Sunday, December 22, 2013

Desentralisasi Korupsi

Rancangan Undang-Undang tentang Desa sudah diketok DPR RI untuk disahkan menjadi UU Desa pekan lalu. Salah satu konsekuensi dari pemberlakuan UU Desa ini sangat dahsyat. Desa-desa di Indonesia kelak menerima anggaran alokasi dana desa (ADD) yang jumlahnya bisa dibilang fantastis: 10 persen dari APBN. Katakanlah pendapatan APBN Rp 100 triliun, maka kalkulasinya, setiap desa nanti akan menerima dana desa untuk pembangunan mencapai Rp 1 miliar. 
Besarnya kucuran ADD ini tentu saja menggembirakan, sekaligus mengkhawatirkan. Menggembirakan karena desa tahun depan memiliki anggaran besar untuk membangun wilayahnya. Mengkhawatirkan, karena alokasi dana besar ini juga berpotensi terjadinya penyelewengan anggaran, korupsi, jika tidak diawasi secara ketat.

Kewaspadaan Ekstra 
Penulis termasuk orang yang senang sekaligus cemas dengan ADD jumbo untuk desa ini. Dengan modal besar ini, bukan tidak mungkin problem pembangunan di desa, baik fisik maupun nonfisik, akan terkurangi bahkan bisa tuntas. 
Masalahnya adalah besarnya anggaran juga berpotensi terjadinya pelanggaran, jika tidak didahului dengan perencanaan pembangunan dan pengawasan yang ketat. Jika ini terjadi (semoga saja tidak), korupsi akan mengalami desentralisasi. Korupsi tidak lagi menjadi ancaman bagi pejabat level kabupaten, provinsi, hingga pusat, melainkan juga merambah di level desa.
Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) digelar secara langsung pada 2005 hingga pertengahan 2013, sebanyak 280 orang dari 863 pasangan kepala daerah terjerat kasus hukum. Status hukum mereka beragam, mulai tersangka, terdakwa, hingga terpidana. Termasuk dalam hal ini tentu saja adalah mantan bupati Bojonegoro Santoso.   
Data Kemendagri juga menyebut, izin tertulis pemeriksaan terhadap anggota DPRD provinsi pada kurun waktu 2004-2012 menunjukkan, partai menengah juga tak luput dari jeratan kasus korupsi. Tercatat, politisi PPP 40 orang (9,28 persen), PAN 23 orang (5,34 persen), PKB 16 (3,71 persen), dan PKS 10 (2,32 persen).
Sementara, data Kemendagri untuk izin tertulis untuk DPRD kabupaten/kota, politisi asal PPP 39 orang (7,08 persen), PKB 30 (5,59 persen), PAN 28 (5,22 persen), Hanura 28 (5,22 persen), PKS 27 (5,03 persen), dan Gerindra 19 (3,54 persen). 
Bukan tidak mungkin kelak Kemendagri akan merilis aparatur desa yang terjerat kasus hukum, meski saat ini juga ada Kades yang terjerat hukum. Untuk itu, besarnya ADD ini harus diikuti dengan berbagai langkah mendesak.   

Penguatan Aparatur 
Pada dasarnya, rumus korupsi, menurut Klitgard, adalah C=D+M-A. Artinya, korupsi (C) terjadi akibat ada diskresi (D=kehendak) dan monopoli (M) yang tidak terkontrol, serta kurangnya akuntabilitas (-A=pertanggungjawaban). Maksudnya, kewenangan besar mengelola anggaran yang tidak terkontrol atau dipertanggungjawabkan secara hukum dan sosial amat sangat rentan menyebabkan korupsi.
Dalam hal pengelolaan ADD, kepala desa dan perangkatnya beserta BPD (badan perwakilan desa) mempunyai kewenangan yang besar untuk menyusun anggaran pembangunan yang dituangkan dalam APBDes. 
Namun, dalam merencanakan anggaran pembangunan, mereka tidak boleh seenaknya sendiri, melainkan harus berbasis kebutuhan desa dan tercantum dalam dokumen RPJMDes. Dalam posisi inilah, pemerintah daerah harus melakukan penguatan kapasitas aparatur desa, eksekutif maupun legislatif (mekanisme check and balance) desa, serta LPMD dalam perencanaan pembangunan desa. Dan, penguatan kapasitas kelembagaan desa secara berkelanjutan.
Jalannya pembangunan desa juga harus diawasi secara ketat oleh Inspektorat Kabupaten, selaku institusi pengawas kinerja aparatur daerah. Penulis yakin, jika perencanaan dapat dilakukan dengan mekanisme yang partisipatif, transparan, dan akuntabel, serta realisasi pembangunan diawasi secara objektif, tidak ada desentralisasi korupsi. (*)     

Ujung Blok Lingkar, 22 Desember 2013
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 23 Desember 2013, Halaman 28