Monday, January 5, 2015

Lumbung Pangan dan Lumbung Energi: Jargon atau Visi?

Pada periode II kepemimpinan Bupati Suyoto-Wabup Setyo Hartono, ada frasa yang menarik untuk dicermati dan telah menjadi perhatian publik. Yaitu, menjadikan Kabupaten Bojonegoro sebagai Lumbung Pangan dan Lumbung Energi.
Penulis (untuk sementara) sengaja menyebutnya sebatas frasa. Karena dua kalimat itulah yang nanti akan penulis diskusikan, tentu saja menurut cara pandang dan perspektif penulis. Apakah dua kalimat dalam satu kesatuan itu adalah jargon, jualan daerah agar marketable di mata luar.
Ataukah serangkaian visi kepala daerah yang mencerminkan kedalaman tahapan strategi, dengan indikator-indikator yang terukur dan rasional. Itulah yang nanti akan penulis dalami.
Frasa lumbung pangan dan energi ini merupakan yang kedua, karena memang digunakan untuk menjadi penanda di periode kedua duet TOTO (2013-2018). Pada periode kepemimpinan TOTO yang I (2007-2013), frasa yang digunakan adalah Membangun Bojonegoro Melebihi Lamongan.
Baiklah, penulis akan kembali ke tema asal. Kita mulai dari kajian apakah lumbung pangan dan lumbung energi itu sebuah jargon. Dalam perspektif ini, jargon merupakan serangkaian kata atau kalimat lugas dan simpel yang digunakan untuk memudahkan penyampaian pesan terhadap tujuan yang akan dicapai. Tujuan dimaksud bisa oleh personal dan atau institusi apapun, termasuk dalam hal ini adalah pemerintah(an) daerah.
Kelebihan suatu jargon, pesan yang disampaikan singkat, padat, dan to the point. Sehingga, akan mudah mengena dan diingat nalar (kognitif) seseorang. Dalam konteks tertentu, jargon menjadi bagian yang strategis dan efektif untuk marketing promotion sebuah produk (bisa juga program atau sumber daya) dari sebuah institusi atau personal.
Jargon juga bisa dianggap sebagai cara untuk me-marketingkan inti produk dan tujuan suatu personal/institusi untuk menggaet pasar atau konsumen (bisa juga investor) untuk terlibat dalam interaksi bisnis.
Dengan pendekatan dan argumentasi seperti di atas, frasa Bojonegoro sebagai lumbung pangan dan lumbung energi terasa relevan. Frasa tersebut sangat tepat sebagai branding image untuk menarik pendatang, konsumen, dan investor dalam mengembangkan daerah. Dalam pengertian lain, frasa itu dapat menjadi kata kunci yang mampu menggambarkan tujuan yang akan dicapai daerah.
Bagaimana dengan frasa lumbung pangan dan lumbung energi sebagai visi. Dalam terminologi, visi adalah goal atau tujuan akhir yang ingin dicapai daerah atau personal. Visi juga merupakan tool atau panduan yang digunakan personal atau institusi untuk merealisasikan mimpi, yang dilengkapi dengan tahapan-tahapan yang terukur dan sistematis.
Ukurannya adalah menggunakan model-model indikator yang rasional dan realistis berdasar kemampuan dan kapasitas sebagai modal yang dimiliki. Untuk merealisasikan visi, apakah menggunakan metode perencanaan ZOPP ataukah LFA (logical framework analysis) dibutuhkan dua atau lebih outcome, output, dan rigit sejumlah kegiatan untuk menunjang tercapainya masing-masing output dan outcome tersebut. Biasanya, masing-masing outcome dan output dilengkapi dengan indikator-indikator yang sekali lagi harus terukur dan sistematis.
Dalam hal lumbung pangan dan lumbung energi, ada dua fokus yang ditekankan yaitu, Bojonegoro sebagai lumbung pangan dan Bojonegoro sebagai lumbung energi. Nah, jika Bojonegoro sebagai lumbung pangan (sebagai satu fase) dinilai sebagai visi, maka dibutuhkan sejumlah outcome yang berisi rumusan-rumusan, bisa berupa kebijakan atau anggaran) untuk mencapai lumbung pangan. Masing-masing outcome pun ditopang oleh beberapa output yang terukur untuk mencapainya.
Tahapan serupa juga dibutuhkan untuk merealisasikan Bojonegoro sebagai lumbung energi, dibutuhkan outcome dan output yang kurang lebih sepadan dengan pembahasan prasyarat lumbung pangan.
Pertanyaannya adalah apakah saat ini prasyarat tersebut sudah disiapkan oleh pemerintah daerah? Suatu ketika, kawan penulis sempat berdiskusi dengan seorang anggota dewan dan bertanya adakah sejauh ini kebijakan anggaran (untuk menyebut satu syarat) dari pemerintah daerah yang dapat menopang tercapainya outcome dari lumbung pangan dan energi.
Jawabnya di luar dugaan, anggota dewan tersebut menjawab tidak ada. Padahal, ini sudah tahun kedua untuk merealisasikan cita lumbung pangan dan energi negeri. Berdasarkan hasil pengamatan, sejauh ini penulis memang belum menemukan rumusan-rumusan yang terukur dan disiapkan untuk menunjang tercapainya lumbung pangan dan energi.
Rumusan dimaksud bisa berupa kebijakan anggaran atau kebijakan dari SKPD yang dilakukan secara komprehensif (termasuk dengan menyelaraskan dan sinkronisasi dengan RPJMD) untuk mencapai lumbung pangan-lumbung energi.
Jika demikian halnya, disebut apakah frasa lumbung pangan dan lumbung energi yang digelorakan pemerintah daerah saat ini? Pembaca mungkin bisa membuat konklusi sendiri, merujuk diskripsi di atas. Wallahu A'lam. (*)

Ujung Blok Lingkar, 1 Januari 2015
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 4 Januari 2015, Halaman 26

Friday, January 2, 2015

Silpa dan Indikator Kinerja

Apa isu yang selalu aktual dan hangat diperbincangkan setiap akhir tahun? Di Bojonegoro dan kabupaten lain yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo, mungkin banjirlah yang menjadi trending topics.
Namun, ada isu lain yang tidak kalah menariknya, yang bahkan mungkin bisa menjadi salah satu parameter atau indikator kinerja. Yaitu, sejauh mana anggaran yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terserap dengan baik sesuai dengan rencana awal.
Di Bojonegoro, sudah beberapa tahun terakhir angka sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa)-nya relatif masih tinggi.  Hingga 24 Desember 2014 saja sudah ada sedikitnya Rp 14 miliar anggaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan yang dipastikan hangus karena gagal transfer/bayar (default).
Padahal, mengacu statemen kepala Dinas Pendapatan Daerah dan kepala Badan Pengelolaan Kekayaan dan Aset Daerah, masih ada sejumlah pos anggaran yang penyerapannya masih di bawah standar. Artinya, sangat mungkin dana yang tidak/belum terserap hingga akhir tahun anggaran nanti (tutup buku) bernilai puluhan miliar (atau bahkan mungkin ratusan miliar?).
Mengingat, tutup buku anggaran tinggal tiga hari lagi. Logikanya, mustahil dengan sisa tiga hari menyerap anggaran hingga puluhan miliar.
Kecenderungan terjadinya Silpa tinggi ini seperti kebiasaan buruk yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Tahun lalu Silpa Bojonegoro juga cenderung tinggi, masih mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Masih tingginya angka Silpa, sebenarnya sangat disesalkan. Karena, dengan gagal bayarnya sejumlah pos anggaran, lebih-lebih kalau itu belanja publik yang bersentuhan langsung dengan infrastruktur ekonomi, tentu akan sangat merugikan rakyat. Sebab, dana yang seharusnya termanfaatkan untuk pembangunan menjadi macet karena gagal bayar.
Tingginya angka Silpa juga bukan merupakan bentuk efisiensi. Melainkan justru bentuk dari mal-manajemen publik dan mal-anggaran yang telah gagal mengejawantahkan sistem perencanaan pembangunan daerah yang baik. Dalam terminologi perencanaan pembangunan, dengan membelanjakan anggaran sesuai dengan perencanaan justru menunjukkan adanya orientasi pengelolaan negara yang baik, karena antara perencanaan dan realisasi bisa berbanding lurus. 
Belum lagi kepercayaan publik terhadap aparatur pemerintahan daerah akan kian membesar. Janji-janji pembangunan yang sebelumnya sudah digembar-gemborkan oleh aparatur pemerintahan daerah, faktanya seperti angin lalu, tidak pernah terwujud.
Bagaimana itu bisa terjadi? Setidaknya ada empat tesis. Pertama, gagal bayar terjadi karena memang sistem perencanaannya yang buruk. Satker tidak/belum mempunyai perencanaan pembangunan yang baik dan terukur, berdasarkan basis kebutuhan dan goal yang akan dicapai.
Perencanaan yang dilakukan hanya sebatas dianggap sebagai rutinitas anggaran, sehingga tidak heran kadang program ataupun kegiatannya hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak/belum ada terobosan program dan anggaran yang mencerminkan penjabaran dari RPJMD atau visi/misi pemerintah.
Kedua, keterbatasan sumber daya manusia dalam merencanakan pembangunan. Hal ini sebenarnya bisa diantisipasi dengan melakukan upaya-upaya capacity building dan bekerja sama dengan pihak ketiga dan perguruan tinggi. Ketiga, akibat dari kehati-hatian (paranoid) dari pejabat pembuat komitmen.
Terkait hal ini, penulis pernah diskusi dengan seorang pejabat pemkab. Dia bilang, saat ini kepala satker sangat hati-hati dalam membelanjakan anggaran, karena takut tersangkut korupsi. Saking hati-hatinya, malah tidak melakukan penyerapan dana publik, selain hanya untuk biaya operasional saja.
Jika ini yang terjadi, tentu sangat merugikan rakyat. Bukankah sudah ada aturannya? Kalau semua dikembalikan ke regulasi, toh tetap akan berjalan sesuai koridor. Keempat, keterlambatan regulasi yang mengatur penyerapan anggaran. Ini bisa dilihat dari penyerapan DAK yang juknis dan juklaknya selalu telat. Juknisnya hampir selalu turun saat menjelang akhir tahun anggaran. Ini pula yang selama ini dikeluhkan oleh dinas yang kecipratan DAK setiap tahun.
Bagaimana mengatasinya? Rasanya ini pula yang harus dijadikan bahan evaluasi bagi petinggi pemerintahan daerah, agar Silpa dan kegagalan pembangunan tidak terulang setiap tahun. Dan tidak selalu menjadi isu yang hangat dibincang setiap akhir tahun anggaran. (*)

Bawah Titian, 27 Desember 2014     

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi Minggu, 28 Desember 2014, Halaman 22.