Tuesday, May 31, 2011

GENCARNYA PEMBERITAAN VIDEO ASUSILA DI MEDIA MASSA (DALAM KAJIAN FILSAFAT KOMUNIKASI)

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam beberapa pekan terakhir ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan terkuaknya sekaligus beredarnya tayangan video asusila yang pelakunya mirip dengan artis papan atas Indonesia, yaitu mantan vokalis group band papan atas Ariel Peterpan, dengan dua presenter kondang tanah air, yaitu Luna Maya, dan Cut Tari. Dengan cepat, ”bocornya” tayangan video asusila ini menyebar ke segenap penjuru. Di mana-mana orang, tua maupun muda, lelaki dan perempuan, banyak mengunduh tayangan tersebut di media internet. Tayangan tersebut lantas dikoleksi oleh sebagian besar masyarakat baik di telepon genggam (HP) maupun dikemas dalam kepingan VCD maupun DVD.
Beredar luasnya tayangan video asusila itu juga langsung memantik respons sebagian masyarakat untuk memburu, menggandakan, sekaligus memperjualbelikan VCD/DVD yang berisi gambar-gambar adegan dan cuplikan video asusila tersebut secara bebas di pasaran. Ironisnya, DVD dan VCD yang memuat tayangan video asusila itu laku keras di pasaran. (Kompas, 15 Juni 2010). Bahkan, bukan hanya di dalam negeri, di luar negeri pun efek peredaran video asusila juga sangat terasa. Sebuah koran cukup ternama di Afrika Selatan, yang ketika itu sedang disibukkan menjadi host (tuan rumah) World Cup (Piala Dunia) 2010, ikut-ikutan menurunkan berita tentang beredarnya tayangan video dengan pelaku mirip artis papan atas Indonesia tersebut. Bahkan, efek dari beredarnya tayangan video asusila dengan pelaku mirip artis papan atas tersebut bersaing dengan berita skandal perselingkuhan yang melibatkan pejabat teras di Afrika Selatan. (Jawa Pos, 16 Juni 2010)
Beredarnya tayangan video tersebut juga disambut dengan gegap gempita oleh media massa di Indonesia, khususnya media massa televisi lewat tayangan-tayangan infotainment, dan media cetak hiburan. Hampir setiap waktu, mulai pagi, siang, sore, hingga malam hari, selama tiga pekan terakhir (Juni 2010) ini, infotainment media televisi berlomba-lomba memberitakan beredar luasnya tayangan video asusila itu. Seolah-olah, sudah tidak ada lagi batas-batas antara ruang private dengan ruang publik. Tayangan video asusila yang seharusnya hanya menjadi konsumsi kalangan terbatas tersebut berubah menjadi konsumsi publik, yang tidak hanya ditonton oleh masyarakat dewasa, tetapi juga oleh anak-anak yang dalam konteks tertentu dianggap belum waktunya untuk menerima informasi secara vulgar tersebut. Akan tetapi, yang terjadi pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak begitu diabaikan. Bagi awak media massa televisi, berita tersebut layak untuk ditampilkan karena dari sisi bobot berita, perkembangan kasus video asusila tersebut sangat ditunggu-tunggu kehadirannya oleh masyarakat. Media televisi berasumsi, semakin tinggi tingkat kepenasaranan publik terhadap sebuah tayangan, semakin tinggi pula ratingnya. Semakin tinggi rating yang didapat, semakin banyak pemasukan iklan, yang berarti semakin menggunung pula pendapatan (uang) yang akan didapat.
Gencarnya pemberitaan tentang beredarnya tayangan video asusila tersebut juga mulai memunculkan dampak negatif. Efek dari beredarnya tayangan video asusila itu bahkan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan seksual dengan korban anak di bawah umur, sebagaimana yang terjadi di Bojonegoro, belum lama ini. Kepada polisi yang menangani perkaranya tersebut, tersangka mengaku melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak SD beberapa saat setelah melihat tayangan asusila dengan pelaku mirip artis papan atas tersebut di atas. (Radar Bojonegoro, 16 Juni 2010).
Terlepas kasus itu tidak dapat dijadikan sebagai generalisasi efek ataupun dampaknya secara langsung, yang jelas pada titik ini efek konatif atau behavioral komunikasi, meskipun sebagian besar efeknya cenderung ke arah yang negatif, telah berlangsung. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengapa media massa, khususnya media televisi melalui tayangan infotainment-nya, sedemikian gencar memberitakan beredarnya tayangan video asusila yang pelakunya mirip dengan artis papan atas tanah air? Apakah gencarnya pemberitaan itu sudah mempertimbangkan aspek-aspek yang menjadi landasan dalam filsafat komunikasi? Dan bagaimana sebaiknya media televisi bersikap dan bertindak kalau menghadapi berita yang serupa? Makalah ini akan mencoba mengkaji permasalahan di atas dari sudut pandang filsafat komunikasi.

BAB II
KAJIAN TEORI

Secara elementer, komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain atau oleh seorang komunikator kepada komunikan/komunikate. Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, yaitu isi pesan (the content of the message) dan lambang (symbol). Isi pesan adalah pikiran, tetapi ada kalanya juga perasaan, dan lambang umumnya adalah bahasa. Lambang bisa dipahami dengan verbal, nonverbal, vokal, dan nonvokal, serta visual (gambar).
Dalam hubungannya komunikasi dengan proses filsafat komunikasi, Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam bukunya yang berjudul Theories of Human Communication, membagi proses filsafat komunikasi menjadi empat tema. Yaitu, epistemology (pertanyaan mengenai pengetahuan), ontology (pertanyaan mengenai eksistensi), dan axiology (pertanyaan mengenai nilai-nilai). Menurut Littlejohn, proses berfikir, bertindak, dan berkomunikasi yang menggunakan landasan-landasan yang filosofis membawa kepada pemahaman, dan pemahaman tersebut akan membawa kepada tindakan yang lebih layak dan manusiawi. (Littlejohn: 2009)

a. Aspek Epistemologi
Adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Metode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sistematis dan logis.
Epistemologi juga bersangkutan dengan metode dan prosedur dalam menguji dugaan-dugaan sementara. Serta, mengkaji instrumen dan teknik dalam rangka melakukan verifikasi sebagai penilaian yang objektif.

b. Aspek Ontologi
Adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui keberadaannya. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut Littlejohn, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi, ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.
Menurut Onong, ontologi adalah cabang filsafat mengenai sifat wujud (nature of being) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial, ontologi terkait dengan sifat interaksi sosial. Tema ontologi mencakup cara mengkonseptualisasikan komunikasi bergantung pada bagaimana pandangannya terhadap komunikator. (Onong: 2003)

c. Aspek Aksiologi
Adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, logika atau agama. Littlejohn menyebutkan bahwa aksiologi merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai). Mengenai nilai-nilai ini, dalam tema aksiologi ada tiga persoalan. Pertama, apakah pengetahuan itu bebas nilai. Kedua, sejauh mana pengaruh praktik penyelidikan terhadap objek yang dipelajari, dan yang ketiga, sejauh mana pengetahuan berupaya mencapai perubahan sosial.
Dari tiga persoalan di atas, pada tema aksiologi terdapat dua posisi umum. Yaitu, pertama, ilmu yang sadar nilai (value conscious) mengakui pentingnya nilai bagi penelitian dan teori dan secara bersama berupaya mengarahkan nilai-nilai itu kepada tujuan positif. Kedua, ilmu yang bernilai netral (value-neutral) percaya bahwa ilmu menjauhkan diri dari nilai-nilai, atau dengan kata lain ilmu itu bebas nilai.

Di luar tiga aspek di atas paham filosofis yang banyak menginspirasi perkembangan pemikiran hingga saat ini, khususnya dalam ilmu komunikasi adalah ethos, pathos, dan logos. Paham ini dengan tokoh sentral Plato dan Aristoteles. Ethos, terkait dengan rambu-rambu normatif, sumber kepercayaan atau kompeten; pathos, terkait dengan unsur afeksi, emosi/rasa dalam diri manusia, atau kemampuan dalam membangkitkan semangat/rasa; logos, terkait pertimbangan-pertimbangan nalar dan rasional dalam pengambilan keputusan. Komponen penting lain dari filsafat adalah etika, logika, dan estetika. Komponen-komponen ini akan bersinergi satu sama lainnya dengan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sehingga melahirkan poros berfikir filsafat. Artinya, sebuah tindakan dapat dianggap mencerminkan poros berfikir filsafat selama mencerminkan aspek-aspek dan komponen di atas.

BAB III
PEMBAHASAN

Sebagaimana disinggung dalam Bab II, suatu proses komunikasi dapat dianggap telah berlandaskan filosofis kalau mengacu pada landasan-landasan atau aspek filosofis. Aspek filosofis sendiri ada tiga, yaitu epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Masih ada hubungannya dengan kerangka berfikir dan berkomunikasi secara filsafati adalah ethos, pathos, dan logos, serta logika, etika, dan estetika. Baiklah mari kita kaji satu per satu, apakah gencarnya pemberitaan tayangan video asusila tersebut sudah cukup mempertimbangkan aspek-aspek filsafat komunikasi atau belum.

a. Aspek Epistemologi
Adalah menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan yang bersangkutan dengan kriteria penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi adalah cara bagaimana pengetahuan disusun. Epistemologi juga bersangkutan dengan metode dalam menguji dugaan-dugaan sementara. Serta, mengkaji instrumen dan teknik dalam rangka memverifikasi sebagai penilaian yang objektif. Dalam pemberitaan kunci utamanya adalah fakta, kejadian nyata. Namun, dalam ranah jurnalistik juga dikenal dengan istilah news value (nilai-nilai berita). Selain faktual, news value yang lainnya adalah aktual, menarik, penting, serta menarik. (Romli: 2002)
Dalam hubungannya dengan pemberitaan video asusila oleh media massa (sebagai komunikator), bila dilihat dari sisi unsur menarik, berangkali ada. Namun, apakah berita itu fakta, ini yang masih menjadi perdebatan, karena masih membutuhkan verifikasi untuk bisa mendapatkan penilaian yang objektif. Dan faktanya, kajian instrumen dan teknik dalam memverifikasi data belum ada, tetapi pemberitaannya sudah gencar, sehingga ada kesan pelaku memang sebagaimana yang dituduhkan (meski pembuktian harus melalui lembaga penegak hukum).

b. Aspek Ontologi
Adalah berkaitan dengan sifat (wujud) atau keberadaannya dalam interaksi sosial. Dalam hubungannya dengan pemberitaan video asusila di atas adalah bagaimana keberadaan media massa, dalam hal ini televisi di ruang publik. Keberadaan berita di ranah publik dalam interaksi sosial adalah untuk menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan untuk mempengaruhi (to influence).
Mengacu pada contoh kasus di atas, dari sisi mendidik, khususnya apabila kita menggunakan pendekatan efek prososial sebagaimana digagas oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi, maka gencarnya tayangan video asusila tidak dapat dikatakan sebagai to educate. Faktanya, implikasi dari berita tersebut gencar di ranah publik membuat sebagian masyarakat terobsesi untuk bertindak kekerasan seksual, sebagaimana yang diungkapkan dalam Bab I di atas. Dilihat dari sisi menginformasikan, benar ada, tetapi implikasinya tidak prososial. Begitu pula dari aspek menghibur, serta mempengaruhi, keberadaannya justru tak mencerminkan ketertiban sosial. Jadi, dalam kajian atau ranah ontologi gencarnya pemberitaan tentang tayangan video asusila tidak terpenuhi.

c. Aspek Aksiologi
Adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai dari pengetahuan tersebut. Selain nilai, aspek lain yang masuk dalam kajian aksiologi adalah logika, etika, estetika, atau agama. Dari kajian ini, dilihat dari aspek logika, sebagaimana dikutip oleh Onong Uchyana Effendy dari tulisan A. Ridwan Halim yang dimuat di majalah Optimis Nomor 42, pemberitaan bertujuan untuk mencari kebenaran, nilainya antara benar dan salah. Tetapi faktanya, gencarnya pemberitaan sudah seperti justifikasi bahwa pelakunya adalah artis yang dimaksud, meski kebenarannya belum terbukti. Hal ini ditandai dengan penyebutan nama artis dimaksud, tanpa mempertimbangkan asas hukum seperti praduga tak bersalah.
Dari aspek etika, tujuannya adalah untuk mencari kecocokan, dengan ukuran nilai baik atau buruk. Faktanya, dari etika, gencarnya pemberitaan tak terpenuhi, karena kurang mempertimbangkan efek dan dampak yang ditimbulkan bagi komunikan/ komunikate, khususnya anak-anak yang belum waktunya mengkonsumsi berita dengan model seperti itu. Kejadian kekerasan seksual dengan korban anak-anak di Bojonegoro sebagaimana disinggung di Bab I adalah salah satu buktinya.
Sedangkan dari sisi estetika, tujuannya adalah mencari keindahan, dengan nilai-nilai indah dan jelek. Faktanya, gencarnya pemberitaan mengenai video asusila, terkesan vulgar, terlalu menyudutkan, dan tidak mengindahkan atau menggunakan kaidah bahasa yang baik dan benar. Apalagi kalau dilihat dari sisi agama, jelas hal itu bertentangan karena sudah menaruh prasangka buruk kepada orang lain yang prasangkanya tidak disertai dengan bukti-bukti formal, semisal saksi atau pengakuan langsung dari pelakunya. Sehingga, gencarnya penayangan video asusila dengan pelaku mirip artis papan atas, dikaji dalam ranah aksiologi dengan mengacu aspek, logika, etika, estetika, sekaligus agama juga tidak dapat dibenarkan.

d. Aspek Ethos, Pathos, dan Logos
Dilihat dari aspek yang lain, seperti ethos, pathos, dan logos, gencarnya berita soal video asusila, juga belum berkelindan. Dari sisi ethos, media massa televisi sudah mengabaikan rambu-rambu normatif yang berkembang di masyarakat, baik dari sisi hukum legal formal negara maupun norma atau aturan-aturan sosial. Selain itu, pada ranah sumber kepercayaan atau kompetensi yang juga menjadi sentral kajian aspek ethos, tidak terpenuhi juga karena dalam penayangannya media televisi, khususnya yang dikemas dalam program infotainment, tidak mencerminkan prinsip-prinsip cover both side (keberimbangan dalam penayangan berita yang ditandai dengan tercovernya dua pihak yang terkait dengan berita).
Dari sisi pathos, yakni yang berkaitan dengan unsur afeksi, kemampuan membangkitkan semangat/rasa, efek pemberitaan tersebut cenderung lebih banyak mengarah kepada hal-hal yang berbau negatif. Komunikan/komunikate seolah digiring untuk mempunyai rasa kepenasaranan, kecewa, sedih, saat menangkap atau mencerna pemberitaan tersebut. Sedangkan dari aspek logos, yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan nalar maupun rasional di dalam pengambilan keputusan untuk penayangan berita tentang video syur, juga tidak rasional. Sebab, penayangan juga dilakukan pada jam-jam atau waktu (jam favorit) di saat anak-anak masih terjaga.
Komunikator, dalam hal ini media televisi, kurang mempunyai pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang rasional, khususnya yang berkaitan dengan dampak yang mungkin terjadi apabila berita tersebut ditayangkan secara terus menerus. Dengan demikian, aspek logos juga teramat penting untuk menjadi bahan pertimbangan komunikator agar proses komunikasinya dianggap mampu memberikan manfaat, sebagaimana yang digambarkan oleh Jalaluddin Rakhmat sebagai efek prososial dari media massa.

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan kajian sebagaimana dipaparkan di atas, gencarnya pemberitaan video asusila di media massa, apabila dikaji dalam wilayah filsafat komunikasi, yang terdiri dari aspek epistemologi, ontologi, dan aksiologi, serta komponen lain seperti logika, etika, estetika, serta ethos, pathos, dan logos, tidak memenuhi unsur-unsur atau aspek-aspek yang menjadi domain filsafat. Yang terjadi justru media massa lebih mempertimbangkan cara berfikir yang pragmatis, dengan indikasi mengejar rating, menambah iklan dan pemasukan, dari gencarnya pemberitaan tentang beredarnya tayangan video asusila. Media massa dalam mengambil keputusan soal pemberitaan beredarnya video asisula tersebut tidak berlandaskan cara berfikir dan bertindak filosofis.
Oleh karena itu, ada beberapa masukan agar bagaimana baiknya media massa menyikapi kasus-kasus semacam itu. Pertama, hendaknya media massa, secara khusus televisi, selektif dalam memilih jam tayang program acara yang hendak ditayangkan, karena bila tidak anak-anak akan terkena dampak dari program tersebut. Kedua, hendaknya media televisi tidak hanya mengejar rating dan iklan dalam pembuatan programnya, namun juga mempertimbangkan dampak negatif yang akan ditimbulkan dari gencarnya pemberitaan tersebut terhadap masyarakat secara lebih luas. Ketiga, dalam penayangan berita tentang kasus-kasus serupa, hendaknya media massa televisi, khususnya program infotainment, mengacu pada standar-standar resmi jurnalistik, agar pemberitaan yang disampaikan tidak ada kesan bias, dan menjadi penghakiman terhadap objek dan subjek berita.
Bila hal-hal sebagaimana dijabarkan dalam Bab II dan Bab III tersebut dijalankan, maka keberadaan berita di ranah publik dalam proses interaksi sosial, yang ditayangkan oleh media massa televisi, akan menemukan tujuannya. Yaitu,
menginformasikan (to inform) yang benar, mendidik (to educate) dengan baik, menghibur (to entertain) yang tidak menyesatkan, dan untuk mempengaruhi (to influence) menuju perubahan yang lebih baik. Hal ini selaras dengan tujuan dari filsafat, termasuk filsafat komunikasi itu sendiri, yang mendorong seseorang untuk mencari kebenaran, baik hubungannya dengan sesama manusia, dengan Tuhan, dan dengan alam. (*)


DAFTAR PUSTAKA


Little John., Stephen W., dan Karen A. Foss, 2009, Theories of Human Communication, Edisi Sembilan, Salemba Humanika, Jakarta.
Muhtadi, Asep Saeful, 1999, Jurnalistik: Pendekatan Teoritis dan Praktis, Logos, Jakarta.
Rakhmat, Jalaluddin, 2005, Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.
Romli, Asep Syamsul M., 2003, Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan, Batic Press, Bandung
Tankard Jr, James W., dan Severin, J. Werner, 2005, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Prenada Media, Jakarta.
Uchjana, Effendy Onong, 2003, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sumber Lain :
Makalah Kuliah Filsafat Komunikasi, Oleh Prof. Dr. Asep S. Muhtadi, Tanggal 24-25 April dan 23-24 Mei 2010.
Surat Kabar Harian Jawa Pos, Edisi 16 Juni 2010.
Surat Kabar Harian Kompas, Edisi 15 Juni 2010.
Surat Kabar Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Edisi 11 Juni 2010.

*) Tugas Makalah Filsafat Komunikasi

1 comment:

  1. Diperbolehkan mengutip, asal menyebutkan sumbernya ya. Tengkiyu

    ReplyDelete