DPRD
Bojonegoro hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 resmi dilantik pada tanggal 21
Agustus lalu. Sejak tanggal itu pula mereka menyandang status sebagai wakil
rakyat. Selama lima tahun ke depan, sepanjang tidak diganti dalam proses
pergantian antarwaktu (PAW), mereka akan menjalankan tiga fungsi dan kewajiban
konstitusi sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Penulis
dan mungkin sebagian pembaca sangat berharap kualitas anggota DPRD sekarang
bisa lebih baik dari wakil rakyat periode sebelumnya. Cara mengukurnya tentu
dengan melihat sejauhmana kinerja mereka jika dilihat dari fungsi legislating
(pembuat peraturan daerah), budgetting (penganggaran), dan controlling
(pengawasan kinerja eksekutif).
Penulis
masih punya keyakinan mereka akan mampu menjalankan tiga fungsi tersebut, plus
fungsi penyuaraan aspirasi dan keterwakilan publik dari daerah pemilihannya
masing-masing.
Memang, secara kuantitas, jumlah anggota DPRD perempuan pada periode ini masih minim, jauh dari imbauan konstitusi yang disarankan mencapai 30 persen. Namun, diharapkan hal ini tidak mempengaruhi semangat mereka memperjuangkan gerakan affirmative action yang berbasis gender.
Memang, secara kuantitas, jumlah anggota DPRD perempuan pada periode ini masih minim, jauh dari imbauan konstitusi yang disarankan mencapai 30 persen. Namun, diharapkan hal ini tidak mempengaruhi semangat mereka memperjuangkan gerakan affirmative action yang berbasis gender.
Baiklah,
penulis ingin kembali lagi ke titik tekan harapan perbaikan kualitas kinerja
dewan. Ada beberapa alasan penting yang mendasari penulis mengapa mereka masih
bisa kita harapkan. Pertama, anggota dewan periode saat ini dihuni oleh
sejumlah mantan aktivis yang kapasitasnya terhadap advokasi dan keberpihakan
publik mungkin tidak perlu diragukan lagi. Sebut saja ada nama Anam Warsito,
Muchlassin Affan, Choirul Anam, dan banyak lagi yang lainnya.
Penulis
cukup mengenal dengan baik rekam jejak mereka. Sebab, mereka adalah seangkatan
dengan penulis saat masih sama-sama menjadi aktivis gerakan atau eksponen
mahasiswa 1998. Mereka ini dikenal kritis terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah, termasuk pemerintah daerah, yang tidak berpihak pada masyarakat.
Tak segan-segan, teman-teman ini turun ke jalan, tak hanya di Bojonegoro tetapi
juga di Surabaya hingga Jakarta. Pendek kata, mereka memenuhi syarat untuk
menerima label gerakan kritis.
Kawan-kawan
ini juga kapabel dalam merumuskan konsep-konsep ideal sebuah kebijakan dan
pemberdayaan masyarakat sipil. Penulis tahu persis, karena prosesnya bareng
dengan penulis sendiri.
Dengan segala kelebihan itu, tentu saja penulis berharap rekam jejak mereka menjadi ruh dalam menjalankan tiga fungsi di atas. Dengan bekal pengalaman gerakan kritisisme 16 tahun silam, penulis tentu mempunyai ekspektasi mereka mampu mengontrol segala bentuk penyimpangan dari eksekutif dan legislatif sendiri. Karena, mereka sudah terbiasa dengan mengukur kinerja sebuah institusi berbasiskan alat ukur atau key performance indicator yang akurat dan valid.
Dengan segala kelebihan itu, tentu saja penulis berharap rekam jejak mereka menjadi ruh dalam menjalankan tiga fungsi di atas. Dengan bekal pengalaman gerakan kritisisme 16 tahun silam, penulis tentu mempunyai ekspektasi mereka mampu mengontrol segala bentuk penyimpangan dari eksekutif dan legislatif sendiri. Karena, mereka sudah terbiasa dengan mengukur kinerja sebuah institusi berbasiskan alat ukur atau key performance indicator yang akurat dan valid.
Alasan
kedua, kita tahu sendiri saat ini image dan citra dewan Bojonegoro bisa
dibilang sedang berada di titik nadir. Penyidikan kasus dugaan korupsi
bimbingan teknik (bimtek) dan sosialisasi perundang-undangan DPRD tahun
anggaran 2012 dan penyelidikan bimtek 2013, sudah sangat mencoreng citra wakil
rakyat. Bahkan, khusus untuk kasus bimtek 2012 telah membawa korban tiga
tersangka.
Sebagai
manusia normal, tentu anggota dewan saat ini akan terbebani dan terlecut untuk
membuktikan bahwa mereka tidak seperti periode sebelumnya. Dengan catatan buruk
itu mereka idealnya menjadi lebih hati-hati dengan bekerja sebaik mungkin agar
tidak terporosok dalam lubang yang sama. Apalagi, 'regulasi' juga cukup memihak
pada mereka. Peraturan Menteri Keuangan 2014 tentang Perjalanan Dinas,
membatasi ruang gerak mereka untuk memperkaya diri sendiri dengan kinerja yang
lebih baik.
Tentu
saja beberapa hal tadi hanyalah harapan yang disampaikan oleh publik yang
berada di luar struktur sistem. Hawa dan godaan sistem di dalam penulis yakin
jauh lebih dahsyat. Dengan kata lain, berbagai kapasitas, pengalaman dan rekam
jejak mereka menjadi percuma jika ikhtiar memperbaiki diri kinerja dan citra
dewan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, apalagi larut dengan sistem korup
yang berlangsung secara lama.
Inilah
momentum bagi mereka untuk mengembalikan kewibawaan lembaga negara seluhur
cita-cita awalnya. Inilah saatnya merawat kepercayaan dan harapan publik dengan
memperbaiki kinerja.
Seorang
sejarawan pernah mengatakan, hanya mereka yang memahami masa lalu yang bisa
mengemudikan masa depan. Dan masa lalu sudah mereka alami dan rasakan,
sekaranglah saatnya untuk mengemudikan masa depan dengan lebih baik lagi dan
lebih bermartabat. Semoga (*)
Ujung
Blok Lingkar, 23 Agustus 2014
*)
Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Halaman 30 Edisi 24 Agustus 2014