Indonesia dianugerahi Tuhan sumber daya alam
yang berlimpah. Dari sumber daya alam energi, selain dikenal memiliki cadangan
minyak dan gas bumi (Migas) yang dikelola secara modern, Indonesia juga
memiliki cadangan berlimpah sumber daya Migas yang selama ini dikelola dengan
tradisional. Atau yang biasa disebut dengan sumur minyak tua.
Dilansir dari Direktur
Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Indonesia memiliki tak kurang dari 13.824 sumur minyak tua yang bertebaran
di berbagai wilayah negeri ini. Dari jumlah itu, 745 di antaranya aktif,
sedangkan 13.079 tidak aktif.
Sumur-sumur minyak tua
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Antara lain, 3.623 di Sumatera bagian
selatan, 3.134 di Kalimantan Timur, 2.496 di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Madura, 2.392 di Sumatera bagian utara, dan 208 di Papua.
Khusus di Kabupaten Bojonegoro, terdapat 222 sumur minyak tua yang sudah diproduksi sejak zaman kolonial Belanda.
Namun, tidak semua ratusan sumur tua tersebut masih aktif. Dari data yang dihimpun dari Pemkab
Bojonegoro menyebutkan, hanya 48 di antara 222 sumur minyak tua tersebut yang
sampai sekarang masih aktif. Ke-48 sumur minyak tua itu berada di Desa Wonocolo, Desa Hargomulyo, dan Beji, semuanya masuk wilayah
Kecamatan Kedewan.
Keberadaan 48 sumur
minyak tua di Bojonegoro tersebut semakin melengkapi predikat Kota Ledre ini
sebagai kabupaten penghasil minyak. Di luar sumur minyak tua atau tradisional,
Bojonegoro juga memiliki sejumlah sumber minyak. Yakni, lapangan Banyuurip, di
kompleks Blok Cepu, Kecamatan Gayam dan Kalitidu yang dikelola Mobil Cepu Ltd
(MCL), lapangan Sukowati di Keamatan Kapas dan Kota Bojonegoro dengan operator
Joint Operating Body Pertamina-PetroChina East Java (JOB PPEJ), dan lapangan
Tiung Biru yang dikelola Pertamina.
Kembali ke soal sumur
minyak tua, jika semua cadangan sumur tradisional tersebut mampu dimaksimalkan dengan
baik, tentu harapan Bojonegoro mampu menyumbang 10-20 persen dari total
produksi minyak nasional pada 2015 yang mencapai 1 juta barel per hari bukan hal
yang mustahil.
Sebab, berdasar
keterangan yang diperoleh berbagai pihak yang selama ini menggeluti dunia
perminyakan dan aparatur pemerintah, jika 48 buah sumur tua tersebut
dioperasionalkan akan mampu berproduksi antara 35.000 hingga 50.000 liter per
hari. Sebuah produksi yang sangat signifikan di tengah krisis energi yang mulai
melanda dunia.
Akan tetapi, terlepas
ekspektasi besar Pemerintah Pusat terhadap Kabupaten Bojonegoro yang diharapkan
mampu berkontribusi maksimal atas pencapaian produksi minyak nasional, adalah
sesuatu yang naif jika masyarakat lokal hanya menjadi penonton dalam pengelolaan
minyak, khususnya sumur tua.
Definisi masyarakat
lokal yang dimaksud itu adalah yang terepresentasikan dalam Koperasi Unit Desa
(KUD) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Berdasar Peraturan Menteri ESDM
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada
Sumur Tua, khususnya Pasal 2 Ayat (3) disebutkan, Pengusahaan dan pemroduksian
Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan KUD atau BUMD berdasarkan Perjanjian Memproduksi
Minyak Bumi dengan Kontraktor.
Pelibatan KUD dan BUMD
dalam pengelolaan Minyak Bumi pada sumur tua seharusnya dilakukan dengan
prinsip-prinsip pembinaan dan alih teknologi, tidak sekadar menggugurkan
kewajiban. Sehingga, dalam jangka panjang nanti KUD dan BUMD memiliki kemampuan
yang memadai dalam mengelola sumber daya alam tersebut.
Hal ini menjadi
penting karena transfer knowledge
merupakan amanat dari Permen ESDM. Ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15
ayat (2), bahwa Kontraktor wajib melakukan pembinaan teknis dan pengawasan atas
aspek keselamatan, kesehatan kerja dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhadap KUD atau BUMD yang Memproduksi Minyak Bumi. Agar,
sekali lagi, daerah tidak hanya mewarisi punahnya kekayaan alamnya, sekaligus
hanya menerima limbah dan pencemaran atas kian rusaknya lingkungan sekitarnya. [*]
Ujung Blok Lingkar, 29 Desember 2012
No comments:
Post a Comment