Beberapa bulan yang lalu, secara tidak sengaja penulis
bertemu dengan sejumlah penambang sumur minyak tua tradisional di gedung DPRD
Bojonegoro. Mereka berniat mengadukan problem dalam pengelolaan sumur minyak
tua di Kecamatan Kedewan ke komisi A DPRD.
Sekilas dari pembicaraan mereka, penulis menangkap harapan
agar dewan ikut memberikan perhatian dalam peningkatan hajat hidup penambang
dengan keberadaan sumur tua yang sudah ratusan tahun berada.
Salah satu isu yang mengemuka adalah keinginan adanya
peningkatan ongkos angkat angkut minyak mentah (lantung) yang ditambang dari
sumur tua untuk kemudian dijual ke Pertamina. Mereka menilai, ongkos angkat
angkutnya tidak atau belum sebanding dengan biaya hidup, tingkat risiko, maupun
kebutuhan lainnya.
Belakangan, kita melihat beberapa kali anggota dewan komisi
A dan pemkab sidak ke sumur tua. Tapi, kita tidak tahu seberapa operasional
hasil sidaknya. Justru, yang kita dengar adalah semakin mencuatnya karut marut
tata kelola minyak tua di Kedewan dan Malo.
Mulai terkuaknya illegal
minning, illegal logging, hingga perusakan lingkungan. Isu yang mengemuka
ke publik adalah adanya beberapa pelanggaran serius dalam pengelolaan minyak
tua, dan harus segera ditindak pelanggarnya.
Kehadiran Panglima
TNI
Terus terang, penulis sempat kaget saat mendengar Panglima
TNI Jenderal Moeldoko sidak bersama Dirut Pertamina Dwi Sutjipto, anggota DPR
RI ke sumur tua, Jumat (13/3). Dalam benak sempat tergelitik sebuah pertanyaan,
ada hubungan apa antara sumur tua, khususnya minyak, dengan jenderal bintang
empat tersebut atau TNI.
Apakah ada kaitannya dengan mengemukanya berbagai pelanggaran
pengelolaan minyak tua di Kedewan? Konkretnya, adakah keterlibatan aparat dalam
pelanggaran pengelolaan sumur tua? Sampai-sampai tokoh sekaliber panglima TNI
sampai turun gunung ke Kedewan.
Mungkinkah ini ada benang merahnya dengan pernyataan Panglima
TNI bahwa sebagai pemimpin tertinggi pihaknya berjanji akan menindak tegas,
jika ada anggota yang terlibat dalam pelanggaran pengelolaan sumur minyak tua.
Sebab, seperti pepatah, tak ada api tanpa asap. Tidak ada
kejadian yang berdiri tunggal, semua tentu akan ada kaitannya. Namun, sekali
lagi ini hanyalah rabaan penulis, yang mungkin bisa jadi salah.
Semoga saja memang benar tidak ada keterlibatan oknum aparat
dalam pelanggaran pengelolaan sumur tua di Kedewan dan Malo. Kehadiran panglima
TNI ke Kedewan benar-benar murni karena untuk memantau langsung pelanggaran
serius dalam pengelolaan sumur minyak tua, yang menurut panglima TNI, paling
parah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Perbaikan Tata Kelola
Terlepas ada benang merahnya atau tidak dengan kehadiran
panglima TNI ke Kedewan, ada dilema sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya
alam (SDA) dengan keberadaan sumur tua di wilayah tersebut. Di satu sisi,
adanya sumur tua merupakan modal penting untuk sarana peningkatan kesejahteraan
penambang, yang sejatinya juga warga Bojonegoro sendiri.
Kalau selama ini muncul pelanggaran dan tindak pidana lain,
penulis yakin itu tidak berdiri sendiri. Tidak fair kalau yang patut disalahkan adalah penambang. Di sinilah
sebenarnya perlu ada kearifan pemerintah untuk menyikapinya. Apakah salah satu
sebabnya karena minimnya upah, termasuk besaran ongkos angkut minyak mentah
yang didapat para penambang, atau ada faktor ekonomi lain?
Saya rasa, assesement
dengan model pendekatan problem solving
perlu juga dilakukan, selain yang sudah dibuat dan dilakukan oleh tim pemkab,
untuk mengurai permasalahan pengelolaan sumur tua. Jangan sampai SDM dan SDA
menjadi dilema, justru harusnya saling menguatkan untuk menjadi modal sosial
pembangunan.
Rasanya, pendekatan kemanusiaan bisa jadi akan lebih mengena
daripada dengan pendekatan keamanan. Tentu kita tidak mau sumur minyak
tua, yang pengelolaannya secara tradisional menjadi kutukan sumber daya alam,
bukan? (*)
Bawah Titian, 14 Maret 2015
*) Tayang di Jawa Pos
Radar Bojonegoro Edisi Minggu, 15 Desember 2015 Halaman 26.