeholders terkait, pemerintahan
tiga kabupaten ini relatif tepat waktu, sesuai kalender anggaran.
Mari kita perbandingkan. Saat ini
sudah Maret. Di Pemerintahan Bojonegoro sudah mulai menyiapkan persyaratan administratif
guna pencairan APBD 2014. Memang sebelumnya ada evaluasi dari gubernur Jatim pada
akhir Januari, atas sejumlah anggaran yang tidak rasional, seperti anggaran
perjalanan dinas dan peningkatan kapasitas di DPRD. Tapi toh pada
akhirnya direvisi dan saat ini memasuki pencairan anggaran untuk pembangunan.
Bagaimana dengan Blora? Mari kita bandingkan
dengan situasi dan kondisinya. Saat ini, saat kolom ini ditulis, progres
pembahasan RAPBD 2014 baru pada tahap KUA PPAS. Padahal, KUA PPAS baru
merupakan blueprint yang menjadi landasan utama dalam penjabaran
anggaran untuk dituangkan dalam RAPBD.
Taruhlah butuh waktu satu bulan untuk
membahas RAPBD. Ini berarti draf anggaran pembangunan untuk setahun ke depan
baru bisa didok April. Berarti, waktu efektif untuk membelanjakan anggaran
pembangunan hanya sembilan bulan.
Itupun belum dipotong untuk schedule
lelang, pemberkasan syarat administrasi untuk pencairan anggaran dan dinamika
lainnya. Sehingga, bukan tidak mungkin umur belanja anggaran lebih pendek.
Itu pun belum kalau kita menganalisis
faktor politiknya. Kita semua tahu, April nanti sebagian (besar?) anggota dewan
saat ini pasti maju lagi dalam Pemilu 2009. Meski masih menjabat hingga Oktober
nanti, bukan tidak mungkin para caleg akan disibukkan dengan agenda mengail
simpati dan dukungan publik untuk Pemilu 2014.
Pendek kata, faktor ini bisa sangat
mempengaruhi ketepatan waktu pembahasan sekaligus pengesahan RAPBD. Itupun
belum lagi kalau RAPBD-nya direvisi gubernur, sebagai implementasi kepatutan
anggaran. Bisa-bisa lebih lama lagi disahkan. Lantas, siapa yang dirugikan?
Sudah pasti rakyat, yang sudah rela membayar pajak untuk APBD.
Sanksi Personal
Sanksi Personal
Problem pembahasan RAPBD Blora memang
sudah lama dan kronik. Penulis cukup tahu problem ini, karena pada 2005 pernah
bertugas di Blora. Yang membuat penulis merasa saat itu adalah seolah
keterlambatan pembahasan RAPBD bukan sesuatu yang dianggap serius, sebuah
kesalahan, atau bentuk pelanggaran konstitusi.
Ketika itu, keterlambatan pembahasan
RAPBD disebabkan faktor konflik kepentingan antara elit dewan dan pemkab (legislatif
vis a vis executive). Perang kepentingan yang dimaksud tentu bukan hanya
sebatas personal elite dewan dan pemkabnya, melainkan juga kepentingan secara
kelembagaan.
Penyebab keterlambatan seperti studi
yang dilakukan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) 2013.
Yakni, rendahnya kompetensi birokrasi daerah, tarik ulur kepentingan eksekutif
dan legislatif, serta keterlibatan DPRD membahas APBD sampai satuan tiga. Tarik
menarik kepentingan eksekutif dan legislatif kebanyakan didasari kebijakan
politik anggaran yang tidak jarang berakhir kompromistis, setelah sebelumnya
tak ada titik temu.
Dan rasa-rasanya, konflik kepentingan
itu masih berlanjut sampai kini, plus penyebab lain tentunya. Mengapa masih
berlanjut? Pandangan penulis, salah satu jawabannya karena tidak adanya punishment
yang secara tegas terhadap pihak-pihak yang membahas APBD, baik dari DPRD (banggar)
maupun pemkab (tim anggaran).
Memang, pemerintah pusat telah memberi
sanksi terhadap daerah yang telat menuntaskan
APBD dengan penundaan pencairan DAU 25 persen. Tetapi, yang menjadi
korban justru rakyat. Bahkan, boleh dibilang hukuman tersebut tidak cukup
membuat jera, karena tidak mengikat secara langsung terhadap personal para
pihak tersebut. Buktinya, keterlambatan terus berlangsung hingga 12 tahun!
Karena itu, penulis merasa mereka
perlu diberi sanksi yang mengikat secara personal, apakah berupa pemangkasan
tunjangan atau komponen gaji lainnya. Regulasinya, biarlah ditentukan oleh
Mendagari.
Penulis pikir itu setimpal dengan apa yang
telah mereka lakukan dengan mengorbankan kepentingan publik yang jauh lebih
besar? Tentu saja ini di luar opsi lainnya, seperti penyusunan rencana kerja dewan
yang lebih konkret hingga pengawasan terstruktur dari media dan OMS. (*)
Ujung Blok Lingkar, 2 Maret 2014
* Tayang di Jawa Pos Radar
Bojonegoro, Edisi 3 Maret 2014, Halaman 32