Saturday, December 17, 2011

Quo Vadis Perda Konten Lokal?

TERHITUNG sejak 10 November 2010, Pemkab dan DPRD Bojonegoro menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi serta Pengolahan Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Kabupaten Bojonegoro. Terhitung sejak tanggal itu juga Perda yang lazim disebut dengan Perda Konten Lokal itu resmi menjadi regulasi daerah yang akan mengawal keterlibatan konten lokal dalam percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dalam kaitannya dengan migas di Bojonegoro.
Secara garis besar Perda 23/2011, sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 regulasi ini memiliki empat tujuan utama. Pertama, meningkatkan pendapatan daerah untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian daerah dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan daerah.
Kedua, mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan daerah untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional berlandaskan keunggulan kompetitif daerah terutama kontribusi dari pemanfaatan sumber daya alam secara lestari.
Ketiga, mengendalikan permasalahan sosial dan ekonomi yang potensial dapat menghambat kelancaran rangkaian pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi serta pengolahan minyak dan gas bumi di daerah. Dan keempat, mempercepat pencapaian tujuan pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan dengan mengoptimalkan kontribusi sektor swasta melalui CSR (corporate social responsibility/tanggung jawab sosial perusahaan). Pertanyaannya adalah mampukah Perda tersebut menjamin keterlibatan konten lokal, sebagaimana idealisasi konsideran Perda?

Urgensi Tim Optimalisasi
Jika dicermati lebih jauh, sebenarnya dapat dipahami bahwa ruh atau nafas utama dari Perda 23/2011 adalah dibentuknya Tim Optimalisasi Kandungan Lokal. Titik tekan ini dapat diketahui karena filosofi awal Pemkab Bojonegoro melahirkan Perda ini adalah untuk melibatkan kandungan lokal (local content) di berbagai proyek migas yang dipersiapkan untuk puncak produksi migas pada 2013 mendatang.
Tim Optimalisasi Kandungan Lokal juga dapat dikatakan sebagai think thank segala renik kepentingan yang berhubungan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi karena mempunyai peran yang urgen dan signifikan. Dalam Bab V Pasal 21 Perda 23/2011 dijelaskan, Tim Optimalisasi Kandungan Lokal mempunyai tugas untuk mengawasi dan melakukan koordinasi kegiatan pemberdayaan kandungan lokal. Namun, jika dipahami secara jernih, ada overlaping peran yang dimainkan oleh Tim Optimalisasi tersebut.
Dalam Pasal 21 ayat 1 dijelaskan, fungsi Tim Optimalisasi adalah untuk mengawasi dan melakukan koordinasi. Akan tetapi, dalam pasal yang sama di ayat 2 ditegaskan, bahwa Tim Optimalisasi Kandungan Lokal terdiri dari tiga unsur. Yaitu, pemerintah, kontraktor kontrak kerja sama (K-KKS), dan mitra K-KKS. Ada semangat untuk memberdayakan kandungan lokal, memang tidak bisa dibantah. Tetapi, mengfungsikan peran sebagai pengawas sekaligus pelaksana dengan memainkan peran-peran koordinasi dalam kegiatan pemberdayaan kandungan lokal, tanpa syak sangka lagi akan menjadikan kinerja Tim Optimalisasi tidak bisa maksimal. Logika sederhananya, tentu akan sulit memisahkan conflict of interest (konflik kepentingan) yang terjadi jikalau dua peran sekaligus itu dijalankan. Bukan menyangsikan, mengkhawatirkan sesuatu yang buruk akan terjadi tentu bukan sebuah kesalahan bukan?
Belum lagi konflik kepentingan yang diusung K-KKS dan Mitra K-KKS yang bisa dipastikan akan membawa sejumlah kriteria dalam dimensi profesionalisme dan proporsional dalam perspektif teknis dunia perminyakan. Ibaratnya K-KKS dan Mitra K-KKS tentu tidak akan mau pemberdayaan kandungan lokal yang dimaksud tidak mempertimbangkan aspek-aspek kompetensi yang selama ini menjadi standar baku bisnis perminyakan.
Perbedaan prasyarat antara K-KKS dan Mitra K-KKS yang mengsyaratkan standar kompetensi dan passing grade dalam pemberdayaan kandungan lokal dengan unsur pemerintah yang pastinya lebih mempertimbangan dinamika sosial, konsensus politik, dan akomodasi kepentingan sosial inilah yang akan menjadi bara dalam sekam, atau bom waktu yang suatu saat akan meledak jika tidak diantisipasi sejak dini.

Gesekan Horizontal
Di luar kemungkinan ramai di internal Tim Optimalisasi, yang patut juga diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya gesekan sosial di level basis, level horizontal. Belum lagi paket pekerjaan EPC 1 dijalankan, baru-baru ini Bojonegoro diramaikan dengan aksi ribuan warga yang mengatasnamakan dari Forum Kelompok Masyarakat (FKM) yang mendukung Perda 23/2011, serta mendesak kepada Pemkab Bojonegoro untuk mempertemukan mereka dengan ExxonMobil dan anak perusahaannya MCL, serta PT Tripatra, pemenang tender EPC 1.
Yang menarik, di internal FKM juga terendus konflik internal, karena dikabarkan di antara sesama pengurus FKM tak mempunyai tuntutan yang sama. Sehingga, seperti diberitakan berbagai media, sempat muncul dua selebaran yang isinya tidak sama. Selebaran satu berisi dua tuntutan, selebaran lainnya berisi tiga tuntutan. Tuntutan yang terakhir adalah menuntut PT Tripatra membatalkan tender-tender yang sudah diumumkan dan mengadakan tender ulang sesuai dengan keputusan dari Pemkab Bojonegoro.
Dinamika ini seolah semakin benderang menunjukkan siapa membawa kepentingan apa, dan atas kepentingan apa mereka bergerak. Semua berujung pada upaya untuk menepis dari kesenjangan ekonomi. Artinya, semakin tinggi potensi ekonomi yang ada di sebuah wilayah, semakin tinggi pula tensi kesenjangan maupun gesekan sosial dan horizontal yang terjadi.
Jadi, ada benarnya Gabriel Demombynes dan Berk Ozler dalam artikelnya, crime and local inequality (World Bank, 2002), yang memberikan paparan tentang hubungan antara kesenjangan lokal dengan kejahatan terhadap harta (property crime) dan kekerasan terhadap diri (violent crime). Dalam studinya (yang tidak disebutkan tahunnya) di Afrika Selatan, keduanya menemukan fakta bahwa tingkat perampokan dan gesekan sosial dilaporkan lebih tinggi 20 persen-30 persen di wilayah hukum kepolisian pada daerah yang lebih kaya dibandingkan dengan wilayah sekitarnya. Temuan ini konsisten dengan teori ekonomi terkait dengan hubungan antara kesenjangan dengan kejahatan terhadap harta benda dan teori sosial tentang kesenjangan yang memicu kejahatan secara umum.
Terlepas siapapun yang memiliki kepentingan tersebut, Pemkab Bojonegoro selaku regulator sekaligus fasilitator perlu bertindak sesegera mungkin. Mumpung belum terlambat. Cantolannya cukup kuat. Dalam Pasal 21 ayat 3 dijelaskan, bahwa tata cara pembentukan, tugas, dan tanggung-jawab Tim Optimalisasi kandungan lokal diatur dalam Peraturan Bupati. Disinilah letak urgen Peraturan Bupati agar sebisa mungkin melahirkan diktum yang menghindarkan ketegangan sosial dan menjadikan regulasi sebagai instrumen vital untuk mendorong kesejahteraan substansial dan berkeadilan. Sekali salah menentukan arah, perda tidak akan menjadi peta jalan kesejahteraan, tetapi justru sebaliknya: peta jalan kesengsaraan. [*]

Ujung Blok Lingkar, 30 November 2011

* Tayang di Tabloid Blok Bojonegoro Edisi Desember 2011

No comments:

Post a Comment