Thursday, June 30, 2016

Catatan Reboan (3)


Mendudukkan Posisi NGO
  

BEBERAPA hari lalu salah seorang pengurus IDFoS Indonesia meng-upload sebuah foto di grup WhatsApp milik lembaga itu. Foto yang diangkat lucu, menarik, menggelikan, sekaligus membuat siapa pun yang selama ini akrab dengan dunia Non Government Organization (NGO) masyghul. Termasuk penulis.
Foto itu berupa surat permintaan dari salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya tidak menyebut LSM tersebut dari mana. Takut kena semprit. Takut dituduh menyebarkan kebencian, mencemarkan nama baik. Sekalipun, pasal haatzaai artikelen ini sudah dihapus dalam dunia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP).
Yang pasti dalam kop suratnya LSM tersebut menyebutkan alamat dari luar Jawa. Namanya juga jauh dari kesan pemberdayaan masyarakat. Atau setidaknya lembaga yang mengesankan bergerak di bidang kemasyarakatan. Namanya lebih mencirikan lembaga bukan dunia lain.  
Yang lucu dan memprihatinkan, surat tersebut adalah berperihal permintaan uang tunjangan hari raya (THR). Surat itu ditujukan kepada sejumlah kepala satuan kerja pemerintah provinsi di luar Jawa. Tampaknya banyak satuan kerja yang disasar.
Terbukti, pada kolom kepada yang dituju, tidak diisi dengan ketikan komputer. Melainkan sengaja dikosongi untuk ditulisi kepala satuan kerja yang disasar. Bukan tidak mungkin pengirim sudah mempunyai list nama-nama kepala satuan kerja yang akan dikirimi surat.
Yang bikin semakin nelangsa sekaligus geregetan, dalam surat itu disebutkan juga banyak nama yang akan menerima THR. Nama-nama tersebut ditulis dalam kolom khusus di surat. Jumlahnya tidak hanya satu atau dua orang. Lebih dari lima orang, baik yang menjabat sebagai ketua atau anggota.  
Saat melihat upload foto tersebut, seketika penulis masyghul. Yang terlintas dalam pikiran adalah  apakah sudah sedemikian dangkalkah cara pandang orang terhadap LSM? Penulis tidak tahu apakah contoh di atas hanya terjadi di luar Jawa.
Atau barangkali di Jawa sebenarnya juga sudah ada, tetapi luput dari pantauan penulis. Yang pasti, itu sangat memprihatinkan dan mendorong penulis menuangkannya dalam kolom Catatan Reboan kali ini.

Perihal Label
Dalam jagat ke-NGO-an, ada banyak label atau padanan kalimat untuk menyebut aktivitas lembaga yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan. Ada NGO, civil society organization (CSO) atau yang biasa disebut organisasi masyarakat sipil (OMS), dan LSM itu sendiri.
Penulis sendiri lebih sreg menyebutnya OMS atau CSO. Atau setidak-tidaknya NGO. Sekalipun, kata Shakespeare, apalah arti sebuah nama, toh mawar tetap merah dan wangi. Karena, masing-masing nama mempunyai implikasi ideologis, yang akan penulis bahas sendiri dalam sub bagian selanjutnya dalam tulisan ini.
Kembali ke soal labelling, tidak bermaksud untuk men-generalisasi, entah karena kebetulan ataukah memang itu yang dipahami, stigma masyarakat terhadap LSM, boleh dikata tidak bagus-bagus amat.
Tuduhan LSM sebagai lembaga abal-abal yang bertujuan mencari uang atau sebagai hantu teror atas kasus yang menimpa siapa pun, lebih mendominasi daripada sebagai lembaga yang mempunyai andil atau kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat.
Masalahnya adalah di saat stigma masyarakat, bahkan terkadang aparatur pemerintahan, masih belum 100 persen baik terhadap NGO, persepsi tersebut diperburuk dengan, misalnya contoh kasus di atas, yang secara terang-terangan meminta uang kepada satuan kerja pemerintahan.
Padahal, jika ditinjau lebih jauh, permintaan itu tidak ada relevansinya sama sekali dengan mandat sosial yang selama ini identik atau melekat dengan OMS. Apakah kecenderungan tersebut juga terjadi di Bojonegoro?    

Ideologis dan Pragmatis
Ada buku menarik yang sebenarnya bisa menjadi referensi atas sejauh mana OMS mampu memberi kontribusi yang nyata bagi masyarakat. Buku itu sangat terkenal dan selalu menjadi referensi bagi para pelaku aktivitas pemberdayaan masyarakat. Bahkan, juga dijadikan sebagai rujukan dalam khazanah perpolitikan.
Pasti Anda sudah mengenal. Buku itu ditulis oleh Sosiolog atau Ilmuwan kenamaan asal Italia, Antonio Gramsci. Seratusan tahun yang lalu malah buku tersebut ditulis. Tetapi, rasanya masih sangat relevan dengan masa kini. Buku yang sudah sangat terkenal tersebut berjudul Negara dan Hegemoni. 
Dalam bukunya, Gramsci menyebutkan, suatu negara akan maju dan sejahtera apabila pemangku kepentingan (stakeholders) negara berhasil memadukan dua kekuatan. Ini yang disebutnya sebagai hegemoni. Gramsci menyebutnya sebagai Masyarakat Politik dan Masyarakat Sipil (Civil Society).
Masyarakat Politik didefinisikan Gramsci sebagai kekuatan politik formal yang menyokong organisasi negara melalui demokrasi prosedural. Masyarakat Politik diwakili oleh partai politik, parlemen, dan termasuk dalam hal ini adalah senat atau jika di Indonesia Dewan Perwakilan Daerah.
Sedangkan Masyarakat Sipil merupakan elemen atau komponen masyarakat, bisa organisasi atau subkultur masyarakat yang secara konsisten dan (ingat) mempunyai hubungan independen dengan negara, yang menyuarakan aspirasi dan kepentingan publik. Masyarakat Sipil juga sebagai kekuatan penyeimbang dan kontrol akan keberlangsungan pemerintahan.
Satu hal lagi, Masyarakat Sipil yang dimaksud berlandaskan ideologis. Maksudnya, landasan yang digunakan dalam operasionalisasi Masyarakat Sipil mempunyai basis ideologis maupun filosofis yang jelas dalam relasi Negara-Masyarakat. Sebagai contoh, Masyarakat Sipil memahami masyarakat tidak bisa hanya dijadikan sebagai subordinat, tetapi setara, sejajar dengan negara yang harus didengar dan disuarakan hak-haknya.
Dalam perkembangannya, terminologi Masyarakat Sipil dipahami antara lain sebagai OMS yang pada operasionalisasi berlandaskan ideologis. Konstruksi visinya jelas. Misi yang akan dilakukannya jelas dan terukur melalui pendekatan-pendekatan yang memang berbasiskan kebutuhan riil publik, demi perbaikan menuju kesejahteraan.
Bagaimana membedakannya dengan NGO atau LSM sekarang? Sebenarnya cukup mudah. Kalau ada lembaga yang orientasinya hanya untuk kepentingan individu institusi tanpa mempunyai landasan yang jelas atas konstruksi visinya, jelas itu hanya untuk kepentingan pragmatis. Ujung-ujungnya pada sebatas materi semu.
Sedangkan NGO, OMS, dan CSO yang ideologis adalah lembaga yang konstruksi visinya jelas atas dasar mandat sosial yang diembannya. Ia juga mempunyai standar terukur dalam menentukan step dan mendiskusikannya secara berulang-ulang dengan publik.
Dan satu hal lagi, ia juga mempunyai kesadaran sosial yang tinggi untuk selalu memperbaiki institusi dengan asas-asas keterbukaan (akuntabilitas publik) dalam setiap kerja-kerja ke-NGO-annya dan peningkatan kapasitas personal dan institutional. Jadi, cukup mudah bukan untuk membedakannya? Salam Reboan... (*)

Ujung Sersan Mulyono 35, 29 Juni 2016
*) Direktur IDFoS Indonesia. Ditayangkan di website IDFoS Indonesia (www.idfos.or.id)
                                                                                                                                        

Sunday, June 26, 2016

Catatan Reboan (2)



Inovasi versus Regulasi




Kalau Anda mencermati perkembangan di media massa belakangan ini, ada persoalan menarik antara Dinas Perhubungan (Dishub) Bojonegoro dengan Polres Bojonegoro, lebih tepatnya pada jajaran Satuan Lalu Lintas (Satlantas). Pemicu kontroversi tersebut adalah mengenai ide Dishub yang berniat mengoperasionalkan Becak Inovasi.
Polemik menjadi menarik karena baik Dishub dan Satlantas Polres Bojonegoro mempunyai cara pandang yang tidak sama. Dishub memandang Becak Inovasi atau Becin merupakan terobosan, ide dan inovasi untuk menjawab problem perlalulintasan di Bojonegoro. Versi Dishub, ada unsur pemberdayaan di dalamnya.
Jika dilihat dengan cermat, dasar yang digunakan Dishub juga lumayan kuat. Dishub merekayasa becak tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan, khususnya pasal 12 ayat 3.
Dishub berpandangan, Becak Inovasi tak bertentangan dengan hukum. Becin tidak termasuk dalam klausul yang diatur dalam Pasal 277 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), yang selama ini menjadi dasar Satlantas Polres.  
Versi Dishub, UU LLAJ tidak menyebut secara spesifik sebagai becak motor, namun modifikasi motor. Sementara, Becin tidak memodifikasi motor, melainkan mesin yang biasa digunakan dalam disel parut kepala. Kecepatan Becin juga tidak melebihi 25 kilometer per jam. Dan lagi, Becin tak melintas di jalur provinsi dan nasional. Hanya jalan kabupaten dan desa.
Di sisi lain, Satlantas Polres memandang ide dan inovasi Becin merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran UU LLAJ. Versi Satlantas, berdasarkan UU LLAJ, Becin tidak masuk dalam kendaraan bermotor. Mengacu UU LLAJ, hanya ada lima tipe kendaraan bermotor.
Yaitu, sepeda motor, mobil, angkutan barang, truk, dan kendaraan khusus (ransus). Becin tidak masuk dalam kelima jenis kendaraan bermotor tersebut. Karena itu, meski memakai mesin diesel yang tak berkecepatan tinggi, tetap saja polisi tidak bisa mengizinkannya melintas di jalan raya. Sebab, kendaraan bermotor yang boleh melintas di jalan raya adalah yang terdaftar legal di KB Samsat.
***
Manakah yang benar? Tulisan ini tidak bermaksud untuk memilih mana yang benar? Tetapi lebih menganalisisnya dalam berbagai perspektif. Mari kita diskusikan. Dasar yang digunakan Satlantas Polres, lebih pada regulasi. Kalau ini yang menjadi landasan dan satu-satunya yang menjadi pertimbangan dijalankan dan tidaknya Becin, ada benarnya dasar polisi.
Dasarnya begini. Dalam hirarkie sistematika hukum dan perundangan di Indonesia, tentu saja posisi Undang-Undang yang disahkan Pemerintah dan DPR RI lebih tinggi daripada Peraturan Pemerintah (PP). Posisi hirarkie hukumnya di bawah sedikit dari UU Dasar.
Masalahnya adalah ada perbedaan penafsiran dalam memahami diksi kendaraan bermotor yang diatur dalam UU LLAJ. Sementara, Becin tidak masuk kategori kendaraan bermotor. Alasannya, spesifikasi mesin yang digunakan bukan tergolong motor, melainkan mesin disel berkapasitas sangat kecil. Karena, diesel ini selama ini lebih banyak digunakan untuk mesin parut kelapa.
Apalagi, dalam hukum kita mengenal ada kaidah berbunyi begini: jika tidak secara eksplisit atau tertulis tentang larangan sesuatu dalam sebuah teks hukum, berarti diperbolehkan digunakan. Dengan kata lain, penafsiran sebuah diksi dalam teks hukum, dinafikan. Tetapi tentu saja hal ini sebatas pendapat pribadi penulis dan dibutuhkan tinjauan hukum lebih mendalam dari pakar.
Di sisi lain, Becak Inovasi sebenarnya justru merupakan bentuk inovasi yang perlu dipandang sebagai sebuah terobosan untuk memajukan atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin kota, dalam hal ini tukang becak.    
Bahkan, kalau mau ditarik lebih jauh, inovasi dengan melahirkan karya dalam bentuk Becak Inovasi merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi manusia dalam bidang ekonomi. Yakni, hak untuk memperoleh kehidupan yang layak dan hak untuk meningkatkan kualitas hidup.
Kalaupun kemudian menimbulkan perdebatan atau lebih tepatnya penafsiran yang berbeda, justru idealnya persoalan ini dijadikan sebagai bahan diskusi publik, yang menghadirkan berbagai pihak dengan latar belakang yang berbeda. Dalam konteks inilah pemerintah daerah dan stakeholder lainnya harus terus didorong untuk melahirkan inovasi, demi tercapainya peningkatan kualitas hidup. Salam Reboan... (*)  

Ujung Sersan Mulyono, 22 Juni 2016

*) Direktur IDFoS Indonesia
**) Ditayangkan di website IDFoS Indonesia (www.idfos.or.id) 

Wednesday, June 15, 2016

Catatan Reboan (1)

Yang Penting Menulis Dulu... 

Akhirnya semangat menulis itu datang kembali. Semua bermula saat Divisi Riset dan Teknologi Institute Development of Society (IDFoS) Indonesia mengadakan rapat, dua pekan lalu. Temanya, agak di luar meanstream. Dikatakan demikian, karena biasanya kebanyakan rapat yang dibahas mengagendakan diskusi, pelatihan, perencanaan program, atau menyusun desain riset.
Tapi ini kali tidak. Agenda yang dibahas tentang kesadaran gerakan menulis. Khususnya menulis di internal IDFoS. Berlaku untuk semua. Ya Pengurus, ya koordinator atau ketua divisi, staf divisi, hingga relawan atau volunteer.
Semula ada usulan tema yang dibahas dalam tulisan kudu yang serius. Namun, dinamika forum menghendaki lain. Dibiarkan cair saja. Sesuai dengan karakteristik si penulisnya. Dan, idealnya memang demikian, karena menulis itu membebaskan.  
Kalau memang cenderung serius dan style-nya memang seperti itu, silahkan. Nggak papa. Kalau justru sebaliknya, juga tidak dilarang. Karena, kata kunci yang harus disepakati saat itu adalah: Yang penting menulis dulu dan dibiasakan secara kontinyu.
Setelah disepakati gerakan ayo menulis, langkah selanjutnya adalah tentukan batas waktunya atau deadline. Karena, dalam hal-hal tertentu, deadline itu menjadi penting, sebagai pembatas agar seseorang mematuhi ketentuan yang sudah digariskan. Sebagai garis serius dan fokus pada beberapa hal. Termasuk memberi deadline menulis, sekalipun ia bukan penulis atau jurnalis.
Dook...! Jadilah pentingnya deadline sebagai keputusan kedua. Selanjutnya, disepakati pula, deadline-nya setiap minggu masing-masing divisi, di IDFoS ada empat, harus membuat satu tulisan. Bisa berupa opini, artikel, esai, kolom, features. Atau jika diperlukan tulisan yang sangat serius, semi jurnal maksudnya, tidak apa-apa. Asalkan konsisten dan fokus.
Yang penting bukan berita (news). Karena, domain itu sudah masuk dalam laman kegiatan di website IDFoS, www.idfos.or.id. Apalagi, tujuan gerakan menulis ini memang murni untuk mendorong bisa dan biasa menulis non-berita. Ya seperti yang tertera di atas itu. Keputusan ini pun juga disepakati.
Dook...! Jadilah model tulisannya disepakati bebas. Karena sebenarnya juga tak bebas-bebas amat. Mungkin yang paling pas diikat dengan longgar. Sebab, secara garis besar ada tiga hal yang akan ditulis nantinya. Yakni, opini, kolom, dan artikel.
Alasannya simpel, karena ketiga jenis tulisan inilah yang nantinya akan membentuk karakter masing-masing penulis. Sekalipun nanti jika memungkinkan, bisa ditambahi tulisan resensi buku.  
Deadline dan model tulisan sudah disepakati. Tinggal satu yang belum. Tema tulisannya apa? Semula ingin dibiarkan bebas. Namun toh pada akhirnya perlu pembatasan. Akhirnya, disetujuilah, temanya berbasis divisi masing-masing sebagai tema wajib. Sedangkan menulis dengan tema bebas (baca: hukumnya sunat), diperbolehkan, jika kewajiban menulis wajib sudah terpenuhi.
Di IDFoS ada empat divisi. Masing-masing, Divisi Riset dan Teknologi, Advokasi dan Lingkungan Hidup, Pemberdayaan Perempuan, dan Ekonomi Kerakyatan. Jadi, rasanya sudah lengkap tema yang mau diangkat menjadi tulisan.
Isi masing-masing divisi, penulis rasa, sudah menunjukkan ragam tema yang tidak akan habis untuk dikupas. Tinggal sekarang menunggu menunggu konsistensi melalui tulisan. Yang penting menulis dulu. 
***
Oo ya, sampai jadi lupa alasan kenapa muncul catatan ini. Sebenarnya, sudah sejak lama penulis ingin membuat tulisan secara kontinyu di laman website lembaga yang berdiri sejak 1999 ini. Namun, sepertinya momentumnya memang baru masuk saat ini. Saat kesadaran gerakan menulis sedang baik-baiknya, sedang semangat-semangatnya. Eman sekali kalau dilewatkan begitu saja.   
Tentang tema tulisan pada Catatan Reboan ini, tentu beragam aspek kehidupan. Sesekali, topik pembahasan akan diulas secara santai, mengalir, tapi tetap mengena. Khas kolom atau esai. Namun, tak jarang juga akan dibahas dengan gaya serius, khas opini, artikel, atau juga semi jurnal. 
Perihal nama kolom: Catatan Reboan, sengaja dipilih karena ada beragam alasan. Semula, penulis sempat mau menyiapkan nama Catatan Pinggir, tapi kok ya sama dengan kolom Goenawan Muhammad, sastrawan dan wartawan senior Tempo. Yang terbit setiap kali majalah Tempo terbit.
Terbayang juga diberi nama Catatan Pojok, namun rasanya masih belum pas. Lantas, muncul nama Kang Fiq Notes. Tapi terkesan 'pencitraan banget'. Hingga akhirnya muncullah Catatan Reboan. Rasanya lebih pas. Lebih elegan. Lebih nJawani. Dan ini yang paling penting, lebih Ngidfos banget!
Kenapa? Ingat Diskusi Reboan kan? Diskusi lintas sektoral, lintas tema yang digagas IDFoS tersebut sudah seperti menjadi trade mark atau brand image IDFoS. Sekalipun digunakan dimanapun, image-nya tetap di IDFoS.
Kira-kira seperti itu pula harapan Catatan Reboan ini. Harapannya ya rutin terbit atau ditayangkan, atau persisnya di-upload setiap hari Rabu. Kenapa hari Rabu? Selain melekat dengan image IDFoS, juga karena Rabu itu hari medium. Produktif. Tengah-tengah. Hari stabil. Karena, biasanya kita sudah melakukan banyak hal di awal pekan, dan mempersiapkan rencana kegiatan sebelum akhir pekan. Semua ya di hari Rabu itu.  
Dan ini, yang nyaris kelupaan, semangat Catatan Reboan itu semangat Reborn. Agak-agak miriplah antara Reboan dan Reborn. Tahu apa itu reborn? Kelahiran kembali. Termasuk kelahiran kembali ide, semangat, menulis, dan kerja-kerja pemberdayaan sosial. Jadi, tidak salah kiranya jika kita sebarkan virus Reboan, virus Reborn. Salam Reboan.... (*) 


Ujung Sersan Mulyono, 15 Juni 2016

*) Direktur IDFoS Indonesia. Ditayangkan di website IDFoS Indonesia (www.idfos.or.id)  

Sunday, June 12, 2016

Kompetisi Inovasi

Akhir-akhir ini semangat wilayah, lebih tepatnya kecamatan atau desa, dalam membangun daerahnya masing-masing patut diacungi jempol. Beragam kecamatan ataupun desa memiliki ide-ide inovatif yang akan, sedang, dan sudah dikembangkan, demi kemajuan daerahnya masing-masing.
Coba kita perhatikan geliat dan semangat kecamatan atau desa yang sempat terekam media massa, media social, atau melalui obrolan di kafe atau warung kopi. Rata-rata setiap kecamatan mempunyai program atau setidaknya gerakan yang mencerminkan semangat dan inovasi yang diyakini akan mampu memberikan dampak yang positif bagi kemajuan daerahnya.
Menurut saya, ini iklim yang menarik. Masing-masing orang mempunyai cara tersendiri untuk memberi kontribusi atau membangun daerahnya. Ada yang memilih dengan cara mengkritik dengan skala pelan atau keras. Ada pula yang memilih dengan aksi nyata. Yang nyata ya yang sedang membangun inovasi itu. Namun semuanya bermuara pada kemajuan daerah.  
Tidak semua ide inovasi tersebut bermuara ke pengembangan pariwisata. Saya rasa ini menarik. Dan memang seharusnya demikian. Membangun daerah tidak harus berorientasi pada pendapatan ekonomi melalui peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Membangun modal social melalui pendekatan pembangunan sumber daya manusia (SDM) juga sangat dahsyat dampaknya bagi daerah itu sendiri. Butuh waktu tentunya. Namun toh, pada ujungnya jika pembangunan modal social berhasil muaranya juga pada peningkatan ekonomi masyarakatnya, karena sudah tercerahkan.      
Penulis cukup tertarik dengan program atau gerakan-gerakan yang dilakukan Kecamatan Sukosewu, Margomulyo, Sekar, dan mungkin kecamatan lain. Ide menarik dari Kecamatan Sukosewu adalah mengembangkan kawasan wisata dengan pilot project Bendungan Klepek.
Konsepnya adalah mengembangkan paket wisata penelusuran Bendungan Klepek dengan menggunakan perahu. Mirip-mirip arung jeram atau rafting, meskipun tipis-tipis. Saya rasa, ini menarik dikembangkan. Karena, untuk menjadikan kawasan ini sebagai sentral wisata berbasis adventure alam, tidak perlu harus seperti medan rafting di Pekalen, Probolinggo. Atau seperti di Pacet, Mojokerto.
Toh secara kontur alam dan geografisnya memang tidak sama dengan Pekalen atau Pacet. Justru itu yang menarik. Yang membedakan dengan daerah lain. Bukankah, meminjam teori guru marketing dunia, Hermawan Kertajaya, diferensiasi menjadi factor penting untuk menarik perhatian konsumen (baca wisatawan)?  
Karena, kalau wisatawan ingin berbasis pegunungan, ya ke Pekalen. Kalau adventure berbasis sungai (Kali Pacal), ya ke Bendungan Klepek, Sukosewu. Jadi, jangan ragu untuk mengembangkan. Terpenting, paket wisata tersebut dilengkapi dengan factor safety, kesejarahan Bendungan Klepek, dan kemudahan fasilitas infrastrutur.      
Lain lagi dengan Kecamatan Sekar, yang tengah gencar-gencarnya mengembangkan kawasan wisata Watu Gandul dan Atas Angin. Konsepnya juga sama, adventure alam dipadu dengan pendekatan kebudayaan dengan menyusuri situs-situs budaya di Sekar.  
Dari segi nama, sangat keren. Sudah cukup kuat menjadi brand image produk atau jualan untuk dipasarkan ke pecinta wisata alam. Tinggal dipoles dengan pendekatan manajemen yang baik. Serta, diperbaiki segala infrastrukturnya.   

Modal Sosial
Hal yang berbeda dilakukan Kecamatan Margomulyo. Kecamatan ini memilih menggunakan pendekatan modal social dulu. Membangun SDM. Kecamatan terluar Bojonegoro, yang sebagian wilayahnya hutan ini menggelorakan Gerakan Margomulyo Memanggil dan Margomulyo Menginspirasi.
Realisasi idenya, memanggil orang-orang local yang sukses di luar Margomulyo dan tokoh local serta jajaran pejabat kecamatan untuk memberikan kontribusi nyata. Bentuknya tidak harus uang. Boleh ide. Boleh tenaga atau sumber daya. Atau juga keduanya sekaligus.     
Sasarannya beragam. Ada pendidikan, pertanian hingga kelak ke peningkatan perekonomian. Terpenting bertujuan untuk meningkatan keberdayaan dan daya saing warga kecamatan yang mempunyai suku yang menjadi ikon Bojonegoro (dan Blora), samin. Terpenting mempunyai goal untuk kemajuan daerah itu sendiri.
Tentu saja di luar tiga kecamatan tersebut masih banyak ide atau inovasi yang sedang dikembangkan. Hanya, mungkin belum sempat mencuat ke permukaan melalui media massa atau media sosial dan belum terdeteksi oleh penulis.
O ya, tentu terobosan-terobosan di atas tidak termasuk paket wisata yang selama ini sudah dikenal lho. Semisal Kahyangan Api di Ngasem, Water Park di Dander, Kebun Blimbing dan Bendung Gerak di Kalitidu serta Waduk Pacal di Temayang. Karena, serpihan ide dan inovasi beberapa kecamatan di atas memang sedang hangat-hangatnya dikembangkan.   
Kini tinggal bagaimana mengsinkronkan atau mengsinergikan ide-ide di atas dengan arah pembangunan daerah, dalam hal ini pemda setempat, dan pihak-pihak lain. Tentu juga termasuk dengan media massa. Karena, ide dan kompetisi inovasi untuk kemajuan daerah adalah berita menginspirasi. Berita tentang kemenangan manusia. Dan media massa, khususnya koran ini, patut terus mendorongnya. (*)            

Ujung Blok Lingkar, 2 April 2016
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 3 April 2016, halaman 26