Monday, July 25, 2016

Anomali Kabupaten Layak Anak

TAHUN lalu ada dua reward (penghargaan) penting yang diperoleh Bojonegoro. Tidak main-main. Yang memberikan penghargaan adalah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Dua reward itu adalah penghargaan Bojonegoro sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) dan Kabupaten Ramah Hak Asasi Manusia (HAM).
Dua reward tersebut semakin melengkapi predikat Bojonegoro sebagai kabupaten yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang. Karena, pada tahun yang sama pula, 2015, Bojonegoro mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Welas Asih.
Tidak mudah bagi kabupaten/kota menerima atau mendeklarasikan diri sebagai daerah dengan tiga predikat tersebut. Ada banyak prasyarat atau indikator yang dijadikan sebagai parameter untuk menilai apakah kabupaten/kota tersebut sudah benar-benar tempat layak untuk anak, ramah HAM, sekaligus welas asih?
Penulis tidak akan menjelaskannya satu per satu dari ketiga labeling tersebut. Melainkan hanya akan fokus pada predikat Kabupaten Layak Anak. Kedekatan dengan momentum Hari Anak Nasional (HAN), diperingati setiap tanggal 23 Juli, dan peristiwa-peristiwa menyayat hati yang terjadi beberapa pekan terakhir menjadi salah satu benang merahnya.
Tanpa bermaksud menggugat urgensi penghargaan KLA, tulisan ini hanya sekadar mendiskusikan (ulang?) predikat tersebut. Dengan mengacu standar yang selama ini digariskan negara. Salah satunya, adalah mengacu Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak.

Fakta Hari Ini
Sebelum penulis mendiskusikan KLA dengan indikator yang diatur dalam regulasi di atas, marilah kita simak sejenak fakta-fakta hari ini, yang di luar ekspektasi kita, bersifat anomali dengan predikat Kabupaten Layak Anak.
Sepekan terakhir, kita dikejutkan dengan berita tewasnya siswi kelas 5 SDN Pengkol, Kecamatan Tambakrejo. Tragisnya, Zahra, demikian gadis malang itu biasa dipanggil, meninggal setelah sebelumnya diperkosa dua kali.
Ironinya lagi, pelakunya adalah saudara sepupu sendiri, yang rumahnya hanya berjarak puluhan meter dari rumah korban. Namanya, Ahmad Rifai, 19. Beruntung, polisi sudah menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka. (Radar Bojonegoro, 20/7/2016)  
Peristiwa pemerkosaan sekaligus pembunuhan yang menimpa Zahra semakin menambah panjang daftar anak-anak Kota Ledre yang menjadi korban kekerasan. Baik berupa tindak pidana penculikan, pemerkosaan, pencabulan, maupun pembunuhan.
Tercatat, selama tujuh bulan terakhir, tepatnya hingga memasuki pekan keempat Juli ini (Januari-Juli 2016), terdapat 11 kasus kekerasan terhadap anak. Sebelas kasus ini dengan 17 korban anak-anak! Usianya beragam, mulai usia SD hingga SMA. Dari 17 korban, 7 korban di antara berusia sekolah dasar! (Radar Bojonegoro, 22/7/2016)
Bukan hanya menjadi korban. Selama Januari hingga Juni 2016, Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bojonegoro mendata, 20 anak terlibat tindak pidana kejahatan atau pelaku. Dari jumlah itu, 12 anak menjalani proses persidangan.
Rinciannya, 5 anak di Januari, masing-masing 2 anak di Februari, Maret, dan Mei, serta seorang anak di Juni. Sementara delapan anak lainnya mendapat diversi. Yakni, seorang anak di Januari, Maret, dan April. Kemudian, 2 anak di Juni dan 3 anak saat Februari lalu (Radar Bojonegoro, 23/7/2016).
Ada kecenderungan (sekaligus kekhawatiran), kasus kekerasan terhadap anak meningkat.
Merujuk data Pusat Pelayanan Perempuan dan Anak (P3A) Bojonegoro, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di bawah umur selama 2015 lalu tercatat 49 perkara. Dari jumlah itu, 27 kasus di antaranya atau 55 persen dengan korban anak-anak.
Sedangkan pada 2014 lalu ada 47 kasus. Dari jumlah itu, 28 di antaranya dengan korban anak-anak. Jenis kasus pemerkosaan dan pencabulan juga masih mendominasi dengan 19 kasus. Ingat, selama 2014 ada 19 kasus, 2015 dengan 27 kasus, dan 2016 (sampai Juli) 11 kasus dengan 17 korban!

Darurat Kekerasan pada Anak
Melihat grafik kekerasan terhadap anak selama tiga tahun terakhir dan kecenderungan selama Januari-Juli 2016, rasanya tidak salah Bojonegoro berada dalam status: darurat kekerasan pada anak. Lantas, di mana posisi negara, dalam hal ini pemerintah kabupaten, untuk melakukan pencegahan kasus serupa terulang?
Merujuk Permen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak, ada dua indikator penting KLA, sebagaimana diatur dalam pasal 5. Yakni, penguatan kelembagaan; dan klaster hak anak.
Ada dua variabel penting untuk mengetahui apakah negara telah melakukan penguatan kelembagaan, kaitannya dengan KLA. Kedua poin penting (dari total tujuh poin) tersebut adalah adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk pemenuhan hak anak. Dan persentase anggaran untuk pemenuhan hak anak, termasuk anggaran untuk penguatan kelembagaan.
Sejauh yang penulis ketahui, belum pernah ada regulasi, baik peraturan daerah (perda) atau peraturan bupati (perbup) yang diterbitkan pemerintahan daerah untuk memenuhi hak-hak anak atau berperspektif anak-anak. Alih-alih, alokasi anggaran untuk pemenuhan hak anak, belum terdeteksi hingga sejauh ini.
Indikator penting lain untuk mengukur KLA adalah tersedianya klaster hak anak, meliputi hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan perlindungan khusus.
Masih tingginya kasus kekerasan terhadap anak selama tujuh bulan terakhir menunjukkan negara telah gagal (atau belum?) memberi perlindungan khusus pada anak. Perlindungan dimaksud tidak harus memproteksi anak dari dari kebebasan aktivitasnya.
Memberikan jaminan kenyamanan dan keamanan anak dari ancaman ataupun bahaya dari pihak luar, jauh lebih penting. Ini bisa dilakukan melalui kerja sama strategis dengan para pihak, termasuk masyarakat dan pihak berwenang, untuk melakukan proteksi dini, bukan reaksioner seperti yang selama ini terjadi.
Beberapa poin yang penulis paparkan di atas hanya sebagian dari banyak variabel penting yang termaktub dalam dua indikator untuk menjadikan sebuah daerah menyandang status Kabupaten Layak Anak. Banyak variabel lain yang harus dilakukan. Jadi tidak sesederhana seperti ‘hanya’ memberikan reward. (*)

Ujung Blok Lingkar, 22 Juli 2016

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 24 Juli 2016, Halaman 26.

Catatan Reboan (4)



 Fenomena Budaya Baru “Pokemon”



Sekali waktu, cobalah luangkan waktu sejenak ke pusat-pusat kerumunan publik. Di alun-alun, misalnya. Niscaya, Anda akan mendapati banyak orang, dengan menenteng ponsel berjalan ke sana ke mari. Bukan sedang mengabadikan peristiwa atau gambar. Namun, apa coba? Berburu monster lucu nan menggemaskan, Pokemon.
Pada awal-awal game buatan Niantic asal Jepang yang di-launching pada awal Juli 2016 lalu itu, penulis sebenarnya belum tergerak untuk menulis kolom soal demam Pokemon Go. Tapi, lama kelamaan ternyata game lawas yang dikemas dengan model dan teknologi terbaru ini mampu menggerakkan dunia global.
Bukan disebabkan latah kalau kemudian penulis tertarik menulis tentang sisi lain Pokemon Go, tetapi karena sudah menjadi fenomena budaya baru. Fenomena yang menggerakkan sisi-sisi lain yang lebih luas, yang lebih mengglobal.
Indikasinya mudah. Game mobile yang berbasis augmented-reality tersebut menembus batas atau sekat-sekat suku, agama, ras, negara, kultur, ekonomi, sosial, hukum, hingga politik. Bahkan kalkulasi secara ekonomi, pendapatan yang didapat Niantic selaku studio pengembang Pokemon Go melesat cepat.   
Dikutip dari Kompas.com (Selasa, 19 Juli 2016), total pendapatan Niantic dari Pokemon Go lebih kurang 22.000 dollar AS atau Rp 287 juta dalam dua menit. Atau sekitar Rp 143 juta dalam satu menit. Ingat, hanya satu menit. Selanjutnya, hanya dalam empat menit, jumlah itu sudah berlipat ganda menjadi 40.000 dollar AS atau sekitar Rp 523 juta.
Tak cuma jumlah pendapatan. Anda juga bisa melihat total pengunduh Pokemon Go secara real time di masing-masing negara baik melalui iOS maupun Android. Dalam waktu tujuh menit, ada lebih dari 33.000 pengunduh baru Pokemon Go di seluruh dunia. Komposisinya lebih didominasi pengguna iOS ketimbang Android.
Di sisi paling bawah situs, Anda bisa pula mengintip jumlah waktu yang dihabiskan netizen di Pokemon Go per harinya. Hingga kini rata-rata netizen menghabiskan di atas 30 menit tiap hari untuk berburu Pokemon dan bertarung di Gym. Hebatnya lagi, waktu yang dihabiskan pengguna di Pokemon Go itu jauh mengalahi Facebook, Snapchat, Twitter, dan Instagram, domain media sosial yang jauh lebih lama digunakan umat manusia modern.

Sisi Plus dan Minus
Sebagai fenomena budaya baru, semua sepakat bahwa Pokemon Go akan memiliki dampak. Ibarat pisau bermata dua, dampaknya negatif dan positif. Mungkin porsi dampaknya sama. Salah satu dampak positifnya, selain terhibur, diklaim lebih sehat (karena gamer berjalan aktif, tidak berdiam diri di kamar), Pokemon Go ternyata membantu tugas polisi.
Pekan lalu, pemain di Wyoming, salah satu kota di Amerika Serikat, menemukan mayat saat mengeksplor lokasi persembunyian monster Pokemon. Kejadian serupa dialami oleh seorang pemain di New Hampshire pada awal pekan ini, sebagaimana dilaporkan Ubergizmo dan dihimpun KompasTekno (Kompas.com, Senin 18 Juli 2016).
Pemain di New Hampshire menemukan mayat mengambang di aliran sungai saat bertualang di Rotary Park. Taman untuk publik itu populer sebagai lokasi yang banyak membenamkan Pokestop. Pokestop sendiri adalah lokasi mengumpulkan item-item yang bermanfaat, semisal Pokeball, incence, atau candy. Pokemon juga kerap berkeliaran di sekitar Pokestop.
Singkat cerita, setelah pemain Pokemon Go menemukan mayat mengambang, dia segera melapor ke kepolisian setempat. Mayat tersebut lalu diamankan dan bakal diinvestigasi lebih lanjut.
Dampak negatifnya, semua tahu, pengembang menyebar Pokestop di berbagai tempat. Kalau di tempat yang mudah diakses publik, mungkin tidak menjadi masalah. Baru jadi problem kalau Pokestop-nya menyebar di lokasi privasi, objek vital negara, hingga tempat-tempat ibadah.
Sampai-sampai, Panglima TNI dan Kapolri pun ikut gusar dengan demam Pokemon yang melanda semua lapisan ini. Sampai-sampai Mabes TNI dan Mabes Polri melarang anggotanya main Pokemon saat bertugas. Kepala rumah tangga kepresidenan juga berang karena banyak gamers menyerbu ke istana, salah satu objek vital negara, hanya demi berburu monster Pokemon.
Begitu pula perusahaan atau pelaku usaha. Mereka sampai-sampai memasang pengumuman yang berisi larangan keras bagi seluruh karyawannya untuk bermain Pokemon, saat bekerja. Khawatir tidak produktif, mengganggu kinerja. Jika kedapatan bermain Pokemon saat bekerja, gajinya akan dipotong!.

Kreatif Menyikapi
Sebagai bagian dari fenomena budaya baru, kehadiran Pokemon Go tidak bisa dihindari. Tak bisa ditolak. Karena ini fenomena global. Hanya, perlu penyikapan yang arif, bijak, dan tak perlu sporadis. Karena, kehadiran Pokemon Go merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fenomena Generasi Z. Zaman dan generasi kita sekarang hidup.     
Dalam pembagian generasi dunia modern, ada lima generasi. Yakni, pertama, Generasi Silent, manusia atau generasi yang lahir pada tahun 1925-1946 (berusia 70-91 tahun). Kedua, Generasi Baby Boom yang lahir pada 1947-1964 (usia 52-69 tahun).
Ketiga, Generasi X, generasi yang lahir pada 1965-1979 (berusia 37-51 tahun). Keempat, Generasi Milenial/Y, yang lahir pada 1980-1999 (usia 17-36 tahun), dan kelima, Generasi Z (2000- sekarang) yang berusia 16 tahun ke bawah. (The 2015 Deloitte Millenial Survey, Connecting The Millenials a Visa Study, 2012)
Justru, menurut penulis, kehadiran Pokemon Go jangan disikapi dengan melakukan proteksi-proteksi yang berlebihan. Sewajarnya saja kita memberi pengertian kepada anggota keluarga kita. Ingatkan saja plus dan minusnya. Toh, mereka sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Malah, kalau bisa disikapi dengan kreatif dan produktif.
Seperti yang penulis jumpai akhir-akhir ini. Belakangan setelah game Pokemon booming, banyak dijumpai meme-meme,display photo, atau desain grafis yang lucu-lucu. Menariknya, display photo-nya bukan hanya lucu nan menghibur. Namun, juga mengandung unsur-unsur brand image produk, kampanye, atau pesan positif lain yang kemasannya mengacu font, perwarnaan, atau desain khas ikonik Pokemon.
Brand image atau pesan kampanye positif tersebut disebarkan melalui broadcast (pesan siaran atau berantai) BlackBerry ataupun WhatsApp. Beberapa kiriman yang menurut penulis positif adalah, Pokoke’ Moco (yang penting membaca), pesan untuk memperbanyak membaca berbagai jenis atau disiplin ilmu dalam bentuk media buku.
Kemudian, Pokoke’ Mondok, pesan/kampanye untuk masuk pondok pesantren, model pendidikan yang mewajibkan siswa/santri berdomisili dalam suatu tempat. Sistem pendidikan ini kebanyakan diterapkan di lembaga pendidikan yang berafiliasi ke NU.  Dan masih banyak lagi pesan kampanye bernada positif lainnya. Jadi, ambil sisi positifnya saja fenomena budaya baru ini. Salam Reboan. (*)    
  
Ujung Sersan Mulyono 35, 20 Juli 2016

*) Direktur IDFoS Indonesia. Ditayangkan di website IDFoS Indonesia (www.idfos.or.id)