Monday, July 25, 2016

Anomali Kabupaten Layak Anak

TAHUN lalu ada dua reward (penghargaan) penting yang diperoleh Bojonegoro. Tidak main-main. Yang memberikan penghargaan adalah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Dua reward itu adalah penghargaan Bojonegoro sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) dan Kabupaten Ramah Hak Asasi Manusia (HAM).
Dua reward tersebut semakin melengkapi predikat Bojonegoro sebagai kabupaten yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang. Karena, pada tahun yang sama pula, 2015, Bojonegoro mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Welas Asih.
Tidak mudah bagi kabupaten/kota menerima atau mendeklarasikan diri sebagai daerah dengan tiga predikat tersebut. Ada banyak prasyarat atau indikator yang dijadikan sebagai parameter untuk menilai apakah kabupaten/kota tersebut sudah benar-benar tempat layak untuk anak, ramah HAM, sekaligus welas asih?
Penulis tidak akan menjelaskannya satu per satu dari ketiga labeling tersebut. Melainkan hanya akan fokus pada predikat Kabupaten Layak Anak. Kedekatan dengan momentum Hari Anak Nasional (HAN), diperingati setiap tanggal 23 Juli, dan peristiwa-peristiwa menyayat hati yang terjadi beberapa pekan terakhir menjadi salah satu benang merahnya.
Tanpa bermaksud menggugat urgensi penghargaan KLA, tulisan ini hanya sekadar mendiskusikan (ulang?) predikat tersebut. Dengan mengacu standar yang selama ini digariskan negara. Salah satunya, adalah mengacu Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak.

Fakta Hari Ini
Sebelum penulis mendiskusikan KLA dengan indikator yang diatur dalam regulasi di atas, marilah kita simak sejenak fakta-fakta hari ini, yang di luar ekspektasi kita, bersifat anomali dengan predikat Kabupaten Layak Anak.
Sepekan terakhir, kita dikejutkan dengan berita tewasnya siswi kelas 5 SDN Pengkol, Kecamatan Tambakrejo. Tragisnya, Zahra, demikian gadis malang itu biasa dipanggil, meninggal setelah sebelumnya diperkosa dua kali.
Ironinya lagi, pelakunya adalah saudara sepupu sendiri, yang rumahnya hanya berjarak puluhan meter dari rumah korban. Namanya, Ahmad Rifai, 19. Beruntung, polisi sudah menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka. (Radar Bojonegoro, 20/7/2016)  
Peristiwa pemerkosaan sekaligus pembunuhan yang menimpa Zahra semakin menambah panjang daftar anak-anak Kota Ledre yang menjadi korban kekerasan. Baik berupa tindak pidana penculikan, pemerkosaan, pencabulan, maupun pembunuhan.
Tercatat, selama tujuh bulan terakhir, tepatnya hingga memasuki pekan keempat Juli ini (Januari-Juli 2016), terdapat 11 kasus kekerasan terhadap anak. Sebelas kasus ini dengan 17 korban anak-anak! Usianya beragam, mulai usia SD hingga SMA. Dari 17 korban, 7 korban di antara berusia sekolah dasar! (Radar Bojonegoro, 22/7/2016)
Bukan hanya menjadi korban. Selama Januari hingga Juni 2016, Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bojonegoro mendata, 20 anak terlibat tindak pidana kejahatan atau pelaku. Dari jumlah itu, 12 anak menjalani proses persidangan.
Rinciannya, 5 anak di Januari, masing-masing 2 anak di Februari, Maret, dan Mei, serta seorang anak di Juni. Sementara delapan anak lainnya mendapat diversi. Yakni, seorang anak di Januari, Maret, dan April. Kemudian, 2 anak di Juni dan 3 anak saat Februari lalu (Radar Bojonegoro, 23/7/2016).
Ada kecenderungan (sekaligus kekhawatiran), kasus kekerasan terhadap anak meningkat.
Merujuk data Pusat Pelayanan Perempuan dan Anak (P3A) Bojonegoro, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di bawah umur selama 2015 lalu tercatat 49 perkara. Dari jumlah itu, 27 kasus di antaranya atau 55 persen dengan korban anak-anak.
Sedangkan pada 2014 lalu ada 47 kasus. Dari jumlah itu, 28 di antaranya dengan korban anak-anak. Jenis kasus pemerkosaan dan pencabulan juga masih mendominasi dengan 19 kasus. Ingat, selama 2014 ada 19 kasus, 2015 dengan 27 kasus, dan 2016 (sampai Juli) 11 kasus dengan 17 korban!

Darurat Kekerasan pada Anak
Melihat grafik kekerasan terhadap anak selama tiga tahun terakhir dan kecenderungan selama Januari-Juli 2016, rasanya tidak salah Bojonegoro berada dalam status: darurat kekerasan pada anak. Lantas, di mana posisi negara, dalam hal ini pemerintah kabupaten, untuk melakukan pencegahan kasus serupa terulang?
Merujuk Permen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak, ada dua indikator penting KLA, sebagaimana diatur dalam pasal 5. Yakni, penguatan kelembagaan; dan klaster hak anak.
Ada dua variabel penting untuk mengetahui apakah negara telah melakukan penguatan kelembagaan, kaitannya dengan KLA. Kedua poin penting (dari total tujuh poin) tersebut adalah adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk pemenuhan hak anak. Dan persentase anggaran untuk pemenuhan hak anak, termasuk anggaran untuk penguatan kelembagaan.
Sejauh yang penulis ketahui, belum pernah ada regulasi, baik peraturan daerah (perda) atau peraturan bupati (perbup) yang diterbitkan pemerintahan daerah untuk memenuhi hak-hak anak atau berperspektif anak-anak. Alih-alih, alokasi anggaran untuk pemenuhan hak anak, belum terdeteksi hingga sejauh ini.
Indikator penting lain untuk mengukur KLA adalah tersedianya klaster hak anak, meliputi hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan perlindungan khusus.
Masih tingginya kasus kekerasan terhadap anak selama tujuh bulan terakhir menunjukkan negara telah gagal (atau belum?) memberi perlindungan khusus pada anak. Perlindungan dimaksud tidak harus memproteksi anak dari dari kebebasan aktivitasnya.
Memberikan jaminan kenyamanan dan keamanan anak dari ancaman ataupun bahaya dari pihak luar, jauh lebih penting. Ini bisa dilakukan melalui kerja sama strategis dengan para pihak, termasuk masyarakat dan pihak berwenang, untuk melakukan proteksi dini, bukan reaksioner seperti yang selama ini terjadi.
Beberapa poin yang penulis paparkan di atas hanya sebagian dari banyak variabel penting yang termaktub dalam dua indikator untuk menjadikan sebuah daerah menyandang status Kabupaten Layak Anak. Banyak variabel lain yang harus dilakukan. Jadi tidak sesederhana seperti ‘hanya’ memberikan reward. (*)

Ujung Blok Lingkar, 22 Juli 2016

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi 24 Juli 2016, Halaman 26.

Catatan Reboan (4)



 Fenomena Budaya Baru “Pokemon”



Sekali waktu, cobalah luangkan waktu sejenak ke pusat-pusat kerumunan publik. Di alun-alun, misalnya. Niscaya, Anda akan mendapati banyak orang, dengan menenteng ponsel berjalan ke sana ke mari. Bukan sedang mengabadikan peristiwa atau gambar. Namun, apa coba? Berburu monster lucu nan menggemaskan, Pokemon.
Pada awal-awal game buatan Niantic asal Jepang yang di-launching pada awal Juli 2016 lalu itu, penulis sebenarnya belum tergerak untuk menulis kolom soal demam Pokemon Go. Tapi, lama kelamaan ternyata game lawas yang dikemas dengan model dan teknologi terbaru ini mampu menggerakkan dunia global.
Bukan disebabkan latah kalau kemudian penulis tertarik menulis tentang sisi lain Pokemon Go, tetapi karena sudah menjadi fenomena budaya baru. Fenomena yang menggerakkan sisi-sisi lain yang lebih luas, yang lebih mengglobal.
Indikasinya mudah. Game mobile yang berbasis augmented-reality tersebut menembus batas atau sekat-sekat suku, agama, ras, negara, kultur, ekonomi, sosial, hukum, hingga politik. Bahkan kalkulasi secara ekonomi, pendapatan yang didapat Niantic selaku studio pengembang Pokemon Go melesat cepat.   
Dikutip dari Kompas.com (Selasa, 19 Juli 2016), total pendapatan Niantic dari Pokemon Go lebih kurang 22.000 dollar AS atau Rp 287 juta dalam dua menit. Atau sekitar Rp 143 juta dalam satu menit. Ingat, hanya satu menit. Selanjutnya, hanya dalam empat menit, jumlah itu sudah berlipat ganda menjadi 40.000 dollar AS atau sekitar Rp 523 juta.
Tak cuma jumlah pendapatan. Anda juga bisa melihat total pengunduh Pokemon Go secara real time di masing-masing negara baik melalui iOS maupun Android. Dalam waktu tujuh menit, ada lebih dari 33.000 pengunduh baru Pokemon Go di seluruh dunia. Komposisinya lebih didominasi pengguna iOS ketimbang Android.
Di sisi paling bawah situs, Anda bisa pula mengintip jumlah waktu yang dihabiskan netizen di Pokemon Go per harinya. Hingga kini rata-rata netizen menghabiskan di atas 30 menit tiap hari untuk berburu Pokemon dan bertarung di Gym. Hebatnya lagi, waktu yang dihabiskan pengguna di Pokemon Go itu jauh mengalahi Facebook, Snapchat, Twitter, dan Instagram, domain media sosial yang jauh lebih lama digunakan umat manusia modern.

Sisi Plus dan Minus
Sebagai fenomena budaya baru, semua sepakat bahwa Pokemon Go akan memiliki dampak. Ibarat pisau bermata dua, dampaknya negatif dan positif. Mungkin porsi dampaknya sama. Salah satu dampak positifnya, selain terhibur, diklaim lebih sehat (karena gamer berjalan aktif, tidak berdiam diri di kamar), Pokemon Go ternyata membantu tugas polisi.
Pekan lalu, pemain di Wyoming, salah satu kota di Amerika Serikat, menemukan mayat saat mengeksplor lokasi persembunyian monster Pokemon. Kejadian serupa dialami oleh seorang pemain di New Hampshire pada awal pekan ini, sebagaimana dilaporkan Ubergizmo dan dihimpun KompasTekno (Kompas.com, Senin 18 Juli 2016).
Pemain di New Hampshire menemukan mayat mengambang di aliran sungai saat bertualang di Rotary Park. Taman untuk publik itu populer sebagai lokasi yang banyak membenamkan Pokestop. Pokestop sendiri adalah lokasi mengumpulkan item-item yang bermanfaat, semisal Pokeball, incence, atau candy. Pokemon juga kerap berkeliaran di sekitar Pokestop.
Singkat cerita, setelah pemain Pokemon Go menemukan mayat mengambang, dia segera melapor ke kepolisian setempat. Mayat tersebut lalu diamankan dan bakal diinvestigasi lebih lanjut.
Dampak negatifnya, semua tahu, pengembang menyebar Pokestop di berbagai tempat. Kalau di tempat yang mudah diakses publik, mungkin tidak menjadi masalah. Baru jadi problem kalau Pokestop-nya menyebar di lokasi privasi, objek vital negara, hingga tempat-tempat ibadah.
Sampai-sampai, Panglima TNI dan Kapolri pun ikut gusar dengan demam Pokemon yang melanda semua lapisan ini. Sampai-sampai Mabes TNI dan Mabes Polri melarang anggotanya main Pokemon saat bertugas. Kepala rumah tangga kepresidenan juga berang karena banyak gamers menyerbu ke istana, salah satu objek vital negara, hanya demi berburu monster Pokemon.
Begitu pula perusahaan atau pelaku usaha. Mereka sampai-sampai memasang pengumuman yang berisi larangan keras bagi seluruh karyawannya untuk bermain Pokemon, saat bekerja. Khawatir tidak produktif, mengganggu kinerja. Jika kedapatan bermain Pokemon saat bekerja, gajinya akan dipotong!.

Kreatif Menyikapi
Sebagai bagian dari fenomena budaya baru, kehadiran Pokemon Go tidak bisa dihindari. Tak bisa ditolak. Karena ini fenomena global. Hanya, perlu penyikapan yang arif, bijak, dan tak perlu sporadis. Karena, kehadiran Pokemon Go merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fenomena Generasi Z. Zaman dan generasi kita sekarang hidup.     
Dalam pembagian generasi dunia modern, ada lima generasi. Yakni, pertama, Generasi Silent, manusia atau generasi yang lahir pada tahun 1925-1946 (berusia 70-91 tahun). Kedua, Generasi Baby Boom yang lahir pada 1947-1964 (usia 52-69 tahun).
Ketiga, Generasi X, generasi yang lahir pada 1965-1979 (berusia 37-51 tahun). Keempat, Generasi Milenial/Y, yang lahir pada 1980-1999 (usia 17-36 tahun), dan kelima, Generasi Z (2000- sekarang) yang berusia 16 tahun ke bawah. (The 2015 Deloitte Millenial Survey, Connecting The Millenials a Visa Study, 2012)
Justru, menurut penulis, kehadiran Pokemon Go jangan disikapi dengan melakukan proteksi-proteksi yang berlebihan. Sewajarnya saja kita memberi pengertian kepada anggota keluarga kita. Ingatkan saja plus dan minusnya. Toh, mereka sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Malah, kalau bisa disikapi dengan kreatif dan produktif.
Seperti yang penulis jumpai akhir-akhir ini. Belakangan setelah game Pokemon booming, banyak dijumpai meme-meme,display photo, atau desain grafis yang lucu-lucu. Menariknya, display photo-nya bukan hanya lucu nan menghibur. Namun, juga mengandung unsur-unsur brand image produk, kampanye, atau pesan positif lain yang kemasannya mengacu font, perwarnaan, atau desain khas ikonik Pokemon.
Brand image atau pesan kampanye positif tersebut disebarkan melalui broadcast (pesan siaran atau berantai) BlackBerry ataupun WhatsApp. Beberapa kiriman yang menurut penulis positif adalah, Pokoke’ Moco (yang penting membaca), pesan untuk memperbanyak membaca berbagai jenis atau disiplin ilmu dalam bentuk media buku.
Kemudian, Pokoke’ Mondok, pesan/kampanye untuk masuk pondok pesantren, model pendidikan yang mewajibkan siswa/santri berdomisili dalam suatu tempat. Sistem pendidikan ini kebanyakan diterapkan di lembaga pendidikan yang berafiliasi ke NU.  Dan masih banyak lagi pesan kampanye bernada positif lainnya. Jadi, ambil sisi positifnya saja fenomena budaya baru ini. Salam Reboan. (*)    
  
Ujung Sersan Mulyono 35, 20 Juli 2016

*) Direktur IDFoS Indonesia. Ditayangkan di website IDFoS Indonesia (www.idfos.or.id)

Thursday, June 30, 2016

Catatan Reboan (3)


Mendudukkan Posisi NGO
  

BEBERAPA hari lalu salah seorang pengurus IDFoS Indonesia meng-upload sebuah foto di grup WhatsApp milik lembaga itu. Foto yang diangkat lucu, menarik, menggelikan, sekaligus membuat siapa pun yang selama ini akrab dengan dunia Non Government Organization (NGO) masyghul. Termasuk penulis.
Foto itu berupa surat permintaan dari salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya tidak menyebut LSM tersebut dari mana. Takut kena semprit. Takut dituduh menyebarkan kebencian, mencemarkan nama baik. Sekalipun, pasal haatzaai artikelen ini sudah dihapus dalam dunia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP).
Yang pasti dalam kop suratnya LSM tersebut menyebutkan alamat dari luar Jawa. Namanya juga jauh dari kesan pemberdayaan masyarakat. Atau setidaknya lembaga yang mengesankan bergerak di bidang kemasyarakatan. Namanya lebih mencirikan lembaga bukan dunia lain.  
Yang lucu dan memprihatinkan, surat tersebut adalah berperihal permintaan uang tunjangan hari raya (THR). Surat itu ditujukan kepada sejumlah kepala satuan kerja pemerintah provinsi di luar Jawa. Tampaknya banyak satuan kerja yang disasar.
Terbukti, pada kolom kepada yang dituju, tidak diisi dengan ketikan komputer. Melainkan sengaja dikosongi untuk ditulisi kepala satuan kerja yang disasar. Bukan tidak mungkin pengirim sudah mempunyai list nama-nama kepala satuan kerja yang akan dikirimi surat.
Yang bikin semakin nelangsa sekaligus geregetan, dalam surat itu disebutkan juga banyak nama yang akan menerima THR. Nama-nama tersebut ditulis dalam kolom khusus di surat. Jumlahnya tidak hanya satu atau dua orang. Lebih dari lima orang, baik yang menjabat sebagai ketua atau anggota.  
Saat melihat upload foto tersebut, seketika penulis masyghul. Yang terlintas dalam pikiran adalah  apakah sudah sedemikian dangkalkah cara pandang orang terhadap LSM? Penulis tidak tahu apakah contoh di atas hanya terjadi di luar Jawa.
Atau barangkali di Jawa sebenarnya juga sudah ada, tetapi luput dari pantauan penulis. Yang pasti, itu sangat memprihatinkan dan mendorong penulis menuangkannya dalam kolom Catatan Reboan kali ini.

Perihal Label
Dalam jagat ke-NGO-an, ada banyak label atau padanan kalimat untuk menyebut aktivitas lembaga yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan. Ada NGO, civil society organization (CSO) atau yang biasa disebut organisasi masyarakat sipil (OMS), dan LSM itu sendiri.
Penulis sendiri lebih sreg menyebutnya OMS atau CSO. Atau setidak-tidaknya NGO. Sekalipun, kata Shakespeare, apalah arti sebuah nama, toh mawar tetap merah dan wangi. Karena, masing-masing nama mempunyai implikasi ideologis, yang akan penulis bahas sendiri dalam sub bagian selanjutnya dalam tulisan ini.
Kembali ke soal labelling, tidak bermaksud untuk men-generalisasi, entah karena kebetulan ataukah memang itu yang dipahami, stigma masyarakat terhadap LSM, boleh dikata tidak bagus-bagus amat.
Tuduhan LSM sebagai lembaga abal-abal yang bertujuan mencari uang atau sebagai hantu teror atas kasus yang menimpa siapa pun, lebih mendominasi daripada sebagai lembaga yang mempunyai andil atau kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat.
Masalahnya adalah di saat stigma masyarakat, bahkan terkadang aparatur pemerintahan, masih belum 100 persen baik terhadap NGO, persepsi tersebut diperburuk dengan, misalnya contoh kasus di atas, yang secara terang-terangan meminta uang kepada satuan kerja pemerintahan.
Padahal, jika ditinjau lebih jauh, permintaan itu tidak ada relevansinya sama sekali dengan mandat sosial yang selama ini identik atau melekat dengan OMS. Apakah kecenderungan tersebut juga terjadi di Bojonegoro?    

Ideologis dan Pragmatis
Ada buku menarik yang sebenarnya bisa menjadi referensi atas sejauh mana OMS mampu memberi kontribusi yang nyata bagi masyarakat. Buku itu sangat terkenal dan selalu menjadi referensi bagi para pelaku aktivitas pemberdayaan masyarakat. Bahkan, juga dijadikan sebagai rujukan dalam khazanah perpolitikan.
Pasti Anda sudah mengenal. Buku itu ditulis oleh Sosiolog atau Ilmuwan kenamaan asal Italia, Antonio Gramsci. Seratusan tahun yang lalu malah buku tersebut ditulis. Tetapi, rasanya masih sangat relevan dengan masa kini. Buku yang sudah sangat terkenal tersebut berjudul Negara dan Hegemoni. 
Dalam bukunya, Gramsci menyebutkan, suatu negara akan maju dan sejahtera apabila pemangku kepentingan (stakeholders) negara berhasil memadukan dua kekuatan. Ini yang disebutnya sebagai hegemoni. Gramsci menyebutnya sebagai Masyarakat Politik dan Masyarakat Sipil (Civil Society).
Masyarakat Politik didefinisikan Gramsci sebagai kekuatan politik formal yang menyokong organisasi negara melalui demokrasi prosedural. Masyarakat Politik diwakili oleh partai politik, parlemen, dan termasuk dalam hal ini adalah senat atau jika di Indonesia Dewan Perwakilan Daerah.
Sedangkan Masyarakat Sipil merupakan elemen atau komponen masyarakat, bisa organisasi atau subkultur masyarakat yang secara konsisten dan (ingat) mempunyai hubungan independen dengan negara, yang menyuarakan aspirasi dan kepentingan publik. Masyarakat Sipil juga sebagai kekuatan penyeimbang dan kontrol akan keberlangsungan pemerintahan.
Satu hal lagi, Masyarakat Sipil yang dimaksud berlandaskan ideologis. Maksudnya, landasan yang digunakan dalam operasionalisasi Masyarakat Sipil mempunyai basis ideologis maupun filosofis yang jelas dalam relasi Negara-Masyarakat. Sebagai contoh, Masyarakat Sipil memahami masyarakat tidak bisa hanya dijadikan sebagai subordinat, tetapi setara, sejajar dengan negara yang harus didengar dan disuarakan hak-haknya.
Dalam perkembangannya, terminologi Masyarakat Sipil dipahami antara lain sebagai OMS yang pada operasionalisasi berlandaskan ideologis. Konstruksi visinya jelas. Misi yang akan dilakukannya jelas dan terukur melalui pendekatan-pendekatan yang memang berbasiskan kebutuhan riil publik, demi perbaikan menuju kesejahteraan.
Bagaimana membedakannya dengan NGO atau LSM sekarang? Sebenarnya cukup mudah. Kalau ada lembaga yang orientasinya hanya untuk kepentingan individu institusi tanpa mempunyai landasan yang jelas atas konstruksi visinya, jelas itu hanya untuk kepentingan pragmatis. Ujung-ujungnya pada sebatas materi semu.
Sedangkan NGO, OMS, dan CSO yang ideologis adalah lembaga yang konstruksi visinya jelas atas dasar mandat sosial yang diembannya. Ia juga mempunyai standar terukur dalam menentukan step dan mendiskusikannya secara berulang-ulang dengan publik.
Dan satu hal lagi, ia juga mempunyai kesadaran sosial yang tinggi untuk selalu memperbaiki institusi dengan asas-asas keterbukaan (akuntabilitas publik) dalam setiap kerja-kerja ke-NGO-annya dan peningkatan kapasitas personal dan institutional. Jadi, cukup mudah bukan untuk membedakannya? Salam Reboan... (*)

Ujung Sersan Mulyono 35, 29 Juni 2016
*) Direktur IDFoS Indonesia. Ditayangkan di website IDFoS Indonesia (www.idfos.or.id)
                                                                                                                                        

Sunday, June 26, 2016

Catatan Reboan (2)



Inovasi versus Regulasi




Kalau Anda mencermati perkembangan di media massa belakangan ini, ada persoalan menarik antara Dinas Perhubungan (Dishub) Bojonegoro dengan Polres Bojonegoro, lebih tepatnya pada jajaran Satuan Lalu Lintas (Satlantas). Pemicu kontroversi tersebut adalah mengenai ide Dishub yang berniat mengoperasionalkan Becak Inovasi.
Polemik menjadi menarik karena baik Dishub dan Satlantas Polres Bojonegoro mempunyai cara pandang yang tidak sama. Dishub memandang Becak Inovasi atau Becin merupakan terobosan, ide dan inovasi untuk menjawab problem perlalulintasan di Bojonegoro. Versi Dishub, ada unsur pemberdayaan di dalamnya.
Jika dilihat dengan cermat, dasar yang digunakan Dishub juga lumayan kuat. Dishub merekayasa becak tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan, khususnya pasal 12 ayat 3.
Dishub berpandangan, Becak Inovasi tak bertentangan dengan hukum. Becin tidak termasuk dalam klausul yang diatur dalam Pasal 277 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), yang selama ini menjadi dasar Satlantas Polres.  
Versi Dishub, UU LLAJ tidak menyebut secara spesifik sebagai becak motor, namun modifikasi motor. Sementara, Becin tidak memodifikasi motor, melainkan mesin yang biasa digunakan dalam disel parut kepala. Kecepatan Becin juga tidak melebihi 25 kilometer per jam. Dan lagi, Becin tak melintas di jalur provinsi dan nasional. Hanya jalan kabupaten dan desa.
Di sisi lain, Satlantas Polres memandang ide dan inovasi Becin merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran UU LLAJ. Versi Satlantas, berdasarkan UU LLAJ, Becin tidak masuk dalam kendaraan bermotor. Mengacu UU LLAJ, hanya ada lima tipe kendaraan bermotor.
Yaitu, sepeda motor, mobil, angkutan barang, truk, dan kendaraan khusus (ransus). Becin tidak masuk dalam kelima jenis kendaraan bermotor tersebut. Karena itu, meski memakai mesin diesel yang tak berkecepatan tinggi, tetap saja polisi tidak bisa mengizinkannya melintas di jalan raya. Sebab, kendaraan bermotor yang boleh melintas di jalan raya adalah yang terdaftar legal di KB Samsat.
***
Manakah yang benar? Tulisan ini tidak bermaksud untuk memilih mana yang benar? Tetapi lebih menganalisisnya dalam berbagai perspektif. Mari kita diskusikan. Dasar yang digunakan Satlantas Polres, lebih pada regulasi. Kalau ini yang menjadi landasan dan satu-satunya yang menjadi pertimbangan dijalankan dan tidaknya Becin, ada benarnya dasar polisi.
Dasarnya begini. Dalam hirarkie sistematika hukum dan perundangan di Indonesia, tentu saja posisi Undang-Undang yang disahkan Pemerintah dan DPR RI lebih tinggi daripada Peraturan Pemerintah (PP). Posisi hirarkie hukumnya di bawah sedikit dari UU Dasar.
Masalahnya adalah ada perbedaan penafsiran dalam memahami diksi kendaraan bermotor yang diatur dalam UU LLAJ. Sementara, Becin tidak masuk kategori kendaraan bermotor. Alasannya, spesifikasi mesin yang digunakan bukan tergolong motor, melainkan mesin disel berkapasitas sangat kecil. Karena, diesel ini selama ini lebih banyak digunakan untuk mesin parut kelapa.
Apalagi, dalam hukum kita mengenal ada kaidah berbunyi begini: jika tidak secara eksplisit atau tertulis tentang larangan sesuatu dalam sebuah teks hukum, berarti diperbolehkan digunakan. Dengan kata lain, penafsiran sebuah diksi dalam teks hukum, dinafikan. Tetapi tentu saja hal ini sebatas pendapat pribadi penulis dan dibutuhkan tinjauan hukum lebih mendalam dari pakar.
Di sisi lain, Becak Inovasi sebenarnya justru merupakan bentuk inovasi yang perlu dipandang sebagai sebuah terobosan untuk memajukan atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin kota, dalam hal ini tukang becak.    
Bahkan, kalau mau ditarik lebih jauh, inovasi dengan melahirkan karya dalam bentuk Becak Inovasi merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi manusia dalam bidang ekonomi. Yakni, hak untuk memperoleh kehidupan yang layak dan hak untuk meningkatkan kualitas hidup.
Kalaupun kemudian menimbulkan perdebatan atau lebih tepatnya penafsiran yang berbeda, justru idealnya persoalan ini dijadikan sebagai bahan diskusi publik, yang menghadirkan berbagai pihak dengan latar belakang yang berbeda. Dalam konteks inilah pemerintah daerah dan stakeholder lainnya harus terus didorong untuk melahirkan inovasi, demi tercapainya peningkatan kualitas hidup. Salam Reboan... (*)  

Ujung Sersan Mulyono, 22 Juni 2016

*) Direktur IDFoS Indonesia
**) Ditayangkan di website IDFoS Indonesia (www.idfos.or.id) 

Wednesday, June 15, 2016

Catatan Reboan (1)

Yang Penting Menulis Dulu... 

Akhirnya semangat menulis itu datang kembali. Semua bermula saat Divisi Riset dan Teknologi Institute Development of Society (IDFoS) Indonesia mengadakan rapat, dua pekan lalu. Temanya, agak di luar meanstream. Dikatakan demikian, karena biasanya kebanyakan rapat yang dibahas mengagendakan diskusi, pelatihan, perencanaan program, atau menyusun desain riset.
Tapi ini kali tidak. Agenda yang dibahas tentang kesadaran gerakan menulis. Khususnya menulis di internal IDFoS. Berlaku untuk semua. Ya Pengurus, ya koordinator atau ketua divisi, staf divisi, hingga relawan atau volunteer.
Semula ada usulan tema yang dibahas dalam tulisan kudu yang serius. Namun, dinamika forum menghendaki lain. Dibiarkan cair saja. Sesuai dengan karakteristik si penulisnya. Dan, idealnya memang demikian, karena menulis itu membebaskan.  
Kalau memang cenderung serius dan style-nya memang seperti itu, silahkan. Nggak papa. Kalau justru sebaliknya, juga tidak dilarang. Karena, kata kunci yang harus disepakati saat itu adalah: Yang penting menulis dulu dan dibiasakan secara kontinyu.
Setelah disepakati gerakan ayo menulis, langkah selanjutnya adalah tentukan batas waktunya atau deadline. Karena, dalam hal-hal tertentu, deadline itu menjadi penting, sebagai pembatas agar seseorang mematuhi ketentuan yang sudah digariskan. Sebagai garis serius dan fokus pada beberapa hal. Termasuk memberi deadline menulis, sekalipun ia bukan penulis atau jurnalis.
Dook...! Jadilah pentingnya deadline sebagai keputusan kedua. Selanjutnya, disepakati pula, deadline-nya setiap minggu masing-masing divisi, di IDFoS ada empat, harus membuat satu tulisan. Bisa berupa opini, artikel, esai, kolom, features. Atau jika diperlukan tulisan yang sangat serius, semi jurnal maksudnya, tidak apa-apa. Asalkan konsisten dan fokus.
Yang penting bukan berita (news). Karena, domain itu sudah masuk dalam laman kegiatan di website IDFoS, www.idfos.or.id. Apalagi, tujuan gerakan menulis ini memang murni untuk mendorong bisa dan biasa menulis non-berita. Ya seperti yang tertera di atas itu. Keputusan ini pun juga disepakati.
Dook...! Jadilah model tulisannya disepakati bebas. Karena sebenarnya juga tak bebas-bebas amat. Mungkin yang paling pas diikat dengan longgar. Sebab, secara garis besar ada tiga hal yang akan ditulis nantinya. Yakni, opini, kolom, dan artikel.
Alasannya simpel, karena ketiga jenis tulisan inilah yang nantinya akan membentuk karakter masing-masing penulis. Sekalipun nanti jika memungkinkan, bisa ditambahi tulisan resensi buku.  
Deadline dan model tulisan sudah disepakati. Tinggal satu yang belum. Tema tulisannya apa? Semula ingin dibiarkan bebas. Namun toh pada akhirnya perlu pembatasan. Akhirnya, disetujuilah, temanya berbasis divisi masing-masing sebagai tema wajib. Sedangkan menulis dengan tema bebas (baca: hukumnya sunat), diperbolehkan, jika kewajiban menulis wajib sudah terpenuhi.
Di IDFoS ada empat divisi. Masing-masing, Divisi Riset dan Teknologi, Advokasi dan Lingkungan Hidup, Pemberdayaan Perempuan, dan Ekonomi Kerakyatan. Jadi, rasanya sudah lengkap tema yang mau diangkat menjadi tulisan.
Isi masing-masing divisi, penulis rasa, sudah menunjukkan ragam tema yang tidak akan habis untuk dikupas. Tinggal sekarang menunggu menunggu konsistensi melalui tulisan. Yang penting menulis dulu. 
***
Oo ya, sampai jadi lupa alasan kenapa muncul catatan ini. Sebenarnya, sudah sejak lama penulis ingin membuat tulisan secara kontinyu di laman website lembaga yang berdiri sejak 1999 ini. Namun, sepertinya momentumnya memang baru masuk saat ini. Saat kesadaran gerakan menulis sedang baik-baiknya, sedang semangat-semangatnya. Eman sekali kalau dilewatkan begitu saja.   
Tentang tema tulisan pada Catatan Reboan ini, tentu beragam aspek kehidupan. Sesekali, topik pembahasan akan diulas secara santai, mengalir, tapi tetap mengena. Khas kolom atau esai. Namun, tak jarang juga akan dibahas dengan gaya serius, khas opini, artikel, atau juga semi jurnal. 
Perihal nama kolom: Catatan Reboan, sengaja dipilih karena ada beragam alasan. Semula, penulis sempat mau menyiapkan nama Catatan Pinggir, tapi kok ya sama dengan kolom Goenawan Muhammad, sastrawan dan wartawan senior Tempo. Yang terbit setiap kali majalah Tempo terbit.
Terbayang juga diberi nama Catatan Pojok, namun rasanya masih belum pas. Lantas, muncul nama Kang Fiq Notes. Tapi terkesan 'pencitraan banget'. Hingga akhirnya muncullah Catatan Reboan. Rasanya lebih pas. Lebih elegan. Lebih nJawani. Dan ini yang paling penting, lebih Ngidfos banget!
Kenapa? Ingat Diskusi Reboan kan? Diskusi lintas sektoral, lintas tema yang digagas IDFoS tersebut sudah seperti menjadi trade mark atau brand image IDFoS. Sekalipun digunakan dimanapun, image-nya tetap di IDFoS.
Kira-kira seperti itu pula harapan Catatan Reboan ini. Harapannya ya rutin terbit atau ditayangkan, atau persisnya di-upload setiap hari Rabu. Kenapa hari Rabu? Selain melekat dengan image IDFoS, juga karena Rabu itu hari medium. Produktif. Tengah-tengah. Hari stabil. Karena, biasanya kita sudah melakukan banyak hal di awal pekan, dan mempersiapkan rencana kegiatan sebelum akhir pekan. Semua ya di hari Rabu itu.  
Dan ini, yang nyaris kelupaan, semangat Catatan Reboan itu semangat Reborn. Agak-agak miriplah antara Reboan dan Reborn. Tahu apa itu reborn? Kelahiran kembali. Termasuk kelahiran kembali ide, semangat, menulis, dan kerja-kerja pemberdayaan sosial. Jadi, tidak salah kiranya jika kita sebarkan virus Reboan, virus Reborn. Salam Reboan.... (*) 


Ujung Sersan Mulyono, 15 Juni 2016

*) Direktur IDFoS Indonesia. Ditayangkan di website IDFoS Indonesia (www.idfos.or.id)  

Sunday, June 12, 2016

Kompetisi Inovasi

Akhir-akhir ini semangat wilayah, lebih tepatnya kecamatan atau desa, dalam membangun daerahnya masing-masing patut diacungi jempol. Beragam kecamatan ataupun desa memiliki ide-ide inovatif yang akan, sedang, dan sudah dikembangkan, demi kemajuan daerahnya masing-masing.
Coba kita perhatikan geliat dan semangat kecamatan atau desa yang sempat terekam media massa, media social, atau melalui obrolan di kafe atau warung kopi. Rata-rata setiap kecamatan mempunyai program atau setidaknya gerakan yang mencerminkan semangat dan inovasi yang diyakini akan mampu memberikan dampak yang positif bagi kemajuan daerahnya.
Menurut saya, ini iklim yang menarik. Masing-masing orang mempunyai cara tersendiri untuk memberi kontribusi atau membangun daerahnya. Ada yang memilih dengan cara mengkritik dengan skala pelan atau keras. Ada pula yang memilih dengan aksi nyata. Yang nyata ya yang sedang membangun inovasi itu. Namun semuanya bermuara pada kemajuan daerah.  
Tidak semua ide inovasi tersebut bermuara ke pengembangan pariwisata. Saya rasa ini menarik. Dan memang seharusnya demikian. Membangun daerah tidak harus berorientasi pada pendapatan ekonomi melalui peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Membangun modal social melalui pendekatan pembangunan sumber daya manusia (SDM) juga sangat dahsyat dampaknya bagi daerah itu sendiri. Butuh waktu tentunya. Namun toh, pada ujungnya jika pembangunan modal social berhasil muaranya juga pada peningkatan ekonomi masyarakatnya, karena sudah tercerahkan.      
Penulis cukup tertarik dengan program atau gerakan-gerakan yang dilakukan Kecamatan Sukosewu, Margomulyo, Sekar, dan mungkin kecamatan lain. Ide menarik dari Kecamatan Sukosewu adalah mengembangkan kawasan wisata dengan pilot project Bendungan Klepek.
Konsepnya adalah mengembangkan paket wisata penelusuran Bendungan Klepek dengan menggunakan perahu. Mirip-mirip arung jeram atau rafting, meskipun tipis-tipis. Saya rasa, ini menarik dikembangkan. Karena, untuk menjadikan kawasan ini sebagai sentral wisata berbasis adventure alam, tidak perlu harus seperti medan rafting di Pekalen, Probolinggo. Atau seperti di Pacet, Mojokerto.
Toh secara kontur alam dan geografisnya memang tidak sama dengan Pekalen atau Pacet. Justru itu yang menarik. Yang membedakan dengan daerah lain. Bukankah, meminjam teori guru marketing dunia, Hermawan Kertajaya, diferensiasi menjadi factor penting untuk menarik perhatian konsumen (baca wisatawan)?  
Karena, kalau wisatawan ingin berbasis pegunungan, ya ke Pekalen. Kalau adventure berbasis sungai (Kali Pacal), ya ke Bendungan Klepek, Sukosewu. Jadi, jangan ragu untuk mengembangkan. Terpenting, paket wisata tersebut dilengkapi dengan factor safety, kesejarahan Bendungan Klepek, dan kemudahan fasilitas infrastrutur.      
Lain lagi dengan Kecamatan Sekar, yang tengah gencar-gencarnya mengembangkan kawasan wisata Watu Gandul dan Atas Angin. Konsepnya juga sama, adventure alam dipadu dengan pendekatan kebudayaan dengan menyusuri situs-situs budaya di Sekar.  
Dari segi nama, sangat keren. Sudah cukup kuat menjadi brand image produk atau jualan untuk dipasarkan ke pecinta wisata alam. Tinggal dipoles dengan pendekatan manajemen yang baik. Serta, diperbaiki segala infrastrukturnya.   

Modal Sosial
Hal yang berbeda dilakukan Kecamatan Margomulyo. Kecamatan ini memilih menggunakan pendekatan modal social dulu. Membangun SDM. Kecamatan terluar Bojonegoro, yang sebagian wilayahnya hutan ini menggelorakan Gerakan Margomulyo Memanggil dan Margomulyo Menginspirasi.
Realisasi idenya, memanggil orang-orang local yang sukses di luar Margomulyo dan tokoh local serta jajaran pejabat kecamatan untuk memberikan kontribusi nyata. Bentuknya tidak harus uang. Boleh ide. Boleh tenaga atau sumber daya. Atau juga keduanya sekaligus.     
Sasarannya beragam. Ada pendidikan, pertanian hingga kelak ke peningkatan perekonomian. Terpenting bertujuan untuk meningkatan keberdayaan dan daya saing warga kecamatan yang mempunyai suku yang menjadi ikon Bojonegoro (dan Blora), samin. Terpenting mempunyai goal untuk kemajuan daerah itu sendiri.
Tentu saja di luar tiga kecamatan tersebut masih banyak ide atau inovasi yang sedang dikembangkan. Hanya, mungkin belum sempat mencuat ke permukaan melalui media massa atau media sosial dan belum terdeteksi oleh penulis.
O ya, tentu terobosan-terobosan di atas tidak termasuk paket wisata yang selama ini sudah dikenal lho. Semisal Kahyangan Api di Ngasem, Water Park di Dander, Kebun Blimbing dan Bendung Gerak di Kalitidu serta Waduk Pacal di Temayang. Karena, serpihan ide dan inovasi beberapa kecamatan di atas memang sedang hangat-hangatnya dikembangkan.   
Kini tinggal bagaimana mengsinkronkan atau mengsinergikan ide-ide di atas dengan arah pembangunan daerah, dalam hal ini pemda setempat, dan pihak-pihak lain. Tentu juga termasuk dengan media massa. Karena, ide dan kompetisi inovasi untuk kemajuan daerah adalah berita menginspirasi. Berita tentang kemenangan manusia. Dan media massa, khususnya koran ini, patut terus mendorongnya. (*)            

Ujung Blok Lingkar, 2 April 2016
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 3 April 2016, halaman 26

Monday, February 29, 2016

Tentang Menabung Air

Akhir Januari lalu, penulis menghadiri sebuah acara yang cukup menarik. Pelatihan perilaku hidup bersih dan sehat untuk pegiat sanitasi dan kelompok rumah tangga pilah sampah. Acaranya di sebuah hotel di Kecamatan Kalitidu.
Pelatihan itu semakin menarik karena menghadirkan Denok Marty Astutik. Bagi pegiat sanitasi atau lingkungan hidup, mungkin tidak asing dengan nama Denok. Wanita asal Solo yang namanya melambung saat dihadirkan sebagai bintang tamu di acara talk show Kick Andy, tahun lalu.
Denok adalah koordinator Gropesh, Gerakan Orang Muda Peduli Sampah, Solo. Denok menjadi sangat terkenal karena keputusan ‘gila’-nya. Denok berani meninggalkan zona nyaman sebagai akuntan perusahaan otomotif raksasa di Jakarta. Anda tahu? Padahal, posisinya sudah setingkat manajer.
‘Gila’-nya lagi, posisi itu dia tinggalkan hanya karena ingin mengurusi sampah. Lebih tepatnya sebagai pegiat olah sampah. Aktivitas yang mungkin akan dianggap ‘gila’, tidak normal untuk orang sekelas lulusan UI. Namun toh Denok menikmatinya. Malah, Denok semakin menjiwai. Saat ini dia membina sejumlah warga binaan di Lapas Jakarta, Solo, dan kota-kota lain.
Namun, bukan itu yang ingin penulis sampaikan dalam kolom ini. Kalau ingin tahu lebih dalam rekam jejak Denok, klik saja di youtube. Anda akan menemukan jawabnya. Secara detail. Bahkan mungkin banyak hal lain yang Anda ketahui.
Penulis sangat tertarik saat Denok menyinggung soal biopori. Anda tahu biopori kan? Ya, semacam lubang seukuran pipa paralon yang dibuat dengan kedalaman tertentu. Ditanam di tanah dengan jarak tertentu. Pipanya diberi pori-pori. Agar air yang masuk dalam pipa bisa meresap ke lapisan tanah. Istilah sederhananya sumur resapan.   
Fungsi utama biopori untuk menabung air di musim penghujan. Air yang masuk dalam biopori kemudian dapat disimpan di kedalaman tanah. Kelak di kemudian hari air itu bisa menjadi cadangan atau tepatnya cadangan air. Tabungan air di musim kemarau.
Rasanya aneh kalau Indonesia, khususnya Bojonegoro, tidak akrab dengan biopori. Di   Singapura saja masyarakatnya sudah akrab dengan biopori. Singapura memiliki puluhan juta lubang biopori yang tersebar merata di wilayahnya. Dengan puluhan juta biopori itu, cadangan air Singapura cukup untuk 50 tahun ke depan!
Anda tahu, luas wilayah negara kota Singapura ini sangat sangat kecil. Jangankan dengan Indonesia, dengan Bojonegoro saja masih kalah. Luas wilayah Singapura hanya 716 km2. Bandingkan dengan luas wilayah Kabupaten Bojonegoro yang mencapai 2.384,02 km2. Tiga kali lipat dari luas negara Singapura. Tapi toh mereka bisa.
Jepang juga demikian. Luas wilayahnya kalah jauh dengan Indonesia. Namun, Jepang juga punya puluhan juta lubang biopori. Sama dengan Singapura, berkat modal biopori, cadangan air negeri Matahari Terbit ini juga cukup untuk 50 tahun ke depan. Sampai anak cucu mereka.
Bagaimana dengan Bojonegoro? Sebenarnya sedang dimulai. Akhir-akhir ini Pemkab Bojonegoro sedang gencar menggelorakan gerakan menabung air. Konsepnya juga sama, dengan cara membuat biopori. Namun, kelihatannya belum serempak. Belum menjadi gerakan yang operasional hingga menyentuh lapisan masyarakat.
Kenapa demikian? Penulis tinggal di lingkungan perumahan di wilayah kota. Namun, rasa-rasanya imbauan atau gerakan hingga menyentuh lingkungan RW, RT, atau bahkan tingkat lingkungan, belum terdengar.
Terus terang, sempat terpikir dalam hati, jangan-jangan baru sebatas gerakan. Formalitas saja? Mungkin ya, mungkin juga tidak begitu. Andaikan formalitas, alangkah sayangnya. Padahal, kita berpeluang besar untuk punya biopori dengan jumlah luar biasa. Itu kalau bioporinya berbasis rumah.
Hitung-hitungan sederhananya begini. Jumlah penduduk Kabupaten Bojonegoro 1,4 juta jiwa. Taruhlah ada 500 ribu kepala keluarga. Kalau masing-masing KK membuat dua lubang biopori saja, akan ketemu satu juta biopori. Biopori yang berbasis rumah atau pekarangannya.
Padahal, idealnya jarak antara lubang biopori satu dengan lainnya sekitar dua meter. Ini artinya, masing-masing rumah logikanya bisa membuat dua hingga empat biopori. Toh bioporinya juga tidak mengganggu pekarangan atau halaman rumah. 
Itu belum termasuk biopori yang dibuat di tegalan, tanah lapang, perkantoran, pematang sawah, atau titik-titik kawasan tanah lainnya. Tentu akan sangat banyak biopori yang bisa dibuat. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan mungkin juta biopori.
Tapi sekali lagi, itu dengan catatan gerakan menabung air tersebut tidak sebatas formalitas. Hanya menjadi gerakan, tidak membumi. Tidak operasional. Dan andai benar serius, rasanya julukan Bojonegoro: nek rendeng gak iso ndodok, nek tigo gak iso cebok (penghujan tak bisa duduk karena banjir, dan kemarau tak bisa cebok karena tak ada air), hanya tinggal kenangan. Ayo membuat biopori. (*) 

Ujung Blok Lingkar, 12 Februari 2016      

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi Minggu, 14 Februari 2016 Halaman 26