Monday, February 29, 2016

Tentang Menabung Air

Akhir Januari lalu, penulis menghadiri sebuah acara yang cukup menarik. Pelatihan perilaku hidup bersih dan sehat untuk pegiat sanitasi dan kelompok rumah tangga pilah sampah. Acaranya di sebuah hotel di Kecamatan Kalitidu.
Pelatihan itu semakin menarik karena menghadirkan Denok Marty Astutik. Bagi pegiat sanitasi atau lingkungan hidup, mungkin tidak asing dengan nama Denok. Wanita asal Solo yang namanya melambung saat dihadirkan sebagai bintang tamu di acara talk show Kick Andy, tahun lalu.
Denok adalah koordinator Gropesh, Gerakan Orang Muda Peduli Sampah, Solo. Denok menjadi sangat terkenal karena keputusan ‘gila’-nya. Denok berani meninggalkan zona nyaman sebagai akuntan perusahaan otomotif raksasa di Jakarta. Anda tahu? Padahal, posisinya sudah setingkat manajer.
‘Gila’-nya lagi, posisi itu dia tinggalkan hanya karena ingin mengurusi sampah. Lebih tepatnya sebagai pegiat olah sampah. Aktivitas yang mungkin akan dianggap ‘gila’, tidak normal untuk orang sekelas lulusan UI. Namun toh Denok menikmatinya. Malah, Denok semakin menjiwai. Saat ini dia membina sejumlah warga binaan di Lapas Jakarta, Solo, dan kota-kota lain.
Namun, bukan itu yang ingin penulis sampaikan dalam kolom ini. Kalau ingin tahu lebih dalam rekam jejak Denok, klik saja di youtube. Anda akan menemukan jawabnya. Secara detail. Bahkan mungkin banyak hal lain yang Anda ketahui.
Penulis sangat tertarik saat Denok menyinggung soal biopori. Anda tahu biopori kan? Ya, semacam lubang seukuran pipa paralon yang dibuat dengan kedalaman tertentu. Ditanam di tanah dengan jarak tertentu. Pipanya diberi pori-pori. Agar air yang masuk dalam pipa bisa meresap ke lapisan tanah. Istilah sederhananya sumur resapan.   
Fungsi utama biopori untuk menabung air di musim penghujan. Air yang masuk dalam biopori kemudian dapat disimpan di kedalaman tanah. Kelak di kemudian hari air itu bisa menjadi cadangan atau tepatnya cadangan air. Tabungan air di musim kemarau.
Rasanya aneh kalau Indonesia, khususnya Bojonegoro, tidak akrab dengan biopori. Di   Singapura saja masyarakatnya sudah akrab dengan biopori. Singapura memiliki puluhan juta lubang biopori yang tersebar merata di wilayahnya. Dengan puluhan juta biopori itu, cadangan air Singapura cukup untuk 50 tahun ke depan!
Anda tahu, luas wilayah negara kota Singapura ini sangat sangat kecil. Jangankan dengan Indonesia, dengan Bojonegoro saja masih kalah. Luas wilayah Singapura hanya 716 km2. Bandingkan dengan luas wilayah Kabupaten Bojonegoro yang mencapai 2.384,02 km2. Tiga kali lipat dari luas negara Singapura. Tapi toh mereka bisa.
Jepang juga demikian. Luas wilayahnya kalah jauh dengan Indonesia. Namun, Jepang juga punya puluhan juta lubang biopori. Sama dengan Singapura, berkat modal biopori, cadangan air negeri Matahari Terbit ini juga cukup untuk 50 tahun ke depan. Sampai anak cucu mereka.
Bagaimana dengan Bojonegoro? Sebenarnya sedang dimulai. Akhir-akhir ini Pemkab Bojonegoro sedang gencar menggelorakan gerakan menabung air. Konsepnya juga sama, dengan cara membuat biopori. Namun, kelihatannya belum serempak. Belum menjadi gerakan yang operasional hingga menyentuh lapisan masyarakat.
Kenapa demikian? Penulis tinggal di lingkungan perumahan di wilayah kota. Namun, rasa-rasanya imbauan atau gerakan hingga menyentuh lingkungan RW, RT, atau bahkan tingkat lingkungan, belum terdengar.
Terus terang, sempat terpikir dalam hati, jangan-jangan baru sebatas gerakan. Formalitas saja? Mungkin ya, mungkin juga tidak begitu. Andaikan formalitas, alangkah sayangnya. Padahal, kita berpeluang besar untuk punya biopori dengan jumlah luar biasa. Itu kalau bioporinya berbasis rumah.
Hitung-hitungan sederhananya begini. Jumlah penduduk Kabupaten Bojonegoro 1,4 juta jiwa. Taruhlah ada 500 ribu kepala keluarga. Kalau masing-masing KK membuat dua lubang biopori saja, akan ketemu satu juta biopori. Biopori yang berbasis rumah atau pekarangannya.
Padahal, idealnya jarak antara lubang biopori satu dengan lainnya sekitar dua meter. Ini artinya, masing-masing rumah logikanya bisa membuat dua hingga empat biopori. Toh bioporinya juga tidak mengganggu pekarangan atau halaman rumah. 
Itu belum termasuk biopori yang dibuat di tegalan, tanah lapang, perkantoran, pematang sawah, atau titik-titik kawasan tanah lainnya. Tentu akan sangat banyak biopori yang bisa dibuat. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan mungkin juta biopori.
Tapi sekali lagi, itu dengan catatan gerakan menabung air tersebut tidak sebatas formalitas. Hanya menjadi gerakan, tidak membumi. Tidak operasional. Dan andai benar serius, rasanya julukan Bojonegoro: nek rendeng gak iso ndodok, nek tigo gak iso cebok (penghujan tak bisa duduk karena banjir, dan kemarau tak bisa cebok karena tak ada air), hanya tinggal kenangan. Ayo membuat biopori. (*) 

Ujung Blok Lingkar, 12 Februari 2016      

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi Minggu, 14 Februari 2016 Halaman 26