TAHUN
lalu ada dua reward (penghargaan) penting yang diperoleh Bojonegoro.
Tidak main-main. Yang memberikan penghargaan adalah Presiden RI Joko Widodo
(Jokowi). Dua reward itu adalah penghargaan Bojonegoro sebagai Kabupaten
Layak Anak (KLA) dan Kabupaten Ramah Hak Asasi Manusia (HAM).
Dua reward
tersebut semakin melengkapi predikat Bojonegoro sebagai kabupaten yang penuh
dengan kelembutan dan kasih sayang. Karena, pada tahun yang sama pula, 2015,
Bojonegoro mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Welas Asih.
Tidak
mudah bagi kabupaten/kota menerima atau mendeklarasikan diri sebagai daerah
dengan tiga predikat tersebut. Ada banyak prasyarat atau indikator yang
dijadikan sebagai parameter untuk menilai apakah kabupaten/kota tersebut sudah
benar-benar tempat layak untuk anak, ramah HAM, sekaligus welas asih?
Penulis
tidak akan menjelaskannya satu per satu dari ketiga labeling tersebut.
Melainkan hanya akan fokus pada predikat Kabupaten Layak Anak. Kedekatan dengan
momentum Hari Anak Nasional (HAN), diperingati setiap tanggal 23 Juli, dan
peristiwa-peristiwa menyayat hati yang terjadi beberapa pekan terakhir menjadi
salah satu benang merahnya.
Tanpa
bermaksud menggugat urgensi penghargaan KLA, tulisan ini hanya sekadar
mendiskusikan (ulang?) predikat tersebut. Dengan mengacu standar yang selama
ini digariskan negara. Salah satunya, adalah mengacu Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak.
Fakta
Hari Ini
Sebelum
penulis mendiskusikan KLA dengan indikator yang diatur dalam regulasi di atas,
marilah kita simak sejenak fakta-fakta hari ini, yang di luar ekspektasi kita,
bersifat anomali dengan predikat Kabupaten Layak Anak.
Sepekan
terakhir, kita dikejutkan dengan berita tewasnya siswi kelas 5 SDN Pengkol,
Kecamatan Tambakrejo. Tragisnya, Zahra, demikian gadis malang itu biasa
dipanggil, meninggal setelah sebelumnya diperkosa dua kali.
Ironinya
lagi, pelakunya adalah saudara sepupu sendiri, yang rumahnya hanya berjarak
puluhan meter dari rumah korban. Namanya, Ahmad Rifai, 19. Beruntung, polisi
sudah menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka. (Radar Bojonegoro,
20/7/2016)
Peristiwa
pemerkosaan sekaligus pembunuhan yang menimpa Zahra semakin menambah panjang
daftar anak-anak Kota Ledre yang menjadi korban kekerasan. Baik berupa tindak
pidana penculikan, pemerkosaan, pencabulan, maupun pembunuhan.
Tercatat,
selama tujuh bulan terakhir, tepatnya hingga memasuki pekan keempat Juli ini
(Januari-Juli 2016), terdapat 11 kasus kekerasan terhadap anak. Sebelas kasus
ini dengan 17 korban anak-anak! Usianya beragam, mulai usia SD hingga SMA. Dari
17 korban, 7 korban di antara berusia sekolah dasar! (Radar Bojonegoro,
22/7/2016)
Bukan
hanya menjadi korban. Selama Januari hingga Juni 2016, Balai Pemasyarakatan
(Bapas) Bojonegoro mendata, 20 anak terlibat tindak pidana kejahatan atau
pelaku. Dari jumlah itu, 12 anak menjalani proses persidangan.
Rinciannya,
5 anak di Januari, masing-masing 2 anak di Februari, Maret, dan Mei, serta
seorang anak di Juni. Sementara delapan anak lainnya mendapat diversi. Yakni,
seorang anak di Januari, Maret, dan April. Kemudian, 2 anak di Juni dan 3 anak
saat Februari lalu (Radar Bojonegoro, 23/7/2016).
Ada
kecenderungan (sekaligus kekhawatiran), kasus kekerasan terhadap anak
meningkat.
Merujuk
data Pusat Pelayanan Perempuan dan Anak (P3A) Bojonegoro, angka kekerasan
terhadap perempuan dan anak di bawah umur selama 2015 lalu tercatat 49 perkara.
Dari jumlah itu, 27 kasus di antaranya atau 55 persen dengan korban anak-anak.
Sedangkan
pada 2014 lalu ada 47 kasus. Dari jumlah itu, 28 di antaranya dengan korban
anak-anak. Jenis kasus pemerkosaan dan pencabulan juga masih mendominasi dengan
19 kasus. Ingat, selama 2014 ada 19 kasus, 2015 dengan 27 kasus, dan 2016
(sampai Juli) 11 kasus dengan 17 korban!
Darurat
Kekerasan pada Anak
Melihat
grafik kekerasan terhadap anak selama tiga tahun terakhir dan kecenderungan
selama Januari-Juli 2016, rasanya tidak salah Bojonegoro berada dalam status:
darurat kekerasan pada anak. Lantas, di mana posisi negara, dalam hal ini
pemerintah kabupaten, untuk melakukan pencegahan kasus serupa terulang?
Merujuk
Permen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak, ada dua indikator penting KLA, sebagaimana
diatur dalam pasal 5. Yakni, penguatan kelembagaan; dan klaster hak anak.
Ada
dua variabel penting untuk mengetahui apakah negara telah melakukan penguatan
kelembagaan, kaitannya dengan KLA. Kedua poin penting (dari total tujuh poin)
tersebut adalah adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk
pemenuhan hak anak. Dan persentase anggaran untuk pemenuhan hak anak, termasuk
anggaran untuk penguatan kelembagaan.
Sejauh
yang penulis ketahui, belum pernah ada regulasi, baik peraturan daerah (perda)
atau peraturan bupati (perbup) yang diterbitkan pemerintahan daerah untuk
memenuhi hak-hak anak atau berperspektif anak-anak. Alih-alih, alokasi anggaran
untuk pemenuhan hak anak, belum terdeteksi hingga sejauh ini.
Indikator
penting lain untuk mengukur KLA adalah tersedianya klaster hak anak, meliputi
hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan
dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan
budaya; dan perlindungan khusus.
Masih
tingginya kasus kekerasan terhadap anak selama tujuh bulan terakhir menunjukkan
negara telah gagal (atau belum?) memberi perlindungan khusus pada anak. Perlindungan
dimaksud tidak harus memproteksi anak dari dari kebebasan aktivitasnya.
Memberikan
jaminan kenyamanan dan keamanan anak dari ancaman ataupun bahaya dari pihak
luar, jauh lebih penting. Ini bisa dilakukan melalui kerja sama strategis
dengan para pihak, termasuk masyarakat dan pihak berwenang, untuk melakukan
proteksi dini, bukan reaksioner seperti yang selama ini terjadi.
Beberapa
poin yang penulis paparkan di atas hanya sebagian dari banyak variabel penting
yang termaktub dalam dua indikator untuk menjadikan sebuah daerah menyandang
status Kabupaten Layak Anak. Banyak variabel lain yang harus dilakukan. Jadi tidak
sesederhana seperti ‘hanya’ memberikan reward. (*)
Ujung
Blok Lingkar, 22 Juli 2016
*)
Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 24 Juli 2016, Halaman 26.