Sunday, July 17, 2011

Bias Makna Kata Politik

DALAM sebulan terakhir wacana kepolitikan di Bojonegoro sedang diramaikan dengan sibuknya para partai politik (parpol) melakukan verifikasi agar bisa turut serta dalam Pemilihan Umum (Pemilu 2014). Hal ini bisa dimaklumi, karena secara nasional proses verifikasi parpol calon peserta Pemilu akan berakhir pada akhir Agustus 2011. Sedangkan verifikasi di tingkat kabupaten/kota, akan berakhir Juli nanti.
Sibuknya para parpol menjelang pemilu seolah memunculkan kesan, bahwa parpol hanya mempunyai ‘kegiatan’ yang menonjol menjelang pemilu. Sebelumnya, nyaris tak pernah ada aktivitas yang menonjol, atau sekurang-kurangnya terlihat di depan publik, aktivitas-aktivitas yang mengarah pada artikulasi nilai-nilai politik kepada publik. Karena itu, tidak heran apabila publik pada umumnya mempunyai anggapan bahwa aktivitas parpol hanya berkutat pada menjelang pemilu, dan selama pemilu. Namun, semoga anggapan ini salah.
Kesibukan menjelang pemilu, termasuk di dalamnya pemilukada, dapat diartikan proses-proses verifikasi persyaratan menjadi peserta pemilu. Atau, menggalang dukungan untuk mengikuti proses pencalonan dalam pemilukada. Selama pemilu, dapat diartikan aktivitas dari parpol lebih banyak tersedot pada pencalonan calon anggota legislatif, kampanye, hingga hari H coblosan. Kurang lebihnya, hanya berkutat itu. Tetapi, sekali lagi, semoga saja anggapan penulis ini salah.
***
Sekali waktu, cobalah anda berbincang-bincang dengan masyarakat desa. Tanya pendapat mereka tentang makna dari kata politik, yang naga-naganya mengalami pembiasan diksi menjadi polithik (dengan tambahan huruf ”h”). Penulis mendapati kesimpulkan, hampir sebagian besar makna yang mereka interpretasikan terhadap kata politik (yang sebagian besar mengalami pembiasan diksi menjadi polithik) adalah sesuatu yang culas, naif, licin, serta penuh dengan rekadaya dan kecurangan.
Saya tidak habis pikir, apa yang menjadi penyebabnya sehingga mengapa mereka punya konstruksi makna politik menjadi polithik yang lebih berorientasi dan berkonotasi sebagai sesuatu yang negatif, dan tidak benar. Perhatikan kalimat berikut: ”Wong polithik kok, bisa saja dia menghindar dari masalah.” Kalimat ini, bagi masyarakat desa (mungkin juga masyarakat kota?) ditafsirkan sebagai orang yang lihai, licin, dan penuh dengan cara-cara yang bisa jadi kurang benar.
Saya pun semakin penasaran dengan konstruksi diksi dan makna yang disampaikan oleh masyarakat di pedesaan ini. Selidik punya selidik, ternyata distorsi atau bias diksi serta makna politik menjadi polithik ini lahir atas pengalaman mereka selama bersinggungan dengan pesta demokrasi atau pesta politik. Selidik punya selidik pula, ternyata mereka selama ini sering menjadi korban ‘permainan’ politik sejumlah tetangga, teman, maupun elit di desanya. Mereka pun berkesimpulan, orang yang lihai melakukan permainan di dalam ranah politik praktis pantas disebut polithik-nya matang dan canggih.
Maknanya apa? Bahwa, politik dalam khazanah keilmuan politik, yang semula bertujuan mulya sebagai seni untuk menata negara demi terwujudnya kesejahteraan rakyat (welfare society) mengalami pembiasan makna yang luar biasa hebat: menjadi seni untuk menipu atau mempecundangi rakyat dan konstituen.
***
Saya teringat dengan apa yang disampaikan Hotman M. Siahaan, guru besar ilmu politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, saat jadi narasumber dalam sosialisasi pemilu dan pemilukada yang diadakan KPUK Bojonegoro, belum lama ini. Ketika itu, Hotman mengungkapkan bahwa saat ini demokrasi di Indonesia mengalami anomali (kekacauan) yang luar biasa. Hotman menyebut anomali demokrasi di Indonesia itu relevan dengan ramalan (?) pujangga besar Jawa, Ronggowarsito, yang menyebutkan adanya zaman edan pada suatu masa yang disebutnya sebagai Kalabendu.
Menurut Hotman, Indonesia, termasuk juga Bojonegoro, saat ini mengalami fase empat kritis. Keempat krisis itu adalah krisis keteladanan demokrasi, yang ini ditandai dengan minimnya kreativitas (creaty minority). Kedua, krisis tanggung jawab; ketiga, krisis pendirian yang berujung pada pembajakan demokrasi oleh oligarki dan partai dinasti, dan keempat, krisis kepercayaan.
Rasanya, fakta realitas yang diungkapkan masyarakat, sebagaimana ilustrasi di atas, klop dengan kajian keilmuan politik, sebagaimana dipaparkan oleh Hotman. Ada titik sinkron yang sama antara fakta empiris-rasional (ilmiah) dengan fakta realitas sosial. Oleh karena itulah, momentum parpol melakukan verifikasi sebagai persyaratan untuk mengikuti pemilu dan menyiapkan Pemilukada dijadikan sebagai titik tolak untuk mengembalikan politik kepada khittah-nya, sebagai seni/cara untuk menyejahterakan masyarakat, baik melalui kebijakan yang pro rakyat, maupun lewat pendidikan politik yang mencerdaskan dan mendidik. Supaya politik kembali menemukan track-nya yang benar, bukan penuh dengan bias makna. (*)

Ujung Blok Lingkar, 15 Juli 2011

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Edisi 17 Juli 2011, Halaman 30.