Sunday, May 22, 2011

Apakah Iklan TV Sudah Kehilangan Daya, Leader Yang Mulai Terancam

Perkembangan media massa, khususnya media TV, di Indonesia akhir-akhir ini kian marak. TV tidak hanya mampu memberikan informasi, berita, dan literasi yang selama ini diperankan oleh media massa cetak. Namun, TV juga mampu menawarkan beragam program alternative lainnya, seperti hiburan, musik, dan lainnya yang dapat disaksikan lebih cepat, dan langsung (live). Kecepatan dalam penyajian inilah yang tak dapat dijawab oleh media massa cetak. Hingga tahun 2010, tercatat puluhan saluran TV swasta yang berhimpun dalam holding company-nya masing-masing.
Di antaranya, MNC Group yang memiliki RCTI, Global TV, dan TPI. Kemudian, Trans Group dengan Trans TV dan Trans 7; Media Group, melalui Metro TV; Jawa Pos Group dengan JTV, MK TV, RTV Pekan Baru, Batam TV, dan SBO; serta yang terakhir adalah Bakri Group yang memiliki ANTV dan TV One, yang merupakan reinkarnasi dari stasiun televisi lama Lativi. Selain melebarkan segmentasi pangsa pasar dengan mendirikan banyak media massa televisi, holding company masing-masing group di atas juga melebarkan jaringan medianya dengan mendirikan atau membentuk media massa cetak, baik berupa surat kabar harian, majalah, maupun tabloid dengan beragam tema dan sasaran targetnya. Misalnya, Media Group yang mendirikan Media Indonesia; MNC yang memiliki Seputar Indonesia (SINDO); maupun Jawa Pos Group yang memiliki media cetak harian Jawa Pos dan jaringan Jawa Pos News Network (JPNN).

Karakteristik TV
Semakin berjubelnya stasiun TV menunjukkan masyarakat Indonesia masih cenderung menyukai budaya menonton daripada membaca ataupun menulis. Ini dibuktikan dengan adanya survei AC Nielsen pada tahun 1999, bahwa 61 % sampai 91 % masyarakat Indonesia suka menonton televisi. Hasil ini lebih lanjut menjelaskan, hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar di Indonesia lebih memilih menonton TV setiap hari. Sedangkan 4 dari 10 orang lebih memilih atau lebih suka mendengarkan radio. (Media Indonesia: 19 November 1999). Hasil survei AC Nielsen diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2006 yang memaparkan fakta bahwa, budaya membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibanding menonton TV yang mencapai 70 persen lebih. (BPS: 2006).
Tingginya animo masyarakat Indonesia untuk menyaksikan televisi, karena berdasarkan karakteristik media, TV dianggap merupakan media yang lebih komunikatif dan memiliki efektivitas tertinggi dalam penyampaian pesan atau informasi dibandingkan media komunikasi lainnya. Giblin (2001) mendukung pernyataan ini dengan hasil penelitiannya tentang bagaimana kita mengingat informasi. Hasil penelitiannya menyebutkan, bahwa 10 % informasi diingat dari apa yang kita baca, 20 % dari apa yang kita dengar, 30 persen dari apa yang kita lihat, 50 persen dari apa yang kita lihat dan dengar, 70 persen dari apa yang kita katakana saat berbicara, dan 90 persen dari apa yang kita katakan dengan melakukan sesuatu.

TV dan Iklan
Tingginya animo masyarakat menyaksikan TV dibandingkan media massa lainnya merupakan salah satu modal penting untuk media kampanye produk atau iklan. Apalagi, menurut survey yang dilakukan P3I (Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia) pada 2006, 90% penduduk Indonesia memiliki televisi. Hal tersebut merupakan dasar pertimbangan bagi para pemasar untuk menggunakan media iklan tradisional sebagai media komunikasi pemasarannya. (Jaffe: 2006). Keluasan jangkauan dan kemudahan dalam menerima pesan (suara yang bisa didengar dan gambar yang dapat dilihat) inilah yang menjadikan televisi, pada hari ini, masih menjadi media massa primadona dalam menyampaikan iklan kepada khalayak masyarakat. Sebab, tujuan utama disiarkannya iklan di media TV adalah untuk mengacu terhadap tiga perspektif psikologi komunikasi, yaitu efek kognitif, afektif, dan konatif (behavioral).
Dengan demikian, secara umum perusahaan memasang produknya untuk diiklankan di TV bertujuan untuk, (1) menyadarkan komunikan (khalayak umum) dan member (pelanggan loyal) informasi tentang suatu barang dan jasa atau ide (efek kognitif). (2) Menimbulkan dalam diri komunikan suatu perasaan suka akan barang dan jasa ataupun ide yang disajikan dengan memberi prefensi kepadanya (efek afektif). Dan, (3) Meyakinkan komunikan akan kebenaran tentang apa yang dianjurkan dalam iklan dan karenanya menggerakkan untuk berusaha memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang dianjurkan (efek konatif/behavioral).
Berdasar pendekatan psikologi komunikasi, komunikasi pemasaran, maupun marketing public relation, iklan di TV pada hari ini, masih mempunyai daya dan efektif untuk menggaet calon pembeli, sekaligus memelihara loyalitas pelanggan lama (member) untuk membeli produk barang dan jasa di khalayak. Menurut survey P3I pada tahun 2003, stasiun TV masih merupakan media iklan favorit pilihan pemasar di dalam mengkomunikasikan produk-produknya sebesar 61,1% dari total porsi belanja iklan nasional di Indonesia. Sedangkan koran merupakan media iklan tradisional favorit urutan kedua dengan 25,9 %. Sementara sisa porsi 13 % ditempati oleh media radio, billboard, majalah, dan tabloid.
Sementara, belanja iklan di media massa tahun lalu (2009) mencapai Rp 48,573 triliun atau meningkat 16 persen dibandingkan 2008 dengan angka Rp 41,708 triliun. Mengacu data yang dirilis perusahaan survei, Nielsen Company Indonesia, share iklan koran di media harian meningkat menjadi 34 persen dari 2008 sebesar 33 persen. Sementara, pengiklan di media TV masih menjadi leader, meski ada kecenderungan menurun. Pada tahun 2000, share iklan di TV mencapai 70 persen, namun pada 2009 berkurang menjadi 62 persen, namun tetap terbanyak daripada pemasukan iklan di media cetak, maupun online. Mengacu data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa TV, pada hari ini, masih menjadi media massa yang lebih efektif daripada media cetak (koran, majalah, maupun tabloid) dan media elektronik alternative seperti online dan internet. Meskipun demikian, ada kecenderungan pendapatan iklan media massa TV mengalami penurunan, sementara di sisi lain pendapatan iklan oleh media online meningkat. Gejala ini mulai disikapi dengan kewaspadaan oleh media TV dengan menciptakan media-media online sebagai media alternative untuk mendapatkan pemasukan iklan, sebagaimana dilakukan oleh Metro TV, SCTV, RCTI, dan lainnya. (*)

*) Tugas Mata Kuliah Marketing Public Relations

No comments:

Post a Comment