Sunday, August 24, 2014

Merawat Harapan Publik



DPRD Bojonegoro hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 resmi dilantik pada tanggal 21 Agustus lalu. Sejak tanggal itu pula mereka menyandang status sebagai wakil rakyat. Selama lima tahun ke depan, sepanjang tidak diganti dalam proses pergantian antarwaktu (PAW), mereka akan menjalankan tiga fungsi dan kewajiban konstitusi sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Penulis dan mungkin sebagian pembaca sangat berharap kualitas anggota DPRD sekarang bisa lebih baik dari wakil rakyat periode sebelumnya. Cara mengukurnya tentu dengan melihat sejauhmana kinerja mereka jika dilihat dari fungsi legislating (pembuat peraturan daerah), budgetting (penganggaran), dan controlling (pengawasan kinerja eksekutif).
Penulis masih punya keyakinan mereka akan mampu menjalankan tiga fungsi tersebut, plus fungsi penyuaraan aspirasi dan keterwakilan publik dari daerah pemilihannya masing-masing. 
Memang, secara kuantitas, jumlah anggota DPRD perempuan pada periode ini masih minim, jauh dari imbauan konstitusi yang disarankan mencapai 30 persen. Namun, diharapkan hal ini tidak mempengaruhi semangat mereka memperjuangkan gerakan affirmative action yang berbasis gender.
Baiklah, penulis ingin kembali lagi ke titik tekan harapan perbaikan kualitas kinerja dewan. Ada beberapa alasan penting yang mendasari penulis mengapa mereka masih bisa kita harapkan. Pertama, anggota dewan periode saat ini dihuni oleh sejumlah mantan aktivis yang kapasitasnya terhadap advokasi dan keberpihakan publik mungkin tidak perlu diragukan lagi. Sebut saja ada nama Anam Warsito, Muchlassin Affan, Choirul Anam, dan banyak lagi yang lainnya.
Penulis cukup mengenal dengan baik rekam jejak mereka. Sebab, mereka adalah seangkatan dengan penulis saat masih sama-sama menjadi aktivis gerakan atau eksponen mahasiswa 1998. Mereka ini dikenal kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk pemerintah daerah, yang tidak berpihak pada masyarakat. Tak segan-segan, teman-teman ini turun ke jalan, tak hanya di Bojonegoro tetapi juga di Surabaya hingga Jakarta. Pendek kata, mereka memenuhi syarat untuk menerima label gerakan kritis.
Kawan-kawan ini juga kapabel dalam merumuskan konsep-konsep ideal sebuah kebijakan dan pemberdayaan masyarakat sipil. Penulis tahu persis, karena prosesnya bareng dengan penulis sendiri.
Dengan segala kelebihan itu, tentu saja penulis berharap rekam jejak mereka menjadi ruh dalam menjalankan tiga fungsi di atas. Dengan bekal pengalaman gerakan kritisisme 16 tahun silam, penulis tentu mempunyai ekspektasi mereka mampu mengontrol segala bentuk penyimpangan dari eksekutif dan legislatif sendiri. Karena, mereka sudah terbiasa dengan mengukur kinerja sebuah institusi berbasiskan alat ukur atau key performance indicator yang akurat dan valid.
Alasan kedua, kita tahu sendiri saat ini image dan citra dewan Bojonegoro bisa dibilang sedang berada di titik nadir. Penyidikan kasus dugaan korupsi bimbingan teknik (bimtek) dan sosialisasi perundang-undangan DPRD tahun anggaran 2012 dan penyelidikan bimtek 2013, sudah sangat mencoreng citra wakil rakyat. Bahkan, khusus untuk kasus bimtek 2012 telah membawa korban tiga tersangka.
Sebagai manusia normal, tentu anggota dewan saat ini akan terbebani dan terlecut untuk membuktikan bahwa mereka tidak seperti periode sebelumnya. Dengan catatan buruk itu mereka idealnya menjadi lebih hati-hati dengan bekerja sebaik mungkin agar tidak terporosok dalam lubang yang sama. Apalagi, 'regulasi' juga cukup memihak pada mereka. Peraturan Menteri Keuangan 2014 tentang Perjalanan Dinas, membatasi ruang gerak mereka untuk memperkaya diri sendiri dengan kinerja yang lebih baik.
Tentu saja beberapa hal tadi hanyalah harapan yang disampaikan oleh publik yang berada di luar struktur sistem. Hawa dan godaan sistem di dalam penulis yakin jauh lebih dahsyat. Dengan kata lain, berbagai kapasitas, pengalaman dan rekam jejak mereka menjadi percuma jika ikhtiar memperbaiki diri kinerja dan citra dewan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, apalagi larut dengan sistem korup yang berlangsung secara lama.
Inilah momentum bagi mereka untuk mengembalikan kewibawaan lembaga negara seluhur cita-cita awalnya. Inilah saatnya merawat kepercayaan dan harapan publik dengan memperbaiki kinerja.
Seorang sejarawan pernah mengatakan, hanya mereka yang memahami masa lalu yang bisa mengemudikan masa depan. Dan masa lalu sudah mereka alami dan rasakan, sekaranglah saatnya untuk mengemudikan masa depan dengan lebih baik lagi dan lebih bermartabat. Semoga (*)

Ujung Blok Lingkar, 23 Agustus 2014
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Halaman 30 Edisi 24 Agustus 2014

Jurnalisme Partisipatif


Hari ini, 26 Juli 2014, Jawa Pos Radar Bojonegoro tepat berusia 15 tahun. Sebuah usia yang bisa dibilang mulai matang, untuk ukuran sebuah perusahaan. Bagi manusia, usia 15 tahun bisa dibilang merupakan fase pengenalan identitas diri.
Sebagai entitas bisnis yang bergerak di bidang pemenuhan hak-hak masyarakat atas informasi, fase identitas diri yang dimaksud adalah berkaitan dengan nilai-nilai dan filosofi jurnalisme itu sendiri. Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan usia 15 tahun koran ini sudah menuju track yang dibenarkan dalam jurnalisme modern?
Mari kita runut. Media massa adalah produk jurnalistik. Jurnalistik adalah salah satu dari produk material ilmu komunikasi, yang serumpun dalam ilmu sosial (sosiologi). Sebagai rumpun ilmu sosial, produk media massa tidak boleh tercerabut dari akar filosofinya. 
Dalam jurnalisme modern, teori tanggung jawab sosial menjadi madzhab meanstream di berbagai media massa belahan dunia. Dalam buku berjudul Four Theories of The Press (Siebert, Peterson, dan Schramm, 1956) yang dikutip oleh Werner J. Severin, dan James W. Tankard Jr (2005:378) disebutkan, ciri umum madzhab ini adalah siapapun bisa/boleh memiliki pendapat.
Sebab, media sebenarnya dikendalikan oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, dan etika profesional. Namun demikian, media juga tetap mengemban tugas tanggung jawab sosial dan bila tidak mencerminkan realitas sosial, suatu pihak tertentu harus memaksanya agar berjalan sesuai dengan track awal.
Bagaimana cara mengukurnya? Setidaknya ada dua indikator utama di antara delapan. Pertama, demokrasi altruistik. Yaitu, berita-berita yang menyiratkan politik berdasar pada kepentingan pelayanan publik (public service).
Kedua, pastorialisme kota kecil. Maksudnya, media massa harus memiliki kecenderungan untuk mengangkat potensi-potensi yang ada di sebuah komunitas yang kecil. Sehingga, menjadi berkembang dan positif.
Poin ini juga dapat dijelaskan bahwa, media harus mampu mendorong pertumbuhan, pembangunan, dan kemajuan sebuah kota kecil, dengan tetap menghargai pluralisme masyarakat yang sedang tumbuh berkembang.
Pertanyaannya, apakah Jawa Pos Radar Bojonegoro sudah mencerminkan pendekatan tanggung jawab sosial? Mari kita diskusikan, dalam jurnalisme klasik ada istilah yang mungkin bisa dibilang cukup nyinyir. Pameo itu berbunyi, good news is bad news. Bad news is bad news (berita/kabar baik adalah kabar buruk. Berita buruk adalah kabar baik).
Dan Jawa Pos, berikut anak perusahaannya, termasuk Radar Bojonegoro, sudah lama mengembangkan pendekatan good news is good news. Sebagai ilustrasi, kabupaten yang mempunyai prestasi meraih Piala Adipura, secara news value sangat layak diekspos.
Di Jawa Pos wa ala ahlihi, prestasi raihan Adipura, Kalpataru, atau kampiun di berbagai olimpiade sains nasional adalah bagian dari inspiring dan inovatif. Dua nilai berita ini sudah lama dikembangkan koran ini.   
Cara pandangnya bukan lagi melayani birokrasi, melainkan menyebarkan virus positif, menyiarkan berita kemenangan manusia. Menebarkan optimisme dalam membangun daerah dan peradaban. Sebab, hakikinya bukan Adipuranya yang menjadi goal, namun kesadaran membangun budaya dan peradaban yang berorientasi lingkungan.
Menyiarkan berita kemenangan manusia, bukan hanya kekalahan manusia seperti kasus pembunuhan, kecelakaan, dan sebagainya, adalah merupakan respons sekaligus bentuk dari apa yang disebut Siebert, Peterson, dan Schramm sebagai pastorialisme kota kecil.
Dalam pengertian lain, penulis menyebutnya sebagai jurnalisme partisipatif, jurnalisme adaptif. Jurnalisme yang tidak mengabaikan dinamika positif sosial, melainkan justru mendorong dan menumbuhkembangkan berita kemenangan manusia.  
Keberadaan Radar Tuban, Radar Lamongan, dan Radar Cepu adalah bagian dari ikhtiar kami merawat semangat jurnalisme partisipatif. Dengan semakin lokal, semakin dekat pula kami dengan Anda semua, para pembaca yang budiman.  
Wabakdu, selamat dan sukses 15 tahun Jawa Pos Radar Bojonegoro. Semoga kami terus konsisten mengawal jurnalisme partisipatif agar bisa memberikan yang terbaik kepada para pembaca yang budiman. (*)

Bojonegoro, 25 Juli 2014           

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 26 Juli 2014, halaman 21