Fenomena Budaya Baru “Pokemon”
Sekali
waktu, cobalah luangkan waktu sejenak ke pusat-pusat kerumunan publik. Di
alun-alun, misalnya. Niscaya, Anda akan mendapati banyak orang, dengan
menenteng ponsel berjalan ke sana ke mari. Bukan sedang mengabadikan peristiwa
atau gambar. Namun, apa coba? Berburu monster lucu nan menggemaskan, Pokemon.
Pada
awal-awal game buatan Niantic asal
Jepang yang di-launching pada awal
Juli 2016 lalu itu, penulis sebenarnya belum tergerak untuk menulis kolom soal
demam Pokemon Go. Tapi, lama kelamaan ternyata game lawas yang dikemas dengan model dan teknologi terbaru ini
mampu menggerakkan dunia global.
Bukan
disebabkan latah kalau kemudian penulis tertarik menulis tentang sisi lain
Pokemon Go, tetapi karena sudah menjadi fenomena budaya baru. Fenomena yang
menggerakkan sisi-sisi lain yang lebih luas, yang lebih mengglobal.
Indikasinya
mudah. Game mobile yang berbasis augmented-reality
tersebut menembus batas atau sekat-sekat suku, agama, ras, negara, kultur,
ekonomi, sosial, hukum, hingga politik. Bahkan kalkulasi secara ekonomi,
pendapatan yang didapat Niantic selaku studio pengembang Pokemon Go melesat
cepat.
Dikutip
dari Kompas.com (Selasa, 19 Juli
2016), total pendapatan Niantic dari Pokemon Go lebih kurang 22.000 dollar AS
atau Rp 287 juta dalam dua menit. Atau sekitar Rp 143 juta dalam satu menit.
Ingat, hanya satu menit. Selanjutnya, hanya dalam empat menit, jumlah itu sudah
berlipat ganda menjadi 40.000 dollar AS atau sekitar Rp 523 juta.
Tak
cuma jumlah pendapatan. Anda juga bisa melihat total pengunduh Pokemon Go
secara real
time di masing-masing negara baik melalui iOS maupun Android. Dalam waktu tujuh menit, ada
lebih dari 33.000 pengunduh baru Pokemon Go di seluruh dunia. Komposisinya
lebih didominasi pengguna iOS ketimbang Android.
Di
sisi paling bawah situs, Anda bisa pula mengintip jumlah waktu yang dihabiskan netizen di
Pokemon Go per harinya. Hingga kini rata-rata netizen menghabiskan di atas 30
menit tiap hari untuk berburu Pokemon dan bertarung di Gym. Hebatnya lagi, waktu
yang dihabiskan pengguna di Pokemon Go itu jauh mengalahi Facebook, Snapchat, Twitter, dan
Instagram, domain media sosial yang jauh lebih lama digunakan umat manusia
modern.
Sisi Plus dan Minus
Sebagai
fenomena budaya baru, semua sepakat bahwa Pokemon Go akan memiliki dampak.
Ibarat pisau bermata dua, dampaknya negatif dan positif. Mungkin porsi dampaknya
sama. Salah satu dampak positifnya, selain terhibur, diklaim lebih sehat
(karena gamer berjalan aktif, tidak
berdiam diri di kamar), Pokemon Go ternyata membantu tugas polisi.
Pekan
lalu, pemain di Wyoming, salah satu kota di Amerika Serikat, menemukan mayat
saat mengeksplor lokasi persembunyian monster Pokemon. Kejadian serupa dialami oleh
seorang pemain di New Hampshire pada awal pekan ini, sebagaimana dilaporkan Ubergizmo
dan dihimpun KompasTekno
(Kompas.com, Senin 18 Juli 2016).
Pemain
di New Hampshire menemukan mayat mengambang di aliran sungai saat bertualang di
Rotary Park. Taman untuk publik itu populer sebagai lokasi yang banyak
membenamkan Pokestop. Pokestop sendiri adalah lokasi mengumpulkan item-item
yang bermanfaat, semisal Pokeball, incence, atau candy.
Pokemon juga kerap berkeliaran di sekitar Pokestop.
Singkat
cerita, setelah pemain Pokemon Go menemukan mayat mengambang, dia segera
melapor ke kepolisian setempat. Mayat tersebut lalu diamankan dan bakal
diinvestigasi lebih lanjut.
Dampak
negatifnya, semua tahu, pengembang menyebar Pokestop di berbagai tempat. Kalau
di tempat yang mudah diakses publik, mungkin tidak menjadi masalah. Baru jadi
problem kalau Pokestop-nya menyebar di lokasi privasi, objek vital negara,
hingga tempat-tempat ibadah.
Sampai-sampai,
Panglima TNI dan Kapolri pun ikut gusar dengan demam Pokemon yang melanda semua
lapisan ini. Sampai-sampai Mabes TNI dan Mabes Polri melarang anggotanya main
Pokemon saat bertugas. Kepala rumah tangga kepresidenan juga berang karena
banyak gamers menyerbu ke istana, salah
satu objek vital negara, hanya demi berburu monster Pokemon.
Begitu
pula perusahaan atau pelaku usaha. Mereka sampai-sampai memasang pengumuman
yang berisi larangan keras bagi seluruh karyawannya untuk bermain Pokemon, saat
bekerja. Khawatir tidak produktif, mengganggu kinerja. Jika kedapatan bermain
Pokemon saat bekerja, gajinya akan dipotong!.
Kreatif Menyikapi
Sebagai
bagian dari fenomena budaya baru, kehadiran Pokemon Go tidak bisa dihindari.
Tak bisa ditolak. Karena ini fenomena global. Hanya, perlu penyikapan yang arif,
bijak, dan tak perlu sporadis. Karena, kehadiran Pokemon Go merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari fenomena Generasi Z. Zaman dan generasi kita
sekarang hidup.
Dalam
pembagian generasi dunia modern, ada lima generasi. Yakni, pertama, Generasi Silent,
manusia atau generasi yang lahir pada tahun 1925-1946 (berusia 70-91 tahun). Kedua, Generasi Baby Boom yang lahir pada 1947-1964 (usia 52-69 tahun).
Ketiga,
Generasi X, generasi yang lahir pada
1965-1979 (berusia 37-51 tahun). Keempat, Generasi
Milenial/Y, yang lahir pada 1980-1999 (usia 17-36 tahun), dan kelima, Generasi Z (2000- sekarang) yang berusia 16 tahun ke bawah. (The 2015 Deloitte Millenial Survey,
Connecting The Millenials a Visa Study, 2012)
Justru,
menurut penulis, kehadiran Pokemon Go jangan disikapi dengan melakukan
proteksi-proteksi yang berlebihan. Sewajarnya saja kita memberi pengertian
kepada anggota keluarga kita. Ingatkan saja plus dan minusnya. Toh, mereka
sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Malah, kalau bisa disikapi
dengan kreatif dan produktif.
Seperti
yang penulis jumpai akhir-akhir ini. Belakangan setelah game Pokemon booming, banyak dijumpai meme-meme,display
photo, atau desain grafis yang lucu-lucu. Menariknya, display photo-nya bukan hanya lucu nan menghibur. Namun, juga
mengandung unsur-unsur brand image
produk, kampanye, atau pesan positif lain yang kemasannya mengacu font, perwarnaan, atau desain khas
ikonik Pokemon.
Brand image
atau pesan kampanye positif tersebut disebarkan melalui broadcast (pesan siaran atau berantai) BlackBerry ataupun WhatsApp.
Beberapa kiriman yang menurut penulis positif adalah, Pokoke’ Moco (yang penting membaca), pesan untuk memperbanyak
membaca berbagai jenis atau disiplin ilmu dalam bentuk media buku.
Kemudian, Pokoke’ Mondok, pesan/kampanye untuk
masuk pondok pesantren, model pendidikan yang mewajibkan siswa/santri
berdomisili dalam suatu tempat. Sistem pendidikan ini kebanyakan diterapkan di
lembaga pendidikan yang berafiliasi ke NU.
Dan masih banyak lagi pesan kampanye bernada positif lainnya. Jadi,
ambil sisi positifnya saja fenomena budaya baru ini. Salam Reboan. (*)
Ujung Sersan Mulyono 35, 20 Juli 2016
*) Direktur IDFoS Indonesia. Ditayangkan di website IDFoS Indonesia (www.idfos.or.id)
No comments:
Post a Comment