Monday, March 31, 2014

Lagi Lagi APBD Blora

Rasanya tidak pernah ada habisnya membicarakan keterlambatan pemerintahan Blora dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Bahkan, tahun ini untuk yang ke-12 kalinya atau 12 tahun, pembahasan RAPBD Blora mengalami keterlambatan.
Sampai-sampai ada guyonan di kalangan jurnalis dan OMS Blora, bahwa andaikan ada pemecahan rekor terlambat dalam pembahasan APBD, mungkin Blora akan menyabet sebagai juara bertahan sekaligus berturut-turut, sekaligus pemecah rekor yang sulit ada tandingannya.
Bukan bermaksud menyampaikan sisi buruk Kabupaten Blora, marilah kita bandingkan pembahasan RAPBD di kabupaten tetangga sebelah, Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. Bisa dibilang, pembahasan RAPBD di tiga kabupaten tersebut, --terlepas dengan segala keterbatasan, dinamika, hingga ragam kepentingan stakeholders terkait, pemerintahan tiga kabupaten ini relatif tepat waktu, sesuai kalender anggaran.
Mari kita perbandingkan. Saat ini sudah Maret. Di Pemerintahan Bojonegoro sudah mulai menyiapkan persyaratan administratif guna pencairan APBD 2014. Memang sebelumnya ada evaluasi dari gubernur Jatim pada akhir Januari, atas sejumlah anggaran yang tidak rasional, seperti anggaran perjalanan dinas dan peningkatan kapasitas di DPRD. Tapi toh pada akhirnya direvisi dan saat ini memasuki pencairan anggaran untuk pembangunan.
Bagaimana dengan Blora? Mari kita bandingkan dengan situasi dan kondisinya. Saat ini, saat kolom ini ditulis, progres pembahasan RAPBD 2014 baru pada tahap KUA PPAS. Padahal, KUA PPAS baru merupakan blueprint yang menjadi landasan utama dalam penjabaran anggaran untuk dituangkan dalam RAPBD.
Taruhlah butuh waktu satu bulan untuk membahas RAPBD. Ini berarti draf anggaran pembangunan untuk setahun ke depan baru bisa didok April. Berarti, waktu efektif untuk membelanjakan anggaran pembangunan hanya sembilan bulan.
Itupun belum dipotong untuk schedule lelang, pemberkasan syarat administrasi untuk pencairan anggaran dan dinamika lainnya. Sehingga, bukan tidak mungkin umur belanja anggaran lebih pendek.
Itu pun belum kalau kita menganalisis faktor politiknya. Kita semua tahu, April nanti sebagian (besar?) anggota dewan saat ini pasti maju lagi dalam Pemilu 2009. Meski masih menjabat hingga Oktober nanti, bukan tidak mungkin para caleg akan disibukkan dengan agenda mengail simpati dan dukungan publik untuk Pemilu 2014.
Pendek kata, faktor ini bisa sangat mempengaruhi ketepatan waktu pembahasan sekaligus pengesahan RAPBD. Itupun belum lagi kalau RAPBD-nya direvisi gubernur, sebagai implementasi kepatutan anggaran. Bisa-bisa lebih lama lagi disahkan. Lantas, siapa yang dirugikan? Sudah pasti rakyat, yang sudah rela membayar pajak untuk APBD.   

Sanksi Personal   
Problem pembahasan RAPBD Blora memang sudah lama dan kronik. Penulis cukup tahu problem ini, karena pada 2005 pernah bertugas di Blora. Yang membuat penulis merasa saat itu adalah seolah keterlambatan pembahasan RAPBD bukan sesuatu yang dianggap serius, sebuah kesalahan, atau bentuk pelanggaran konstitusi.
Ketika itu, keterlambatan pembahasan RAPBD disebabkan faktor konflik kepentingan antara elit dewan dan pemkab (legislatif vis a vis executive). Perang kepentingan yang dimaksud tentu bukan hanya sebatas personal elite dewan dan pemkabnya, melainkan juga kepentingan secara kelembagaan.
Penyebab keterlambatan seperti studi yang dilakukan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) 2013. Yakni, rendahnya kompetensi birokrasi daerah, tarik ulur kepentingan eksekutif dan legislatif, serta keterlibatan DPRD membahas APBD sampai satuan tiga. Tarik menarik kepentingan eksekutif dan legislatif kebanyakan didasari kebijakan politik anggaran yang tidak jarang berakhir kompromistis, setelah sebelumnya tak ada titik temu.
Dan rasa-rasanya, konflik kepentingan itu masih berlanjut sampai kini, plus penyebab lain tentunya. Mengapa masih berlanjut? Pandangan penulis, salah satu jawabannya karena tidak adanya punishment yang secara tegas terhadap pihak-pihak yang membahas APBD, baik dari DPRD (banggar) maupun pemkab (tim anggaran).
Memang, pemerintah pusat telah memberi sanksi terhadap daerah yang telat menuntaskan  APBD dengan penundaan pencairan DAU 25 persen. Tetapi, yang menjadi korban justru rakyat. Bahkan, boleh dibilang hukuman tersebut tidak cukup membuat jera, karena tidak mengikat secara langsung terhadap personal para pihak tersebut. Buktinya, keterlambatan terus berlangsung hingga 12 tahun!
Karena itu, penulis merasa mereka perlu diberi sanksi yang mengikat secara personal, apakah berupa pemangkasan tunjangan atau komponen gaji lainnya. Regulasinya, biarlah ditentukan oleh Mendagari.
Penulis pikir itu setimpal dengan apa yang telah mereka lakukan dengan mengorbankan kepentingan publik yang jauh lebih besar? Tentu saja ini di luar opsi lainnya, seperti penyusunan rencana kerja dewan yang lebih konkret hingga pengawasan terstruktur dari media dan OMS. (*)

Ujung Blok Lingkar, 2 Maret 2014
* Tayang  di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 3 Maret 2014, Halaman 32