Wednesday, December 9, 2015

Ujian Pilkada Serentak

Beberapa waktu yang lalu penulis sempat bercengkerama dengan seorang teman asal Tuban. Tema pembicaraannya seputar pemililihan kepala daerah (pilkada) yang Rabu (9/12) mendatang akan diselenggarakan secara serentak se-Indonesia.
Inti pembicaraan, dia, bisa dibilang, mengeluhkan ‘senyap’-nya pilkada di Bumi Wali. Dia mengeluhkan tidak gegap gempitanya pilkada. Bahkan, secara ekstrem, dia bilang,  gereget dan suhu pilkada masih kalah dengan pocongan, istilah lama dari pemilihan kepala desa (pilkades).
Kalau dulu, lima tahun lalu, pilkada masih agak terasa aura dan tensinya. Karena, ruang maupun media untuk melihat perkembangan politik dengan segala manuvernya, banyak mencuat ke permukaan. Ada public sphere yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk membaca atau bahkan menilainya.         
Menurut dia, masyarakat sebagai pemilih-lah yang merasa paling dirugikan dengan pola dan sistem pilkada yang diatur dalam undang-undang pilkada yang baru ini. Mereka tak lagi bisa mengenal dengan cermat dan gamblang mengenai rekam jejak calon yang maju dalam pilkada.
Kalau sudah begini, menurut dia, kemungkinannya ada dua: masyarakat kurang antusias terhadap pilkada karena rekam jejak calon tidak terlacak dengan detail. Atau pilkada akan melahirkan pemenang dalam ‘karung’.

Was-Was         
Dengan kondisi yang terjadi sekarang ini, penulis juga mempunyai perkiraan, boleh jadi para penyelenggara pilkada, baik komisi pemilihan umum kabupaten dan jajarannya serta pengawas pemilu kabupaten, berikut jaringannya ke bawah, merasa was-was, cemas, dan bahkan boleh jadi dag dig dug.
Mereka cemas sembari berdoa dan berharap, semoga saja ‘kesenyapan’ ini tidak sampai mengganggu tingkat kehadiran pemilih dalam menggunakan hak suaranya pada tanggal 9 Desember nanti. Jika itu terjadi, bukan tak mungkin penyelenggara pilkada akan dikritik dan dipertanyakan kinerjanya.
Ini karena indikator dalam demokrasi formalistik yang diwujudkan melalui pemilu, salah satunya dapat dilihat dari seberapa besar angka partisipasi pemilihnya atau angka golput (tidak menggunakan hak pilih) dalam pemungutan suara. Itulah hal yang bisa dilihat di permukaan. 
Belum lagi kesuksesan pilkada diukur dari seberapa baik kualitas demokrasinya berjalan. Cara mengukurnya antara lain sejauhmana pemilih mengetahui dengan baik calon yang akan dipilih.
Juga, sejauhmana sistem dan tahapan pemilunya berjalan. Dan sejauhmana kontrol atau pengawasan jalannya pemilu berlangsung. Dan Anda, saya yakin sudah punya penilaian tersendiri, sejauhmana hal-hal di atas berjalan.

Bahan Evaluasi    
Tapi, sudahlah, kita abaikan dahulu kekhawatiran-kekhawatiran di atas. Kita hilangkan sejenak kecemasan-kecemasan atau ketakutan-ketakutan yang mungkin terjadi dalam pilkada, yang sudah berada di depan pintu ini.
Kita sambut saja pilkada ini, dengan kita gegap-gempitakan sendiri, semampu kita, sebisa kita. Sembari berdoa, semoga angka partisipasi pemilih, sesuai target, atau bila mungkin di atas target yang dipatok penyelenggara pilkada. Dan kita berdoa saja, semoga kualitas demokrasinya sesuai dengan standar demokrasi yang sehat dan fair.
Terlepas dari itu semua, mari kita sama-sama berharap, agar segala kekurangan yang ada dalam pilkada serentak jilid pertama tersebut menjadi bahan evaluasi serius bagi para penyelenggara pilkada.
Catatan-catatan kekurangan ini harapannya juga tidak hanya menghiasi lemari arsip KPU atau Panwas. Yang hanya disimpan rapi untuk kemudian menjadi berkas yang lama-kelamaan akan habis dimakan rayap.   
Namun, catatan-catatan tersebut seharusnya diangkat dan dibahas ke tingkat yang lebih atas lagi. Ke KPU Pusat atau Bawaslu, misalnya. Atau bila perlu sampai ke meja para yang mulia, anggota DPR RI.
Agar, pilkada selanjutnya dapat lebih sehat, mengedukasi masyarakat, dan fair melalui regulasi yang lebih baik lagi. Sehingga, melahirkan demokrasi dan pemimpin yang berkualitas. Akhirnya, selamat mencoblos warga Tuban, Lamongan, dan Blora. (*)                

Bojonegoro, 4 Desember 2015
*) Tayang di Harian Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi Minggu, 6 Desember 2015, Halaman 30

Tuesday, June 30, 2015

Akuntabilitas Anggaran Desa



Salah satu terobosan penting Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan adalah mendistribusikan anggaran desa yang nilainya cukup fantastis.
Prinsip dekonsentrasi pembangunan dari daerah tingkat II ke level desa ibaratnya sebuah lompatan yang signifikan dalam strategi pembangunan nasional di masa-masa yang akan datang.
Ibaratnya, meminjam teori Mao Ze Dong, Pemerintah menekankan konsep pembangunan "desa mengepung kota" yang begitu membumi dalam konsep ideologi gerakan perubahan sosial di Tiongkok pada masa lampau.
Konsep desa mengepung kota memberi pemahaman bahwa pembangunan sebuah negara secara menyeluruh tidak akan bisa terlaksana apabila tidak dimulai dengan membangun pondasinya. Pondasi yang dimaksud tentu saja adalah daerah di lini terbawah: desa.
Seperti bangunan mercusuar, pondasi dasarnya harus dibangun sedemikian kokoh terlebih dahulu, sebelum kemudian memerluas dan mempercantik konstruksi di atasnya, meskipun dengan desain mencakar langit sekalipun.
Tentu saja konsep pembangunan desa, yang diperkuat dengan lahirnya regulasi UU Desa ini, tidak sempurna. Karena, pada dasarnya memang tidak pernah ada kebijakan yang bisa diterima siapapun.
Faktanya, secara sosiologis, lahirnya UU Desa sedikit banyak menggeneralisasi konsep desa yang berlaku menyeluruh di Indonesia. Padahal, Indonesia yang memiliki begitu banyak bahasa, suku, adat, dan budayanya sejatinya memiliki konsep beragam tentang desa. Tetapi, pada akhirnya semua disatukan dengan lahirnya UU Desa. Seluruh aset dihandle pemerintah dan dibakukan dalam APBDes.
Resistensi itu sebenarnya sudah muncul belakangan ini dengan adanya penolakan dari Suku Anak Dalam, Riau, yang sebelumnya mereka sudah begitu harmoni dengan alam melalui Desa Adat. Perbedaan cara pandang juga terjadi di Suku Badui, Jawa Barat.
Tetapi apapun UU telah disahkan, dan tahun ini sudah mulai diberlakukan, dengan ditransfernya dana desa, alokasi dana desa (ADD), dana bagi hasil dan pajak, yang merupakan komponen dari anggaran desa. 
 
Pertanggungjawaban Publik
Dalam sebuah diskusi tentang Sekolah Desa yang diikuti penulis belum lama ini, sempat mengemuka problem realisasi pembangunan berbasis anggaran desa.
Memang, beberapa kabupaten sudah mencairkan anggaran desanya. Tapi, ada pula yang urung mencairkan dananya karena terbentur regulasi turunan dari UU Desa dan Peraturan Pemerintahnya yang kurang aplikatif.
Bojonegoro termasuk kabupaten yang cukup responsif dalam menerjemahkan regulasi turunan tersebut. Lahirnya tiga peraturan bupati (Perbup) yang mengatur soal mekanisme pencairan dan pelaksanaan dana desa, detail bidang yang menjadi fokus dana desa, dan laporan pertanggungjawaban dana desa setidaknya bisa menjadi petunjuk bagi desa untuk merealisasikan agenda besar nasional ini.
Namun, hemat penulis, masih ada celah atau ruang yang belum tergarap dalam regulasi yang akan dijadikan rule map bagi pemerintahan desa tersebut. Yakni, soal pertanggungjawaban (akuntabilitas) publiknya.
Artinya, bukan sekadar LPj keuangan yang lebih bersifat normatif, belum substansial. Padahal, akuntabilitas publik merupakan salah satu parameter dalam demokrasi modern untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan benar.
Fukuyama dalam political order and political decay (2014) mengatakan, bahwa tata kelola pemerintahan yang baik menjadi menjadi salah satu pilar dalam membangun tertib politik sekaligus memperkuat eksistensi negara.
Penjelasannya, dengan disediakannya ruang dan cantolan akuntabilitas publik dalam regulasi, sebenarnya pemerintah daerah sudah berikhtiar menjalankan atau setidaknya membangun kultur tertib politik dan hirarkie struktural pemerintahan yang baik.
Format dan mekanisme akuntabilitas publik tidak saja berupa forum-forum yang memungkinkan partisipasi publik secara luas dan kompleks. Namun, juga dapat berupa ketersediaan kesempatan bagi publik untuk mengaksesnya secara lebih luas dan terbuka.
Sebab, seluruh anggaran yang digunakan untuk pembangunan desa melibatkan partisipasi publik melalui beragam pungutan dan pajak. Tentu adil juga bukan publik mengetahui untuk apa saja uang yang telah mereka bayarkan dengan susah payah tersebut? (*)
 
Ujung Blok Lingkar, 26 Juni 2015

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi Minggu, 28 Juni 2015 Halaman 26

Sunday, March 15, 2015

Sumur Tua: Dilema SDM dan SDA

Beberapa bulan yang lalu, secara tidak sengaja penulis bertemu dengan sejumlah penambang sumur minyak tua tradisional di gedung DPRD Bojonegoro. Mereka berniat mengadukan problem dalam pengelolaan sumur minyak tua di Kecamatan Kedewan ke komisi A DPRD.
Sekilas dari pembicaraan mereka, penulis menangkap harapan agar dewan ikut memberikan perhatian dalam peningkatan hajat hidup penambang dengan keberadaan sumur tua yang sudah ratusan tahun berada.
Salah satu isu yang mengemuka adalah keinginan adanya peningkatan ongkos angkat angkut minyak mentah (lantung) yang ditambang dari sumur tua untuk kemudian dijual ke Pertamina. Mereka menilai, ongkos angkat angkutnya tidak atau belum sebanding dengan biaya hidup, tingkat risiko, maupun kebutuhan lainnya.
Belakangan, kita melihat beberapa kali anggota dewan komisi A dan pemkab sidak ke sumur tua. Tapi, kita tidak tahu seberapa operasional hasil sidaknya. Justru, yang kita dengar adalah semakin mencuatnya karut marut tata kelola minyak tua di Kedewan dan Malo.
Mulai terkuaknya illegal minning, illegal logging, hingga perusakan lingkungan. Isu yang mengemuka ke publik adalah adanya beberapa pelanggaran serius dalam pengelolaan minyak tua, dan harus segera ditindak pelanggarnya.

Kehadiran Panglima TNI
Terus terang, penulis sempat kaget saat mendengar Panglima TNI Jenderal Moeldoko sidak bersama Dirut Pertamina Dwi Sutjipto, anggota DPR RI ke sumur tua, Jumat (13/3). Dalam benak sempat tergelitik sebuah pertanyaan, ada hubungan apa antara sumur tua, khususnya minyak, dengan jenderal bintang empat tersebut atau TNI.
Apakah ada kaitannya dengan mengemukanya berbagai pelanggaran pengelolaan minyak tua di Kedewan? Konkretnya, adakah keterlibatan aparat dalam pelanggaran pengelolaan sumur tua? Sampai-sampai tokoh sekaliber panglima TNI sampai turun gunung ke Kedewan. 
Mungkinkah ini ada benang merahnya dengan pernyataan Panglima TNI bahwa sebagai pemimpin tertinggi pihaknya berjanji akan menindak tegas, jika ada anggota yang terlibat dalam pelanggaran pengelolaan sumur minyak tua.
Sebab, seperti pepatah, tak ada api tanpa asap. Tidak ada kejadian yang berdiri tunggal, semua tentu akan ada kaitannya. Namun, sekali lagi ini hanyalah rabaan penulis, yang mungkin bisa jadi salah.     
Semoga saja memang benar tidak ada keterlibatan oknum aparat dalam pelanggaran pengelolaan sumur tua di Kedewan dan Malo. Kehadiran panglima TNI ke Kedewan benar-benar murni karena untuk memantau langsung pelanggaran serius dalam pengelolaan sumur minyak tua, yang menurut panglima TNI, paling parah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.

Perbaikan Tata Kelola
Terlepas ada benang merahnya atau tidak dengan kehadiran panglima TNI ke Kedewan, ada dilema sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) dengan keberadaan sumur tua di wilayah tersebut. Di satu sisi, adanya sumur tua merupakan modal penting untuk sarana peningkatan kesejahteraan penambang, yang sejatinya juga warga Bojonegoro sendiri.
Kalau selama ini muncul pelanggaran dan tindak pidana lain, penulis yakin itu tidak berdiri sendiri. Tidak fair kalau yang patut disalahkan adalah penambang. Di sinilah sebenarnya perlu ada kearifan pemerintah untuk menyikapinya. Apakah salah satu sebabnya karena minimnya upah, termasuk besaran ongkos angkut minyak mentah yang didapat para penambang, atau ada faktor ekonomi lain?
Saya rasa, assesement dengan model pendekatan problem solving perlu juga dilakukan, selain yang sudah dibuat dan dilakukan oleh tim pemkab, untuk mengurai permasalahan pengelolaan sumur tua. Jangan sampai SDM dan SDA menjadi dilema, justru harusnya saling menguatkan untuk menjadi modal sosial pembangunan.
Rasanya, pendekatan kemanusiaan bisa jadi akan lebih mengena daripada dengan pendekatan keamanan.  Tentu kita tidak mau sumur minyak tua, yang pengelolaannya secara tradisional menjadi kutukan sumber daya alam, bukan? (*)

Bawah Titian, 14 Maret 2015

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi Minggu, 15 Desember 2015 Halaman 26.

Friday, March 6, 2015

Catatan Perjalanan Umrah di Tanah Suci Madinah dan Makkah (9-Habis)

Tiga Kali Umrah, Plus Ziarah ke Jejak Sejarah Perjuangan Islam 

Jamaah umrah Farfasa Tour & Travel benar-benar dimanjakan selama menjalankan ibadah di Tanah Suci Makkah. Dari sisi ibadah umrah, ada tiga umrah diberikan untuk jamaah dari travel yang beralamatkan di Babat, Lamongan, Jawa Timur tersebut.
Umrah wajib dilaksanakan dengan mengambil miqat di Bir Aly, Kamis sepekan lalu. Sedangkan dua miqat lainnya dilakukan di Ji'ronah pada Sabtu (14/2) pagi waktu setempat dan di Hudaibiyah, pada Selasa (17/2).Dua tempat miqat yang disebut terakhir adaalah berada di wilayah Makkah Al-Mukarramah.
Menurut Direktur PT Farfasa Nurul Qolbi, M. Syukron Dalil, pihaknya memang menyiapkan tiga kali umrah untuk jamaah. Untuk miqat Bir Aly merupakan miqat bagi orang Madinah. Miqat ini diambil ketika jamaah memang masih berada di Madinah Almunawwaroh.
Sedangkan dua miqat lainnya diambil saat jamaah sudah berada di Makkah, yakni Ji'ronah dan Hudaibiyah. "Sebenarnya ada tiga tempat miqat di Makkah, selain Ji'ronah dan Hudaibiyah ada juga miqat di Tan'im.
Namun, kami sengaja memfasilitasi yang dua tempat itu karena lokasinya lebih jauh. Ada pun yang di Tan'I'm tidak kami ambil karena dekat. Kami ingin memudahkan jamaah. Jadi, jika ingin menambah umrah, mereka tinggal memilik yang lokasinya dekat saja, cukup naik taxi sudah tiba," ujar pria yang pernah tinggal di Arab Saudi selama bertahun-tahun tersebut.
Jarak antara miqat Ji'ronah dengan Makkah memang lumayan jauh, sekitar 30 kilometer. Begitu juga dengan miqat Hudaibiyah, sekitar 25 kilometer dari Makkah, persisnya Masjidilharam.
Sedangkan miqat di Tan'I'm atau yang juga dikenal dengan sebutan Aisyah Mosque (Masjid Aisyah) berada di timur Masjidilharam yang berjarak sekitar 10 kilometer. "Selain tiga tempat itu, juga ada miqat di Jabal Rahmah," ujar guide Farfasa Tour & Travel, ustad Muhammad Hasan.
Ji'ronah bermakna sangat penting bagi Rasulullah SAW. Ji'ronah sebenarnya adalah nama seorang ibu yang tinggal di dekat Thaif, Makkah. Ketika itu, Nabi SAW dan beberapa sahabat singgah di Thaif. Namun, karena terkena hasutan orang kafir Quraisy, warga Thaif justru memusuhi Nabi SAW.
Mereka, seperti diceritakan dalam tarikh Islam, malah melempari nabi dengan batu dan juga kotoran hingga nabi terluka. Saat dalam keadaan terluka, Rasulullah ditolong oleh seorang ibu yang bernama Ji'ronah. Nabi diberi roti dan susu, bukan air. Nabi heran kenapa tidak diberi air, melainkan malah susu yang terbilang barang mahal.
Dijawab Ji'ronah, itu karena air di daerah tersebut rasanya asin. "Atas mukjizat Rasulullah, air di kawasan itu kemudian menjadi tawar, dan sekarang air di Ji'ronah sangat terkenal, selain zam-zam.
Atas fadhilah dan mukjizat Rasulullah dan kehendak Allah, air di Ji'ronah insya Allah dapat menyembuhkan penyakit," tutur Ustad Muhammad. Seumur hidupnya, Nabi sendiri umrah dari Ji'ronah dua kali.
Miqat lain yang juga penting adalah Hudaibiyah. Diceritakan, suatu ketika Nabi dan sahabat hendak umrah ke Makkah lewat Hudaibiyah. Namun, gagal karena dihadang kaum kafir Quraisy. Singkat cerita jalan damai ditempuh dan lahir perjanjian Hudaibiyah yang isinya sangat merugikan. Namun, salah satu isinya yang penting adalah selama 10 tahun tidak boleh ada peperangan antara Islam dan kafir Quraisy.
Meski kafir Quraisy banyak melanggar, nabi tetap konsisten. Atas pertolongan Allah, baru beberapa tahun umat Islam kian banyak hingga akhirnya mampu mengepung Makkah. Kaum kafir pun takluk. Peristiwa itu terkenal dengan sebutah Fathu Makkah atau penaklukan Makkah.
Kita umrah di Hudaibiyah dengan tujuan mengambil fadlilah perjuangan Rasulullah. "Kita ikuti jejek nabi untuk mendapatkan kedamaian hati, bahwa dengan kedamaian dan ketenangan Rasululullah Makkah akhirnya takluk dan Islam semakin menyebar luas, termasuk di Indonesia. Itulah hakikatnya miqat di Hudaibiyah," terangnya.
Rangkaian ibadah dan ziarah ditutup dengan mengunjungi Museum Makkah. Di Musem Makkah ini, dipamerkan berbagai benda yang pernah mewarnai perkembangan pembangunan Masjidilharam. Mulai kiswah, bangunan tiang jati dan beton pernah digunakan Masjidilharam, foto-foto dokumentasi Masjidilharam, hingga bekas bangunan pelindung sumur zam-zam, masih utuh dan terawat baik.
"Dengan berziarah di tempat-tempat bersejarah dan melihat benda-benda yang pernah mengisi sejarah peradaban Islam, diharapkan akan mempertebal keimanan kita kepada Allah SWT. Bahwa kita beribadah umrah di Tanah Suci insya Allah akan mendapatkan manfaat ganda, selain ibadah juga menambah khazanah pengetahuan dan kedalaman iman dan islam kita serta perjuangan para penduhulu kita, amiin," tambah Syukron. (*/Habis)

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 20 Februari 2015, Halaman 29

Catatan Perjalanan Umrah di Tanah Suci Madinah dan Makkah (8)

Ke Arofah, Nanti Jamaah Haji Indonesia Lewat Monorel 

Selain umrah, selama di Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah, jamaah dari Farfasa Tour & Travel diajak ke tempat-tempat bersejarah dalam peradaban dan perkembangan Islam serta tempat-tempat yang biasa disinggahi selama menjalankan ibadah haji.
Beberapa tempat yang disinggahi antara lain Jabal Tsur dan Jabal Nur. Di Jabal Tsur terdapat gua yang saat masa penyebaran agama Islam pernah digunakan Nabi Muhammad SAW dan sahabat Abu Bakar As-Ashidiq ra dipakai bersembunyi dari kejaran kaum kafir Quraisy.
Sedangkan Jabal Nur adalah gua tempat Nabi SAW selalu berkhalwat (menyepi) dan menerima wahyu pertama melalui perantara Malaikat Jibril.  Yang juga menarik adalah kunjungan ke Jabal Rohmah, padang Arofah, lokasi wuquf pada musim haji.
Khususnya bagi jamaah umrah yang selama ini belum berkesempatan beribadah haji. Sebab, di sinilah jamaah umrah mendapat banyak penjelasan tentang ritual di Arofah dan rencana Pemerintah Arab Saudi untuk musim ke depan, termasuk bagi jamaah haji Indonesia.
Menurut Ustadz Muhammad Hasan, kawasan sekitar Arofah terdapat monorel yang memanjang dari Mina, Arofah, hingga lokasi jamarot, lempar jumrah saat musim haji. Panjang jalur monorel tersebut lebih dari 10 kilometer (km).
"Selama musim haji, jamaah haji dari negara-negara di kawasan Jazirah Arab menggunakan jalur monorel tersebut," ungkap ustadz Muhammad kepada rombongan jamaah umrah yang berjumlah dua bus tersebut.
Ke depan, seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia menggunakan jalur monorel, termasuk jamaah haji Indonesia. "Tidak lagi menggunakan bus seperti yang selama ini dilakukan jamaah haji Indonesia selama wuquf di padang Arofah," terangnya.
Alasannya, berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan pelaksanaan ibadah haji oleh Pemerintah Arab Saudi, keberadaan bus yang mengangukut jamaah haji untuk wuquf dan diparkir di padang Arofah, sangat memakan tempat. Bahkan, keberadaan busnya memakan banyak tempat di Arofah. 
Sehingga, area padang Arofah menjadi berkurang. Padahal, ada kecenderungan jamaah haji akan terus bertambah. "Untuk itu ke depan, seluruh jamaah haji akan dinaikkan monorel, sehingga bus tidak lagi masuk di padang Arofah," jelas pria 35 tahun yang lahir dan dibesarkan di Arab Saudi tersebut.
Guna menunjang rencana besar tersebut, pemerintah Arab Saudi tengah gencar menyiapkan infrastrukturnya dengan menambah panjang jalur monorel dan memperbaiki beberapa fasilitas penunjang lainnya. Sehingga, jika semua fasilitasnya sudah siap, tinggal diberlakukan secara total.
Hanya, rencana ini akan menyisakan konsekuensi yang mungkin relatif agak berat bagi jamaah haji pada umumnya, termasuk jamaah asal Indonesia. Dengan adanya monorel, bukan tidak mungkin nanti pelaksanaan wuquf di Arofah tidak lagi naik bus. Mungkin saja jamaah akan jalan kaki di jalur monorelnya. Atau juga pemerintah Arab Saudi menyiapkan kereta api pengangkutnya.
"Tapi itu semua baru rencana dan belum diputuskan secara final. Kita tunggu saja perkembangan rencana kebijakan dari pemerintah Arab Saudi," paparnya.
Selama berziarah di Jabal Rahmah, tempat bertemunya Nabi Adam as dan Siti Hawa maupun tempat puncak haji (wuquf), sejumlah jamaah mendaki gunung yang tak terlalu tinggi tersebut. Beberapa di antara mereka mendekat di tonggak Jabal Rahmah.
Konon, tonggak itulah yang menjadi penanda, tempat bertemunya nabi pertama yang diciptakan Allah SWT dengan siti Hawa setelah diturunkan dari surga.
Pemandangan lain yang tak kalah menariknya adalah jalur cukup hijau dan rindang di kawasan selepas Arofah dan menuju Muzdalifah. Di kanan dan kiri jalan-jalan berjejer ratusan pepohonan penghijauan. Pohon-pohon tersebut tampak sudah besar dan cukup rindang.
Menariknya, sebagian besar pohon yang ditanam di kawasan itu untuk penghijauan tersebut adalah hasil sumbangan pemerintah Indonesia. Khususnya saat presiden Sukarno. "Oleh karena itu, pohon-pohon itu sampai saat ini masih dikenal sebagai pohon Sukarno, karena hasil pemberian pak Karno dan berhasil ditanam di sini," kata salah seorang jamaah umrah asal Babat, Lamongan yang usianya cukup sepuh. (*/bersambung) 

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 19 Februari 2015, Halaman 25

Catatan Perjalanan Umrah di Tanah Suci Madinah dan Makkah (7)

Jumat Mubarak, Bahagianya Mencium Hajar Aswad

Dilandasi rasa kurang puas karena hanya thawaf di lantai dua pada Kamis malam, pada hari Jumat (13/2) pagi, sekitar pukul 10.00, wartawan koran ini bertekad thawaf sunat persis di depan Kakbah Baitullah. Sekaligus berikhtiar mencium hajar aswad.
Usaha itu memang hanya bisa dilakukan setelah kita menjalankan ibadah umrah. Sebab, saat kita masih mengenakan pakaian ihram pada umrah Kamis malam, berlakukan sejumlah larangan, termasuk mengenakan minyak wangi.
Sementara, baru hajar aswad sangat wangi karena banyak dilumuri minyak wangi. Sehingga, kalau kena pakaian ihram, batallah umrahnya. Pertimbangan itulah yang akhirnya melandasi sejumlah jamaah umrah Farfasa Tour & Travel, termasuk penulis, untuk mendekati Kakbah pada hari Jumat yang penuh mubarok tersebut.
Selama berangkat dari hotel tempat menginap hingga Masjidilharam, penulis tak henti-hentinya istighfar, sembari berniat tawakkal kepada Allah, agar diberi kesempatan mencium hajar aswad dengan jalan apapun yang dikehendaki-Nya.
Karena, seperti banyak diceritakan jamaah haji dan umrah, tidak semua orang dapat berkesempatan salat di hijir Ismail, Multazam, apalagi mencium hajar aswad.  "Mencium hajar aswad itu seperti rezeki, usaha apapun kalau tidak rezekinya, ya tidak bisa. Sebaliknya, kalau sudah jadi rezekinya ya tetap saja akan datang kesempatan itu," kata Sukardi, mantan Kapolsek di Bojonegoro yang menjadi salah seorang jamaah Farfasa.
Penulis semakin bersemangat mendekat ke Kakbah, karena hari itu Jumat yang penuh keberkahan. Meskipun, jumlah jamaah yang mendekat jauh lebih banyak. Ikhtiar itu penulis awali dengan masuk melalui baabu mulk fahd (pintu raja fahd). Masalahnya, saat itu sejumlah asykar sudah bersiap menutup pintu masuk Masjidilharam.
Memang, satu jam sebelum salat dimulai, seluruh pintu (dulu ada 99, namun setelah direnovasi, belum diketahui jumlahnya tinggal berapa) masuk Masjidilharam sudah ditutup. Apalagi pas hari Jumat, dua hingga tiga jam sebelum Jumatan, pintu sudah ditutup. Karena itu, sejumlah jamaah yang berniat masuk pintu raja fahd, ditolak masuk semua oleh asykar.
Namun, mungkin inilah yang disebut kebesaran Allah SWT, mendadak saat penulis nyelonong masuk pintu, dua asykar yang berjaga dan memasang pintu penutup membiarkan saja. Ploong rasanya bisa masuk. Penulis pun lolos dan akhirnya bablas bisa masuk ke lantai dasar yang lurus dengan arah Kakbah. Allahu Akbar.
Tanpa pikir panjang, penulis menuju lokasi thawaf di depan kakbah, yang pagi itu juga sudah dipenuhi jamaah. Thawaf dimulai dari sudut hajar aswad, yang ditandai dengan lampu hijau. Selama thawaf, perlahan demi perlahan, penulis berjalan menepi ke kiri agar lebih dekat dengan Kakbah.
Dan akhirnya berhasil. Saat memasuki putaran ketiga, penulis berhasil berada persis di depan pagar pembatas kakbah, yang merupakan tempat hijir ismail. Saat itu, sebenarnya penulis sudah hendak mendekat ke hajar aswad, namun ratusan orang tampak berebut mencium hajar aswad.
Melihat kondisinya belum memungkinkan, penulis memilih salat sunat dua rakaat di hijir Ismail, yang relatif masih bisa ditembus, meski juga berdesakan. Salat pun berhimpitan dan dilangkahi orang, karena banyak juga salat di hijir ismail. Perasaan haru dan bahagia bercampur aduk saat penulis salat di hijir ismail.
Usai salat, selagi masih ada kesempatan, penulis menyelinap dan masuk mendekat ke kakbah. Ya Allah, tak terasa penulis menangis tersedu-sedu, saat mencium kain hitam yang membungkus Kakbah. Segala doa penulis panjatkan di hijir ismail dan saat mencium Kakbah, subhanallah.
Mengetahui saya cukup lama berada di situ, asykar pun memberi kode ke penulis untuk gantian kepada jamaah lain. Selanjutnya, penulis menuju hajar aswad yang masih dikerubuti dan dijubeli banyak orang. Dari kejauhan, penulis sempat berpikir, "Masak bisa masuk ke situ dan mencium hajar aswad, karena harus berdesakan dengan banyak orang dan besar-besar pula."
Namun, dengan bertekad bismillah dan rezeki, penulis bertekad masuk dan berebut dengan banyak orang. Rasanya memang berat untuk mendekat. Badan terjepit dengan orang-orang besar. Bahkan, penulis sempat merasa sesak bernapas, karena saking rapatnya himpitan dengan banyak orang. Saat itu sempat terlintas penulis akan keluar dari himpitan banyak orang.
Apalagi, pada saat bersamaan, ada dua perempuan asal Palestina yang sempat terinjak jamaah pria, dan menjerit-jerit minta tolong. Akhirnya, dua perempuan tersebut keluar dari arena dan menjauh dari hajar aswad.
Namun, mengingat sudah masuk, jauh dari rumah, dan yakin akan berhasil, penulis bertekad melanjutkan ikhtiar ke hajar aswad. Dan, setelah berjuang dengan keras menahan himpitan badan jamaah lain yang jauh lebih besar dan menahan sesak napas dan panas matahari, atas pertolongan Allah, seolah tangan ini tiba-tiba mampu menjangkau hajar aswad.
Kemudian, entah bagaimana caranya, tiba-tiba penulis seperti punya daya dan akhirnya kepala ini masuk cekungan dan mencium hajar aswad. Masya Allah, Alhamdulillah. Namun, beberapa detik kemudian,  kepala penulis seperti ditarik jamaah lain, seolah ingin bergantian merasakan mencium hajar aswad. Meskipun hanya beberapa detik, rasanya hati ini benar-benar lega dan plong bisa mencium hajar aswad.
Rasanya, kebahagiaan ini sudah lengkap, karena hari itu semua tekad penulis terwujud; thawaf sunah di depan Kakbah langsung, salat di hijir Ismail, berdoa di multazam, sekaligus mencium hajar aswad dan salat Jumat di kiblat umat Islam sedunia. Benar-benar Jumat yang mubarok. Alhamdulillah. (*/bersambung)

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 18 Februari 2015, Halaman 29

Catatan Perjalanan Umrah di Tanah Suci Madinah dan Makkah (6)

Nikmatnya Umrah di Tengah Malam Jumat

Rombongan jamaah umrah dari Farfasa Tour & Travel meninggalkan Madinah, Kamis (12/2) sekitar pukul 15.00 WAS untuk memulai ibadah umrah, dengan mengambil miqat di Bir Aly (Dzul Khulaifah), sekitar 20 km dari Madinah. Agendanya, memang disengaja menjalankan umrah pada malam hari, persisnya Kamis malam Jumat.   
Rombongan tiba di Masjidilharam, Makkah Al-Mukarramah, sekitar pukul 21.00 WAS setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam dari Madinah. Setiba di Makkah, jalanan dan arus lalu lintas di kota suci umat Islam tersebut sangat padat.
Karena kebetulan, hari itu selesai salat Isya dan bersamaan dengan malam Jumat. Jamaah salat Isya dan umrah pada malam Jumat memang lebih ramai dibandingkan hari-hari biasa. "Warga Makkah dan sekitarnya kalau malam Jumat jumlahnya meningkat yang salat di Masjidilharam," kata ustad Rifai, guide Farfasa Tour & Travel.
Karena itu, tak heran kalau kemudian beberapa jalan menuju hotel tempat kami menginap, Al-Olayan Makkah Hotel, yang berjarak sekitar 400 meter dari Masjidilharam, sempat belum dibuka karena sempat ditutup lantaran kawasan sekitarnya digunakan untuk salat isya.
Dengan masih mengenakan pakaian ihram, berikut larangan-larangan yang masih harus dijaga, jamaah beristirahat sejenak di hotel, sebelum kemudian menuju Masjidilharam.
Menurut Rifai, Allah SWT menurunkan 120 rahmat di Masjidilharam. Yang 60 rahmat bagi orang yang thawaf, 40 bagi yang salat di Masjidilharam dan 20 rahmat lainnya bagi yang melihat Kakbah Baitullah.
"Di Masjidilharam amal baik dilipatkan menjadi 100 ribu kali dibandingkan di tanah lain (sebagian hadits menyebut 5000 kali, Red). Karena itu, raihlah kebanyakan sebanyak mungkin, anggap saja ini hari terakhir kita," pesan pria asal Medan, Sumatera Utara ini.
Sekitar pukul 24.00 WAS atau pas tengah malam, umrah dilakukan. Rasa penat dan lelah setelah menempuh perjalanan 6 jam harus ditahan, karena umrah harus dilakukan malam itu juga. "Kenapa kita pilih malam ini juga, karena kefadlilahan malam Jumat sebagai sayyidul ayyam," ungkap H. Syukron Dalil, direktur PT Farfasa Nurul Qolbi.
Karena malam Jumat, Syukron mengingatkan agar jamaah tetap kompak dan tidak terpisah. Sebab, meski sudah tengah malam, jumlah jamaah umrah yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk menjalankan thawaf sebagai salah satu rukun umrah, tidak pernah sepi. Malah terus bertambah hingga menjelang fajar.
Sampai-sampai, lantai dasar Masjidilharam sudah tidak mampu menampung lagi jumlah jamaah yang hendak thawaf. Sehingga, sebagian besar jamaah umrah, termasuk dari daerah dan negara lain, harus thawaf di lantai dua dan tiga.
Di lantai dua pun juga sudah penuh sesak dengan jamaah.  Perasaan haru biru, bahagia, dan mata berkaca-kaca tak terasa saat wartawan koran ini melihat langsung Kakbah, bangunan kubus berwarna hitam yang selama ini menjadi kiblat umat Islam sedunia.
Di Kakbah itu pula, dalam berbagai riwayat literatur Islam, malaikat melakukan thawaf. Begitu juga Nabi Adam as. Bangunan Kakbah ini sebelumnya hilang setelah terkena bah Nabi Nuh as. Lalu dibina dan dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim as dan putranya, Nabi Ismail as.   
Kondisi jamaah yang juga penuh sesak terjadi di lokasi sai, lari-lari kecil dari bukit shafa dan marwah. Lokasi sai tak jauh dari tempat thawaf. Ribuan orang berdesak-desakan untuk melakukan sai sebanyak tujuh kali.
Mereka tampaknya sama-sama berburu fadlilah maupun kemulyaan hari Jumat. Sehingga, ritual sai dan thawaf jauh lebih ramai dibandingkan dengan hari-hari biasa.
"Pada hari selain malam Jumat juga ramai, tapi kalau malam Jumat kayak begini memang lebih ramai lagi. Tapi Alhamdulillah, secara umum umrahnya berjalan dengan lancar," ujar Syukron. Prosesi umrah ditutup dengan tahallul, mencukur rambut. Sekitar pukul 03.00 dini hari Jumat (13/2), prosesi umrah wajib diselesaikan, meski dengan badan yang sangat letih. Alhamdulillah. (*/bersambung)

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 17 Februari 2015, Halaman 29

Catatan Perjalanan Umrah di Tanah Suci Madinah dan Makkah (5)

Tanpa Gas dan Gigi, Bus Melaju Kencang di Jabal Magnit

Keajaiban atau keunikan Jabal Magnet atau Bukit Magnet sebenarnya sudah penulis dengar dan saksikan cukup lama. Baik di televisi, youtube, maupun pemberitaan media massa. Karena itu, penulis merasa sangat beruntung, saat rombongan Farfasa Tour & Travel diajak melihat langsung bukit yang secara geografis masih masuk wilayah Madinah tersebut.
"Inilah salah satu nilai lebih dari Farfasa, kami mengajak jamaah untuk melihat langsung Jabal Magnit ini. Gratis, tidak perlu bayar lagi untuk ke sana. Dan jarang-jarang jamaah bisa menyaksikan Jabal Magnit," kata Peni Suprapti, pemilik Farfasa Tour & Travel.
Lokasi Jabal Magnit berada di perbukitan, berjarak sekitar 20 menit perjalanan dari Masjid Quba. Disebut Jabal Magnit, karena ada titik jalan dengan radius sekitar 4 km dengan letter U mempunyai daya magnit yang sangat kuat.
Barang barang yang terbuat dari besi akan sangat mudah ditarik ke depan. Area magnit yang berada di kawasan pegunungan tersebut berakhir di irigasi bukit magnit, dengan dimulai dari jalan agak menanjak dekat permukiman beberapa warga Arab Badui. "Karena itulah disebut dengan Bukit atau Jabal Magnit," kata Ustad Rifai, guide Farfasa di Madinah.
Penulis dan rombongan yang penasaran pun ingin membuktikannya saat bus tiba di titik yang dimaksud. Penulis dan beberapa jamaah akhirnya maju dan duduk dekat dengan Osamah, sopir bus jamaah. Sopir kemudian memajukan bus tepat di titik pertama jalan medan magnit. Posisi gigi/persneling di netralkan dengan kondisi mesin tetap hidup.
Dan, ajaib. Pelan tapi pasti bus dengan berkapasitas 50 penumpang itu berjalan. Lambat laun laju bus berjalan cepat, jarum speedometer menunjuk angka 40 km per jam.
Bahkan, dengan gaya santai dan bergurau, Osamah tak menggunakan tangannya untuk mengemudi, namun dengan kedua kakinya. Aksi ini tentu saja mengundang tawa rombongan. Apalagi saat aksinya diabadikan wartawan koran ini dan ponselnya yang dipotret oleh Rifai.
Tak berselang lama Osamah kembali mengemudi dengan benar. Karena, tak sampai 5 menit laju bus bergerak lebih cepat, hingga jarum speedometer menuju 80 km dan terus hingga mendekati 120 km per jam. Padahal medan jalan mendatar dengan sesekali tanjakan kecil.
Untuk menahan agar laju bus tidak kelewat kencang, Osamah mengerem sedikit demi sedikit dan mengatur alur kemudi. "Kalau speedometernya masih ada (200 km atau lebih, Red) bus ini akan tertarik lebih kencang lagi, subhanallah," ujar Rifai.
Laju bus yang tanpa gas dan gigi itu benar-benar berhenti setelah tiba di irigasi magnit. Sepertinya disitulah akhir daya tarik magnitnya. Osamah pun memasukkan persneling dan menginjak pedal gasnya kembali. 
Rifai mengungkapkan, Jabal Magnit sebenarnya sudah lama ada. Mungkin sejak Madinah ada. Namun, masyarakat baru menyadari ada daya magnit di kawasan itu sekitar tahun 2002-2003 lalu. Itupun setelah di kawasan tersebut sering ada kecelakaan dengan kecepatan tinggi. Setelah diselidiki dan diteliti ternyata kawasan tersebut mengandung magnit tinggi. Sehingga dijuluki jabal Magnit.
Dan sejak tahun 2004 sampai sekarang, Jabal Magnit sering dikunjungi atau menjadi destinasi utama, meski tidak semua jamaah sempat diantarkan ke jabal tersebut. "Dan kita beruntung bisa mampir di sini," terangnya.
Sejak saat itulah otoritas Kerajaan Arab Saudi menugaskan warga sekitar itu untuk membersihkan tempat Jabal Magnit karena sering dikunjungi jamaah. Meski mereka digaji pemerintah, tak jarang mereka minta sedekah 1-2 riyal kepada para pengunjung yang singgah, alasannya untuk beli minum. "Kalau sing gini mereka jarang kelihatan. Kalau malam ramai," ungkap Rifai.   
Di kawasan Jabal Magnit juga ada keunikan lain. Yakni, tumbuhnya ratusan pohon berduri. Warga sekitar menjulukinya sebagai pohon zaqqum atau ghorqot, karena ciri-cirinya menyerupai dengan apa yang sudah disebutkan dalam Alquran sebagai pohon yang ada di neraka. Yakni, berduri, tidak berbuah dan tidak menjadi makanan hewan, dan batangnya kalau basah, meski ukurannya kecil, tidak mudah dipatahkan.
Tak banyak yang tahu asal muasal pohon tersebut. Karena, menurut warga Badui yang tinggal di kawasan perbukitan itu, pohon tersebut sudah berusia ratusan tahun. "Kata orang-orang sini, tak ada manfaatnya. Hanya difungsikan sebagai peneduh saja," tuturnya. (*/bersambung)

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 16 Februari 2015, Halaman 49

Catatan Perjalanan Umrah di Tanah Suci Madinah dan Makkah (4)

Bekas Parit Perang Khandaq Kini Dibangun Traffic Light

Hari kedua (10/2) perjalanan umrah di Tanah Suci bersama Farfasa Tour & Travel masih dilakukan di Madinah. Hari kedua, selain salat rawatib dan dzikir di Masjid Nabawi, juga diisi dengan berziarah di sejumlah tempat bersejarah dalam peradaban Islam.
Agenda berziarah di hari kedua di Madinah cukup padat. Beberapa tempat yang dikunjungi adalah bekas lokasi perang khandaq (parit), Masjid Qiblatain, Masjid Quba, kebun kurma, Jabal Uhud, dan Jabal atau Bukit Magnet. Khusus untuk Jabal Magnet dengan segala keunikan dan keajaibannya akan penulis jabarkan di catatan kelima.
Rombongan jamaah umrah berangkat dengan dua bus. Jarak antara Masjid Nabawi dengan Masjid Quba tidak terlalu jauh, sekitar 30 menit perjalanan bus.
Seperti dijelaskan dalam banyak literatur peradaban Islam, Masjid Quba adalah masjid yang pertama kali dibangun Rasulullah SAW di Madinah. Jika dibandingkan dengan Masjid Nabawi, konstruksi Masjid Qua memang kalah megah dan indah. Luas Masjid Quba juga kalah jauh dibandingkan dengan Masjid Nabawi.
Tempat yang digunakan untuk salat di masjid ini tidak terlalu luas. Mungkin tidak sampai seratusan meter, bandingkan dengan Masjid Nabawi yang jauh lebih luas dan lapang. Di kanan dan kiri ruang salat/tengah terdapat tempat wudlu. Sedangkan di depannya terdapat taman dan lokasi parkir kendaraan. Sekalipun demikian, masjid yang sebagian besar bangunannya berdinding cat putih ini tidak pernah sepi dari pengunjung.
Hampir semua umat Islam yang datang ke Madinah hampir bisa dipastikan akan mampir di Masjid Quba. Ini seperti yang wartawan koran ini saksikan saat berkunjung di Masjid Quba. Di depan masjid, terdapat puluhan bus yang diparkir, sambil membawa ratusan jamaah. Sampai-sampai lokasi parkir tidak muat, sehingga beberapa bus sampai parkir di pinggir jalan raya.
Selain karena bernilai sejarah tinggi, Masjid Quba juga banyak fadhilahnya, sehingga diburu peziarah. "Sesuai sabda Rasulullah SAW, barang siapa yang salat sunat dua rakaat di Masjid Quba, nilai pahalanya setara dengan ibadah umrah. Sehingga, banyak orang mengunjungi Masjid Quba," ungkap Ustad Rifai, guide Farfasa Tour & Travel kepada wartawan koran ini.
Kondisi bangunan Masjid Quba yang sekarang, dikatakan Rifai, sudah jauh berbeda dibandingkan dengan bangunan asal masjid, sebagaimana dijelaskan dalam tarikh Islam. Dulu, masjid yang dibangun pada 622 Masehi atau 1393 tahun yang lalu itu, hanya terdiri dari batu bata dan bertiangkan kayu kurma. Namun, oleh Kerajaan Arab Saudi dilakukan beberapa renovasi, sehingga berwujud seperti sekarang.
Ustad Rifai menjelaskan, di sebelah kiri Masjid Quba terdapat tempat yang dinamai Sanyatil Wada'. Tempat inilah yang dulu digunakan warga Madinah, yang terkenal dengan sebutan Sahabat Ansor, dalam menyambut Nabi SAW saat hijrah dari Makkah ke Madinatul Munawarah. Tempat tersebut saat ini masih ada, namun menjadi satu bagian dengan kompleks masjid. 
Destinasi lain yang juga menarik adalah melihat dari dekat bekas parit yang digunakan Rasulullah SAW dalam perang khandaq melawan kaum kafir Quraisy. Memang, parit yang dulu dibangun untuk melindungi warga Madinah dari serangan kaum kafir sudah tidak ada. Sebab, lokasinya sudah berubah menjadi jalan raya menuju Madinah kota.
Apalagi, bekas parit untuk perang yang idenya berasal dari sahabat asal Persia, Salman Al Farisi tersebut, menurut ustad Rifai, sudah dibangun menjadi traffic light jalan protokol menuju Madinah kota tersebut. "Dari sejarahnya, traffic light itu dulu adalah bekas parit yang digunakan dalam perang khandaq," tuturnya. (*/bersambung)

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 15 Februari 2015, Halaman 29

Catatan Perjalanan Umrah di Tanah Suci Madinah dan Makkah (3)

Masjid Nabawi Diperluas, Bangunan Hotel Lama Tergerus

Selain Raudlah dan Baabu Jibril atau pintu Jibril, masih ada satu tempat lain di kompleks Masjid Nabawi yang sering menjadi jujugan jamaah haji atau umrah di Tanah Suci. Namanya juga sudah sangat terkenal, yakni Baaqi’. Dalam bahasa harfiahnya bermakna tempat pemakaman umum atau TPU.
Di kawasan Madinah, menurut ustad Rifai, guide Farfasa Tour & Travel, yang empat tahun terakhir ini tinggal di Makkah, Baaqi’ di kompleks Masjid Nabawi adalah satu-satunya TPU yang ada Madinah. Di Baaqi’ ini pula sejumlah sahabat Nabi SAW, termasuk Sayyidina Utsman bin Affan ra dan istri Nabi Aisyah ra, dimakamkan. Selain sahabat, Baaqi’ juga menjadi TPU masyarakat Madinah dan sekitarnya.
Bedanya, ada ciri antara makam sahabat dan istri Rasulullah. Semua sahabat nabi dan istrinya ditandai dengan pusara yang berbentuk segiempat. "Sedangkan makam masyarakat lainnya hanya ditandai dengan dua batu, yakni di kaki dan kepala dengan bentuk makam rata dengan tanah (tidak mengunduk, red)," ungkap pria asal Medan, Sumut itu.
Menurut Rifai, hingga kini kurang lebih ada 10 ribu makam yang ada di Baaqi’. Tentu saja tidak semua jenazah yang dikebumikan sejak dulu itu utuh. Sebab, jika jenazah orang awam, bukan yang termasuk golongan sahabat Nabi SAW, itu sudah tinggal tulang belulang, biasanya akan dimusnahkan oleh pemerintah setempat. Sehingga, tidak heran jika Baaqi’ masih tetap cukup sebagai TPU masyarakat kawasan Masjid Nabawi. Karena, makam lama bisa digunakan lagi untuk 'penduduk' baru yang masuk. 
Banyaknya masyarakat yang dimakamkan di Baaqi’ ini pula yang membuat Masjid Nabawi selalu mengadakan salat ghaib. Khususnya setiap selesai salat jamaah rawatib. Penulis memang membuktikannya sendiri. Selama enam kali (8-9/2)mengikuti jamaah di Masjid Nabawi, setiap selesai salam salat berjamaah wajib, selalu dilanjutkan dengan salat gaib. "Itu memang selalu dilaksanakan setelah jamaah rawatib," kata Rifai pria yang kuliah di Universitas Makkah itu.
Sayangnya, usai penulis berziarah di makam Rasulullah beserta kedua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Baaqi’ sedang ditutup. Tak ada satupun jamaah umrah yang hari itu (9/2) dapat memasukinya. "Kalau dibuka, biasanya Baaqi’ juga ramai dikunjungi peziarah," tutur Rifai.
Di luar itu semua, kondisi Masjid Nabawi saat rombongan berada di Madinah, mengalami perubahan. Terutama di bangunan sisi utara. Di tempat tersebut banyak terpasang crane atau gondola yang sedang melakukan kegiatan konstruksi terhadap bangunan Masjid Nabawi. 
"Sekarang ini memang sedang ada proyek pelebaran Masjid Nabawi," terang Rifai. Bangunan masjid memang diperlebar ke arah utara (Yaman). "Proyek ini baru berjalan sekitar satu tahun ini oleh Raja Abdullah yang dua-tiga minggu lalu wafat," katanya.
Proyek pelebaran terus dikebut. Bahkan hingga malam sekalipun. Sampai-sampai bunyi denting mesin proyek dan raung kendaraan beratnya terdengar di pondokan rombongan umrah Farfasa Tour & Travel, di Bahauddin, yang memang hanya berjarak sekitar 200 meter dari Masjid Nabawi.
Rifai mengungkapkan, pelebaran masjid ini menggerus sejumlah bangunan hotel tua yang sebelumnya berada di sisi utara masjid. Bukan tidak mungkin masjid ini akan terus meluas hingga mendekati wilayah Yaman.
Dan ini, kata Rifai, seperti yang sudah disabdakan Nabi SAW sebelumnya. Bahwa, kelak jika ummatku banyak, Masjid Nabawi akan sampai ke negeri Yaman. "Dan itu juga tetap masjidku," kata Rifai, mengutip hadits Nabi Muhammad SAW. Subhanallah. (*/bersambung) 

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 14 Februari 2015, Halaman 33

Catatan Perjalanan Umrah di Tanah Suci Madinah dan Makkah (2)

Menikmati Desakan dan Salat di Raudhah

Prosesi ibadah umrah di Tanah Suci dari rombongan Farfasa Tour & Travel dimulai di Masjid Nabawi, Madinah, pada hari Senin (9/2). Di masjid yang dibangun Nabi Muhammad SAW ini terdapat berbagai tempat yang mustajabah,
salah satunya Raudhah.
Berbahagialah penulis. Karena, menjadi kali pertama tahun ini karyawan Jawa Pos Radar Bojonegoro yang diberangkatkan umroh oleh perusahaan. Sebelum ini, sudah lima karyawan yang oleh perusahaan mendapat award ke Tanah Suci karena kinerja dan prestasi.
Tahun ini, rencanya bakal ada tiga karyawan lagi yang mendapat award umroh. Salah satunya adalah penulis dan akhir bulan ini Redpel Radar Bojonegoro Anas AG juga menyusul berangkat. Sedangkan pada bulan Mei nanti, giliran General Manager Radar Tuban Tulus Widodo.
Pemberangkatannya, salah satunya, bekerjasama dengan Farfasa Tour & Travel. Travel yang berkantor di Babat ini sudah diikuti ribuan jamaah beribadah di Tanah Suci Makkah –Madinah.
Salah satu fasilitasnya adalah semua jamaah merasa sangat beruntung bermukim di hotel yang sangat dekat dengan masjid yang sangat bersejarah tersebut. Cukup jalan kaki sekitar 5 menit, kita sudah bisa salat dengan berjamaah.       
Tempat mustajabah pertama tentu saja di masjid Nabawi itu sendiri. Bahkan, Allah SWT melipatgandakan pahala orang yang mau berjamaah di Masjid Nabawi. ”Pahala orang yang salat berjamaah di Masjid Nabawi adalah 1.000 kali daripada kita salat di tanah air," kata Moh Hasanuddin, guide dari Farfasa Tour Travel.
Apalagi, kalau kita mampu menjalankan ibadah salat arbain (salat 40 rokaat). Ustad kelahiran Arab Saudi yang beribu asal Lumajang dan bapak dari Arab Saudi itu sangat menyarankan para jamaah bisa melaksanakan salat arbain.
Sebab, pahala yang didapat bagi orang yang melaksanakan salat arbain adalah mendapatkan syafaat dari Rasulullah Muhammad SAW. "Sangat sayang kalau kita tidak melakukan salat arbain," saran ustad 35 tahun itu.
Dikatakan pria berjambang itu, dalam hadits Nabi SAW dijelaskan, barangsiapa yang salat 40 rakaat di masjidku (Nabawi), dia berhak mendapatkan syafaatku di Hari Qiyamat. "Kalau hanya mengandalkan salat fardu, tidak mungkin bisa 40 rakaat, karena kita terbatas di Madinah. Namun jika kita salat sunat hingga 40 rakaat, insya Allah sudah masuk arbain," tuturnya.
Secara arsitektur, bangunan Masjid Nabawi bercirikan perpaduan antara gaya Eropa dan Timur Tengah. Di depan bangunan utama masjid terdapat puluhan atap berbentuk payung raksasa yang masing-masingnya berukuran puluhan meter yang dapat membuka dan menutup secara otomatis.
Jika halaman tidak digunakan salat, payung menutup. Sebaliknya, jika digunakan untuk salat, akan membuka dan menutup secara rapat dan sangat teduh digunakan salat.
Kompleks Masjid Nabawi berisi beberapa bagian. Setelah atap payung, terdapat babus salam, kubah perak, dan kubah hijau. Babus salam adalah pintu masuk masjid yang utama. Jika kita masuk lewat pintu itu, sangat disunahkan.
Sedangkan tepat di bawah kubah hijau,  yang berada di sisi kanan bangunan masjid, di situlah makam Rasulullah SAW dan dua sahabatnya, Sayyidina Abu Bakar As shiddiq dan Umar bin Khattab berada. Bangunan ini juga dikenal sebagai Raudhah yang sangat mustajab juga jika kita berdoa di dalamnya.
Begitu sentral dan sakralnya Raudhah, sejumlah asykar selalu berjaga di depan pintu masuk Raudhah. Penulis merasa sangat beruntung, karena meski harus berdesakan dengan ratusan orang, masih bisa salat sunnah empat rakaat dan berdoa di dalam Raudhah.
Benarlah kata sejumlah orang yang pernah merasakan salat di Raudhah. Bahwa ibadah di Raudhah punya nilai spiritual yang amat tinggi. Penulis sempat bergetar dan menangis saat diberi karunia oleh Allah SWT bisa salat di rumah Rasulullah..
Adapun kubah warna perak, tepat dengan tempat imam Masjid Nabawi. Bangunan ini berjarak belasan atau mungkin masih puluhan meter dengan makam Rasulullah. Bangunan ini juga dijaga oleh sejumlah asykar.
Sedangkan bagian utama masjid dihiasi dengan ratusan pilar bercirikan bangunan Spanyol Islam. Di berbagai sudut tiangnya selalu terdapat air zam-zam siap minum, lengkap dengan gelas plastik. Juga terdapat ratusan Alquran di sejumlah tiang masjid. "Alquran itu 80 persennya merupakan sumbangan pemerintah Arab Saudi. Sisanya sumbangan atau waqaf dari jamaah," ungkap ustad Hasan.
Bangunan lain yang juga penting untuk diketahui di sekitar Masjid Nabawi adalah Babu Jibril atau pintu Malaikat Jibril. Lokasinya di samping kiri Raudhah. Bangunan itu berupa dinding berukuran segiempat. Panjang dan lebarnya puluhan meter. Di dalam bangunan yang dikitari pagar dinding itulah Babu Jibril berada.
Menurut Ustadz Rifain, guide Farfasa Tour and Travel, di pintu yang tertutup pagar itulah yang dulu selalu digunakan Jibril setiap kali bertemu dengan Rasulullah untuk menyampaikan wahyu dari Allah SWT. Bangunan itu tertutup untuk umum. (*/bersambung)

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 13 Februari 2015, Halaman 29