Tuesday, June 30, 2015

Akuntabilitas Anggaran Desa



Salah satu terobosan penting Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan adalah mendistribusikan anggaran desa yang nilainya cukup fantastis.
Prinsip dekonsentrasi pembangunan dari daerah tingkat II ke level desa ibaratnya sebuah lompatan yang signifikan dalam strategi pembangunan nasional di masa-masa yang akan datang.
Ibaratnya, meminjam teori Mao Ze Dong, Pemerintah menekankan konsep pembangunan "desa mengepung kota" yang begitu membumi dalam konsep ideologi gerakan perubahan sosial di Tiongkok pada masa lampau.
Konsep desa mengepung kota memberi pemahaman bahwa pembangunan sebuah negara secara menyeluruh tidak akan bisa terlaksana apabila tidak dimulai dengan membangun pondasinya. Pondasi yang dimaksud tentu saja adalah daerah di lini terbawah: desa.
Seperti bangunan mercusuar, pondasi dasarnya harus dibangun sedemikian kokoh terlebih dahulu, sebelum kemudian memerluas dan mempercantik konstruksi di atasnya, meskipun dengan desain mencakar langit sekalipun.
Tentu saja konsep pembangunan desa, yang diperkuat dengan lahirnya regulasi UU Desa ini, tidak sempurna. Karena, pada dasarnya memang tidak pernah ada kebijakan yang bisa diterima siapapun.
Faktanya, secara sosiologis, lahirnya UU Desa sedikit banyak menggeneralisasi konsep desa yang berlaku menyeluruh di Indonesia. Padahal, Indonesia yang memiliki begitu banyak bahasa, suku, adat, dan budayanya sejatinya memiliki konsep beragam tentang desa. Tetapi, pada akhirnya semua disatukan dengan lahirnya UU Desa. Seluruh aset dihandle pemerintah dan dibakukan dalam APBDes.
Resistensi itu sebenarnya sudah muncul belakangan ini dengan adanya penolakan dari Suku Anak Dalam, Riau, yang sebelumnya mereka sudah begitu harmoni dengan alam melalui Desa Adat. Perbedaan cara pandang juga terjadi di Suku Badui, Jawa Barat.
Tetapi apapun UU telah disahkan, dan tahun ini sudah mulai diberlakukan, dengan ditransfernya dana desa, alokasi dana desa (ADD), dana bagi hasil dan pajak, yang merupakan komponen dari anggaran desa. 
 
Pertanggungjawaban Publik
Dalam sebuah diskusi tentang Sekolah Desa yang diikuti penulis belum lama ini, sempat mengemuka problem realisasi pembangunan berbasis anggaran desa.
Memang, beberapa kabupaten sudah mencairkan anggaran desanya. Tapi, ada pula yang urung mencairkan dananya karena terbentur regulasi turunan dari UU Desa dan Peraturan Pemerintahnya yang kurang aplikatif.
Bojonegoro termasuk kabupaten yang cukup responsif dalam menerjemahkan regulasi turunan tersebut. Lahirnya tiga peraturan bupati (Perbup) yang mengatur soal mekanisme pencairan dan pelaksanaan dana desa, detail bidang yang menjadi fokus dana desa, dan laporan pertanggungjawaban dana desa setidaknya bisa menjadi petunjuk bagi desa untuk merealisasikan agenda besar nasional ini.
Namun, hemat penulis, masih ada celah atau ruang yang belum tergarap dalam regulasi yang akan dijadikan rule map bagi pemerintahan desa tersebut. Yakni, soal pertanggungjawaban (akuntabilitas) publiknya.
Artinya, bukan sekadar LPj keuangan yang lebih bersifat normatif, belum substansial. Padahal, akuntabilitas publik merupakan salah satu parameter dalam demokrasi modern untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan benar.
Fukuyama dalam political order and political decay (2014) mengatakan, bahwa tata kelola pemerintahan yang baik menjadi menjadi salah satu pilar dalam membangun tertib politik sekaligus memperkuat eksistensi negara.
Penjelasannya, dengan disediakannya ruang dan cantolan akuntabilitas publik dalam regulasi, sebenarnya pemerintah daerah sudah berikhtiar menjalankan atau setidaknya membangun kultur tertib politik dan hirarkie struktural pemerintahan yang baik.
Format dan mekanisme akuntabilitas publik tidak saja berupa forum-forum yang memungkinkan partisipasi publik secara luas dan kompleks. Namun, juga dapat berupa ketersediaan kesempatan bagi publik untuk mengaksesnya secara lebih luas dan terbuka.
Sebab, seluruh anggaran yang digunakan untuk pembangunan desa melibatkan partisipasi publik melalui beragam pungutan dan pajak. Tentu adil juga bukan publik mengetahui untuk apa saja uang yang telah mereka bayarkan dengan susah payah tersebut? (*)
 
Ujung Blok Lingkar, 26 Juni 2015

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi Minggu, 28 Juni 2015 Halaman 26