Thursday, October 2, 2014

Titik Nadir Demokrasi



Jengkel, marah, kesal sekaligus gemas. Begitulah yang penulis rasakan saat membaca berita dan koran yang menyebutkan DPR RI mengesahkan RUU Pilkada lewat DPRD, bukan secara langsung melalui mandat rakyat, Jumat dinihari (26/9). 
Jengkel dan kesal, karena melalui UU Pilkada tersebut, kelak kita tidak lagi memiliki hak suara untuk memilih pemimpin kita (bupati, walikota, dan gubernur) sesuai dengan kriteria yang kita harapkan.
Marah, karena dengan semena-mena, mereka, dengan mengatasnamakan rakyat, Pancasila, dan UUD 1945 dengan seenaknya mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung ke ruang sempit anggota dewan.
Penulis yakin, Anda pun merasakan hal yang sama. Karena faktanya memang mayoritas publik tetap menghendaki pilkada langsung oleh rakyat. Kalau DPR mengatasnamakan sebagai wakil rakyat dengan mengubah sistem pilkada oleh DPRD, sungguh tidak menemukan relevansinya.
Saya tidak akan mengulas soal alasan-alasan kenapa harus tetap pilkada langsung daripada lewat DPRD. Karena saya yakin Anda sudah banyak tahu argumentasi akademis maupun sisi positif pilkada langsung. Saya juga tidak akan menyinggung soal dampak pilkada langsung dihapus, karena pembaca juga dapat menganalisanya sendiri.
Penulis lebih tertarik untuk menyinggung sisi represantatif dan logika asal dari keterwakilan dewan. Karena dari situlah mandat dan daulat rakyat muncul. Dari situ kita akan tahu apakah relevan kalau mereka menghapus pilkada langsung.   
Jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada 10-12 September 2014 menyimpulkan bahwa mayoritas responden (publik) tidak setuju pilkada langsung dihapus. Penolakan rakyat mutlak dari semua jenjang pendidikan. Sebanyak 70 persen responden dengan pendidikan tamat SD tidak setuju pilkada langsung dihapus.
Begitu juga responden lulusan SMP, 70,6 persen menolak pilkada langsung dihapus. Jenjang SMA, 80 persen setuju pilkada tetap langsung, lulusan D3/Sarjana 84 persen setuju pilkada langsung. Serta, pascasarjana 65 persen tetap pilkada langsung.
Kehendak mayoritas publik yang sama didapat oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dalam survei yang dilakukan pada pertengahan September lalu. Angkanya juga mutlak, di atas 80 persen yang menghendaki pilkada tetap langsung melalui rakyat.
Dengan mayoritas penolakan publik tersebut, rasanya sangat tidak masuk akal kebijakan yang diambil penguasa Senayan dengan menghapus pilkada langsung. Ada sesat alur dan sesat mandat yang melandasi keputusan itu. Karena faktanya tidak ada pembenaran representatif atas keputusan mengesahkan RUU Pilkada lewat DPRD. Keputusan yang diambil bukan atas dasar daulat mandat rakyat, melainkan lebih karena kesumat.
Kalaupun pilkada langsung banyak celah keburukannya bukan berarti diubah sistemnya, melainkan diperbaiki dengan format yang lebih baik.
Faktanya sekarang rakyat sangat marah. Lihatlah trending topic (topik populer) di salah satu laman pencari informasi. Tema RUU Pilkada menjadi topik paling dicari alias nomor satu, mengalahkan topik lain seperti rencana launching Iphone 6 Plus. Hingga pukul 21.00 Jumat malam (26/9), jumlah pencarinya sudah mencapai 341 ribu. Jumlah itu terus bertambah setiap menit dan jamnya hingga kini.
Yang menarik, banyak publik yang mengkait-kaitkan hari, tanggal dan bulan keputusan DPR RI menghapus pilkada langsung tersebut sebagai bentuk pengkhianatan yang sama dilakukan oleh sebuah organisasi terlarang dulu. 
Sehingga muncul istilah G26S/... (nama partai), sebagai upaya penyamaan dari G30S/PKI. Seolah publik melihat bobot pengkhianatan organisasi terlarang itu sama dengan pengkhianatan atas hilangnya hak daulat publik!
Tetapi apa lacur, keputusan sudah diambil. Senayan menghapus pilkada langsung. Bangsa ini, seperti judul buku karya Emha Ainun Najib, yang penulis jadikan judul kolom, berada dalam Titik Nadir Demokrasi. Bangsa ini sedang berada di titik paling dasar, paling bawah, paling rendah. Karena hak-hak dasar rakyat dicerabut! Ironinya, yang mencabut adalah wakil rakyat.
Kini, kendali di tangan kita. Cukupkah kita puas berdiam diri dan pasrah atas keputusan tersebut, ataukah ada ikhtiar untuk mengubahnya? Sejarah yang akan mencatatnya. (*)

Ujung Blok Lingkar, 27 September 2014
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 28 September 2014, Halaman 26