Pada periode II kepemimpinan Bupati Suyoto-Wabup Setyo Hartono, ada
frasa yang menarik untuk dicermati dan telah menjadi perhatian publik. Yaitu,
menjadikan Kabupaten Bojonegoro sebagai Lumbung Pangan dan Lumbung Energi.
Penulis (untuk sementara) sengaja menyebutnya sebatas frasa. Karena
dua kalimat itulah yang nanti akan penulis diskusikan, tentu saja menurut cara
pandang dan perspektif penulis. Apakah dua kalimat dalam satu kesatuan itu
adalah jargon, jualan daerah agar marketable di mata luar.
Ataukah serangkaian visi kepala daerah yang mencerminkan kedalaman
tahapan strategi, dengan indikator-indikator yang terukur dan rasional. Itulah
yang nanti akan penulis dalami.
Frasa lumbung pangan dan energi ini merupakan yang kedua, karena
memang digunakan untuk menjadi penanda di periode kedua duet TOTO (2013-2018).
Pada periode kepemimpinan TOTO yang I (2007-2013), frasa yang digunakan adalah
Membangun Bojonegoro Melebihi Lamongan.
Baiklah, penulis akan kembali ke tema asal. Kita mulai dari kajian
apakah lumbung pangan dan lumbung energi itu sebuah jargon. Dalam perspektif
ini, jargon merupakan serangkaian kata atau kalimat lugas dan simpel yang
digunakan untuk memudahkan penyampaian pesan terhadap tujuan yang akan dicapai.
Tujuan dimaksud bisa oleh personal dan atau institusi apapun, termasuk dalam
hal ini adalah pemerintah(an) daerah.
Kelebihan suatu jargon, pesan yang disampaikan singkat, padat, dan to
the point. Sehingga, akan mudah mengena dan diingat nalar (kognitif)
seseorang. Dalam konteks tertentu, jargon menjadi bagian yang strategis dan
efektif untuk marketing promotion sebuah produk (bisa juga program atau
sumber daya) dari sebuah institusi atau personal.
Jargon juga bisa dianggap sebagai cara untuk me-marketingkan inti
produk dan tujuan suatu personal/institusi untuk menggaet pasar atau konsumen
(bisa juga investor) untuk terlibat dalam interaksi bisnis.
Dengan pendekatan dan argumentasi seperti di atas, frasa Bojonegoro
sebagai lumbung pangan dan lumbung energi terasa relevan. Frasa tersebut sangat
tepat sebagai branding image untuk menarik pendatang, konsumen, dan
investor dalam mengembangkan daerah. Dalam pengertian lain, frasa itu dapat
menjadi kata kunci yang mampu menggambarkan tujuan yang akan dicapai daerah.
Bagaimana dengan frasa lumbung pangan dan lumbung energi sebagai visi.
Dalam terminologi, visi adalah goal atau tujuan akhir yang ingin dicapai
daerah atau personal. Visi juga merupakan tool atau panduan yang
digunakan personal atau institusi untuk merealisasikan mimpi, yang dilengkapi
dengan tahapan-tahapan yang terukur dan sistematis.
Ukurannya adalah menggunakan model-model indikator yang rasional dan
realistis berdasar kemampuan dan kapasitas sebagai modal yang dimiliki. Untuk
merealisasikan visi, apakah menggunakan metode perencanaan ZOPP ataukah LFA (logical
framework analysis) dibutuhkan dua atau lebih outcome, output, dan
rigit sejumlah kegiatan untuk menunjang tercapainya masing-masing output
dan outcome tersebut. Biasanya, masing-masing outcome dan output
dilengkapi dengan indikator-indikator yang sekali lagi harus terukur dan
sistematis.
Dalam hal lumbung pangan dan lumbung energi, ada dua fokus yang
ditekankan yaitu, Bojonegoro sebagai lumbung pangan dan Bojonegoro sebagai
lumbung energi. Nah, jika Bojonegoro sebagai lumbung pangan (sebagai satu fase)
dinilai sebagai visi, maka dibutuhkan sejumlah outcome yang berisi
rumusan-rumusan, bisa berupa kebijakan atau anggaran) untuk mencapai lumbung
pangan. Masing-masing outcome pun ditopang oleh beberapa output
yang terukur untuk mencapainya.
Tahapan serupa juga dibutuhkan untuk merealisasikan Bojonegoro sebagai
lumbung energi, dibutuhkan outcome dan output yang kurang lebih
sepadan dengan pembahasan prasyarat lumbung pangan.
Pertanyaannya adalah apakah saat ini prasyarat tersebut sudah
disiapkan oleh pemerintah daerah? Suatu ketika, kawan penulis sempat berdiskusi
dengan seorang anggota dewan dan bertanya adakah sejauh ini kebijakan anggaran
(untuk menyebut satu syarat) dari pemerintah daerah yang dapat menopang
tercapainya outcome dari lumbung pangan dan energi.
Jawabnya di luar dugaan, anggota dewan tersebut menjawab tidak ada.
Padahal, ini sudah tahun kedua untuk merealisasikan cita lumbung pangan dan
energi negeri. Berdasarkan hasil pengamatan, sejauh ini penulis memang belum
menemukan rumusan-rumusan yang terukur dan disiapkan untuk menunjang
tercapainya lumbung pangan dan energi.
Rumusan dimaksud bisa berupa kebijakan anggaran atau kebijakan dari
SKPD yang dilakukan secara komprehensif (termasuk dengan menyelaraskan dan
sinkronisasi dengan RPJMD) untuk mencapai lumbung pangan-lumbung energi.
Jika demikian halnya, disebut apakah frasa lumbung pangan dan lumbung
energi yang digelorakan pemerintah daerah saat ini? Pembaca mungkin bisa
membuat konklusi sendiri, merujuk diskripsi di atas. Wallahu A'lam. (*)
Ujung Blok Lingkar, 1 Januari 2015
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 4 Januari 2015, Halaman
26