Sunday, December 18, 2011

Konflik dan Konstruksi Sosial

SALAH satu catatan menonjol selama 2011 yang segera beringsut adalah masih maraknya konflik/tawuran/gesekan yang berbasis perguruan silat. Tak bermaksud untuk mendoakan, bukan tidak mungkin, kasus ini masih akan menjadi permasalahan serius di tahun 2012. Yang terbaru adalah konflik antar perguruan silat yang terjadi di Lamongan.
Sulthoni, 18, Desa Ngujungrejo, Kecamatan Turi tergolek tidak sadarkan diri di RSUD dr Soegiri Lamongan. Dia gegar otak ringan akibat dikeroyok sejumlah pemuda 9 Desember lalu. Kejadian itu diselidiki polisi. Dua jam kemudian, polisi mengamankan dua pelaku. Salah satunya adalah dari anggota sebuah perguruan silat. Gesekan berbasis perguruan silat ini selang beberapa hari usai konflik antarperguruan silat pada awal Sura (Muharam) lalu. Saat itu terjadi gesekan antara perguruan SH Terate dan PS Kera Sakti. Kasusnya kini masih menjadi penyidikan aparat kepolisian. Konflik yang terjadi di Lamongan semakin meneguhkan keyakinan bahwa konflik yang berbasis perguruan silat, seperti sudah laten. Khususnya setiap menjelang dan selama bulan Sura.
Bukan hanya di Lamongan. Konflik berbasis perguruan silat ini juga acapkali terjadi di Bojonegoro. Data Mapolres Bojonegoro menunjukkan, selama 10 tahun terakhir (2000-2010), terjadi 23 kejadian tawuran yang melibatkan oknum perguruan silat. Baik sesama perguruan silat maupun dengan masyarakat. Kejadian itu tersebar di sejumlah kecamatan di Bojonegoro. Rinciannya, 15 kejadian melibatkan antar perguruan. Sisanya, perguruan dengan masyarakat.
Sedangkan selama 2011 ini, tercatat sedikitnya tujuh kasus gesekan yang melibatkan dari anggota perguruan silat (Radar Bojonegoro, 18 November 2011). Data ini hanya berdasar laporan polisi. Bukan tak mungkin jumlahnya lebih banyak, karena tidak terendus aparat dan media. Dari sisi durasi, waktunya variatif, mulai awal tahun hingga menjelang akhir tahun. Gesekan ini juga melibatkan segmentasi yang berbeda baik sesama perguruan silat maupun anggota perguruan silat dengan masyarakat. Namun yang khas, gesekan tersebut acap terjadi pada seremonial pengesahan anggota yang lazim dilakukan setiap bulan Sura. Begitu terus, berulang-ulang.

Homo Conflictus
Manusia adalah makhluk konfliktus (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, dan pertentangan baik secara sukarela maupun terpaksa. Konflik yang berbasis perguruan silat ini dapat didekati dengan pendekatan sosiologi konstruksi sosial
Peter Berger dan Thomas Luckman. Menurut Berger dalam Kuswarno (2009; 111-112),
realitas sosial eksis dengan sendirinya dan struktur dunia sosial bergantung pada manusia yang menjadi subjeknya.
Berger dan Luckman mengungkapkan, bahwa seseorang hidup dalam kehidupannya, dan mengembangkan suatu perilaku repetitif, yang mereka sebut sebagai ‘kebiasaan’ (habits).
Kebiasaan ini memungkinkan seseorang untuk mengatasi suatu situasi secara otomatis. Kebiasaan seseorang ini berguna juga untuk orang lain. Kebiasaan yang sama pula pada akhirnya menciptakan sebuah pemahaman yang sama atas sebuah makna.
Karena habits, seseorang dapat membangun interaksi dengan orang lain yang disesuaikan dengan tipe-tipe seseorang, yang disebut sebagai pengkhasan (typication). Seiring dengan berjalannya waktu, dan kenyataan selanjutnya, beberapa kebiasaan tersebut menjadi milik bersama seluruh anggota masyarakat, komunitas, dan kelompok, sehingga terbentuklah sebuah lembaga (institution).
Dalam kaitan dengan konflik berbasis perguruan silat, persoalannya adalah bagaimana elit-elit dan anggota perguruan silat mengkategorikan (to typication) dirinya sendiri, dan bagaimana mereka mengembangkan lembaga struktur dengan seperangkat nilai, norma, dan aturan yang mereka anut bersama. Nilai-nilai ini pada akhirnya mengkonstruksi diri dan habits-nya menjadi sesuatu yang disepakati bersama, yang terkadang menimbulkan
subjektivitas tafsir terhadap nilai-nilai, dan norma di luar habits-nya. Ketiadaan pandang yang sama dalam memaknai nilai inilah yang berujung pada gesekan, dan konflik.
Mengacu pendekatan sosiolog perdamaian John Paul Lederach, mungkin sebaiknya para pemangku kepentingan menyiapkan langkah konkret agar konflik serupa tidak terulang tahun depan. Lederach dalam Novri Susan (2010; 73-73) menekankan agar konflik yang terjadi harus dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan seseorang secara sosial. Konflik juga harus dipahami melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan penciptaan makna bersama.
Proses interaktif tersebut disempurnakan melalui dan diakarkan dalam persepsi manusia, interpretasi, ekspresi, dan niatan-niatan yang semuanya tumbuh dari dan berputar kembali ke kesadaran umum mereka (common sense), sebagai manusia yang fitrahnya adalah nir-kekerasan. Pada tahap inilah diperlukan sebuah resolusi konflik, tak cukup hanya dengan manajemen konflik, yang disepakati secara bersama dalam nalar kognisi masing-masing pemangku kepentingan mulai dari perguruan silat, aparat kepolisian, tokoh agama, dan masyarakat, hingga komponen-komponen terkait lainnya. Agar gesekan yang berbasis perguruan silat tersebut tidak menjadi laten, menjadi bahaya yang kerap mengintai setiap waktu dan momentum-momentum tertentu. (*)

Ujung Blok Lingkar, 17 Desember 2011
*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) Edisi 18 Desember 2011 Halaman 30.

No comments:

Post a Comment